Anda di halaman 1dari 9

KERAJAAN ACEH

Muhammad Zaidan Satria S

X MIPA 1

SMA MUHAMMADIYAH 4 DEPOK

DAFTAR ISI

Cover

Daftar isi ……………………………………………………………….. 2

Latar belakang ……………………………………………………….... 3

Sejarah berdirinya kerajaan ………………………………………….. 4

Kehidupan politik …………………………………………………….... 5

Kehidupan ekonomi ………………………………………………….... 8

Kehidupan social budaya ……………………………………………… 9

Keruntuhan kerajaan ………………………………………………… 10


Daftar pustaka ……………………………………………………….... 13

Latar belakang
Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua
pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir.
Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta negara-negara Islam.
Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih
muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan Aceh).

Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui Laut Merah,
Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini
membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para
pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara
Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual
hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu
justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah
pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)

Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil
melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520. Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh
berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai
melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan diri
dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan Aceh bersama pimpinanya
Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah
pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin
oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh

Kesultanan Aceh Darussalam mulai berdiri ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang berada di ambang
keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada
sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di nusantara
itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di
atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan
Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri).

Kesultanan Aceh didirikan oleh  pada tahun  yang sebelumnya telah dirintis pada abad ke-15 oleh
Mudzaffar Syah. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah, kemudian menundukan dan menyatukan
beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup , ,,. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah  sudah menjadi
bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan . Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan
Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali
kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya. Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh
ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar tetapi pada saat pemerintahan  

Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya
batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan
Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat
Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530 dan berdasarkan
penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah
seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh
beribukota di Kutaraja (Banda Aceh).

Kehidupan Politik
Penguasa

Berdasarkan Bustanus salatin 1637 M karangan Naruddin Ar-raniri yang berisi silsilah sultan-sultan aceh,
dan berita-berita eropa. Kerajan aceh telah berhasil membebaskan diri dari kaerajaan pedir. Raja-raja
yang pernah memerintah kerajaan aceh :

1. Sultan Ali Mughayat Syah

Adalah raja kerajaan aceh yang pertama. Ia memerintah tahun 1514 – 1528 M. Dibawah kekuasaannya,
kerajaan aceh melakukan perluasan ke beberapa daerah yang berada di daerah Daya dan Pasai. Bahkan
melakukan serangan terhadap bangsa portugis di malaka dan juga menyerang Kerajaan Aru.

1. Sultan Salahuddin

Wafatnya Sultan Ali Mughayat Syah pemerintahan beralih kepada purtanya yang bergelar Sultan
Salahuddin. Ia memerintah tahun 1528 – 1537 M. Selama menduduki tahta kerajaan ia tidak
memperdulikan pemerintahan kerajaannya. Keadaan kerajaan mulai goyah dan mengalami kemerosotan
yang tajam. Oleh karena itu Sultan Salahuddin digantikan saudaranya yang bernama Alauddin Riayat
Syah Al-kahar.

1. Sultan Alauddin Riayat Syah Al-kahar

Ia memerintah aceh dari tahun1537 – 1568 M. Ia melakukan berbagai bentuk perubahan dan perbaikan
dalam segala bentuk pemerintahan. Pada pemerintahannya kerajaan aceh melakukan perluasan wilayah
kekuasaannya seperti melakukan serangan terhadap kerajaan malaka ( tetapi gagal ). Daerah kerajaan
Aru berhasil diduduki. Pada masa pemerintahannya kerajaan aceh mengalami masa suram banyak
pemberontakan dan perebutan kekuasaan sering terjadi.

1. Sultan Iskandar Muda

Ia memerintah kerajaan aceh tahun 1607 – 1636 M. Dibawah pemerintahannya kerajaan aceh mengalami
kejayaan, tumbuh menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas perdagangan islam, bahkan menjadi bandar
transito yang dapat menghubungkan dengan perdagangan islam di barat.

Untuk mencapai kebesaran kerajaan aceh Sultan Iskandar Muda meneruskan perjuangan dengan
menyerang portugis dan kerajaan johor di semenanjung malaya. Tujuannya untuk menguasai jalur
perdagangan di selat malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada. Sulata Iskandar Muda juga
menolak permintaan Inggris dan Belanda untu membeli lada di pesisir sumatra bagian barat. Selain itu,
kerajaan aceh melakukan pendudukan terhadap daerah-daerah sepertu Aru, Pahang, Kedah, Perlak, dan
Indragiri sehingga kerajaan aceh memiliki wilayah yang sangat luas.

Pada masa kekuasaannya terdapat dua orang ahli tasawwuf yang terkenal di aceh Syech Syamsuddin bin
Abdullah Asy-samatrani dan Syech Ibrahin Asy-syamsi. Setelah sultan itu wafat digantikan oleh
menantunya Iskandar Thani.

1. Sultan Iskandar Thani

Ia memerintah tahun 1636 – 1641 M. Dalam menjalankan pemerintahannya ia melanjutkan tradisi Sultan
Iskandar Muda.

Pada masa pemerintahannya muncul seorang ulama besar yang bernama Nuruddin Ar-raniri. Ia menulis
buku sejarah aceh berjudul Bustanu’salatin. Sebagai ulama besar Nuruddin Ar-raini sangat dihormati
Sultan Iskandar Thani dan keluarganya serta rakyat aceh. Setelah Sultan Iskandar Thani meninggal tahta
kerajaan dipegang oleh putri dari permasyurinya dengan gelar Putri Sri Alam Permaisyuri ( 1641 – 1667
M ).

1. Sultan Sri Alam ( 1575 – 1576 M).


2. Sultan Zain Al-abidin ( 1576 – 1577 M).
3. Sultan Ala’ Al-din Mansur Syah ( 1577 – 1589 M).
4. Sultan Buyong ( 1589 – 1596 M).
5. Sultan Ala’ Al-din Riyayat Syah Sayyid Al-mukkamil ( 1596 – 1604 M).
6. Sultan Ali Riayat Syah ( 1604 – 1607 M).
7. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam ( 1607 – 1636 M).
8. Sultan Sri Ratu Salfi Al-din Taj Al-alam ( 1641 – 1675 M).
9. Sultan Sri Ratu Naqi Al-din Nur AL-alam ( 1675 – 1678 M).
10. Sultan Sri Ratu Zaqi Al-din Inayat Syah (1678 – 1688 M).
11. Sultan Sri Ratu Kamalat Syah Zinat Al-din ( 1688 – 1699 M).
12. Sultan Badr Al-alam Syarif Hashim Jamal Al-din ( 1699 – 1702 M).
13. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui ( 1702 – 1703 M).
14. Sultan Jamal Al-alam Badr Al-munir ( 1703 – 1726 M).
15. Sultan Jauhar Al-alam Amin Al-din ( 1726 M).
16. Sultan Syams Al-alam ( 1726 – 1727 M).
17. Sultan Ala’ Al-din Ahmad Syah ( 1727 – 1735 M).
18. Sultan Ala’ Al-din Johan Syah ( 1735 – 1760 M).
19. Sultan Mahmud Syah ( 1760 – 1781 M).
20. Sultan Badr Al-din ( 1781 – 1785 M).
21. Sultan Sulaiman Syah ( 1785 - .... M).
22. Alauddin Muhammad Daud Syah
23. Sultan Ala’ Al-din Jauhar Al-alam ( 1795 – 1815 dan 1818 – 1824 M).
24. Sultan Syarif Syaif Al-alam ( 1815 – 1818 M).
25. Sultan Muhammad Syah ( 1824 - 1838 M).
26. Sultan Sulaiman Syah ( 1838 – 1857 M).
27. Sultan Mansyur Syah ( 1857 – 1870 M).
28. ltan Mahmud Syah ( 1870 – 1874 M).
29. Sultan Muhammad Daun Syah ( 1874 – 1903 M).
Masa Kejayaan

Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh
orangkaya atau hulubalang. menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri
Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-
bagikan harta kerajaan pada pengikutnya. Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh
beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu
binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-
Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan
dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya
sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan ( -
) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan yang
merupakan sumber utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan
terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000
tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas dan semenanjung
Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki dan
banyak membawa penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda)
didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul
Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki
Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan . Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi
kekuasaan Aceh.

Kehidupan Ekonomi

Letak Aceh Darussalam yang strategis menyebabkan perdagangan maju pesat. Bidang perdagangan yang
maju tersebut menjadikan Aceh Darussalam makin makmur. Setelah dapat menaklukan Pedir yang kaya
akan lada putih, Aceh Darussalam makin bertambah makmur. Dengan kekayaan yang melimpah, Aceh
Darussalam mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat. Sumber pemasukan utama Kerajaan
Aceh Darussalam adalah lada dan emas. Mata pencaharian utama penduduk Aceh Darussalam adalah
bidang perdagangan, terutama perdagangan lada dan emas. Selain berdagang, rakyat Aceh Darussalam
juga menggantungkan diri pada sektor kelautan dan pertanian.

Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:

1. Minyak tanah dari ,


2. Belerang dari dan Gunung ,
3. Kapur dari Singkil,
4. Kapur Barus dan menyan dari .
5. Emas di pantai barat,
6. Sutera di Banda Aceh.

Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai , , dan yang mengolah barang mentah menjadi barang
jadi. Sedang merupakan lumbung beras bagi kesultanan.Namun di antara semua yang menjadi
komoditas unggulan untuk diekspor adalah .

Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9
juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang
Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, , dan Arab. Pusat lada
terletak di pantai Barat yaitu Rigas, , dan

Kehidupan Sosial Budaya

Kehidupan sosial

Meningkatnya kemakmuran telah menyebabkan berkembangnya sistem feodalisme dan ajaran agama
islam di aceh. Kaum bangsawan yang memegang kekuasaan dalam pemerintahan sipil dalam golongan
Teuku, sedangkan kaum ulama yang memegang peranan penting dalam agama disebut golongan Teungku,
namun antara kedua golongan masyarakat itu sering terjadi persaingan yang kemudian melemahkan
aceh. Sejak berkuasanya Kerajaan Perlah ( abad ke-12 M samapai ke-13 M ) telah terjadi permusuhan
antara aliran Syiah dengan Sunnah Wal Jamma’ah. Tetapi pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda
aliran Syiah memperoleh perlindungan dan berkembang sampai di daerah-daerah kekuasaan aceh.

Aliran ini diajarkan oleh Hamzah Fansuri yang diteruskan oleh muridnya yang bernama Syamsuddin
Pasai. Sesudah Sultan Iskandar wafat, aliran Sunnah Wal Jamma’ah mengembangkan islam beraliran
Sunnah Wal Jamma’ah, ia juga menulis sejarah aceh yang berjudul Busnanussalatin. ( Taman raja-raja dan
berisi adat-istiadat aceh beserta ajaran agama islam ).

Pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Thani muncul ahli tasawwuf terkenal dari gujarad yang bernama
Nurruddin Ar-Raniri. Hasil karyanya yang terkenal adalah Bustanus Salatin yang berisi sejarah Aceh.
Ajaran Nurruddin Ar-Raniri bertentangan dengan ajaran Hamzah Fansyuri dan Syamsudin As-
Samatrani. Hal itu menyebabkan perpecahan di kerajaan aceh pada tahun 1641, Sultan Iskandar Thani
wafat. Setelah Sultan Iskandar Thani meninggal aceh mengalami kemunduran di berbagai bidang.

Kehidupan Budaya

Kejayaan yang dialami oleh Kerajaan Aceh tersebut tidak banyak diketahui dalam bidang kebudayaan.
Walaupun ada perkembangan dalam bidang kebudayaan, tetapi tidak sepesat perkembangan dalam
aktifitas perekonomian. Peninggalan kebudayaan yang terlihat nyata adalah Masjid Baiturrahman.

Keruntuhan Kerajaan Aceh

Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya
kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah
Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam
pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di
antara pewaris tahta kesultanan.

Diplomat Aceh di . Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar
tahun 1870an
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan hingga serangkaian peristiwa nantinya,
dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat
janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan
kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.

Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing
tanpa harus melalui pelabuhan sultan di . menjadi tanaman utama yang dibudidayakan
seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19.
Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa
nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih
hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, mesjid raya, Dalam
terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti
pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) melakukan berbagai terutama perihal
pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan
sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan
langsung) semata.

Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya
Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (-), seorang keturunan Sultan
yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya
menjadi Sultan Saif Al-Alam. kembali pecah namun berkat bantuan dan Koh Lay Huan, seorang
pedagang dari kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol)
dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan
kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur
Syah (1857-1870).

Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang
sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal
yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan
wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen
dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap , dan .
Namun naas, tahun Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng .

Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk
membendung agresi . Dikirimkannya utusan kembali ke sebagai pemertegas status Aceh
sebagai vassal serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk . Sebagai balasan, Sultan Abdul
Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga
berusaha membentuk aliansi dengan dengan mengirim surat kepada Raja Perancis Louis
Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi
dengan serius.

Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke
tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya
Bakong dan untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibukota, Habib
bersaing dengan seorang India untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh.
Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang
yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan , dimana disebutkan dengan jelas
"Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di
bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan 1824 mengenai Aceh dibatalkan."
Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda
maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari
bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu
baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis
hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati
Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri
menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa
menandai awal invasi Belanda Aceh.

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai