Anda di halaman 1dari 4

Biografi Iskandar Muda - Pahlawan Nasional

dari Aceh

Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang
berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Sultan Iskandar Muda lahir di Aceh, Banda Aceh pada
tahun 1593 atau 1590 dan wafat di Banda Aceh, Aceh pada tanggal 27 September 1636.

Sultan Iskandar Muda besar dalam lingkungan istana, ketika telah cukup umur Iskandar Muda
dikirim ayahnya untuk belajar pada Teungku Di Bitai, salah seorang ulama dari Baitul Mukadis
pakar ilmu falak dan ilmu firasat. Iskandar muda mempelajari ilmu nahu dari beliau.

Selanjutnya ayah Iskandar Muda mulai menerima banyak ulama terkenal dari Mekah dan dari
Gujarat. Diantaranya adalah tiga orang yang sangat berpengaruh dalam intelektual Iskandar
Muda, yaitu Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar, Sekh Muhammad Jamani dari Mekah dan Sekh
Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry dari Gujarat.

Sultan Iskandar Muda dinobatkan pada tanggal 29 Juni 1606, pada masa kepemimpinan beliau,
Aceh mencapai kejayaannya, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi
internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.

Asal usul
Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak
leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan Makota
Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman bertetangga (yang terpisah oleh
sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang
diri mewakili kedua cabang itu, yang berhak sepenuhnya menuntut takhta.

Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah anak
dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; dimana sultan ini adalah putra dari Sultan
Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan
Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.

Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah,
putra dari Sultan Abdul-Jalil, dimana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah
al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3.
Pernikahan
Sri Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini
dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya,
Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana)
sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat
sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun
Gunongan untuk mengobati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan
dan dikunjungi.

Masa kekuasaan
Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636, merupakan
masa paling gemilang bagi Kesultanan Aceh, walaupun di sisi lain kontrol ketat yang dilakukan
oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak pemberontakan di kemudian hari setelah mangkatnya
Sultan.

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang
penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda
Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh
pula meliputi hingga Perak.

Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi angkatan
laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut Indonesia.
Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra
dan di pantai timur, sampai ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya dilancarkan sampai
jauh ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk
kepadanya. Kerajaannya kaya raya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan.

Kontrol di dalam negeri


Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi
yang dinamakan ulèëbalang dan mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Perancis
bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan
menciptakan bangsawan baru." Mukim1 pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk
mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Aceh: Imeum). Ulèëbalang
(Melayu: Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan-utama Sultan, yang dianugerahi Sultan
beberapa mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik feodal. Pola ini djumpai di Aceh Besar dan
di negeri-negeri taklukan Aceh yang penting.

Hubungan dengan bangsa asing


Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James
Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba,
Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu
menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan
berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang
berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus
dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh,
yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

"...I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh
and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the
sunrise to the sunset..."

(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah
Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang
terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Hubungan yang baik antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris
dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam
tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat
dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik
mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin
oleh Tuanku Abdul Hamid.

Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda.
Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan
secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun
karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan
dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah
prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu
Juliana dan Ayah Yang Mulia Ratu Beatrix.

Utsmaniyah Turki

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan
Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Saat pulang, utusan Kerajaan Aceh tersebut
terlunta-lunta sedemikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah
persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh
sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang
Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang
mahir dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut masih ada hingga
kini yang dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman
mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis
tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan
Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan
serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard
mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.

Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee
Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana
Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam
Darud Donya (kini Meuligoe Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali
dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda
juga memerintahkan untuk menggali sebuah kanal yang mengaliri air bersih dari sumber mata air
di Mata Ie hingga ke aliran Sungai Krueng Aceh dimana kanal tersebut melintasi istananya,
sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe. Di sanalah
sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Sultan Iskandar Muda memberikan tatanan baru dalam kerajaannya. Beliau mengangkat
pimpinan adat untuk tiap suku dan menyusun tata negara sekaligus qanun yang menjadi tuntunan
penyelenggaraan kerajaan dan hubungan antara raja dan rakyat.

Selama 30 tahun masa pemerintahannya (1606 - 1636 SM) Sultan Iskandar Muda telah
membawa Kerajaan Aceh Darussalam dalam kejayaan. kerajaan ini telah menjadi kerajaan Islam
kelima terbesar di dunia setelah kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Persia dan Agra.
Seluruh wilayah semenanjung Melayu telah disatukan di bawah kerajaannya dan secara ekonomi
kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki hubungan diplomasi perdagangan yang baik secara
internasional. Rakyat Aceh pun mengalami kemakmuran dengan pengaturan yang mencakup
seluruh aspek kehidupan, yang dibuat oleh Iskandar Muda.

Tahun 1993, pada tanggal 14 September, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan


gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Iskandar Muda atas jasa dan kejayaannya membangun
dasar-dasar penting hubungan ketatanegaraan dan atas keagungan beliau, yakni dengan
dikeluarkannya Keppres No. 77/TK/1993.

Anda mungkin juga menyukai