Menurut versi Mahabharata, Gatotkaca adalah putra Bimasena dari keluaga Pandawa yang lahir
dari seorang rakshasa perempuan bernama Hidimbi. Hidimbi sendiri merupakan raksasa
penguasa sebuah hutan; tinggal bersama kakaknya yang bernama Hidimba (dalam pewayangan
Jawa, ibu Gatotkaca lebih terkenal dengan sebutan Arimbi. Menurut versi ini, Arimbi bukan
sekadar penghuni hutan biasa, melainkan putri dari Kerajaan Pringgadani, negeri bangsa
rakshasa).
Kisah kelahiran Gatotkaca dikisahkan secara tersendiri dalam pewayangan Jawa. Namanya
sewaktu masih bayi adalah Jabang Tetuka. Sampai usia satu tahun, tali pusarnya belum bisa
dipotong walau menggunakan senjata apa pun. Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk
mendapatkan petunjuk dewa demi menolong keponakannya itu. Pada saat yang sama Karna,
panglima Kerajaan Hastina juga sedang bertapa mencari senjata pusaka. Karena wajah keduanya
mirip, Batara Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata Kontawijaya kepada Karna,
bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya, Narada pun menemui Arjuna yang
sebenarnya. Lalu Arjuna mengejar Karna untuk merebut senjata Konta, sehingga pertarungan
pun terjadi. Karna berhasil meloloskan diri bersama senjata Konta, sedangkan Arjuna hanya
berhasil merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Sarung pusaka Konta terbuat dari kayu
mastaba yang ternyata bisa digunakan untuk memotong tali pusar Tetuka. Saat dipakai untuk
memotong, kayu mastaba musnah dan bersatu dalam perut Tetuka. Kresna yang ikut serta
menyaksikannya berpendapat bahwa pengaruh kayu Mastaba akan menambah kekuatan bayi
Tetuka. Ia juga meramalkan bahwa kelak Tetuka akan tewas di tangan pemilik senjata Konta.
2. Wayang nakula
Nakula (Dewanagari: ; IAST: Nakula), adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita
Mahabharata. Ia merupakan putra Madri, kakak ipar Kunti. Ia adalah saudara kembar Sadewa
dan dianggap putra Dewa Aswin, dewa tabib kembar. Menurut kitab Mahabharata, Nakula
sangat tampan dan sangat elok parasnya. Menurut Dropadi, Nakula merupakan suami yang
paling tampan di dunia. Namun, sifat buruk Nakula adalah membanggakan ketampanan yang
dimilikinya. Hal itu diungkapkan oleh Yudistira dalam kitab Mahaprasthanikaparwa. Selain
tampan, Nakula juga memiliki kemampuan khusus dalam merawat kuda dan astrologi.
Selain Nakula dalam Mahabharata, terdapat Nakula lain yang merupakan seorang ahli
pengobatan, penulis Aswasastra (kitab tentang kuda). Secara harfiah, kata nakula dalam bahasa
Sanskerta merujuk kepada warna Ichneumon, sejenis tikus atau binatang pengerat dari Mesir.
Nakula juga dapat berarti "cerpelai", atau dapat juga berarti "tikus benggala". Nakula juga
merupakan nama lain dari Dewa Siwa
3. Wayang sadewa
Sadewa (Dewanagari: ; IAST: Sahadva) adalah salah satu tokoh utama dalam wiracarita
Mahabharata. Ia merupakan anggota Pandawa yang paling muda, yang memiliki saudara
kembar bernama Nakula. Meskipun kembar, Nakula dikisahkan memiliki wajah yang lebih
tampan daripada Sadewa, sedangkan Sadewa lebih pandai daripada kembarannya. Dalam hal
perbintangan atau astronomi, kepandaian Sadewa jauh di atas murid-murid Drona yang lain.
Selain itu, ia juga pandai dalam hal beternak sapi. Maka ketika para Pandawa menjalani
hukuman menyamar selama setahun di Kerajaan Matsya akibat kalah bermain dadu melawan
Korawa, Sadewa pun memilih peran sebagai seorang gembala sapi bernama Tantripala.
Meskipun Sadewa merupakan Pandawa yang paling muda, namun ia dianggap sebagai yang
terbijak di antara mereka. Yudistira bahkan pernah berkata bahwa Sadewa lebih bijak daripada
Wrehaspati, guru para dewa. Sadewa merupakan ahli perbintangan yang ulung dan mampu
meramalkan kejadian yang akan datang. Namun ia pernah dikutuk apabila sampai membeberkan
rahasia takdir, maka kepalanya akan terbelah menjadi dua.
Sadewa merupakan yang termuda di antara para Pandawa, yaitu sebutan untuk kelima putra
Pandu, raja di Hastinapura. Sadewa dan saudara kembarnya, Nakula, lahir dari rahim putri
Kerajaan Madra yang bernama Madri (dalam pewayangan disebut Madrim). Sementara itu ketiga
kakak mereka, yaitu Yudistira, Bimasena, dan Arjuna lahir dari rahim Kunti. Meskipun
demikian, Sadewa dikisahkan sebagai putra yang paling disayangi Kunti. Nakula dan Sadewa
lahir sebagai anugerah dewa kembar bernama Aswin, karena Pandu saat itu sedang menjalani
kutukan sehingga tidak bisa bersetubuh dengan istrinya. Keduanya lahir di tengah hutan ketika
Pandu sedang menjalani kehidupan sebagai pertapa.
Setelah kemenangan Arjuna atas sayembara memanah di Kerajaan Pancala, maka semua
Pandawa bersama-sama menikah dengan Dropadi, putri negeri tersebut. Dari perkawinan
tersebut Sadewa memiliki putra bernama Srutakirti. Selain itu, Sadewa juga menikahi puteri
Jarasanda, raja Kerajaan Magadha. Kemudian dari istrinya yang bernama Wijaya, lahir seorang
putra bernama Suhotra.
4. Wayang bratasena/bima
Bima
(Dewanagari:
; IAST: Bhma)
atau
Bimasena
(Dewanagari:
Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan
Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam
pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan
dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sanskerta, karena tokoh ini
merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh
Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala
Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh
yang berangka tahun 1439.Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita
tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai
pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan
pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar
Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu
ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang,
tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak
daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa
dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa,
melainkan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.