Anda di halaman 1dari 2

I Gusti Ketut Jelantik

I Gusti Ketut Jelantik, terlahir di desa Tukadmungga pada tahun 1850. Beliau
adalah generasi ke IX dalam silsilah keturunan Ki Gusti Anglurah Panji Sakti. Pada usia 25
tahun, I Gusti Ketut Jelantik ditinggal wafat oleh ayahandanya, I Gusti Ketut Banjar, yang
pernah menjabat Sedahan Agung semasih Bali di bawah raja I Gusti Made Karang. Ibunya,
Gusti Biang Kompyang Keramas berasal dari Banjar Penataran desa Buleleng, setelah
menjanda diambil sebagai isteri oleh I Gusti Bagus Jelantik, yang tidak lain adalah kakak
kandung I Gusti Ketut Banjar almarhum. I Gusti Bagus Jelantik waktu itu sebagai Punggawa
Penarukan (1860-1880) yang kemudian merangkap jabatan sebagai Patih Kerajaan Buleleng
(1872-1887). Mereka tinggal di Puri Kanginan beserta seluruh sanak keluarga.
Perlawanan Gusti Ketut Jelantik (Patih Jelantik) terhadap Belanda diawali dengan
peristiwa perampasan kapal-kapal Belanda yang masuk wilayah Bali. Perampasan kapal-
kapal tersebut sebenarnya sesuai dengan hukum Tawan Karang yang berlaku saat itu, yang
isinya menyatakan bahwa kapal-kapal yang memasuki wilayah Bali akan menjadi milik raja.
Pemerintah Belanda tidak mau menerima hukum yang berlaku tersebut, dan
menuntut agar Raja Buleleng mengganti kerugian atas kapal-kapal Belanda yang dirampas.
Selain itu Belanda juga menuntut agar Raja Buleleng mengakui kekuasaan Belanda. Tentu
saja, Raja Buleleng tidak mau memenuhi permintaan Belanda tersebut.
Atas penolakan dari Raja Buleleng tersebut, Belanda tidak menerima dan tetap
bersikeras dengan tuntutannya terhadap Raja dan rakyat Buleleng. Hal inilah yang membuat
Patih Jelantik sangat marah. Akibatnya, pada tanggal 27 Juni 1846 terjadilah pertempuran
antara pasukan Buleleng dan tentara Belanda. Pada pertempuran tersebut, pasukan Buleleng
mengalami kekalahan, sehingga pada tanggal 29 Juni 1846 Kerajaan Buleleng jatuh ke
tangan Belanda.
Karena kekekalahan perang tersebut, Raja Buleleng dan Patih Jelantik mengungsi ke
Jagaraga untuk selanjutnya menyusun strategi dan kekuatan untuk melawan Belanda.
Menjelang akhir tahun 1846, Patih Jelantik telah berhasil membentuk laskar yang
beranggotakan 8.000 an orang dengan persenjataan lengkap yang siap melawan dan mengusir
Belanda dari tanah Buleleng Bali.
Pada bulan Juni 1848, Belanda menyerang Jagaraga, maka terjadilah pertempuran
antara Laskar Buleleng dengan tentara Belanda. Dalam pertempuran tersebut, Belanda
mengalami kekalahan, Belanda kehilangan banyak prajurit dan perwira yang tewas dalam
pertempuran tersebut. Perang yang terjadi pada bulan Juni 1848 ini dikenal dengan
nama Perang Jagaraga I.
Tidak terima dengan kekalahannya tersebut, pasukan Belanda dibawah
pimpinan Jenderal Van Der Wijk menyerang kembali Jagaraga. Dalam pertempuran kali ini,
pasukan Belanda kembali mengalami kekalahan dan tetap tidak mampu menahan serangan
Laskar Buleleng yang dipimpin langsung oleh Patih Jelantik. Pertempuran ini dikenal dengan
nama Perang Jagaraga II.
Pada tangga 31 Maret 1949, Belanda yang tidak puas dengan kekalahan untuk yang
kedua kalinya tersebut, kembali melakukan penyerangan terhadap Laskar Buleleng. Hanya
saja, karena menyadari sulitnya melawan Laskar Buleleng secara langsung, maka pasukan
Belanda di bawah pimpinan Jenderal Michels melancarkan serangan dengan tembakan
meriam dari atas kapal. Setelah beberapa hari benteng Jagaraga dihujani oleh tembakan
meriam, akibatnya pada tanggal 16 April 1849, Laskar Buleleng dapat dipukul mundur dan
Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Patih Jelantik bersama pasukannya terpaksa
mundur dan bertahan di Pegunungan Batur Kintamani. Pasukan Belanda tetap terus
mengejar, sehingga terjadi pertempuran untuk yang kesekian kalinya antara Laskar Buleleng
yang dipimpin oleh Patih Jelantik dan pasukan Belanda. Dalam pertempuran tersebut Patih
Jelantik dan pasukannya bertempur hingga gugur. Perang ini kemudian dikenal dengan
nama Perang Puputan Jagaraga, yang artinya perang sampai titik darah penghabisan.
Atas jasa-jasanya dalam melawan pemerintah pendudukan Belanda, Pemerintah
Republik Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor : 077/TK/1993,
tanggal 14 September 1993, menganugerahi Patih Jelantik gelar Pahlawan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai