”Kerajaan Aceh”
2. Sinta R.D.A
3. Dhivan D.F.Z
4. Ardika K.I
5. Jefri A
6. M. Nurdin
Kelas : VIII.B
Cover
2
A. Latar belakang
Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau
Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para
saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir. Pasai dan Pedir mulai berkembang
pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta negara-negara Islam. Namun
disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan
ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada
yang semula melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi
melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan
besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para
pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar
melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur,
disini para pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang
tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu justru dimanfaatkan
bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah
pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys
Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat
Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir
pada tahun 1520. Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai
daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh
mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta
berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun
1524, Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil
menaklukan Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan
Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang
dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.
3
B. Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh
4
C. Kehidupan Politik
Penguasa
5
bandar transito yang dapat menghubungkan dengan perdagangan islam di
barat.
Untuk mencapai kebesaran kerajaan aceh Sultan Iskandar Muda
meneruskan perjuangan dengan menyerang portugis dan kerajaan johor di
semenanjung malaya. Tujuannya untuk menguasai jalur perdagangan di
selat malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada. Sulata Iskandar
Muda juga menolak permintaan Inggris dan Belanda untu membeli lada di
pesisir sumatra bagian barat. Selain itu, kerajaan aceh melakukan
pendudukan terhadap daerah-daerah sepertu Aru, Pahang, Kedah, Perlak,
dan Indragiri sehingga kerajaan aceh memiliki wilayah yang sangat luas.
Pada masa kekuasaannya terdapat dua orang ahli tasawwuf yang terkenal
di aceh Syech Syamsuddin bin Abdullah Asy-samatrani dan Syech Ibrahin
Asy-syamsi. Setelah sultan itu wafat digantikan oleh menantunya Iskandar
Thani.
5. Sultan Iskandar Thani
Ia memerintah tahun 1636 – 1641 M. Dalam menjalankan
pemerintahannya ia melanjutkan tradisi Sultan Iskandar Muda.
Pada masa pemerintahannya muncul seorang ulama besar yang bernama
Nuruddin Ar-raniri. Ia menulis buku sejarah aceh berjudul Bustanu’salatin.
Sebagai ulama besar Nuruddin Ar-raini sangat dihormati Sultan Iskandar
Thani dan keluarganya serta rakyat aceh. Setelah Sultan Iskandar Thani
meninggal tahta kerajaan dipegang oleh putri dari permasyurinya dengan
gelar Putri Sri Alam Permaisyuri ( 1641 – 1667 M ).
6. Sultan Sri Alam ( 1575 – 1576 M).
7. Sultan Zain Al-abidin ( 1576 – 1577 M).
8. Sultan Ala’ Al-din Mansur Syah ( 1577 – 1589 M).
9. Sultan Buyong ( 1589 – 1596 M).
10. Sultan Ala’ Al-din Riyayat Syah Sayyid Al-mukkamil ( 1596 – 1604 M).
11. Sultan Ali Riayat Syah ( 1604 – 1607 M).
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam ( 1607 – 1636 M).
13. Sultan Sri Ratu Salfi Al-din Taj Al-alam ( 1641 – 1675 M).
14. Sultan Sri Ratu Naqi Al-din Nur AL-alam ( 1675 – 1678 M).
6
15. Sultan Sri Ratu Zaqi Al-din Inayat Syah (1678 – 1688 M).
16. Sultan Sri Ratu Kamalat Syah Zinat Al-din ( 1688 – 1699 M).
17. Sultan Badr Al-alam Syarif Hashim Jamal Al-din ( 1699 – 1702 M).
18. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui ( 1702 – 1703 M).
19. Sultan Jamal Al-alam Badr Al-munir ( 1703 – 1726 M).
20. Sultan Jauhar Al-alam Amin Al-din ( 1726 M).
21. Sultan Syams Al-alam ( 1726 – 1727 M).
22. Sultan Ala’ Al-din Ahmad Syah ( 1727 – 1735 M).
23. Sultan Ala’ Al-din Johan Syah ( 1735 – 1760 M).
24. Sultan Mahmud Syah ( 1760 – 1781 M).
25. Sultan Badr Al-din ( 1781 – 1785 M).
26. Sultan Sulaiman Syah ( 1785 - .... M).
27. Alauddin Muhammad Daud Syah
28. Sultan Ala’ Al-din Jauhar Al-alam ( 1795 – 1815 dan 1818 – 1824 M).
29. Sultan Syarif Syaif Al-alam ( 1815 – 1818 M).
30. Sultan Muhammad Syah ( 1824 - 1838 M).
31. Sultan Sulaiman Syah ( 1838 – 1857 M).
32. Sultan Mansyur Syah ( 1857 – 1870 M).
33. ltan Mahmud Syah ( 1870 – 1874 M).
34. Sultan Muhammad Daun Syah ( 1874 – 1903 M).
Masa Kejayaan
7
berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa
tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan
berikutnya.
D. Kehidupan Ekonomi
Letak Aceh Darussalam yang strategis menyebabkan perdagangan maju
pesat. Bidang perdagangan yang maju tersebut menjadikan Aceh Darussalam
makin makmur. Setelah dapat menaklukan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh
Darussalam makin bertambah makmur. Dengan kekayaan yang melimpah, Aceh
Darussalam mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat. Sumber
pemasukan utama Kerajaan Aceh Darussalam adalah lada dan emas. Mata
pencaharian utama penduduk Aceh Darussalam adalah bidang perdagangan,
terutama perdagangan lada dan emas. Selain berdagang, rakyat Aceh Darussalam
juga menggantungkan diri pada sektor kelautan dan pertanian.
8
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:
Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang
mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung
beras bagi kesultanan.Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan
untuk diekspor adalah lada.
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor
Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke
Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di
pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada
terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh
Kehidupan sosial
9
memperoleh perlindungan dan berkembang sampai di daerah-daerah kekuasaan
aceh.
Aliran ini diajarkan oleh Hamzah Fansuri yang diteruskan oleh muridnya
yang bernama Syamsuddin Pasai. Sesudah Sultan Iskandar wafat, aliran Sunnah
Wal Jamma’ah mengembangkan islam beraliran Sunnah Wal Jamma’ah, ia juga
menulis sejarah aceh yang berjudul Busnanussalatin. ( Taman raja-raja dan berisi
adat-istiadat aceh beserta ajaran agama islam ).
Kehidupan Budaya
10
Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku
Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun 1870an
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar
Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin
mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar
Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan
kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi
pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang
dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada
menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga
menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa
elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti
adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah
masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah,
mesjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-
tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti
agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama
perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini
mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa
penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam
melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah
11
(1795-1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim
mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam.
Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan,
seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa
Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang
saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman
dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
12
mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang
dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[5]
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat
Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala
unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di
Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh
dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer
disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan
utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki.
Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja
berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia,
Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang
untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini,
Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda
mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
13
Daftar Pustaka
http://www.artikelsiana.com/2014/11/sejarah-kerajaan-islam-kerajaan-
aceh.html#_
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh
http://awal-berdiri-kerajaan-aceh.blogspot.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh
14