Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

”Kerajaan Aceh”

Disusun Oleh Kelompok:

Nama : 1. Devina Rahma Iriani

2. Sinta R.D.A

3. Dhivan D.F.Z

4. Ardika K.I

5. Jefri A

6. M. Nurdin

Kelas : VIII.B

Mapel : Pendidikan Agama Islam

Guru : Dam’ah, S.Pd

SMP MA’ARIF NU TUGUMULYO

TAHUN AJARAN 2022/2023


DAFTAR ISI

Cover

Daftar isi ……………………………………………………………….. 2

Latar belakang ……………………………………………………….... 3

Sejarah berdirinya kerajaan ………………………………………….. 4

Kehidupan politik …………………………………………………….... 5

Kehidupan ekonomi ………………………………………………….... 8

Kehidupan social budaya ……………………………………………… 9

Keruntuhan kerajaan ………………………………………………… 10

Daftar pustaka ……………………………………………………….... 14

2
A. Latar belakang
Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau
Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para
saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir. Pasai dan Pedir mulai berkembang
pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta negara-negara Islam. Namun
disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan
ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan Aceh).

Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada
yang semula melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi
melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan
besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para
pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar
melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur,
disini para pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang
tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu justru dimanfaatkan
bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah
pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys
Lombard: 2006, 61-63)

Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat
Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir
pada tahun 1520. Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai
daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh
mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta
berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun
1524, Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil
menaklukan Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan
Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang
dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.

3
B. Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh

Kesultanan Aceh Darussalam mulai berdiri ketika Kerajaan Samudera


Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh
Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad ke-14,
tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di nusantara
itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh
Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha
yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra
Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri).

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada


tahun 1496 yang sebelumnya telah dirintis pada abad ke-15 oleh Mudzaffar Syah.
Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayahKerajaan Lamuri, kemudian
menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya
mencakup Daya, Pedir,Lidie,Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524
wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti
dengan Aru. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan
kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali
kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya. Pada awalnya,
wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar tetapi
pada saat pemerintahan  

Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin


terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali
Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada
di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah
meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530
dan berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari
batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah
Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di
Kutaraja (Banda Aceh).

4
C. Kehidupan Politik
 Penguasa

Berdasarkan Bustanus salatin 1637 M karangan Naruddin Ar-raniri yang


berisi silsilah sultan-sultan aceh, dan berita-berita eropa. Kerajan aceh telah
berhasil membebaskan diri dari kaerajaan pedir. Raja-raja yang pernah
memerintah kerajaan aceh :

1. Sultan Ali Mughayat Syah


Adalah raja kerajaan aceh yang pertama. Ia memerintah tahun 1514 – 1528
M. Dibawah kekuasaannya, kerajaan aceh melakukan perluasan ke
beberapa daerah yang berada di daerah Daya dan Pasai. Bahkan
melakukan serangan terhadap bangsa portugis di malaka dan juga
menyerang Kerajaan Aru.
2. Sultan Salahuddin
Wafatnya Sultan Ali Mughayat Syah pemerintahan beralih kepada
purtanya yang bergelar Sultan Salahuddin. Ia memerintah tahun 1528 –
1537 M. Selama menduduki tahta kerajaan ia tidak memperdulikan
pemerintahan kerajaannya. Keadaan kerajaan mulai goyah dan mengalami
kemerosotan yang tajam. Oleh karena itu Sultan Salahuddin digantikan
saudaranya yang bernama Alauddin Riayat Syah Al-kahar.
3. Sultan Alauddin Riayat Syah Al-kahar
Ia memerintah aceh dari tahun1537 – 1568 M. Ia melakukan berbagai
bentuk perubahan dan perbaikan dalam segala bentuk pemerintahan. Pada
pemerintahannya kerajaan aceh melakukan perluasan wilayah
kekuasaannya seperti melakukan serangan terhadap kerajaan malaka
( tetapi gagal ). Daerah kerajaan Aru berhasil diduduki. Pada masa
pemerintahannya kerajaan aceh mengalami masa suram banyak
pemberontakan dan perebutan kekuasaan sering terjadi.
4. Sultan Iskandar Muda
Ia memerintah kerajaan aceh tahun 1607 – 1636 M. Dibawah
pemerintahannya kerajaan aceh mengalami kejayaan, tumbuh menjadi
kerajaan besar dan berkuasa atas perdagangan islam, bahkan menjadi

5
bandar transito yang dapat menghubungkan dengan perdagangan islam di
barat.
Untuk mencapai kebesaran kerajaan aceh Sultan Iskandar Muda
meneruskan perjuangan dengan menyerang portugis dan kerajaan johor di
semenanjung malaya. Tujuannya untuk menguasai jalur perdagangan di
selat malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada. Sulata Iskandar
Muda juga menolak permintaan Inggris dan Belanda untu membeli lada di
pesisir sumatra bagian barat. Selain itu, kerajaan aceh melakukan
pendudukan terhadap daerah-daerah sepertu Aru, Pahang, Kedah, Perlak,
dan Indragiri sehingga kerajaan aceh memiliki wilayah yang sangat luas.
Pada masa kekuasaannya terdapat dua orang ahli tasawwuf yang terkenal
di aceh Syech Syamsuddin bin Abdullah Asy-samatrani dan Syech Ibrahin
Asy-syamsi. Setelah sultan itu wafat digantikan oleh menantunya Iskandar
Thani.
5. Sultan Iskandar Thani
Ia memerintah tahun 1636 – 1641 M. Dalam menjalankan
pemerintahannya ia melanjutkan tradisi Sultan Iskandar Muda.
Pada masa pemerintahannya muncul seorang ulama besar yang bernama
Nuruddin Ar-raniri. Ia menulis buku sejarah aceh berjudul Bustanu’salatin.
Sebagai ulama besar Nuruddin Ar-raini sangat dihormati Sultan Iskandar
Thani dan keluarganya serta rakyat aceh. Setelah Sultan Iskandar Thani
meninggal tahta kerajaan dipegang oleh putri dari permasyurinya dengan
gelar Putri Sri Alam Permaisyuri ( 1641 – 1667 M ).
6. Sultan Sri Alam ( 1575 – 1576 M).
7. Sultan Zain Al-abidin ( 1576 – 1577 M).
8. Sultan Ala’ Al-din Mansur Syah ( 1577 – 1589 M).
9. Sultan Buyong ( 1589 – 1596 M).
10. Sultan Ala’ Al-din Riyayat Syah Sayyid Al-mukkamil ( 1596 – 1604 M).
11. Sultan Ali Riayat Syah ( 1604 – 1607 M).
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam ( 1607 – 1636 M).
13. Sultan Sri Ratu Salfi Al-din Taj Al-alam ( 1641 – 1675 M).
14. Sultan Sri Ratu Naqi Al-din Nur AL-alam ( 1675 – 1678 M).

6
15. Sultan Sri Ratu Zaqi Al-din Inayat Syah (1678 – 1688 M).
16. Sultan Sri Ratu Kamalat Syah Zinat Al-din ( 1688 – 1699 M).
17. Sultan Badr Al-alam Syarif Hashim Jamal Al-din ( 1699 – 1702 M).
18. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui ( 1702 – 1703 M).
19. Sultan Jamal Al-alam Badr Al-munir ( 1703 – 1726 M).
20. Sultan Jauhar Al-alam Amin Al-din ( 1726 M).
21. Sultan Syams Al-alam ( 1726 – 1727 M).
22. Sultan Ala’ Al-din Ahmad Syah ( 1727 – 1735 M).
23. Sultan Ala’ Al-din Johan Syah ( 1735 – 1760 M).
24. Sultan Mahmud Syah ( 1760 – 1781 M).
25. Sultan Badr Al-din ( 1781 – 1785 M).
26. Sultan Sulaiman Syah ( 1785 - .... M).
27. Alauddin Muhammad Daud Syah
28. Sultan Ala’ Al-din Jauhar Al-alam ( 1795 – 1815 dan 1818 – 1824 M).
29. Sultan Syarif Syaif Al-alam ( 1815 – 1818 M).
30. Sultan Muhammad Syah ( 1824 - 1838 M).
31. Sultan Sulaiman Syah ( 1838 – 1857 M).
32. Sultan Mansyur Syah ( 1857 – 1870 M).
33. ltan Mahmud Syah ( 1870 – 1874 M).
34. Sultan Muhammad Daun Syah ( 1874 – 1903 M).

 Masa Kejayaan

Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi


nyatanya selalu dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat
Aceh menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri
Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui
batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian
karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang.
Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat
Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera
mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang

7
berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa
tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan
berikutnya.

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas


pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan
Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang
yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh
melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang
terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini
dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan
semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada
tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa
penduduknya ke Aceh.

Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil


(kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke
Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan
juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan
Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua
ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.

D. Kehidupan Ekonomi
Letak Aceh Darussalam yang strategis menyebabkan perdagangan maju
pesat. Bidang perdagangan yang maju tersebut menjadikan Aceh Darussalam
makin makmur. Setelah dapat menaklukan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh
Darussalam makin bertambah makmur. Dengan kekayaan yang melimpah, Aceh
Darussalam mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat. Sumber
pemasukan utama Kerajaan Aceh Darussalam adalah lada dan emas. Mata
pencaharian utama penduduk Aceh Darussalam adalah bidang perdagangan,
terutama perdagangan lada dan emas. Selain berdagang, rakyat Aceh Darussalam
juga menggantungkan diri pada sektor kelautan dan pertanian.

8
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:

1. Minyak tanah dari Deli,


2. Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
3. Kapur dari Singkil,
4. Kapur Barus dan menyan dari Barus.
5. Emas di pantai barat,
6. Sutera di Banda Aceh.

Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang
mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung
beras bagi kesultanan.Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan
untuk diekspor adalah lada.

Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor
Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke
Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di
pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada
terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh

E. Kehidupan Sosial Budaya

Kehidupan sosial

Meningkatnya kemakmuran telah menyebabkan berkembangnya sistem


feodalisme dan ajaran agama islam di aceh. Kaum bangsawan yang memegang
kekuasaan dalam pemerintahan sipil dalam golongan Teuku, sedangkan kaum
ulama yang memegang peranan penting dalam agama disebut golongan Teungku,
namun antara kedua golongan masyarakat itu sering terjadi persaingan yang
kemudian melemahkan aceh. Sejak berkuasanya Kerajaan Perlah ( abad ke-12 M
samapai ke-13 M ) telah terjadi permusuhan antara aliran Syiah dengan Sunnah
Wal Jamma’ah. Tetapi pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda aliran Syiah

9
memperoleh perlindungan dan berkembang sampai di daerah-daerah kekuasaan
aceh.

Aliran ini diajarkan oleh Hamzah Fansuri yang diteruskan oleh muridnya
yang bernama Syamsuddin Pasai. Sesudah Sultan Iskandar wafat, aliran Sunnah
Wal Jamma’ah mengembangkan islam beraliran Sunnah Wal Jamma’ah, ia juga
menulis sejarah aceh yang berjudul Busnanussalatin. ( Taman raja-raja dan berisi
adat-istiadat aceh beserta ajaran agama islam ).

Pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Thani muncul ahli tasawwuf


terkenal dari gujarad yang bernama Nurruddin Ar-Raniri. Hasil karyanya yang
terkenal adalah Bustanus Salatin yang berisi sejarah Aceh. Ajaran Nurruddin Ar-
Raniri bertentangan dengan ajaran Hamzah Fansyuri dan Syamsudin As-
Samatrani. Hal itu menyebabkan perpecahan di kerajaan aceh pada tahun 1641,
Sultan Iskandar Thani wafat. Setelah Sultan Iskandar Thani meninggal aceh
mengalami kemunduran di berbagai bidang.

Kehidupan Budaya

Kejayaan yang dialami oleh Kerajaan Aceh tersebut tidak banyak


diketahui dalam bidang kebudayaan. Walaupun ada perkembangan dalam bidang
kebudayaan, tetapi tidak sepesat perkembangan dalam aktifitas perekonomian.
Peninggalan kebudayaan yang terlihat nyata adalah Masjid Baiturrahman.

F. Keruntuhan Kerajaan Aceh


Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai
dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli,
Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor
penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta
kesultanan.

10
Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku
Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun 1870an

Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar
Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin
mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar
Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan
kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi
pengangkatan ratu.

Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang
dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada
menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga
menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa
elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti
adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah
masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah,
mesjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-
tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti
agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama
perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini
mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa
penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.

Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam
melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah

11
(1795-1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim
mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam.
Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan,
seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa
Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang
saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman
dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).

Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali


kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk
menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan
terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan
armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan
200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli,
Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu
dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.

Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai


usaha untuk membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke
Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta
mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan,
Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya
dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Perancis dengan
mengirim surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik
Perancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.

Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang


muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul
yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk
melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibukota, Habib bersaing
dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk
menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung

12
mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang
dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[5]

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat
Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala
unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di
Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh
dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer
disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan
utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki.
Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja
berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia,
Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang
untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini,
Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda
mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.

13
Daftar Pustaka

 http://www.artikelsiana.com/2014/11/sejarah-kerajaan-islam-kerajaan-
aceh.html#_
 http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh
 http://awal-berdiri-kerajaan-aceh.blogspot.com/
 http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh

14

Anda mungkin juga menyukai