Anda di halaman 1dari 13

CERITA WAYANG ARJUNA

NAMA : ALDI GILANG ANGGARA PUTRA


KELAS : X5
NO : 03

CERITA WAYANG ARJUNA DALAM SUMBER : WIKIPEDIA ( https://id.wikipedia.org/wiki/Arjuna )


Arjuna (Dewana gari:
अर्जुन; IAST: Arjuna) ad alah nama seorang
tokoh protagonis dalam  wiracarita Mahabharata. Ia
dikenal sebagai anggota Pandawa yang
berparas menawan dan berhati lemah lembut.
Dalam Mahabharata diri wayatkan bahwa ia merupakan
putra Prabu Pandu, raja
di Hastinapura dengan K unti atau Perta, putri
Prabu Surasena, raja Wangsa
Yadawa di Mathura. Ma habharata mendeskripsikan
Arjuna sebagai teman dekat Kresna, yang disebut
dalam
kitab Purana sebagai aw atara (penjelmaan) Dewa
Wisnu. Hubungan antara Arjuna dan Kresna sangat
erat, sehingga Arjuna meminta kesediaannya
sebagai penasihat sekaligus kusir kereta Arjuna
saat perang antara Pandawa dan Korawa berkecamuk (Bharatayuddha). Dialog antara Kresna dan
Arjuna sebelum perang Bharatayuddha berlangsung terangkum dalam suatu kitab tersendiri yang
disebut Bhagawadgita, yang secara garis besar berisi wejangan suci yang disampaikan oleh Kresna
karena Arjuna mengalami keragu-raguan untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang kesatria di
medan perang.[1]

Kelahiran
Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Prabu Pandu tidak bisa melanjutkan keturunan karena
dikutuk oleh seorang resi. Kunti—istri pertamanya—menerima anugerah
dari Resi Durwasa sehingga mampu memanggil dewa sesuai dengan keinginannya, dan juga
dapat memperoleh anugerah dari dewa yang dipanggilnya. Pandu dan Kunti memanfaatkan
anugerah tersebut untuk memanggil Dewa Yama (Dharmaraja; Yamadipati), Bayu (Maruta),
dan Indra (Sakra) yang kemudian memberi mereka tiga putra. Arjuna merupakan putra ketiga,
lahir dari Indra, pemimpin para Dewa. Ia lahir di lereng gunung Himawan, di sebuah tempat yang
disebut Satsringa pada hari saat bintang Utara Phalguna tampak di zenith.

Masa muda dan Pendidikan

Arjuna dididik bersama dengan saudara-saudaranya yang lain (para Pandawa dan Korawa)


oleh Drona. Kemahirannya dalam ilmu memanah sudah tampak sejak kecil. Pada usia muda ia
mendapat gelar Maharathi atau "kesatria terkemuka". Dalam suatu ujian, Drona meletakkan
burung kayu pada pohon, lalu menyuruh muridnya satu-persatu untuk membidik burung
tersebut, kemudian menanyakan apa saja yang sudah mereka lihat. Banyak murid yang
menjawab bahwa mereka melihat pohon, cabang, ranting, dan segala sesuatu yang dekat
dengan burung tersebut, termasuk burung itu sendiri. Ketika tiba giliran Arjuna untuk membidik,
Drona menanyakan apa yang dilihatnya. Arjuna menjawab bahwa ia hanya melihat burung saja,
tidak melihat benda yang lainnya. Hal itu membuat Drona kagum dan meyakinkannya bahwa
Arjuna sudah pintar.
Pada suatu hari, ketika Drona sedang mandi di sungai Gangga, seekor buaya datang
mengigitnya. Drona dapat membebaskan dirinya dengan mudah, tetapi karena ingin menguji
keberanian murid-muridnya maka ia berteriak meminta tolong. Di antara murid-muridnya, hanya
Arjuna yang datang memberi pertolongan. Dengan panahnya, ia membunuh buaya yang
menggigit gurunya. Atas pengabdian Arjuna, Drona memberikan sebuah astra yang
bernama Brahmasirsa. Drona juga mengajarkan kepada Arjuna tentang cara memanggil dan
menarik astra tersebut. Menurut Mahabharata, Brahmasirsa hanya dapat ditujukan
kepada dewa, raksasa, setan jahat, dan makhluk sakti yang berbuat jahat, agar dampaknya tidak
berbahaya

Arjuna mendapatkan Dropadi

Dalam Adiparwa diceritakan bahwa Duryodana—salah satu Korawa—menganjurkan agar


Pandawa beserta ibunya (Kunti) berlibur di suatu rumah di luar kerajaan. Sesungguhnya
Duryodana telah mempersiapkan agar rumah tersebut dapat terbakar dengan mudah, karena ia
membenci para Pandawa, terutama Bima. Widura, paman para Pandawa dan Korawa yang
waspada meminta agar para Pandawa berhati-hati dan mempersiapkan cara untuk menghadapi
kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Saat para Pandawa menginap, Purocana, pesuruh
Duryodana membakar rumah tersebut. Para Pandawa beserta ibunya berhasil lolos melalui
terowongan yang telah digali sebelumnya. Mereka melarikan diri ke tengah hutan dan
menumpang di rumah penduduk sekitar.
Pada suatu ketika, sekelompok brahmana berkumpul di tempat para Pandawa melarikan diri.
Mereka membicarakan sebuah sayembara yang akan diadakan di Kerajaan Panchala. Para
Pandawa datang ke tempat sayembara dengan menyamar sebagai kaum brahmana.
Raja Drupada dari Panchala mengadakan sayembara untuk mendapatkan Dropadi, putrinya.
Sebuah ikan kayu diletakkan di atas kubah balairung, dan di bawahnya terdapat kolam yang
memantulkan bayangan ikan yang berada di atas. Aturan menyebutkan bahwa siapa pun yang
berhasil memanah ikan tersebut dengan hanya melihat pantulannya di kolam, maka ia berhak
mendapatkan Dropadi.
Berbagai kesatria mencoba melakukannya, tetapi tidak berhasil. Ketika Karna yang hadir pada
saat itu ikut mencoba, ia berhasil memanah ikan tersebut dengan baik. Namun ia ditolak oleh
Dropadi dengan alasan Karna lahir di kasta rendah. Arjuna bersama saudaranya yang lain
menyamar sebagai Brahmana, turut serta menghadiri sayembara tersebut. Arjuna berhasil
memanah ikan tepat sasaran dengan hanya melihat pantulan bayangannya di kolam, dan ia
berhak mendapatkan Dropadi. Ketika para Pandawa pulang membawa Dropadi, mereka
mengaku telah membawa sedekah. Kunti—ibu para Pandawa—yang sedang sibuk, menyuruh
mereka untuk membagi rata apa yang sudah mereka dapatkan. Sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Kunti, maka para Pandawa bersepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri
mereka. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di
kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu
adalah pembuangan selama satu tahun.

Perjalanan menjelajahi Bharatawarsha

Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang
pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para raksasa. Arjuna
bergegas mengambil senjatanya, tetapi senjata tersebut disimpan di sebuah kamar
tempat Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela
masuk kamar mengambil senjata, tanpa memedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang
bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan
selama satu tahun.
Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau
daratan India Kuno. Ketika sampai di sungai Gangga, Arjuna bertemu dengan Ulupi, putri Naga
Korawya dari istana naga atau Nagaloka. Arjuna terpikat dengan kecantikan Ulupi lalu menikah
dengannya. Dari hasil perkawinannya, ia dikaruniai seorang putra yang diberi nama Irawan.
[4]
 Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya menuju wilayah pegunungan Himalaya. Setelah
mengunjungi sungai-sungai suci yang ada di sana, ia berbelok ke selatan. Ia sampai di sebuah
negeri yang bernama Manipura. Raja negeri tersebut bernama Citrasena. Ia memiliki seorang
puteri yang sangat cantik bernama Citrānggadā. Arjuna jatuh cinta kepada putri tersebut dan
hendak menikahinya, tetapi Citrasena mengajukan suatu syarat bahwa apabila putrinya tersebut
melahirkan seorang putra, maka anak putrinya tersebut harus menjadi penerus tahta Manipura
oleh karena Citrasena tidak memiliki seorang putra. Arjuna menyetujui syarat tersebut. Dari hasil
perkawinannya, Arjuna dan Citrānggadā memiliki seorang putra yang diberi nama Babruwahana.
Oleh karena Arjuna terikat dengan janjinya terdahulu, maka ia meninggalkan Citrānggadā
setelah tinggal selama beberapa bulan di Manipura. Ia tidak mengajak istrinya pergi
ke Hastinapura.[5]
Setelah meninggalkan Manipura, ia meneruskan perjalanannya menuju arah selatan. Dia sampai
di lautan yang mengapit Bharatawarsha di sebelah selatan, setelah itu ia berbelok ke utara. Ia
berjalan di sepanjang pantai Bharatawarsha bagian barat. Dalam pengembaraannya, Arjuna
sampai di pantai Prabasa (Prabasatirta) yang terletak di dekat Dwaraka, yang kini dikenal
sebagai Gujarat. Di sana ia menyamar sebagai seorang pertapa untuk mendekati
adik Kresna yang bernama Subadra, tanpa diketahui oleh siapa pun. Atas perhatian
dari Baladewa, Arjuna mendapat tempat peristirahatan yang layak di taman Subadra. Meskipun
rencana untuk membiarkan dua pemuda tersebut tinggal bersama ditentang oleh Kresna, tetapi
Baladewa meyakinkan bahwa peristiwa buruk tidak akan terjadi. Arjuna tinggal selama beberapa
bulan di Dwaraka, dan Subadra telah melayani semua kebutuhannya selama itu. Ketika saat
yang tepat tiba, Arjuna menyatakan perasaan cintanya kepada Subadra. Pernyataan itu
disambut oleh Subadra. Dengan kereta yang sudah disiapkan oleh Kresna, mereka pergi ke
Indraprastha untuk melangsungkan pernikahan.[6]
Baladewa marah setelah mendengar kabar bahwa Subadra telah kabur bersama
Arjuna. Kresna meyakinkan bahwa Subadra pergi atas kemauannya sendiri, dan Subadra sendiri
yang mengemudikan kereta menuju Indraprastha, bukan Arjuna. Kresna juga mengingatkan
Baladewa bahwa dulu ia menolak untuk membiarkan kedua pasangan tersebut tinggal bersama,
tetapi usulnya ditentang oleh Baladewa. Setelah Baladewa sadar, ia membuat keputusan untuk
menyelenggarakan upacara pernikahan yang mewah bagi Arjuna dan Subadra di Indraprastha.
Ia juga mengajak kaum Yadawa untuk turut hadir di pesta pernikahan Arjuna-Subadra. Setelah
pesta pernikahan berlangsung, kaum Yadawa tinggal di Indraprastha selama beberapa hari, lalu
pulang kembali ke Dwaraka, tetapi Kresna tidak turut serta.[7]

Pembakaran hutan Kandawa

Dalam bagian akhir Adiparwa diriwayatkan peristiwa pembakaran hutan Kandawa serta


pertemuan Arjuna dengan arsitek bernama Mayasura. Kisah tersebut diawali dengan acara
pengembaraan Arjuna dan Kresna di tepi sungai Yamuna. Di tepi hutan tersebut terdapat hutan
lebat yang bernama Kandawa. Di sana mereka bertemu dengan Agni, dewa api. Agni berkata
bahwa hutan Kandawa seharusnya telah musnah dilalap api, tetapi Indra selalu menurunkan
hujannya untuk melindungi temannya yang bernama Taksaka, yang hidup di hutan tersebut.
Maka, Agni memohon agar Kresna dan Arjuna bersedia membantunya menghancurkan hutan
Kandawa. Kresna dan Arjuna bersedia membantu Agni, tetapi terlebih dahulu mereka meminta
agar Agni menyediakan senjata kuat bagi mereka berdua untuk menghalau gangguan yang akan
muncul. Kemudian Agni memanggil Baruna, dewa lautan. Baruna memberikan busur suci
bernama Gandiwa, kereta perang dengan empat kuda dihias bendera berlambang monyet, serta
tabung berisi anak panah dengan jumlah tak terbatas kepada Arjuna.[8] Untuk Kresna, Baruna
memberikan Cakra Sudarsana. Dengan senjata tersebut, mereka berdua menjaga agar Agni
mampu melalap hutan Kandawa sampai habis.[9]
Dalam proses pembakaran hutan Kandawa, Arjuna menyelamatkan seorang asura yang mahir
merancang bangunan, namanya Mayasura.[9] Sebagai balas budi, Mayasura berjanji bahwa ia
akan membangun sebuah istana untuk Yudistira, kakak Arjuna. Oleh karena Mayasura
merupakan arsitek yang cekatan, maka merupakan hal yang mudah baginya untuk membangun
balairung akbar sekaligus istana megah bagi para Pandawa di Indraprastha.[10] Pembangunan
istana megah tersebut mengawali jilid kedua Mahabharata yang berjudul Sabhaparwa. Dalam
buku tersebut diceritakan bahwa demi merebut kekayaan para Pandawa, Duryodana menantang
mereka bermain dadu dengan taruhan harta masing-masing. Pada akhirnya para Pandawa
kalah, dan riwayat mereka selanjutnya diceritakan dalam Wanaparwa.

Pertapaan Arjuna
Dalam kitab Wanaparwa diriwayatkan kejadian setelah para Pandawa—yang dipimpin Yudistira
—kalah bermain dadu melawan para Korawa yang dipimpin Duryodana. Sesuai ketentuan
permainan tersebut, maka para Pandawa beserta Dropadi mengasingkan diri ke hutan
(wana dalam bhs. Sanskerta). Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Arjuna untuk bertapa
demi memperoleh kesaktian dalam peperangan melawan para sepupunya. Arjuna memilih lokasi
bertapa di gunung Indrakila. Dalam usahanya, ia diuji oleh tujuh bidadari yang dipimpin
oleh Supraba, tetapi keteguhan hati Arjuna mampu melawan berbagai godaan yang diberikan
oleh para bidadari. Para bidadari yang kesal kembali ke kahyangan, dan melaporkan kegagalan
mereka kepada Indra. Indra turun di tempat Arjuna bertapa sambil menyamar sebagai
seorang pendeta. Dia menanyakan tujuan Arjuna melakukan tapa di gunung Indrakila. Arjuna
menjawab bahwa ia bertapa demi memperoleh kekuatan untuk mengurangi penderitaan rakyat,
serta untuk menaklukkan musuh-musuhnya, terutama para Korawa yang selalu bersikap jahat
terhadap para Pandawa. Setelah mendengar penjelasan dari Arjuna, Indra metampakkan
wujudnya yang sebenarnya. Dia memberikan anugerah kepada Arjuna berupa senjata sakti.
Setelah mendapat anugerah dari Dewa Indra, Arjuna memperkuat tapanya ke hadapan
Dewa Siwa. Siwa yang terkesan dengan tapa Arjuna kemudian mengirimkan seekor babi hutan
berukuran besar. Ia menyeruduk gunung Indrakila hingga bergetar. Hal tersebut membuat
Arjuna terbangun dari tapanya. Karena ia melihat seekor babi hutan sedang mengganggu
tapanya, maka ia segera melepaskan anak panahnya untuk membunuh babi tersebut. Di saat
yang bersamaan, Siwa datang dan menyamar sebagai pemburu, turut melepaskan anak panah
ke arah babi hutan yang dipanah oleh Arjuna. Karena kesaktian dewa, kedua anak panah yang
menancap di tubuh babi hutan itu menjadi satu. Pertengkaran hebat terjadi antara Arjuna
dan Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Mereka sama-sama mengaku telah membunuh
babi hutan siluman, tetapi hanya satu anak panah saja yang menancap, bukan dua. Maka dari
itu, Arjuna berpikir bahwa si pemburu telah mengklaim sesuatu yang sebenarnya menjadi hak
Arjuna. Setelah adu mulut, mereka berdua berkelahi. Saat Arjuna menujukan serangannya
kepada si pemburu, tiba-tiba orang itu menghilang dan metampakkan wujud aslinya sebagai
Siwa. Arjuna meminta maaf karena ia telah berani melakukan tantangan. Siwa tidak marah
kepada Arjuna, justru sebaliknya ia merasa kagum. Atas keberaniannya, Dewa Siwa memberi
anugerah berupa panah sakti bernama pasupati.
Setelah menerima senjata pasupati, Arjuna dijemput oleh para penghuni kahyangan untuk
menuju kediaman Indra, raja para dewa. Di sana Arjuna menghabiskan waktu selama beberapa
tahun. Di sana pula Arjuna bertemu dengan bidadari Urwasi. Karena Arjuna tidak mau menikahi
bidadari Urwasi, maka Urwasi mengutuk Arjuna agar kelak menjadi banci (peran Arjuna sebagai
banci diceritakan sebagai dalam buku Wirataparwa). Kutukan itu dimanfaatkan oleh Arjuna pada
saat para Pandawa menyelesaikan hukuman pembuangan mereka dalam hutan. Setelah
menyelesaikan hukuman pembuangan, Pandawa beserta Dropadi berlindung di kerajaan Wirata.
Sesuai dengan perjanjian yang sah—sebagai akibat kekalahan saat bermain dadu—maka para
Pandawa beserta Dropadi harus hidup dalam penyamaran selama satu tahun. Maka dari itu,
para Pandawa beserta Dropadi harus menyembunyikan identitas asli mereka dan hidup sebagai
orang lain. Di sana Arjuna menyamar sebagai guru tari yang banci, dengan nama
samaran Brihanala.[11] Meskipun demikian, Arjuna telah berhasil membantu putra mahkota
kerajaan Wirata, yaitu pangeran Utara, dengan menghalau musuh yang hendak menyerbu
kerajaan Wirata.

Persiapan perang
Setelah menjalani masa pembuangan selama 13 tahun dan masa penyamaran selama
setahun, para Pandawa ingin memperoleh kembali kerajaannya. Namun hak mereka ditolak
dengan tegas oleh Duryodana, bahkan ia menantang untuk berperang. Demi kerajaannya, para
Pandawa setuju untuk melakukan perang. Sebelum perang terjadi, Kresna melakukan misi
perdamaian, tetapi gagal. Akhirnya Kresna setuju untuk terlibat dalam perang, tetapi dengan
tidak membawa senjata. Ia ingin salah satu pihak memilih tentaranya, sedangkan pihak yang lain
memilihnya sebagai penasihat. Arjuna yang mewakili Pandawa lebih memilih kehadiran Kresna
sebagai penasihat, sementara Duryodana yang mewakili Korawa lebih memilih pasukan Kresna.

Arjuna menerima Bhagawadgita
Dalam Mahabharata, peran Kresna sebagai kusir bermakna pemandu atau penunjuk jalan, yaitu
memandu Arjuna melewati segala kebimbangan hatinya dan menunjukkan jalan kebenaran
kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang diuraikan Kresna kepada Arjuna disebut Bhagawadgita.
Hal itu bermula beberapa saat sebelum perang di Kurukshetra dimulai. Saat Arjuna melakukan
inspeksi terhadap pasukannya, ia dilanda pergolakan batin ketika ia melihat kakeknya, guru
besarnya, saudara sepupu, teman sepermainan, ipar, dan kerabatnya yang lain berkumpul
di Kurukshetra untuk melakukan pembantaian besar-besaran. Arjuna menjadi tak tega untuk
membunuh mereka semua. Dilanda oleh masalah batin, antara mana yang benar dan mana
yang salah, Arjuna bertekad untuk mengundurkan diri dari pertempuran.
Kresna yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di hadapan saya,
dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota badan saya
gemetar dan mulut saya terasa kering... (Bhagawadgita, I:28)
Kita akan dikuasai dosa jika membunuh penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita
membunuh para putra Drestarastra dan kawan-kawan kita. O Kresna, suami Dewi Laksmi, apa
keuntungannya bagi kita, dan bagaimana mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak
keluarga kita sendiri? (Bhagawadgita, I:36)
Untuk mengatasi kebimbangan Arjuna, Kresna menguraikan ajaran-ajaran kebenaran agar
semua keraguan di hati Arjuna sirna. Kresna menjelaskan apa yang sepantasnya dilakukan
Arjuna sebagai kewajibannya di medan perang. Selain itu Kresna menunjukkan bentuk
semestanya kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang dijabarkan Kresna tersebut dikenal
sebagai Bhagawadgita. Kitab Bhagawadgita yang sebenarnya merupakan suatu bagian
dari Bhismaparwa, menjadi kitab tersendiri yang sangat terkenal dalam ajaran Hindu, karena
dianggap merupakan intisari dari ajaran-ajaran Weda.

Arjuna dalam Bharatayuddha
Dalam pertempuran di Kurukshetra, atau Bharatayuddha, Arjuna bertarung dengan para
kesatria dari pihak Korawa, dan tidak jarang ia membunuh mereka, termasuk panglima besar
pihak Korawa yaitu Bisma. Di awal pertempuran, Arjuna masih dibayangi oleh kasih sayang
Bisma sehingga ia masih segan untuk membunuhnya. Hal itu membuat Kresna marah berkali-
kali, dan Arjuna berjanji bahwa kelak ia akan mengakhiri nyawa Bisma. Pada pertempuran pada
hari kesepuluh, Arjuna berhasil membunuh Bisma, dan usaha tersebut dilakukan atas bantuan
dari Srikandi. Setelah Abimanyu putra Arjuna gugur pada hari ketiga belas, Arjuna bertarung
dengan Jayadrata untuk membalas dendam atas kematian putranya. Pertarungan antara Arjuna
dan Jayadrata diakhiri menjelang senja hari, dengan bantuan dari Kresna.
Pada pertempuran pada hari ketujuh belas, Arjuna terlibat dalam duel sengit melawan Karna.
Ketika panah Karna melesat menuju kepala Arjuna, Kresna menekan kereta Arjuna ke dalam
tanah dengan kekuatan saktinya sehingga panah Karna meleset beberapa inci dari kepala
Arjuna. Saat Arjuna menyerang Karna kembali, kereta Karna terperosok ke dalam lubang
(karena sebuah kutukan). Karna turun untuk mengangkat kembali keretanya yang
terperosok. Salya, kusir keretanya, menolak untuk membantunya. Karena mematuhi etika
peperangan, Arjuna menghentikan penyerangannya bila kereta Karna belum berhasil diangkat.
Pada saat itulah Kresna mengingatkan Arjuna atas kematian Abimanyu, yang terbunuh dalam
keadaan tanpa senjata dan tanpa kereta. Dilanda oleh pergolakan batin, Arjuna melepaskan
panah Rudra yang mematikan ke kepala Karna. Senjata itu memenggal kepala Karna.
Kehidupan setelah Bharatayuddha

Tak lama setelah Bharatayuddha berakhir, Yudistira diangkat menjadi Raja Kuru dengan pusat


pemerintahan di Hastinapura. Untuk menengakkan dharma di seluruh Bharatawarsha, sekaligus
menaklukkan para raja kejam dengan pemerintahan tiran, maka Yudistira
menyelenggarakan Aswamedha-yadnya. Upacara tersebut dilakukan dengan melepaskan
seekor kuda dan kuda itu diikuti oleh Arjuna beserta para prajurit. Daerah yang dilalui oleh kuda
tersebut menjadi wilayah Kerajaan Kuru. Ketika Arjuna sampai di Manipura, ia bertemu
dengan Babruwahana, putra Arjuna yang tidak pernah melihat wajah ayahnya semenjak kecil.
Babruwahana bertarung dengan Arjuna, dan berhasil membunuhnya. Ketika Babruwahana
mengetahui hal yang sebenarnya, ia sangat menyesal. Atas bantuan Ulupi dari negeri Naga,
Arjuna hidup kembali.
Tiga puluh enam tahun setelah Bharatayuddha berakhir, Dinasti Yadu musnah di Prabhasatirtha
karena perang saudara. Kresna dan Baladewa, yang konon merupakan kesatria paling sakti
dalam dinasti tersebut, ikut tewas namun tidak dalam waktu yang bersamaan. Setelah berita
kehancuran itu disampaikan oleh Daruka, Arjuna datang ke kerajaan Dwaraka untuk menjemput
para wanita dan anak-anak. Sesampainya di Dwaraka, Arjuna melihat bahwa kota gemerlap
tersebut telah sepi. Basudewa yang masih hidup, tampak terkulai lemas dan kemudian wafat di
mata Arjuna. Sesuai dengan amanat yang ditinggalkan Kresna, Arjuna mengajak para wanita
dan anak-anak untuk mengungsi ke Kurukshetra. Dalam perjalanan, mereka diserang oleh
segerombolan perampok. Arjuna berusaha untuk menghalau serbuan tersebut, tetapi
kekuatannya menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Dengan sedikit pengungsi dan
sisa harta yang masih bisa diselamatkan, Arjuna menyebar mereka di wilayah Kurukshetra.
Setelah Arjuna berhasil menjalankan misinya untuk menyelamatkan sisa penghuni Dwaraka, ia
pergi menemui Resi Byasa demi memperoleh petunjuk. Arjuna mengadu kepada Byasa bahwa
kekuatannya menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Byasa yang bijaksana sadar
bahwa itu semua adalah takdir Tuhan. Byasa menyarankan bahwa sudah selayaknya para
Pandawa meninggalkan kehidupan duniawi. Setelah mendapat nasihat dari Byasa, para
Pandawa spakat untuk melakukan perjalanan suci menjelajahi Bharatawarsha.
Perjalanan terakhir dan kematian

Perjalanan terakhir yang dilakukan oleh para Pandawa diceritakan dalam


kitab Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa. Dalam perjalanan sucinya, para Pandawa
dihadang oleh api yang sangat besar, yaitu Agni. Ia meminta Arjuna agar senjata Gandiwa
beserta tabung anak panahnya yang tak pernah habis dikembalikan kepada Baruna, sebab
tugas Nara sebagai Arjuna sudah berakhir pada zaman Dwaparayuga tersebut. Dengan berat
hati, Arjuna melemparkan senjata saktinya ke lautan, ke kediaman Baruna. Setelah itu, Agni
lenyap dari hadapannya dan para Pandawa melanjutkan perjalanannya. Ketika para Pandawa
serta istrinya memilih untuk mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka,
Arjuna gugur di tengah perjalanan setelah kematian Nakula, Sahadewa, dan Dropadi

Adaptasi dalam kebudayaan Indonesia

Di Nusantara, tokoh Arjuna juga dikenal dan sudah terkenal dari dahulu kala. Arjuna terutama
menjadi populer di daerah Jawa, Bali, Madura, dan Lombok. Di Jawa dan kemudian di Bali,
Arjuna menjadi tokoh utama dalam beberapa kakawin, seperti misalnya Kakawin
Arjunawiwāha, Kakawin Pārthayajña, dan Kakawin Pārthāyana (juga dikenal dengan
nama Kakawin Subhadrawiwāha. Selain itu Arjuna juga didapatkan dalam beberapa relief candi
di pulau Jawa misalkan candi Surowono.

Arjuna dalam pewayangan Jawa


Wayang kulit Arjuna yang diberi warna.

Arjuna merupakan seorang tokoh ternama dalam dunia pewayangan dalam budaya Jawa Baru.
Beberapa ciri khas Arjuna versi pewayangan mungkin berbeda dengan ciri khas Arjuna dalam
kitab Mahābhārata versi India dengan bahasa Sanskerta. Dalam dunia pewayangan, Arjuna
digambarkan sebagai seorang kesatria yang gemar berkelana, bertapa, dan berguru. Selain
menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari
Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi brahmana di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan
Ciptaning. Ia dijadikan kesatria unggulan para dewa untuk membinasakan Prabu Niwatakawaca,
raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di
Kahyangan Dewa Indra, bergelar Prabu Karitin. dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti
dari para dewa, antara lain: Gendewa (dari Bhatara Indra), Panah Ardadadali (dari Bhatara
Kuwera), Panah Cundamanik (dari Bhatara Narada). Setelah perang Bharatayuddha, Arjuna
menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata.
Arjuna memiliki sifat cerdik dan pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka
melindungi yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Ia
adalah petarung tanpa tanding di medan laga, meski bertubuh ramping berparas rupawan
sebagaimana seorang dara, berhati lembut meski berkemauan baja, kesatria dengan
segudang istri dan kekasih meski mampu melakukan tapa yang paling berat,
seorang kesatria dengan kesetiaan terhadap keluarga yang mendalam tetapi kemudian mampu
memaksa dirinya sendiri untuk membunuh saudara tirinya. Bagi generasi tua Jawa, dia adalah
perwujudan lelaki seutuhnya. Sangat berbeda dengan Yudistira, dia sangat menikmati hidup
di dunia. Petualangan cintanya senantiasa memukau orang Jawa, tetapi secara aneh dia
sepenuhnya berbeda dengan Don Juan yang selalu mengejar wanita. Konon Arjuna begitu halus
dan tampan sosoknya sehingga para puteri begitu, juga para dayang, akan segera menawarkan
diri mereka. Merekalah yang mendapat kehormatan, bukan Arjuna. Ia sangat berbeda
dengan Wrekudara. Dia menampilkan keanggunan tubuh dan kelembutan hati yang begitu
dihargai oleh orang Jawa berbagai generasi.
Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain: Keris Kiai Kalanadah diberikan
pada Gatotkaca saat mempersunting Dewi Pergiwa (putra Arjuna), Panah Sangkali (dari Resi
Drona), Panah Candranila, Panah Sirsha, Panah Kiai Sarotama, Panah Pasupati (dari Batara
Guru), Panah Naracabala, Panah Ardhadhedhali, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni (diberikan
pada Abimanyu), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton (pemberian Bagawan
Wilawuk dari pertapaan Pringcendani) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk.
Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin,
Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama. Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan
kebesaran, yaitu Kampuh atau Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung
Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya,
raja negara Paranggelung).
Istri dan keturunan
Dalam Mahabharata versi pewayangan Jawa, Arjuna mempunyai banyak sekali istri,itu semua
sebagai simbol penghargaan atas jasanya ataupun atas keuletannya yang selalu berguru
kepada banyak pertapa. Berikut sebagian kecil istri dan anak-anaknya:

1. Dewi Subadra, berputra Raden Abimanyu


2. Dewi Sulastri, berputra Raden Sumitra
3. Dewi Larasati, berputra Raden Bratalaras
4. Dewi Ulupi atau Palupi, berputra Bambang Irawan
5. Dewi Jimambang, berputra Kumaladewa dan Kumalasakti
6. Dewi Ratri, berputra Bambang Wijanarka
7. Batari Dresanala, berputra Raden Wisanggeni
8. Batari Wilutama, berputra Bambang Wilugangga
9. Dewi Manuhara, berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati
10. Batari Supraba, berputra Raden Prabakusuma
11. Dewi Antakawulan, berputra Bambang Antakadewa
12. Dewi Juwitaningrat, berputra Bambang Sumbada
13. Dewi Maheswara
14. Dewi Retno Kasimpar
15. Dewi Dyah Sarimaya
16. Dewi Srikandi
Nama lain dan julukan
Dalam wiracarita Mahabharata versi nusantara, Arjuna memiliki banyak nama lain dan nama
julukan, antara lain: Permadi (tampan), Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak
istri), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra
Batara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Indrasuta, Danasmara (perayu ulung)
dan Margana (suka menolong) "Begawan Mintaraga" adalah nama yang digunakan oleh Arjuna
saat menjalani laku tapa di puncak Indrakila dalam rangka memperoleh senjata sakti dari
dewata, yang akan digunakan dalam perang yang tak terhindarkan melawan
musuh-musuhnya, yaitu keluarga Korawa

Anda mungkin juga menyukai