Anda di halaman 1dari 5

KERAJAAN ACEH

A. SEJARAH KERAJAAN ACEH


Berdirinya Kerajaan Aceh bermula ketika kekuatan Barat telah tiba di Malaka. Hal itu mendorong
Sultan Ali Mughayat Syah untuk menyusun kekuatan dengan menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di
bawah payung Kerajaan Aceh. Untuk membangun kerajaan yang besar dan kokoh, Sultan Ali Mughayat
Syah membentuk angkatan darat dan laut yang kuat.

Sultan Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri Kerajaan Aceh, yang isinya
sebagai berikut.

1. Mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar


2. Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara
3. Bersikap waspada terhadap negara Barat
4. Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar
5. Menjalankan dakwah Islam ke seluruh nusantara

Berikut ini 34 sultan dan sultanah yang berkuasa menjadi raja Kerajaan Aceh.

Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M) Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui
(1702-1703 M)
Sultan Salahudin (1528-1537 M) Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir
(1703-1726 M)
Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar (1537-1568 M Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726 M)
Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575 M) Sultan Syams al-Alam (1726-1727 M)
Sultan Muda (1575 M) Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735 M)
Sultan Sri Alam (1575 - 1576 M) Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760 M)
Sultan Zain al-Abidin (1576-1577 M) Sultan Mahmud Syah (1760-1781 M)
Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589 M) Sultan Badr al-Din (1781-1785 M)
Sultan Buyong (1589-1596 M) Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid Alauddin Muhammad Daud Syah Sultan Ala‘
al-Mukammil (1596-1604 M) al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815 M)dan (1818
-1824 M)
Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607 M) Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818 M)
Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) Sultan Muhammad Syah (1824-1838 M)
Sultan Iskandar Thani (1636-1641 M) Sultan Sulaiman Syah (1838-1857 M)
Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M) Sultan Mansur Syah (1857-1870 M)
Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678 M) Sultan Sulaiman Syah (1838-1857 M)
Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688 M) Sultan Mansur Syah (1857-1870 M)
Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din Sultan Mahmud Syah (1870-1874 M)
(1688-1699 M)
Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699 Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903 M)
-1702 M)
1. MASJID RAYA 4. BENTENG INDRA PATRA
BAITURRAHMAN
2. TAMAN SARI 5.MERIAM KESULTANAN
GUNONGAN ACEH
3. MAKAM SULTAN 6.UANG EMAS KERAJAAN
ISKANDAR MUDA ACEH
PENINGGALAN SEJARAH
KERAJAAN ACEH

Masjid Raya Baiturrahman merupakan Fungsi tersebut sangat terasa semasa Kerajaan
peninggalan Kerajaan Aceh yang paling Aceh dipimpin oleh Sultan Alaidin Mahmud
terkenal. Beberapa tulisan tentang sejarah Syah (1870-1874 M). Di masjid ini sering pula
pembangunannya menyebut bahwa Masjid diadakan musyawarah besar untuk
Raya Baiturrahman dibangun semasa membicarakan strategi penyerangan dan
Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan kemungkinan serangan Belanda terhadap
Iskandar Muda (1607-1636 M). Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Karena posisinya
penjajahan, masjid peninggalan Kerajaan yang sangat strategis, Masjid Raya
Aceh ini juga digunakan sebagai markas Baiturrahman bahkan sempat dua kali dibakar
pertahanan terhadap serangan musuh. Belanda.

Makam Sultan Iskandar Muda terletak di Ia dikenal sangat piawai dalam membangun
Kompleks Baperis Museum Aceh, di samping Kesultanan Aceh menjadi kerajaan yang kuat,
pendopo Gubernur Aceh. Sultan Iskandar besar, dan disegani oleh kerajaan-kerajaan
Muda adalah raja besar yang berhasil lainnya. Sultan Iskandar Muda wafat di Aceh
membawa Kerajaan Aceh menuju masa pada 27 Desember 1636 di usia 43 tahun
kejayaan.

Gunongan merupakan salah satu situs Benteng Indra Patra dibangun pada masa
bersejarah dari zaman Kerajaan Aceh yang Kerajaan Lamuri, pendahulu Kesultanan Aceh.
dulunya digunakan sebagai tempat Fungsi benteng ini adalah sebagai tempat
bercengkerama keluarga kerajaan. Taman pertahanan melawan penjajahan bangsa
Sari Gunongan dibangun oleh Sultan Iskandar Portugis.
Muda untuk memenuhi permintaan
permaisuri dari Pahang, Malaysia.

Terdapat tiga meriam yang ditemukan di Desa Pada masanya, Kerajaan Aceh telah
Arongan, Kabupaten Aceh Barat. menggunakan dirham emas sebagai alat
Meriam-meriam tersebut diduga dibuat pada pembayaran. Dirham emas sejumlah 300
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. keping dari masa Kesultanan Aceh Darussalam
Meriam buatan Aceh ini digunakan untuk pernah ditemukan di Kecamatan Kutaraja,
mempertahankan wilayah mereka dari Banda Aceh.
serangan para penjajah.

Dari hasil penelitian yang diuraikan mengenai strategi Sultanah Safiatuddin dalam memimpin
Kesultanan Aceh Darussalam tahun 1641-1675 M, dapat disimpulkan bahwa:

1. Kedudukan Sultanah Safiatuddin sebagai pemimpin wanita pertama di Kesultanan Aceh Darussalam
menuai pro dan kontra. Golongan yang menentang pengangkatan pemimpin perempuan adalah
para ulama wujudiyah dan kelompok yang disebut orang kaya. Menurut ulama wujudiyah,
pemimpin perempuan tidak sesuai dengan hukum Islam yang berlaku, sedangkan kelompok orang
kaya merasa kepemimpinan Sultanah yang tegas membuat kedudukan kelompok ini menjadi tidak
diperlukan lagi dalam sistem pemerintahan. Syekh Nuruddin Ar-Raniri menjadi penengah atas
kontra kedua kelompok tersebut sehingga Sultanah tetap berada pada posisinya untuk memimpin
Kesultanan Aceh Darussalam.
2. Bentuk-bentuk strategi yang digunakan oleh Sultanah Safiatuddin, diantaranya:

a) Mengangkat Kedudukan Wanita


Sultanah Safiatuddin sangat memperhatikan kedudukan wanita. Hal tersebut menjadi
pencapaiannya agar kelompok wanita semakin maju dan mempunyai kemampuan agar tidak
menjadi korban diskriminasi sepanjang sejarah.

b) Mengembangkan Ilmu Pengetahuanlangsung maupun tidak langsung agar seluruh kegiatan


administratif negara dapat berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan kesalahpahaman antara
pemimpin, anggota dalam organisasi pemerintahan, dan masyarakat.

c) Memberikan Zakat Kepada Masyarakat yang Membutuhkan Dalam bidang Kegamaan,


Sultanah memberikan sebagian hartanya untuk masyarakat yang membutuhkan sesuai dengan
ajaran Allah SWT dan tidak memanfaatkan kedudukannya untuk memperkaya diri sendiri.

SISTEM KEPEMIMPINAN KERAJAAN ACEH


Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan
awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke
Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga
tahun 1873 ibu kota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang
dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan
Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar
"Jiname Aceh" (maskawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus
ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada
dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah
daerah Dalam Darud Dunia, Masjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun,
Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu
keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan
perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.

SISTEM EKONOMI KERAJAAN ACEH

Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:

1. Minyak tanah dari Deli,


2. Belerang dari pulau weh dan Gunung seulawah,
3. Kapur dari Singkil,
4. Kapur Barus dan menyan dari barus.
5. Emas di pantai barat,
6. Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibu kota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah
barang mentah menjadi barang jadi. Sedang pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.
Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh
mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta
diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal
dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom,
dan Meulaboh.
Kehidupan ekonomi masyarakat Aceh adalah dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Pada
masa kejayaannya, perekonomian berkembang pesat. Penguasaan Aceh atas daerah-daerah
pantai barat dan timur Sumatra banyak menghasilkan lada. Sementara itu, Semenanjung
Malaka banyak menghasilkan lada dan timah.

KLIPING
tentang
KERAJAAN ACEH

Disusun oleh:
1. M. Opu Rizki Rajaza
2. Nurul Safira Atika
3. Ymelda Seftiani
4. Noval Okta Saputra
5. Rizky Hidayatullah

SMA NEGERI 1 TALIWANG


JALAN TELAGA BIRU NO.1 (0372)81211 TALIWANG, SUMBAWA BARAT

Tahun pelajaran 2021/2022

Anda mungkin juga menyukai