Anda di halaman 1dari 5

KERAJAAN ACEH

Lokasi Kerajaan
Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh).

Abad Berdiri
Kerajaan Aceh merupakan kerajaan Islam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah
pada 1496 Masehi.

Sumber Sejarah
Sumber sejarah Kerajaan Aceh adalah Masjid Raya Aceh, Masjid Raya Baiturrahman,
catatan Lombard, dan asal-usul Aceh yang berupa cerita turun-temurun. Salah satu peristiwa
penting yang dialami Kerajaan Aceh adalah Perang Aceh, yaitu dimulai sejak Belanda
menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh.

Sistem Pemerintahan Kerajaan

Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh.


Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam  kesudahan
pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal
sampai tahun 1873 ibukota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya
dampak Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.

Sultan/Sultanah dibawa ke atas maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga


Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Tidak berat sebelah (Mufti Luhur kerajaan). Sultan
baru sah jika telah membayar "Jiname Aceh" (mas kawin Aceh), adalah emas murni 32 kati,
uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi.
Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah
Zakiatuddin Inayat Syah merupakan daerah Dalam Darud Dunia, Mesjid Raya, Meuraxa,
Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande. [7]

Simbol kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara adalah keris
dan cap. Tanpa keris tidak berada pegawai yang bisa mengaku bekerja melaksanakan
perintah Sultan. Tanpa cap tidak berada peraturan yang mempunyai daya hukum.[8]

Penyebab Kejayaan
Meskipun Sultan dianggap sbg penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu diurus oleh
orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang diturunkan paksa
diantaranya Sultan Sri Dunia digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah
melampaui ketentuan yang tidak boleh dilampaui dalam membagi-bagikan harta kerajaan
pada pengikutnya. pengantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kesudahan
karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raya dan
orangkaya menegosiasikan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari
Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan
menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sbg
penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.[3]

Kesultanan Aceh merasakan masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa
kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada
tahun 1629, kesultanan Aceh menerapkan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan
armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam
upaya menambah luas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu.
Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan
banyak membawa penduduknya ke Aceh.[4]

Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar
Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pemimpin
Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke bermacam pemimpin dunia
seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua
ini diterapkan kepada memperkuat posisi kekuasaan Aceh.

Kehidupan Sosial Budaya


Tidak banyak peninggalan kontruksi zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam
Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, anggota inti dari Istana
Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah dibuat
sebagai Kraton Meuligoe yang dipergunakan sbg Pedopo Gubernur Aceh. Perlu dicatat
bahwa pada masa Kesultanan kontruksi batu dilarang karena ditakutkan akan dibuat sebagai
benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman ketika ini bukanlah arsitektur
yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda.
Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih mampu dilihat mencapai ketika ini
diantaranya Benteng Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Pinto Khop, Leusong dan Gunongan
beserta Taman Ghairah yang luas dipusat Kota Banda Aceh.

Kesusateraan

Sebagaimana daerah lain di Sumatera, beberapa tuturan maupun legenda disusun


dalam wujud hikayat. Hikayat yang terkenal diantaranya merupakan Hikayat Malem Dagang
yang berceritakan tokoh heroik Malem Dagang dalam settingan penyerbuan Malaka oleh
Tingkatan Laut Aceh. Berada lagi lainnya adalah Bhikayat Malem Diwa, hikayat Banta
Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, hikayat Pocut Muhammad, hikayat Perang
Goempeuni, hikayat Habib Hadat, kisah Abdullah Hadat dan hikayat Prang Sabi. [12]

Salah satu karya kesusateraan yang sangat terkenal merupakan Bustanus


Salatin (taman para raja) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Taj al-salatin (1603),
Sulalat al-Salatin (1612), dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula
penyair Aceh yang luhur adalah Hamzah Fansuri dengan karyanya diantaranya Asrar al-
Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Sharab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang
Berahi), Zinat al-Muwahidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung
Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
Karya Agama

Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di anggota keagamaan yang dipakai
luas di Asia Tengga. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir
Alqur'an Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad
Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa jawi.

Kesudahan berada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li


Ikhwanil Muhtadi yang dibuat sebagai kitab pengantar di dayah mencapai sekarang. Syaikh
Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang
sangat terkenal merupakan Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa
melayu. [9]

Kehidupan Ekonomi
Aceh banyak mempunyai komoditas yang diperdagangkan diantaranya :

-Minyak tanah dari Deli,

-Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,

-Kapur dari Singkil,

-Kapur Barus dan menyan dari Barus.

-Emas di pantai barat,

-Sutera di Banda Aceh.

Selain itu di ibukota juga banyak terdapat bijak emas, tembaga, dan suasa yang
mengolah barang mentah dibuat sebagai barang yang sudah diolah. Sedang Pidie merupakan
lumbung beras bagi kesultanan.[14]Namun di selang semua yang dibuat sebagai komoditas
unggulan kepada diekspor merupakan lada.

Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut sekitar Penang, nilai ekspor Aceh
mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari banyak ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta
diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal
dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat adalah Rigas, Teunom,
dan Meulaboh.[5]

Agama
Islam

Penyebab Keruntuhan
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di selangnya ialah makin menguatnya
kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah
Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam
pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah beradanya perebutan kekuasaan
di selang pewaris tahta kesultanan.

Hal ini mampu ditelaah semakin awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar


Tsani sampai serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan berhasrat mengurangi
kontrol sempit kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani dibuat sebagai
Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran
(Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.

Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas sama sekali dagangan
dengan pedagang asing tanpa wajib melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada dibuat
sebagai tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga dibuat sebagai
pemasok utama lada dunia sampai kesudahan masa zaman 19. Namun beberapa elemen
masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti merupakan seorang
laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal
bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, mesjid raya, Dalam terbakar, kota
Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi
Malikul Tidak berat sebelah (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-
Sinkily menerapkan bermacam reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan
terbentuknya tiga sagoe. Hal ini berakibat kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan
hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.

Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan ikut bertindak luhur dalam
melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824),
seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan
dengan mengangkat anaknya dibuat sebagai Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali
pecah namun berkat pertolongan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang
dari Penang posisi Jauhar (yang mampu berbicara Perancis, Inggris dan Spanyol)
dikembalikan. Tak habis mencapai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan
kekuasaan selang Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan
Mansur Syah (1857-1870).

Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya kepada memperkuat kembali kesultanan


yang sudah rapuh. Ia berhasil menundukkan para raja lada kepada menyetor upeti ke sultan,
hal yang sebelumnya tak mampu diterapkan sultan terdahulu. Kepada memperkuat
pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh
Admiral Tuanku Usen dengan daya 200 perahu. Ekspedisi ini kepada meyakinkan kekuasaan
Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh ambil kaki dari
daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai. [5]
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sbg usaha kepada
membendung serangan Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sbg pemertegas
status Aceh sbg vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana pertolongan
kepada Perang Krimea. Sbg balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat
tempur kepada Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi
dengan Perancis dengan mengirim surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden
Republik Perancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius. [3]

Kemunduran terus berlanjut dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan
lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh
Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier kepada melawan ekspansi
Belanda gagal. Setelah kembali ke ibukota, Habib berlomba dengan seorang India Teuku
Panglima Maharaja Tibang Muhammad kepada menancapkan pengaruh dalam pemerintahan
Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi
Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau. [5]

Pada kesudahan November 1871, lahirlah apa yang dinamakan dengan Traktat
Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk
perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di anggota manapun di Sumatera.
Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-
usaha kepada menyerbu Aceh makin santer disuarakan, adun dari negeri Belanda maupun
Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan diberi tugas kepada mencari
pertolongan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi ketika itu tidak memungkinkan karena
Turki ketika itu baru saja bertempur dengan Rusia di Krimea. Usaha pertolongan juga
ditujukan ke Italia, Perancis sampai Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibuat
bentuk di Penang kepada meraih simpati Inggris juga tidak mampu berbuat apa-apa. Dengan
argumen ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda
mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.

Anda mungkin juga menyukai