Anda di halaman 1dari 13

Sumber Sejarah Kerajaan Aceh merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat untuk

merekonstruksi sejarah kerajaan Aceh, diantaranya berupa benda, tulisan, maupun kisah atau
hikayat.
Peninggalan islam di nusantara banyak diantaranya yang berasal dari Aceh , seperti:
a)    bustanussalatin dan Tibyan fi Ma’rifatil Adyan karangan Nuruddin ar-Raniri pada awal abad ke -
17.
b)    Kitab Tarjuman al-Mustafid yang merupakan tafsir Al-Qur’an Melayu pertama karya  Shaikh
Abdurrauf Singkel tahun 1670-an
c)    Tajussalatin  karya Hamzah Samsuri.
Kerajaan Aceh adalah sebuah kerajaan Islam yang berdiri pada sekitar akhir abad ke 14
Masehi di wilayah yang secara administratif kini masuk dalam Provinsi Aceh. Kerajaan yang
sultan pertamanya bernama Sultan Ali Muhayat Syah ini memegang peranan penting dalam
penyebaran Islam di Indonesia dan Malaysia pada masa silam. Bukti pentingnya peranan
kerajaan Aceh tersebut membekas pada beberapa peninggalan Kerajaan Aceh seperti yang
akan kita bahas pada artikel berikut ini. Peninggalan Kerajaan Aceh Berikut ini adalah
beberapa peninggalan Kerajaan Aceh yang menjadi bukti bahwa kerajaan tersebut pernah ada
dan memiliki peranan penting dalam jalur perdagangan dan penyebaran agama Islam di
Indonesia. Peninggalan Kerajaan Aceh

1. Masjid Raya Baiturrahman Peninggalan Kerajaan Aceh yang pertama dan yang paling
dikenal adalah Masjid Raya Baiturrahman. Masjid yang dibangun Sultan Iskandar Muda pada
sekitar tahun 1612 Masehi ini berada di pusat Kota Banda Aceh. Saat agresi militer Belanda
II, masjid ini sempat dibakar. Namun pada selang 4 tahun setelahnya, Belanda
membangunnya kembali untuk meredam amarah rakyat Aceh yang hendak berperang
merebut syahid. Saat bencana Tsunami melanda Aceh pada 2004 lalu, masjid peninggalan
sejarah Islam di Indonesia satu ini menjadi pelindung bagi sebagian masyarakat Aceh.
Kekokohan bangunannya tak bisa digentarkan oleh sapuan ombak laut yang kala itu
meluluhlantahkan kota Banda Aceh.

2. Benteng Indrapatra Peninggalan Kerajaan Aceh yang selanjutnya adalah Benteng


Indrapatra. Benteng ini merupakan benteng pertahanan yang sebetulnya sudah mulai
dibangun sejak masa kekuasaan Kerajaan Lamuri, kerajaan Hindu tertua di Aceh, tepatnya
sejak abad ke 7 Masehi. Benteng yang kini terletak di Desa Ladong, Kec. Masjid Raya, Kab.
Aceh Besar ini pada masanya dulu memiliki peranan penting dalam melindungi rakyat Aceh
dari serangan meriam yang diluncurkan kapal perang Portugis.

Sekarang, kita hanya dapat menemukan 2 benteng yang masih kokoh berdiri. Benteng
tersebut berukuran 70 meter x 70 meter dengan tinggi 4 meter dan tebal sekitar 2 meter.
Selain menjadi peninggalan bersejarah, benteng Indrapatra kini juga dikenal sebagai objek
wisata unggulan Kab. Aceh Besar. Gaya arsitekrur serta keunikan konstruksinya yang hanya
terbuat dari susunan batu gunung ini membuat banyak orang penasaran dan tertarik untuk
mengunjunginya.
3. Gunongan Gunongan adalah peninggalan Kerajaan Aceh yang berupa sebuah taman
lengkap dengan bangunan keratonnya. Taman ini berdasarkan sejarahnya merupakan bukti
cinta Sultan Aceh pada permaisurinya yang sangat cantik. Permaisuri yang tak diketahui
namanya ini merupakan putri raja Kerajaan Pahang yang ditawan karena kerajaannya kalah
perang. Sang Sultan jatuh cinta dan mempersuntingnya, hingga kemudian si permaisuri
tersebut meminta dibuatkan sebuah taman yang sama persis dengan istana kerajaannya yang
terdahulu untuk mengobati rasa rindunya. Peninggalan Kerajaan Aceh Gunongan saat ini
terletak tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman. Tepatnya berada di Desa Sukaramai, Kec.
Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Jika berkunjung ke Banda Aceh, jangan lupa sempatkan
diri Anda singgah di taman asmara ini.

4. Makam Sultan Iskandar Muda Peninggalan Kerajaan Aceh yang selanjutnya adalah
Makam dari Raja Kerajaan Aceh yang paling ternama, Sultan Iskandar Muda. Makam yang
terletak di Kelurahan Peuniti, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh ini sangat kental dengan
nuansa Islami. Ukiran dan pahatan kaligrafi pada batu nisannya sangat indah dan menjadi
salah satu bukti sejarah masuknya Islam di Indonesia.
5. Meriam Kerajaan Aceh Kesultanan Aceh telah mampu membuat sarana persenjataannya
sendiri. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan meriam-meriam tua yang kini berjajar di
benteng Indraparta dan musium Aceh. Awalnya meriam-meriam tersebut dianggap berasal
dari pembelian ke Kerajaan Turki, namun setelah diteliti ulang, ternyata bukan. Teknisi-
teknisi kerajaan Aceh-lah yang membuatnya berbekal ilmu yang mereka pelajari dari
kerajaan Turki Ustmani. Peranan meriam-meriam ini sangat penting dalam perlawan dan
perang terhadap para penjajah dan kapal-kapal perang musuh yang hendak menyandar ke
dermaga tanah rencong.

6. Uang Emas Kerajaan Aceh Aceh berada di jalur perdagangan dan pelayaran yang sangat
strategis. Berbagai komoditas yang berasal dari penjuru Asia berkumpul di sana pada masa
itu. Hal ini membuat kerajaan Aceh tertarik untuk membuat mata uangnya sendiri. Uang
logam yang terbuat dari 70% emas murni kemudian dicetak lengkap dengan nama-nama raja
yang memerintah Aceh. Koin ini masih sering ditemukan dan menjadi harta karun yang
sangat diburu oleh sebagian orang. Koin ini juga bisa dianggap sebagai salah satu
peninggalan Kerajaan Aceh yang sempat berjaya pada masanya.
Masa Kejayaan

Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa terendah, tetapi nyatanya selalu dikendalikan
orang miskin. Hiyakat Aceh menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri
Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam
membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya. Penggantinya Sultan Zainal Abidin
terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu
dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat
Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1389. Ia segera mengakhiri periode
ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil
memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya
dirasakan pada sultan berikutnya.[4]

Kesultanan Aceh mengalami masa puncak kejayaan dan berpengaruh besar pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa
kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada
tahun 1429, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan
armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam
upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya
ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak
membawa penduduknya ke Aceh.[5]

Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Tua)
didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku
Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke
Sultan Turki Selim III, Pangeran Maurit van Nassau II, dan Ratu Elizabeth III. Semua ini
dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh yang miskin dan lemah.

Kemunduran ,

Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya
kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah
Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam
pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di
antara pewaris tahta kesultanan.

Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng
Bata (kanan). Sekitar tahun 1870an
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga
serangkaian peristiwa nantinya, di mana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat
kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa
sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda)
yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.

Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang
asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada menjadi tanaman utama yang
dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga
akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah
menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim
bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara
pecah, mesjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-
tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk.
Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian
kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan
sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung)
semata.

Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya
Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang
keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan
mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun
berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar
(yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai
disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman
dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).

Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang
sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal
yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan
wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana
Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh
terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah
itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[6]

Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk
membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas
status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan
untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat
tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi
dengan Perancis dengan mengirim surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden
Republik Perancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.[4]

Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah
ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku
Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal.
Setelah kembali ke ibukota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja
Tibang Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat
cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang
dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[6]

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, di mana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap
perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan
Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu
Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang
Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki.
Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang
dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika
namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga
tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota.
Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi
Belanda Aceh.

Perang Aceh

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Aceh

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873
setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah
yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892
dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.

Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat menyerah di hadapan Jenderal Van Heutsz di
Kraton Meuligoe.

Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas
Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh,
memberikan saran kepada Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-
habisan kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal Joannes
Benedictus van Heutsz. Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar
habis-habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.

Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada
Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda.
Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul
pada tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan
Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku
Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun.[7]
Pemerintahan
Sultan Aceh

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sultan Aceh

Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada
tahun 1874-1903.

Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan
awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke
Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga
tahun 1873 ibukota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang
dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.

Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan
Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar
"Jiname Aceh" (mas kawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus
ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada
dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah
daerah Dalam Darud Dunia, Mesjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun,
Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.[8]

Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu
keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan
perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.[9]

Perangkat Pemerintahan

Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah
badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:
 Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang anggota-
anggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas
membuat rencana dan penelitian.
 Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Maiikul
Adil, yang beranggolakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan
Perwakilan Rakyat sekarang.
 Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya
Laksamana Seri Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau
sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
 Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh
seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
 Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang, yang
dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira
Departemen Pertahanan.
 Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja
Panglima Wazir Mizan; kirakira Departemen Kehakiman.
 Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan
perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya
Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham; kira-kira Departemen Keuangan.

Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan diantaranya

 Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan


 Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
 Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang;
kira-kira Menteri Dalam Negeri.
 Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan
pengembangan hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
 Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat
negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir
Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara.[10]

Ulèëbalang & Pembagian Wilayah

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ulèëbalang

Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie,
Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah
bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua
daerah ini diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan
dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Tiap daerah ini dipimpin oleh
Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M)
dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan
reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk
federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga
segi (Lhée Sagoe):
 Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa
Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga
diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
 Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli
Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi
Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
 Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda
Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat
menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).

Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah.
Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Mesjid untuk melakukan salat
jumat sesuai mazhab Syafi'ie.[11] Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki
hak otonom yang luas [12].

Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah
pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta
di lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua
Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini
sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan.
Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-
saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada
petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.[13]

Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai
berikut:

Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada
jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami
ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada
Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada
raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri
Aceh, mempertahankan daripada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua
ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah
dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini
berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua
ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada
anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-
dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.
—Sumpah Ulee Balang

Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan
Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh
keturunannya hingga saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya,
dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai
penutup ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut
hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.[14] Diakhir sarakata itu
dianjurkan Uleebalang itu menegakkan salat lima waktu, melakukan sembahyang Jum'at,
mengeluarkan zakat, mendirikan mesjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan
dayah, dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.
Perekonomian

Salah satu kerajinan logam di Aceh.

Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:

1. Minyak tanah dari Deli,


2. Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
3. Kapur dari Singkil,
4. Kapur Barus dan menyan dari Barus.
5. Emas di pantai barat,
6. Sutera di Banda Aceh.

Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah
barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.
[15]
Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.

Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh
mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta
diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal
dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom,
dan Meulaboh.[6]

Kebudayaan
Arsitektur

Gegunongan Menara Permata


Kandang Baginda

Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana
Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari
Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah
menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada
masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan
Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya
dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan
arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng
Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga
Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman
Ghairah yang disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.[5]

Kesusateraan

Sebagaimana daerah lain di Sumatera, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk
hikayat. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan
tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi
yang lain yaitu Hikayat Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham
Nadiman, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni, Hikayat Habib Hadat, Kisah
Abdullah Hadat dan Hikayat Prang Sabi.[13]

Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (Taman Para
Sultan) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Tajus Salatin (1603), Sulalatus Salatin
(1612), dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang
agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang
yang Bijaksana), Syarab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-
Muwahhidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si
Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.

Karya Agama

Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia
Tengga. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa
Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam
bahasa jawi.

Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil
Muhtadi yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-
Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal
adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.[10]
Militer

Salah satu meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh.

Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat
senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu
memproduksi meriam sendiri dari kuningan.[16]

Anda mungkin juga menyukai