Ia adalah seorang raja dari Mataram. Sang ibu bernama R.A. Mangkarawati, ia berdarah Pacitan.
Saat dilahirkan, Diponegoro memiliki nama Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Sang Ayah sempat
punya niat untuk mengangkatnya sebagai raja. Hanya saja waktu itu ia sadar bahwa ia hanya
putra dari seorang selir, sehingga menolak keinginan dari ayahnya tersebut. Sepanjang hidupnya,
Diponegoro pernah mempersuntingnya banyak istri, diantaranya adalah Raden Ayu
Ratnaningrum, Bendara Raden Ayu Antawirya, dan Raden Ayu Ratnaningsih.
Kehidupannya lebih banyak dihabiskan untuk mendalami agama. Ia juga dikenal sangat
merakyat dan banyak tinggal di Tegalrejo. Ada satu momen dimana ia melakukan
pemberontakan terhadap keraton dan ini bermula saat keraton berada di bawah pemerintahan
Hamengkubuwana V (1822). Ia saat itu bertindak sebagai anggota perwalian. Ia tidak menyukai
prosedur perwalian tersebut. Diponegoro adalah sosok pejuang luar biasa. Ia tidak suka dengan
Belanda sejak mereka berani memasang patok di tanah miliknya yang berlokasi di Tegalrejo. Itu
tidak lain adalah karena Belanda dinilai semena-mena terhadap masyarakat.
Mereka juga suka membebani pajak kepada rakyat. Ia pun menunjukkan ketidaksukaannya
secara terbuka dan sikap ini ternyata banyak mendapat dukungan dari masyarakat. Sang paman
Pangeran Mangkubumi kemudian memintanya pindah dari Tegalrejo untuk memikirkan strategi
melawan kaum kafir. Ia menamai perjuangan tersebut sebagai Perang Sabil. Semangat tersebut
tidak hanya menyulut semangat orang-orang terdekatnya saja, namun mleluas hingga ke Kedu
dan Pacitan. Bahkan tokoh agama penting seperti Kyai Maja juga turut serta di dalam
perjuangan tersebut.
Perang tersebut menyebabkan kerugian di pihak kolonial. Mereka kehilangan banyak prajurit,
bahkan mencapai 15.000 orang. Karena dinilai membahayakan, mereka pun membuat
sayembara dengan hadiah 50.000 Gulden supaya orang tertarik ikut serta dalam perburuan
tersebut. Diponegoro baru berhasil ditangkap di tahun 1830.
Beberapa minggu setelah ditangkap, 28 Maret 1830, ia bertemu dengan Jenderal de Kock di
Magelang. Sang jenderal meminta supaya Diponegoro tidak melakukan aksi serangan lagi. Ia
pun menolaknya, sehingga berdampak pada pengasingan dirinya ke Ungaran, kemudian
Semarang, dan terakhir Batavia. Tidak berhenti disini, ia kembali dipindahkan beberapa kali dari
satu tempat ke tempat lainnya, bahkan sampai ke Manado.
"Gusti Allah menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus
menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan,"
Hidup dan mati ada dalam genggaman Illahi. Takdir adalah kepastian, tapi hidup harus tetap
berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. Gusti Allah
akan menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus menjumpai
kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan.
Den Siro Poro Satrio Nagari Mataram
Nagarining Jawi Dodot Iro
Sumimpin Watak Wantune Sayyidina Nagli
Sumimpin Kawicaksanane Sayidina Kasan
Sumimpin Kekendelane Sayidina Kusen
Den seksenono..Hing Wanci Suro
Londo bakal den siro sirnake soko tanah Jowo
Krana sinurung Pangribawaning poro Satrianing Muhammad yoiku
Ngali, Kasan, Kusen
Siro podho lumaksanane yudho kairing Takbir lan Sholawat
Yen Siro gugur ing bantala..Cinondro guguring sakabate Sayidina Kusen
Ing Nainawa...
Terjemahannya :
Wahai ksatria negeri Mataram,
negeri di Jawa tempat aku pegang teguh,
bersama sifat kepemimpinan Sayidina Ali yg tegas,
bersama sifat sayidina Hasan yang bijak,
bersama sifat kepemimpinan sayidina Husein yang gagah berani,
Wahai saksikanlah.
Tunggulah nnti di bulan Muharam,
Belanda akan kita lenyapkan di tanah jawa,
Dengan kewibawaan ksatria Muhammad yaitu Ali Hasan dan Husein,
Kita semua akan berperang dengan Takbir dan Sholawat,
jika kita gugur di medan perang,
itu adalah tanda laksana gugurnya sahabat Husein di Nainawa
3. Biografi Sultan Ageng Tirtoyoso
Perjuangan
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam
Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak
diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah
shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan
Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum
Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat.
Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum
Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah
pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan
diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-
Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang,
sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek
(pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang
waktu itu. Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral
Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh
Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824.
Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai
Sikek. Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi
melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula
bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat
basandi Syarak (Adat berdasarkan agama).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan
selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para
perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri
dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.
3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil
dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada
tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di
tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian
dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu
ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di
tempat tersebut.
Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia,
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November
1973.
5. Biografi Patimura
Gelar Kapitan
Berdasarkan sejarah yang dituliskan M.Sapija, gelar kapitan yang dimiliki oleh Pattimura berasal
dari pemberian Belanda. Padahal tidak.
Menurut sejarawan Mansyur Suryanegara atas saran dari Abdul Gafur (leluhur bangsa
Indonesia). Dilihat dari sudut sejarah dan antropologi adalah homo religosa (makhluk agamis).
Keyakinan mereka terhadap suatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka yang akhirnya
menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Karena itulah tingkah laku sosialnya
dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus dimiliki
seseorang. Kesaktian tersebut kemudian diterima sebagai suatu peristiwa yang suci dan mulia.
Bila kekuatan tersebut melekat pada seseorang maka akan menjadi lambang kekuatan untuknya.
Pattimura merupakan pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat tersebut melekat dan
berproses turun temurun. Meskipun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara
genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya
sebutan “kapitan” yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
Perjuangan Pattimura
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC, Pattimura pernah berkarier dalam dunia militer
sebagai mantan sersan militer Inggris. Hingga pada tahun 1816, terjadi perpindahan kekuasaan
dari kolonialisme Inggris ke tangan Belanda. Kedatangan Belanda sangat di tentang oleh
Belanda, karena sebelum Inggris darang ke daratan Ambon. Belanda pernah menguasai daratan
Ambon selama kurang lebih 2 Abad.
Selama kurun waktu 2 abad hubungan kemasyarakatan, politik dan ekonomi sangat buruk.
Datangnya Belanda kali ini membawa aturan baru seperti monopoli politik, pemindahan
penduduk, pajak atas tanah, dan mengabaikan Traktat london.
Akibatnya, Rakyat Maluku melakukan perlawanan angkat senjata untuk melawan Belanda di
bawah pimpinan Pattimura. Pattimura diangkat menjadi pemimpin perjuangan melawan Belanda
oleh Patih, ketua adat, dan para kapitan lainnya karena sifat kemimpinan dan ksatria yang ada
pada diri Pattimura.
Karena perjuangan yang ia lakukan, Pattimura berhasil menggalang kekuatan dengan mengajak
kerajaan ternate, Tidore, dan beberapa Raja di Jawa dan di Bali untuk membantu rakyat Maluku
memerangi Belanda. Dengan kekuatan besar ini, Belanda sampai mengerahkan kekuatannya
dibawah pipiman Laksamana Buykes, yang merupakan komisaris Jenderal Belanda.
Pejuangan Kapitan Pattimura dalam melawan Belanda yaitu untuk memperebutkan Benten
Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano. Ouw-Ullath, Jasirah Hitu di
pulau Ambon dan Seram Selatan.
Perang Pattimura dihentikan dengan adanya politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus
oleh Belanda. Pattimura bersama para tokoh pejuang lain yang bersamanya akhirnya dapat
ditangkap. Pattimura ditangkap oleh pemerintah Kolonial Belanda disebuah Rumah di daerah
Siri Sori Pattimura kemudian di adili di Pengadilan Kolonial Belanda dengan tuduhan melawan
pemerintah Belanda.
adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah
kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada
saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi
pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November
1975.
Awal pemerintahan
Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan kakaknya,
Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara
teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum
dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena kakaknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya
sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu.
Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani
wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 dibangun istana baru di
desa Kerta yang kelak mulai ditempati pada tahun 1622.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung
mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai
Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga
Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang
Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit
(sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga
berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu
Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di
desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun
1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki
Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
Pangeran Antasari merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Pangeran Antasari adalah
putra dari pasangan Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman dan Pangeran Masohut (Mas’ud) bin
Pangeran Amir yang lahir pada tahun 1797 atau 1809 di Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan. Pangeran Antasari meninggal dunia pada 11 Oktober 1862 (53 Tahun) di
Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
Pada 14 Maret 1862, didepan kepala suku dayak dan dan Adipati penguasa wilayah dusun Atas,
Kapuas dan Kahayan yakni Tumenggung Surapati/ Tumenggung Yang Pati Jaya Raja, Pangeran
Antasari ditunjuk sebagai pimpinan tertinggi Kesultanan Banjar atau menjadi Sultan Banjar
dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
Pada tanggal 23 Maret 1968, berdasarkan SK No. 06/TK/1968 oleh pemerintah Republik
Indonesia, Pangeran Antasari diberi gelar Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan.
Pada tanggal 23 Maret 1968, berdasarkan SK No. 06/TK/1968 oleh pemerintah Republik
Indonesia, Pangeran Antasari diberi gelar Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan. Untuk
mengenang jasa beliau, nama beliau di abadikan pada Korem 101/Antasari dan juga nama beliau
dipakai sebagai nama julukan Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari.
8. I Gusti Ngurah Rai
I Gusti Ngurah Rai, adalah pahlawan nasional dari daerah Bali. Terkenal dengan gagasan
perangnya yakni Puputan Margarana yang berarti perang secara habis-habisan di daerah
Margarana (Kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali). Memiliki darah pejuang dengan
tanah kelahiran Badung, Bali pada 30 Januari 1917. Ia merupakan anak camat yang bernama I
Gusti Ngurah Palung. Hal ini pula yang menjadikan ia berkesempatan untuk bersekolah formal
di Holands Inlandse School (HIS). Untuk mengenal lebih mendalam, mari kita ulas bersama
biografi I Gusti Ngurah Rai.
Biografi I Gusti Ngurah Rai diawali dengan perjalanan pendidikannya di masa kecil. I Gusti
Ngurah Rai memilih untuk mengawali pendidikan formalnya di Holands Inlandse School di
Bali. Setelah tamat dari HIS ia melanjutkan ke MULO (setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama) di Malang. Selanjutnya ia memperdalam ilmu kemiliterannya di Prayodha Bali,
Gianyar dilanjutkan pendidikan di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO) di
Magelang dan pendidikan Arteri Malang. Berkat pendidikan militer yang banyak serta
kecerdasan yang ia miliki, ia sempat menjadi intel sekutu di daerah Bali dan Lombok.
Biografi I Gusti Ngurah Rai berlanjut pada masa perjuangan melawan penjajah colonial. Setelah
pemerintahan Indonesia merdeka, I Gusti Ngurah Rai membentuk Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) Sunda Kecil dan di Bali dan memiliki pasukan bernama Ciung Wanara. Pasukan ini
dibentuk untuk membela tanah air guna melawan penjajah di daerah Bali. Sebagai seorang
Komandan TKR di Sunda Kecil dan, ia merasa perlu untuk melakukan konsolidasi ke
Yogyakarta yang menjadi markas TKR pusat. Sampai di Yogyakarta I GUsti Ngurah Rai
dilantik menjadi komandan Resimen Sunda Kecil berpangkat Letnan Kolonel. Sekembalinya
dari Yogyakarta dengan persenjataan, I Gusti Ngurai Rai mendapati Bali telah dikuasai oleh
Belanda dengan mempengaruhi raja-raja Bali.
Biografi I Gusti Ngurah Rai berlanjut dengan meletusnya perang di Bali. Setelah kepulangannya
dari Yogyakarta Ia mendapati pasukan Belanda dengan 2000 pasukan dan persenjataan lengkap
dan pesawat terbang siap untuk menyerang I Gusti Ngurah Rai dengan pasukan kecilnya.
Bersama dengan pasukan Ciung Wanaranya, I Ngurah Rai berhasil memukul mundur pasukan
Belanda pada saat itu pada tanggal 18 November 1946. Namun hal ini justru membuat pihak
Belanda menyiapkan bala tentara yang lebih banyak dari Pulau Jawa, Madura dan Lombok
untuk membalas kekalahannya. Pertahanan I Gusti Ngurah Rai berhasil dipukul mundur dan
hingga akhirnya tersisa pertahanan Ciung Wanara terakhir di desa Margarana. Kekuatan terakhir
ini pun dipukul mundur lantaran seluruhnya pasukannya jatuh ke dasar jurang. Hal ini pulalah
yang diabadikan dengan istilah puputan Margarana (perang habis-habisan di daerah Margarana)
pada tanggal 20 November 1946.
Berkat usaha yang gigih memperjuangkan Bali untuk masuk menjadi kekuasaan Indonesia
(sesuai kesepakatan Linggarjati hanya Sumatra, Jawa, dan Madura yang masuk kekuasaan
Indonesia) Ngurah Rai mendapat gelar Bintang Mahaputra dan dan kenaikan pangkat menjadi
Brigjen TNI (Anumerta). Ia meninggal pada usia 29 tahun dan memperoleh gelar pahlawan
nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus 1975. Namanya pun
diabadikan menjadi nama Bandara di kota Bali.
HIS, Denpasar
MULO, Malang
Prayodha Bali, Gianyar, Bali
Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO), Magelang
Pendidikan Artileri, Malang
Bintang Mahaputra
Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI no 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus 1975
9. I Gusti ketut Jelantik
Sisingamangaraja XII adalah pejuang gigih yang lahir di Bakara, Tapanuli pada 18 Februari
1845. Selama hidup, ia habiskan waktunya untuk memperjuangkan wilayahnya dari
penjajahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ia meninggal di Dairi pada 17 Juni 1907
dan mendapat gelar pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 9 November, melalui Keppres
No. 590 Tahun 1961. Kiprahnya Sisingamangaraja XII bermula pada tahun 1867 saat ia naik
tahta menggantikan ayahnya. Ia menjadi Tapanuli yang gigih melawan kompeni. Kala itu
Belanda mulai masuk ke Tapanuli dan Sisingamangaraja XII mengumpulkan para penguasa
lokal untuk melawan. Lobi Belanda selama beberapa tahun untuk masuk ke wilayah
Tapanuli selalu gagal, hingga puncaknya terjadi perang pada 19 Februari 1878 antara tentara
kolonial versus pasukan Sisingamangaraja XII di pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat
Tarutung. Pasukan Sisingamangaraja mengalami kekalahan dan mundur, sementara itu
tentara Belanda terus merengsek mengejar sembari membakar tiap desa yang dilaluinya.
Pertempuran kembali terjadi di Balige, Sisingamangaraja XII terkena tembakan di bagian
atas lengan. Ia kembali harus mundur dan menetapkan taktik gerilya untuk melawan
Belanda. Taktik berpindah tempat ini berhasil membuat tentara Belanda kewalahan hingga
pada 1989 Belanda mengetahui pasukan Sisingamangaraja XII menyingkir ke Lintong.
Pasukan Sisingamangaraja XII kembali dibombardir dengan alat modern, sehingga harus
mundur dan bertahan di Dairi.
Mulai saat itu Belanda berhasil menguasai Tapanuli dan selama bertahun-tahun tidak ada
pertempuran. Namun, sebenarnya Sisingamangaraja XII tetap berjuang dengan menjalin
banyak sekutu dan mengobarkan semangat anti penjajah sampai ke Aceh. Karena inilah,
pada masa ini banyak perlawanan-perlawanan dari penguasa lokal terhadap Belanda. Sampai
akhirnya Belanda tahu bahwa bahwa perlawanan raja-raja lokal tersebut akibat dari pengaruh
Sisingamangaraja XII.
Belanda pun menawarkan “perdamaian” dengan penobatan Sisingamangaraja sebagai Sultan
Batak, namun Sisingamangaraja XII menolak. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda
mengirim pasukan Marsose di bawah komando Hans Christoffel ke Tapanuli. Dairi dikepung
hampir selama tiga tahun, sampai akhirnya pada 17 Juni 1907, terjadi pertempuran hebat
yang menewaskan Sisingamangaraja XII. Lalu pengikut beserta kerabatny ditawan, tahun ini
menandai rampungnya perlawanan Sisingamangaraja XII terhadap Belanda.
11. Wahidin Sudirohusodo
Sutomo atau lebih dikenal sebagal Bung Tomo dilahirkan di Kampung Blauran, Surabaya, pada
3 Oktober 1920. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, Sutomo adalah sosok yang aktif
berorganisasi sejak remaja. Bergabung dalam Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), beliau
tercatat sebagai salah satu dari tiga orang pandu kelas I di seluruh Indonesia saat itu.
Pada masa mudanya, Bung Tomo yang memiliki minat pada dunia jurnalisme tercatat sebagai
wartawan lepas pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya 1937. Setahun kemudian, ia menjadi
Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi wartawan dan penulis pojok harian
berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya pada tahun 1939.
Pada masa pendudukan Jepang, Sutomo bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang,
Domei, bagian Bahasa Indonesia untük seluruh Jawa Timur di Surabaya (1942-1945). Saat
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, beliau memberitakannya dalam
bahasa Jawa bersama wartawan senior Romo Bintarti untuk menghindari sensor Jepang.
Selanjutnya, beliau menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.
Ketika meletus pertempuran di Surabaya, 10 November 1945, Bung Tomo tampil sebagai orator
ulung di depan corong radio, membakar semangat rakyat untuk berjuang melawan tentara
Inggris dan NICA-Belanda. Sejarah mencatat bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya
yang terdiri atas berbagai suku bangsa sangat dahsyat. Tidak ada rasa takut menghadapi tentara
Inggris yang bersenjata lengkap. Tanggal 10 November pun kemudian kita kenang sebagai
Hari Pahlawan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo pernah aktif dalam politik pada tahun 1950-an.
Namun pada awal tahun 1970-an, ia berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Pada 11
April 1978 ditahan oleh pemerintah selama satu tahun karena kritik-kritiknya yang pedas.
Sutomo meninggal di Mekkah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Jenazah Bung Tomo
dibawa kembali ke Indonesia dan dimakamkan di TPU Ngagel, Surabaya. Bung Tomo,
pahlawan pengobar semangat Juang arek-arek Surabaya ini mendapat gelar pahlawan secara
resmi dan pemerintah pada tahun 2008.
Tempat/Tgl. Lahir : Surabaya, 3 Oktober 1920
Tempat/Tgl. Wafat : Mekah,7 Oktober 1981
SK Presiden : Keppres No. 41/TK/2008, Tgl. 6 November 2008
Gelar : Pahlawan Nasional
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin
setjarik kain poetih mendjadi merah & putih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah
kepada siapapoen djuga!”
– Bung Tomo –
Pertempuran Surabaya merupakan salah satu perang terberat yang pernah dihadapi Inggris seusai
PD II. Bahkan, seorang jenderal Inggris tewas di Surabaya.
13. Dr. Cipto Mangunkusuma
Cipto Mangunkusumo dilahirkan di Desa Pecagakan, Jepara. Ia adalah putera tertua dan
Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa yang bekerja sebagai
guru. Meskipun demikian, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang
yang tinggi. Ketika menempuh pendidikan di STOVIA, Cipto dinilai sebagai pribadi yang jujur,
berpikiran tajam, dan rajin. Para guru menjuluki Cipto sebagai “een begaald leerling” atau murid
yang berbakat. Cipto juga dengan tegas memperlihatkan sikapnya. Ia membuat tulisan-tulisan
pedas mengkritik Belanda di harian De locomotive dan Bataviaasch Nieuwsblad sejak tahun
1907. Setelah lulus dari STOVIA, beliau bekerja sebagai dokter pemerintah kolonial Belanda
yang ditugaskan di Demak. Sikapnya yang tetap kritis melalui berbagai tulisan membuatnya
kehilangan pekerjaan.
Cipto menyambut baik kehadiran Budi Utomo sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya.
Namun, Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara
demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Hal ini menimbulkan perbedaan antara
dirinya dan pengurus BU lainnya. Cipto lalu mengundurkan diri dan membuka praktek dokter di
Solo, ia pun mendirikan R.A. Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat.
Ia kemudian bertemu Douwes Dekker dan bersama Suwardi Suryaningrat mereka mendirikan
Indische Partij pada tahun 1912. Cipto selanjutnya pindah ke Bandung dan aktif menulis di
harian De Express. Menjelang perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dan Perancis, Cipto
Mangunkusumo dan Suwardi mendirikan Komite Bumiputera sebagai reaksi atas rencana
Belanda merayakannya di Indonesia.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express
menerbitkan artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Ais ik Nederlands Was” (Andaikan
Saya Seorang Belanda). Cipto kemudian menulis artikel yang mendukung Suwardi keesokan
harinya. Akibatnya, 30 Juli 1913 Cipto Mangunkusumo dan Suwardi dipenjara. Melihat kedua
rekannya dipenjara, Douwes Dekker menulis artikel di De Express yang menyatakan bahwa
keduanya adalah pahlawan. Pada 18 Agustus 1913, Cipto Mangunkusumo bersama Suwardi
Suryaningrat dan Douwes Dekker dibuang ke Belanda.
Selama di Belanda, kehadiran mereka membawa perubahan besar terhadap Indische
Vereeniging, sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang semula bersifat social
menjadi lebih politis. Konsep Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia
yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Oleh karena
alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto Mangunkusumo diperbolehkan pulang kembali ke Jawa
dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama
menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).
Pada tahun 1918, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Cipto
Mangunkusumo terpilih sebagai salah satu anggota oleh gubernur jenderal Hindia Belanda
mewakili tokoh yang kritis. Sebagai anggota Volksraad, sikap Cipto Mangunkusumo tidak
berubah. Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920 mengusir Cipto
Mangunkusumo ke luar Jawa. Cipto kemudian dibuang lagi ke Bandung dan dikenakan tahanan
kota. Selama tinggal di Bandung, Cipto Mangunkusumo kembali membuka praktek dokter
dengan bersepeda ke kampung-kampung. Di Bandung pula Cipto Mangunkusumo bertemu
dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk
Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai
Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene
Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai penyumbang pemikiran bagi generasi muda,
termasuk oleh Sukarno.
Tempat/Tgl. Lahir : Jepara, 4 Maret 1886
Tempat/Tgl. Wafat : Jakarta, 8 Maret 1943
SK Presiden : Keppres No. 109/TK/1964, Tgl. 2 Mei 1964
Gelar : Pahlawan Nasional
Pada tahun 1927, Belanda Menganggap Cipto Mangunkusumo terlibat dalam upaya sabotase
sehingga membuangnya ke Banda Neira. Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh.
Ketika Cipto Mangunkusumo diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat
pulang ke Jawa untuk berobat dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas
mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda. Cipto kemudian dipindahkan ke Makasar, lalu ke
Sukabumi pada tahun 1940. Udara Sukabumi yang dingin Ternyata tidak baik bagi kesehatan
beliau sehingga dipindahkan lagi ke Jakarta hingga Dokter Cipto Mangunkusumo wafat pada 8
Maret 1943.
14. K.H. Samanhudi
"Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah
seperti orator."
"Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat."
16. Ir. Soekarno
Ir Soekarno
Biografi Ir. Soekarno Secara Singkat
Lahir: Surabaya, 6 Juni 1901
Wafat: Jakarta, 21 Juni 1970
Dimakamkan: Kota Blitar, Jawa Timur
Kebangsaan: Indonesia
Anak-anak:
Putra: Guruh Soekarnoputra, Guntur Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra, Taufan
Soekarnoputra, Totok Suryawan,
Putri: Megawati Soekarnoputri, Kartika Sari Dewi Soekarno, Rachmawati
Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Ayu Gembirowati, Rukmini Soekarno,
Pasangan/Istri:
Siti Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi
Soekarno, Haryati, Yurike Sanger, Heldy Djafar
Pendidikan:
Sekolah Dasar Bumi Putera
HBS (Hoogere Burger School)
Technische Hoogeschool, sekarang ITB
Penghargaan:
Penghargaan Perdamaian Lenin (1960)
Bintang Kehormatan Filipina (1965)
Doktor Honoris Causa dari 26 Universitas
The Order Of The Supreme Companions of OR Tambo (Presiden Afsel - 2005)
Orangtua: Soekemi Sosrodihardjo (Bapak), Ida Ayu Nyoman Rai (Ibu)
Gelar Pahlawan: Pahlawan Nasional
Biografi Ir. Soekarno Lengkap
Ir. Soekarno lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni tahun 1901. Ir. Soekarno adalah Presiden
RI pertama yang dikenal sebagai tokoh proklamator bersama Dr. Mohamad Hatta. Pada tahun
1926, beliau lulus dari Technische Hoge School, Bandung (sekarang ITB). Pada tanggal 4 Juli
1927, Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) untuk mencapai kemerdekaan
Kharisma dan kecerdasan beliau membuat dirinya terkenal sebagai orator ulung yang dapat
membangkitkan semangat rakyat. Belanda merasa terancam dengan sikap nasionalisme beliau.
Pada Desember 1929, Soekarno dan tokoh PNI lainnya ditangkap dan dipenjara. PNI sendiri
dibubarkan dan berganti menjadi Partindo. Perjuangan beliau terus berlanjut setelah dibebaskan,
tetapi pada Agustus 1933, Proklamator kemerdekaan RI ini kembali ditangkap dan diasingkan ke
Ende, Flores, lalu dipindahkan ke Bengkulu.
Soekarno dibebaskan ketika Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda. Jepang meminta Ir.
Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur mendirikan PUTERA
(Pusat Tenaga Rakyat) untuk kepentingan Jepang. Namun, PUTERA justru lebih banyak
berjuang untuk kepentingan rakyat. Akibatnya, Jepang membubarkan PUTERA. Ketika
posisinya dalam Perang Asia Raya mulai terdesak pasukan Sekutu, Jepang mendirikan
BPUPKI. Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan gagasan tentang
dasar Negara yang disebut Pancasila.
Setelah BPUPKI dibubarkan, beliau diangkat menjadi ketua PPKI. Tidak lama kemudian
Jepang memanggil Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat ke Ho Chi Minh, Vietnam,
untuk menemui Jenderal Terauchi guna membicarakan masalah kemerdekaan Indonesia. Setelah
kembali ke Indonesia, Soekarno dan Hatta diculik para pemuda yang sudah mendengar berita
kekalahan Jepang atas Sekutu dan dibawa ke Rengasdengklok. Akhirnya, tercapai kesepakatan
sehingga Soekarno-Hatta segera kembali ke Jakarta mempersiapkan Naskah Proklamasi.
Bersama Hatta, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI atas nama rakyat Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.
Kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia, bukan pemberian Jepang.
Satu hari kemudian, beliau dilantik menjadi Presiden RI yang pertama. Beliau memerintah
selama 22 tahun. Soekarno meninggal saat berusia 69 tahun dan dimakamkan di Blitar, Jawa
Timur.
17. Ki Hajar Dewantara
Ki hajar dewantara bersekolah di ELS yang dulu merupakan sekolah dasar Belanda. Selanjutnya
beliau juga melanjutkan sekolah di STOVIA yang merupakan sekolah dokter untuk bumiputera.
Tetapi selama sekolah di Stovia beliau tidak sampai tamat dikarenakan sakit. Hal ini juga banyak
diceritakan disemua buku biografi Ki Hajar Dewantoro. Beliau juga pernah bekerja menjadi
wartawan diberbagai media cetak terkenal pada masa itu. Seperti mideen java, sedyotomo, De
ekpress, kaoem moeda, poesara, oetoesan hindia, dan tjahaja timoer. Tulisan beliau diberbagai
media tersebut sangat komunikatif dan juga kritis, sehingga dapat meningkatkan semangat
rakyat pada masa itu.
Ketika membahas tentang biografi Ki hajar dewantara memang tidak pernah ada habisnya. Ada
banyak sekali hal yang harus kita banggakan untuk beliau. Pada tahun 1908 beliau aktif sebagai
pengurus di organisasi boedi oetomo. Selanjutnya beliau juga membuat organisasi sendiri
bersama Douwes Dekker atau lebih dikenal dengan Dr. Danudirdja Setya Budhi dan Dr Cipto
Mangoekoesoemo mendirikan sebuah organisasi yang bernama Indische Partij pada tanggal 25
desember tahun 1912. Organisasi ini merupakan partai politik pertama di Indonesia yang
beraliran nasionalisme untuk mencapai Indonesia merdeka. Ketika ingin mendaftarkan partai ini,
mereka di tolak oleh Belanda, karena dianggap menumbuhkan nasionalisme pada rakyat.
Dengan ditolaknya partai tersebut, mereka akhirnya komite boemi poetra yang digunakan untuk
membuat kritik ke pemerintahan Belanda. Mereka menulis berbagai kritikan untuk pemeritahan
Belanda yang dimuat di surat kabar De ekpress yang pemiliknya pada saat out adalah Douwe
Dekker. Dalam tulisan tersebut mereka mengatakan bahwa tidak mungkin merayakan
kemerdekaan, di Negara yang sudah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Karena tulisannya itu
beliau di buang ke pulau Bangka, sebagai hukuman pengasingannya oleh pemerintahan Belanda.
Cerita ini banyak ditemukan di buku-buku biografi ki hajar dewantara.
Setelah pulang dari pengasingan dan sempat melakukan perjalanan ke Belanda. Beliau akhirnya
mendirikan taman siswa. Selama pendirian taman siswa ini banyak sekali tantangan dan
halangan dari pihak pemerintahan Belanda. Dengan segala kegigihannya, akhirnya taman siswa
mendapatkan ijin berdirinya. Setelah masa kemerdekaan, beliau menjabat sebagai menteri
pendidikan dan kebudayaan. Jika kalian mengunjungi Yogyakarta, anda bisa mengunjungi
museum yang didedikasikan untuk ki hajar dewantara. Sekian artikel tentang biografi Ki Hjar
Dewantara, semoga dapat memberikan informasi untuk anda.
Karir Ki Hajar Dewantara
Pendiri perguruan Taman Siswa
Penghargaan Ki Hajar Dewantara
Gelar doktor kehormatan (Doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari Universitas Gadjah Mada
Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan
Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959
18. Muh. Hatta
Pasangan :
Hj. Siti Walidah
Nyai Abdullah
Nyai Rum
Nyai Aisyah
Nyai Yasin
Anak :
Djohanah
Siradj Dahlan
Siti Busyro
Irfan Dahlan
Siti Aisyah
Siti Zaharah
Dandanah
Nama K.H. Ahmad Dahlan kecil adalah Muhammad Darwisy, Ia adalah anak ke 4 dari 7
bersaudara. Ahmad Dahlan merupakan keturunan ke 12 dari Maulana Malik Ibrahim atau Sunan
Gresik. Berikut adalah Silsilah tersebut Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul
Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai
Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad
Dahlan).
Pada saat Ahmad Dahlan berumur 15 tahun, Ia pergi melaksanakan ibadah haji lalu selama 5
tahun ia menetap di Mekkah. Masa ini, K.H. Ahmad Dahlan memulai interaksi dengan
pemikiran pembaharu Islam, seperti Al-Afghani, Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyah, dan
Rasyid Ridha.
Pada tahun 1888, Ahmad Dahlan kembali ke kampung halamannya dan Ia yang bernama asli
Muhammad Darwisy berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Ia kembali lagi ke Mekkah pada
tahun 1903 dan Ia tinggal selama 2 tahun, masa ini Oa sempat berguru pada Syeh Ahmad Khatib
yang juga merupakan guru dari K.H. Hasyim Asyari yaitu pendiri NU.
Setelah pulang dari Mekkah, Ahmad Dahlan Menikah dengan sepupunya bernama Siti Walidah
(Nyi Ahmad Dahlan) yaitu putri dari Kyai Penghulu Haji Fadhil. Dari pernikahan ini, mereka
dianugrahi 6 orang anak yakni Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah,
dan Siti Zaharah.
Selain dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan juga pernah menikah dengan Nyai Abdullah yaitu
janda H. Abdullah, Nyai Rum yang merupakan adik dari Kyai Munawwir Krapyak, Nyai Aisyah
yang merupakan adik Adjengan Penghulu Cianjur dan dari pernikahan ini Ahmad dahlan
memiliki putra Dandanah. Serta Ahmad Dahlan juga pernah menikah dengan Nyai Yasin
Pakualaman Yogyakarta.
Pada tahun 1909, K.H. Ahmad Dahlan bergabung dengan organisasi Budi Utomo dan disana Ia
mengajarkan agama dan pelajaran yang diperlukan anggota. Pelajaran yang diberikan K.H.
Ahmad Dahlan dirasa sangat berguna bagi para anggota Budi Utomo, lalu mereka menyarankan
agar Ahmad Dahlan membuka sekolah yang ditata rapi serta didukung organisasi permanen.
Pada 18 November 1912 (8 Djulhijah 1330), K.H Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
bernama Muhammadiyah yang bergerak dibidang kemasyarakatan dan pendidikan. Dengan
mendirikan Organisasi ini, Ia berharap dapat memajukan pendidikan dan membangun
masyarakat islam. Ahmad Dahlan mengajarkan Al-Qur’an dengan terjemah juga tafsirnya agar
masyarakat memahami makna yang ada dalam Al-Qur’an dan tidak hanya pandai membaca dan
melagukannya saja.
Pada bidang pendidikan, Dahlan mengubah sistem pendidikan pesantren pada masa itu. Ia
mendirikan sekolah-sekolah agama yang juga mengajarkan pelajaran umum dan juga bahasa
belanda. Bahkan ada Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S met de Qur’an. Ia memasukan
pelajaran agama di sekolah umum pula. Ahmad Dahlan terus mengembangkan dan membangun
sekolah-sekolah. Selain sekolah semasa hidupnya Ia juga mendirikan masjid, langgar, rumah
sakit, poliklinik, dan juga rumah yatim piatu.
Pada bidang organisasi, tahun 1918 Ia mendirikan organisasi Aisyiyah untuk para kaum wanita.
untuk para pemuda, Ahmad Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu (sekarang Pramuka)
bernama Hizbul Wathan. Pada organisasi tersebut para pemuda belajar baris-berbaris dengan
genderang, memakai celana pendek, bertopi, berdasi, untuk seragam yang mereka pakai mirip
dengan seragam pramuka sekarang.
Pada saat itu, karena semua pembaharuan yang diajarkan oleh K.H. Ahmad Dahlan agak
menyimpang dengan tradisi, Ahmad dahlan sering diteror seperti rumah yang dilempari batu dan
kotoran binatang bahkan pada saat dahwah di Banyuwangi, Ahmad dahlan dituduh sebagai kyai
palsu dan Ia diancam akan dibunuh. Namun dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan
mulai menerima perubahan yang diajarjan oleh Ahmad Dahlan.
Semua yang di lakukan oleh K.H.Ahmad Dahlan bertujuan untuk membuktikan bahwa Islam
adalah agama kemajuan yang dapat mengangkat derajat umat ke taraf yang lebih tinggi dan itu
terbuti membawa dampak positif bagi Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Pemuda dan
golongan Intelektual banyak yang tertarik dengan metode yang diajarkan oleh K.H. Ahmad
Dahlan sehingga mereka banyak yang bergabung dengan organisasi Muhammadiyah.
Muhammadiyah yang merupakan organisasi beramal dan menjalankan ide pembaharuan K.H.
Ahmad Dahlan sanga menarik perhatian para pengamat islam dunia. Bahkan para pengarang dan
sarjana dari timur memusatkan perhatian pada Muhammadiyah.
K.H Ahmad Dahlan banyak mendapatkan ilmu dari banyak kyai di berbagai bidang ilmu seperti
K.H Muhsin di bidang ilmu tata bahasa (Nahwu-Sharaf), K.H. Muhammad Shaleh di bidang
ilmu fikih, Kyai Mahfud dan Syekh K.H. Ayyat di bidang Ilmu Hadist, K.H. Raden Dahlan di
bidang ilmu falak atau astronomi, Syekh Hasan di bidang pengobatan dan racun binatang, serta
Syekh Amin dan sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Qur’an.
Pada 23 Februari 1923, pada usia 54 tahun K.H. Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Kemudian
beliau dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, Mergangsan,Yogyakarta. Pada
27 Desember 1961, berdasarkan SK Presiden RI No.657 Tahun 1961 atas jasanya negara
memberi beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia.
21. K.H. Hasyim Asy’ari
KH Mohammd Hasyim Asy'ari atau lebih dikenal dengan KH Hasyim Ashari lahir di Jombang,
10 April 1875. Berdasarkan biografi KH Hasyim Ashari, Beliau adalah pendiri sebuah
organisasi besar Islam yang ada di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama. Beliau dilahirkan dari
orang tua yang bernama Kyai Asyari dan Halimah. Keluarga beliau memang memegang teguh
dasar-dasar ajaran Islam. Hal itu disebabkan ayahnya yang merupakan keturunan kedelapan Jaka
Tingkir adalah seorang pemimpin Pesantren Keras di bagian selatan Jombang. Dengan demikian
KH Hasyim Asy'ari dibekali ilmu agama yang kuat.
Sejak kecil KH Hasyim Asahri telah terlihat jiwa kepemimpinannya. Beliau juga sudah
membantu ayahnya dalam mengajar santri di pesantren. Kemudian pada umur 15 tahun, beliau
memperdalam ilmunya dengan nyantri di beberapa pesantren. Beliau mengawalinya dari
pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian ke Pesantren Langitan Tuban. Namun beliau tidak
puasa hanya disitu, beliau melanjutkan ke beberapa pesantren seperti Pesantren Trenggilis,
Kedamengan dan bangkalan. Selain menuntut ilmu di Jawa, beliau juga menuntut ilmu hingga
ke Makkah berguru kepada imam masjid besar dan terkemuka di Makkah. Dalam biografi KH
Hasyim Ashari, menyebutkan bahwa beliau merupakan ahli dalam hadits Bukhari Muslim.
Sehingga dalam waktu tertentu beliau sering mengadakan kajian rutin tentang hadist Bukhari
Muslim tersebut.
Akibat dari fatwa dan larangan beliau, belanda memenjarakan KH Hasyim Ashari selama 3
bulan pada tahun 1942. Belanda juga sempat melakukan politik adu domba terhadap beliau.
Namun beliau tidak pernah mau untuk bekerjasama dengan Belanda. Pada tahun selanjutnya,
Belanda terusir dari tanah air, Jepang melakukan pendekatan terhadap umat muslim. Jepang
tidak terlalu menekan pergerakan dan aktivitas umat muslim namun dengan syarat umat muslim,
termasuk KH. Hasyim Asahri harus untuk melakukan seikerei suatu penghormatan terhadap
Kaisar Hirohito dan Dewa Matahari. tentu dengan keras beliau menolak hal tersebut.
Konsekuensinya beliau ditangkap dan diasingkan dari jombang ke mojokerto dan akhirnya ke
penjara di Surabaya, di Bubutan. Dalam biografi KH Hasyim Ashari, beliau memang sangat taat
terhadap Allah dan ajaran Islam.
Terlepas dari penjajahan yang terjadi di tanah air beliau terus mensyiarkan ajaran agama Islam.
Pda tanggal 16 Rajab 1344 H, beliau mendirikan organisasi Nahdhatul Ulama' yang artinya
sebuah kebangkitan ulama. Organisasi keagamaan ini masih tetap menjadi organisasi besar di
Indonesia. Perjuangan KH Hasyim Asy'ari merupakan suatu teladan yang mulia yang sangat
menjunjung tinggi nilai nilai agama dan mencintai tanah air. demikian biografi KH Hasyim
Ashari, semoga dapat dijadikan renungan dan memberi manfaat.
Pahlawan Nasional
Biografi Singkat
Nama : Wage Rudolf Supratman
Lahir: Somongari, Purworejo, 19 Maret 1903
Meninggal: Surabaya, 17 Agustus 1938
Kebangsaan: Indonesia
Dimakamkan: Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta
Orang tua: Djoemeno Senen Sastrosoehardjo, Siti Senen
Saudara Kandung :
Roekijem Soepratijah,
Roekinah Soepratirah,
Rebo,
Gijem Soepratinah,
Aminah,
Ngadini Soepratini,
Slamet,
Sarah.
Biografi dan Profil Lengkap
Kehidupan Pribadi W.R Soepratman
W.R Soepratman merupakan anak ketujuh dari sembilan bersaudara dari pasangan Djoemeno
Senen Sastrosoehardjo dan Siti Senen. Sang ayah merupakan seorang tentara KNIL Belanda.
Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem kakak sulungnya ke Makassar. Di Makassar
Soepratman disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yaitu Willem van Eldik.
Selanjutnya, selama tiga tahun Soepratman belajar bahasa Belanda di sekolah malam. Lalu, ia
melanjutkan pendidikan ke Normaalschool di Makassar hingga selesai. Saat berumur n20 tahun,
Ia dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun kemudian Ia mendapatkan ijazah Klein
Ambtenaar.
Dalam beberapa waktu yang lama, Soepratman bekerja di sebuah perusahaan dagang.
Kemudian, Ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan
Kaoem Kita. Pekerjaan itu kemudian tetap ia lakukan saat telah tinggal di Jakarta. Pada waktu
itu, Soepratman mulai tertarik dengan pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-
tokoh pergerakan. Dalam bukunya yang berjudul Perawan Desa, Ia menuangkan rasa tidak
senang dengan penjajahan namun kemudian buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah
Belanda.
Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang (ibukota Kabupaten Wajo merupakan salah satu kota
kecil yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan). Di situ tidak lama, Ia meminta berhenti lali
pulang ke Makassar. Kakak sulungnya yaitu Roekijem sangat senang sandiwara dan musik,
banyak karyanya yang ditampilkan di mes militer. Selain itu, Roekijem juga senang bermain
biola, kegemaran yang dimiliki sang kaka membuat Soepratman juga gemar bermain musik dan
membaca buku musik.
W.R Soepratman tidak memiliki istri dan tidak pernah mengangkat anak.
Menciptakan Lagu “Indonesia Raya”
Saat tinggal di Makassar, Soepratman mendapatkan pelajaran tentang musik dari kakak iparnya.
W.R Soepratman pandai bermain biola dan dapat menggubah lagu. Saat tinggal di Jakarta, Ia
membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul, penulis karangan tersebut menantang para
ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
Soepratman merasa tertantang dan ia mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924, terciptalah lagu
Indonesia raya yang pada saat itu Ia berumur 21 tahun dan berada di Bandung.
Pada malam penutupan Kongres Pemuda II di Jakarta pada 28 Oktober 1928, Soepratman
memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental didepan umum dan semua orang yang
hadir terpukau mendengarkannya. Lagu Indonesia Raya kemudian dengan cepat menjadi
terkenal , apabila ada partai yang mengadakan kongres maka lagu tersebut selalu dinyanyikan.
Lagu Indonesia Raya merupakan perwujudan rasa persatuan dan keinginan untuk merdeka.
Wafatnya W.R. Soepratman
Karena menciptakan lagu Indonesia Raya, Soepratman menjadi buronan polisi Hindia Belanda
hingga Ia jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang berjudul “Matahari Terbit”, pada
awal Agustus 1938, Soepratman ditangkap saat sedang menyiarkan lagu tersebut bersama para
pandu di NIROM Jalan Embong Malang, Surabaya lalu Ia ditahan di penjara Kalisosok,
Surabaya. W.R soepratman meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.
Setelah Indonesia Merdeka, Lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Soepratman ditetapkan
sebagai lagu kebangsaan. Namun sayangnya sang pencipta tidak dapat merasakan kemerdekaan
tersebut.
23. Wolter Monginsidi
Pendidikan
Hollands Inlandsche School (HIS)
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO)
Sekolah Pertanian Jepang di Tomohon
Sekolah Guru Bahasa Jepang.
Karir
Guru bahasa Jepang di Malalayang
Liwutung dan Luwuk Banggai
Penghargaan
Bintang Gerilya (tahun 1958),
Bintang Maha Putera Kelas III
(tahun 1960),
Ditetapkannya sebagai
Pahlawan Nasional (1973)
Robert Wolter Monginsidi adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus
pahlawan nasional Indonesia dari daerah Bantik Minanga (Malalayang). Beliau lahir di
Malalayang, Manado, Sulawesi Utara pada 14 Februari 1925 dan meninggal di Pacinang,
Makassar, Sulawesi Selatan pada 5 September 1949 pada umur 24 tahun.
Robert dilahirkan di Malalayang (sekarang bagian dari Manado) dan anak dari Petrus
Monginsidi dan Lina Suawa. dia memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa
Belanda: Hollands Inlandsche School atau (HIS), yang diikuti sekolah menengah (bahasa
Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO) di Frater Don Bosco di Manado.
Monginsidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang pada sebuah sekolah di Tomohon.
Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk,
Sulawesi Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Monginsidi tumbuh dalam budaya Bantik yang begitu kental, dengan adat yang paling
mendasar yaitu Hinggilr'idang, Hintalr'unang dan Hintakinang. Falsafah ini berarti berlaku
kasih kepada sesama anggota keluarga, kepada sesama yang masih terikat dalam komunitas
suku Bantik, dan bersifat dermawan kepada siapa pun terlepas dari suku maupun ikatan
keluarga. Falsafah itu yang membakar semangat Monginsidi untuk menentang penjajahan.
Dengan keberanian dan kepintaran yang dimiliki Monginsidi, beliau dipercaya untuk
memimpin pertempuran melawan Belanda dan menjadi sosok yang disegani.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Monginsidi berada di Makassar. Namun,
Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya
Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil
Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Monginsidi menjadi terlibat dalam
perjuangan melawan NICA di Makassar.
Pada tanggal 17 Juli 1946, Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya
membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya
menyerang posisi Robert Wolter Monginsidi adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia
sekaligus pahlawan nasional Indonesia dari daerah Bantik Minanga (Malalayang). Beliau
lahir di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara pada 14 Februari 1925 dan meninggal di
Pacinang, Makassar, Sulawesi Selatan pada 5 September 1949 pada umur 24 tahun.
Robert dilahirkan di Malalayang (sekarang bagian dari Manado) dan anak dari Petrus
Monginsidi dan Lina Suawa. dia memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa
Belanda: Hollands Inlandsche School atau (HIS), yang diikuti sekolah menengah (bahasa
Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO) di Frater Don Bosco di Manado.
Monginsidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang pada sebuah sekolah di Tomohon.
Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk,
Sulawesi Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Monginsidi tumbuh dalam budaya Bantik yang begitu kental, dengan adat yang paling
mendasar yaitu Hinggilr'idang, Hintalr'unang dan Hintakinang. Falsafah ini berarti berlaku
kasih kepada sesama anggota keluarga, kepada sesama yang masih terikat dalam komunitas
suku Bantik, dan bersifat dermawan kepada siapa pun terlepas dari suku maupun ikatan
keluarga.
Falsafah itu yang membakar semangat Monginsidi untuk menentang penjajahan. Dengan
keberanian dan kepintaran yang dimiliki Monginsidi, beliau dipercaya untuk memimpin
pertempuran melawan Belanda dan menjadi sosok yang disegani.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Monginsidi berada di Makassar. Namun,
Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya
Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil
Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Monginsidi menjadi terlibat dalam
perjuangan melawan NICA di Makassar.
Pada tanggal 17 Juli 1946, Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya
membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya
menyerang posisi Belanda.
Pada tanggal 28 Februari 1947 Monginsidi ditangkap tentara Belanda, namun berhasil
melarikan diri pada 27 Oktober 1947 bersama Abdullah Hadade, HM Yosep dan Lewang
Daeng Matari setelah hampir 8 bulan mendekam di tahanan. Sepuluh hari kemudian
Monginsidi kembali tertangkap dan kali ini Belanda memvonisnya dengan hukuman mati.
Monginsidi dieksekusi oleh tim penembak pada 5 September 1949. Jasadnya dipindahkan ke
Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950.
Penghargaan
Robert Wolter Monginsidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah
Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara
Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973. Ayahnya, Petrus,
yang berusia 80 tahun pada saat itu, menerima penghargaan tersebut.
Bandara Wolter Monginsidi di Kendari, Sulawesi Tenggara dinamakan sebagai penghargaan
kepada Monginsidi, seperti kapal Angkatan Darat Indonesia, KRI Wolter Monginsidi dan
Yonif 720/Wolter Monginsidi.
24. Chairil Anwar
Sebagai anak tunggal yang biasanya selalu dimanjakan oleh orang tuanya, namun Chairil Anwar
tidak mengalami hal tersebut. Bahkan ia dibesarkan dalam keluarga yang terbilang tidak baik.
Kedua orang tuanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan,
sewaktu kecil Nenek dari Chairil Anwar merupakan teman akrab yang cukup mengesankan
dalam hidupnya. Kepedihan mendalam yang ia alami pada saat neneknya meninggal dunia.
Chairil Anwar bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-
orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi
dia keluar sebelum lulus. Dia mulai menulis puisi ketika remaja, tetapi tidak satupun puisi yang
berhasil ia buat yang sesuai dengan keinginannya.
Meskipun ia tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, tetapi ia tidak membuang waktunya sia-sia,
ia mengisi waktunya dengan membaca karya-karya pengarang Internasional ternama, seperti :
Rainer Maria Rike, W.H. Auden, Archibald Macleish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan
Edgar du Perron. Ia juga menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.
Pada saat berusia 19 tahun, ia pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) bersama dengan ibunya pada
tahun 1940 dimana ia mulai kenal dan serius menggeluti dunia sastra. Puisi pertama yang telah
ia publikasikan, yaitu pada tahun 1942. Chairil terus menulis berbagai puisi. Puisinya memiliki
berbagai macam tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan
eksistensialisme.
Selain nenek, ibu adalah wanita yang paling Chairil cinta. Ia bahkan terbiasa menyebut nama
ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya,
Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan
kecintaannya pada ibunya.
Dunia Sastra
Nama Chairil Anwar mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di “Majalah
Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia berusia dua puluh tahun. Namun, saat pertama kali
mengirimkan puisi-puisinya di "Majalah Pandji" untuk dimuat, banyak yang ditolak karena
dianggap terlalu individualistis. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.
Puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia yang tidak
diterbitkan hingga tahun 1945.
Salah satu puisinya yang paling terkenal dan sering dideklamasikan berjudul Aku ("Aku mau
hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke
dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat "Gelanggang"
dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan "Gelanggang Seniman Merdeka" pada tahun 1946.
Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru
Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Seniman Pelopor Angkatan 45
Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang (1986), Koleksi sajak 1942-1949", diedit
oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara
(1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).
Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena
Gempur (1951, John Steinbeck). Karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
Jerman dan Spanyol antara lain “Sharp gravel, Indonesian poems”, oleh Donna M. Dickinson
(Berkeley, California, 1960); “Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar,
Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton
Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); “Only Dust: Three Modern
Indonesian Poets”, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969).
Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta kepada Sri Ayati tetapi
hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Kemudian
ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka
dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun karena masalah kesulitan ekonomi,
mereka berdua akhirnya bercerai pada akhir tahun 1948.
Puisi "Aku"
Chairil Anwar pertama kali membaca "AKU" di Pusat Kebudayaan Jakarta pada bulan Juli 1943.
Hal ini kemudian dicetak dalam Pemandangan dengan judul "Semangat", sesuai dengan
dokumenter sastra Indonesia, HB Jassin, ini bertujuan untuk menghindari sensor dan untuk lebih
mempromosikan gerakan kebebasan. "AKU" telah pergi untuk menjadi puisi Anwar yang paling
terkenal.
Prof. Mr. Sunario Sastrowardoyo adalah salah satu tokoh Indonesia pada masa pergerakan
kemerdekaan Indonesia dan pernah menjabat sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia di
Belanda.
Sunario adalah satu-satunya tokoh yang berperan aktif dalam dua peristiwa yang menjadi
tonggak sejarah nasional Manifesto 1925 dan Konggres Pemuda II. Ketika Manifesto Politik itu
dicetuskan ia menjadi Pengurus Perhimpunan Indonesia bersama Hatta. Sunario menjadi
Sekretaris II, Hatta bendahara I. Akhir Desember 1925, ia meraih gelar Meester in de rechten,
lalu pulang ke Indonesia. Aktif sebagai pengacara, ia membela para aktivis pergerakan yang
berurusan dengan polisi Hindia Belanda. Ia menjadi penasihat panitia Kongres Pemuda II tahun
1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Dalam kongres itu Sunario menjadi pembicara dengan
makalah “Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia.”
Riwayat
Sunario lahir di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 28 Agustus 1902. Ia adalah anak pertama dari
13 bersaudara dari pasangan Sutejo Sastrowardoyo yang merupakan mantan wedana di Uteran
dan Suyati Kartokusumo.
Sunario yang beragama Islam dan berasal dari Jawa Timur ini menikah dengan gadis Minahasa
beragama Protestan yang ditemuinya saat berlangsung Kongres Pemuda 1928.
Sunario menikah dengan Dina Maranta Pantouw pada 7 Juli 1930, gadis Minahasa yang
dikenalnya saat rangkaian Kongres Pemuda II. Ada kisah menarik sebelum pernikahan
berlangsung.
Pada malam midodareni, Sunario dan Dina diminta untuk datang ke rumah Mr Sartono. Di sana
telah hadir MH Thamrin dan AK Pringgodigdo.
Kemudian diputarlah lagu “Indonesia Raya” sebagai penghormatan kepada kedua calon
mempelai yang sangat besar cintanya kepada Indonesia. Dari pernikahan tersebut, mereka
dikaruniai lima orang anak.
Sunario wafat pada tahun 1997 di RS Medistra, Jakarta. Sementara istrinya tiga tahun lebih
awal, 1994. Sunario dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Pendidikan
Pada tahun 1908, Sunario masuk ke Frobelschool (sekolah taman kanak-kanak) di Madiun. Di
sekolah tersebut, ia diajar oleh guru-guru wanita yang bernama Mejuffrouw Acherbeek dan
Mejuffrouw Tien.
Setelah ia lulus dari Frobelschool, ia masuk ke Europeesche Lagere School (ELS), yang
merupakan Sekolah Dasar di Madiun tahun 1909 – 1916, Sunario tinggal di rumah kakeknya
yang merupakan pensiunan Mantri Kadaster yang bernama Sastrosentono. Sunario termasuk
murid yang cerdas dan tidak pernah tinggal kelas yang membuat orang tuanya bangga.
Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, Sunario melanjutkan sekolahnya ke MULO, yang
merupakan singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (sejenis dengan Sekolah Menengah
Pertama) di Madiun. Ia bersekolah disini hanya 1 tahun, dan pada tahun 1917 ia pindah ke
Rechtschool (setingkat dengan SMK/Sekolah Menengah Kejuruan Hukum) di Batavia. Di
Batavia, ia tinggal di rumah pamannya, yang bernama Kusman dan Kunto. Di Rechschool, ia
belajar hukum dan belajar bahasa Perancis. Sewaktu ia bersekolah disitu, ia menjadi anggota
Jong Java.
Setelah ia menyelesaikan pendidikannya di Rechtschool, ia melanjutkan pelajarannya ke
Belanda. Ia berangkat ke Belanda dengan biaya sendiri dengan menaiki kapal sampai ke Genoa,
lalu meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Brussel, Belgia dan menginap disana semalam.
Setelah itu, ia pergi ke Den Haag dan mengganti kereta api menuju Leiden. Di Leiden, ia
diterima di Universitas Leiden dan mengikuti kuliah doktoral, sehingga pada tahun 1925 ia
meraih gelar Mr. atau Meester in de Rechten yang artinya ahli dalam ilmu hukum. Ia menerima
ijazah pada tanggal 15 Desember dan ditandatangani oleh Prof. C. van Vollenhoven dan Prof.
N.Y. Krom. Selama di Belanda, ia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia.
Karier
Setelah Indonesia merdeka, Sunario menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional
Indonesia Pusat).
Ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada periode 1953-1955. Pada masa jabatannya
sebagai Menteri Luar Negeri Mr. Sunario menjabat sebagai Ketua Delegasi RI dalam Konferensi
Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Ketika menjadi Menlu, Sunario juga menandatangani
Perjanjian tentang Dwi kewarganegaraan etnis Cina dengan Chou En Lai.
Ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Inggris periode 1956 – 1961. Setelah itu
Sunario diangkat sebagai guru besar politik dan hukum internasional, lalu menjadi Rektor
Universitas Diponegoro, Semarang (1963-1966) dan menjadi Rektor IAIN Al-Jami’ah Al-
Islamiyah Al-Hukumiyah (1960-1972) yang merupakan cikal bakal UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta serta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada 1968, Sunario berprakarsa mengumpulkan pelaku sejarah Sumpah Pemuda, dan meminta
kepada Gubernur DKI mengelola dan mengembalikan gedung di Kramat Raya 106 milik Sie
Kong Liang yang telah berganti-ganti penyewa dan pemilik kepada bentuknya semula. Tempat
ini disepakati menjadi Gedung Sumpah Pemuda, tetapi usulan mengganti nama jalan Kramat
Raya menjadi jalan Sumpah Pemuda belum tercapai.
Setelah pensiun, diangkat sebagai Panitia Lima tahun 1974. Panitia itu dibentuk pemerintah
karena muncul kehebohan di kalangan masyarakat tentang siapa sebetulnya penggali Pancasila.
Panitia ini diketuai Bung Hatta. Anggota lainnya adalah Ahmad Subardjo, A. A. Maramis, dan
A. G. Pringgodigdo, tokoh yang ikut merumuskan Piagam Jakarta tahun 1945.
Biodata Sunario Sastrowardoyo
Jabatan
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ke-7
Masa jabatan: 9 April 1957 – 10 Juli 1959
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ke-2
Masa jabatan: 1960 – 1963
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ke-3
Masa jabatan: 1960 – 1972
Informasi pribadi
Lahir: 28 Agustus 1902 Madiun, Jawa Timur, Hindia Belanda
Meninggal: 18 Mei 1997 (umur 94) Jakarta, Indonesia
Kebangsaan: Indonesia
Profesi: Diplomat
Agama: Islam
26. Muh. Yamin
Amir Sjarifuddin lahir di Medan, Sumatera Utara pada 27 April 1907 adalah seorang tokoh
Indonesia, mantan menteri, dan perdana menteri pada awal berdirinya negara Indonesia. Amir
memulai jenjang pendidikannya di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914
hingga selesai Agustus 1921. Kemudian atas tawaran saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang
baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad, Amir meneruskan sekolahnya di Leiden.
Pada periode 1926-1927, Amir aktif sebagai anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium
di Haarlem dan selama itu pula Amir sering terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok Kristen.
Salah satunya di kelompok CSV-op Java yang menjadi cikal bakal dari GMKI (Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia). Namun Amir tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di
Leiden, karena pada September 1927 setelah lulus ujian tingkat kedua, Amir harus kembali ke
Medan karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar
menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Setelah itu Amir meneruskan kembali pendidikannya
di Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat
106, bersama dengan senior satu sekolahnya Mr. Muhammad Yamin.
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha menyetujui dan menjalankan garis
Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk
menghancurkan Fasisme. Amir diminta oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal,
menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam
menghadapi serbuan Jepang. Rencana tersebut tidak banyak mendapat sambutan, ini disebabkan
karena rekan-rekan Amir sesama aktivis masih belum pulih kepercayaannya terhadap Amir
akibat polemik yang terjadi di awal tahun 1940-an dan mereka tidak paham akan strategi Amir
melawan Jepang.
Pada bulan Januari 1943 Amir tertangkap oleh fasis Jepang. Kejadian ini diartikan sebagai
terbongkarnya jaringan organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai
hubungan dengan Amir. Melalui beberapa sidang pengadilan tahun 1944, hukuman terberat
dijatuhkan pada para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.
Setelah Peristiwa Madiun 1948, pemerintah menuduh PKI berupaya untuk membentuk negara
komunis di Madiun dan menyatakan perang terhadap PKI. Amir sebagai salah seorang tokoh
PKI yang pada saat terjadi peristiwa Madiun sedang berada di Yogyakarta dalam rangka kongres
Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) juga ditangkap beserta beberapa orang temannya.
Tanggal 19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di dekat desa Ngalihan, Amir Sjarifuddin
tewas ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer. Sebelumnya beberapa orang
penduduk desa setempat telah diperintahkan untuk menggali sebuah lubang besar. Dari sebelas
orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang dieksekusi
malam itu.
Riwayat karir Amir Sjarifuddin:
• Menteri Penerangan Kabinet Presidensial (19 Agustus 1945 - 14 November 1945)
• Menteri Keamanan Rakyat Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 12 Maret 1946)
• Menteri Penerangan (ad interim) Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 3 Januari 1946)
• Menteri Pertahanan Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946)
• Menteri Keamanan Rakyat Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)
• Perdana Menteri Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 - 29 Januari 1948)
28. Husni Tamrin
Muhammad Tabri Thamrin bekerja sebagai seorang wedana, ia mengepalai sebuah distrik atau
daerah jabatan wedana merupakan terpandang pada masa kolonial yang membawahi beberapa
asisten wedan (camat). Ayah Muhammad Husni Thamrin juga dikenal sebagai tokoh Betawi.
Kakek Husni Thamrin bernama Ort, pria berkebangsaan Inggris yang menikah dengan Nuraini,
nenek dari Husni Thamrin yang berasal dari Betawi. Ort bekerja sebagai seorang pedagang. Ia
juga memiliki hotel bernama Ort de Rijwik di Batavia.
Sepeninggal Ort, ayah Husni Thamrin yakni Tabri Thamrin yang berusia 10 tahun di adopsi oleh
paman dari pihak ibunya yang bernama Muhammad Thabri yang bekerja sebagai seorang
pamong praja di wilayah kepulauan Seribu.
Ketika pamannya wafat ayah Husni Thamrin menjadi kaya raya sebab mewarisi kekayaan dari
paman dan warisan ayahnya dulu. Muhammad Husni Thamrin yang sejak kecil lahir dari
keluarga terpandang namun ia bergaul dengan anak-anak dari rakyat jelata disekitar tempat
tinggalnya.
Beliau memperoleh pendidikan yang layak semasa kecilnya. Di usia muda, Muhammad Husni
Thamrin yang dikenal fasih dalam berbahasa Belanda dan Inggris bekerja sebagai pegawai di
perusahaan pelayaran besar bernama KPM (Koninklijke Paketvaart-Maatschappij.). Muhammad
Husni Thamrin memimpin organisasi kedaerahan bernama Kaoem Betawi yang awalnya
didirikan oleh Ayahnya, Thabri Thamrin.
Karena memiliki kecerdasan dan kecakapan dalam memimpin Husni Thamrin kemudian
bergabung ke Volksraad (Dewan Rakyat) tahun 1927 mengisi kekosongan jabatan yang ada saat
itu bersama dengan tokoh tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia seperti H.O.S
Cokroaminoto dan Haji Agus Salim. Di Voolksraad, Muhammad Husni Thamrin
memperjuangkan penggunaan bahasa indonesia dalam sidang dewan.
Setelah penggeledahan, Muhammad Husni Thamrin kemudian dijatuhi hukuman tahanan rumah
oleh pemerintah Belanda pada tanggal 6 Januari 1941. Rumahnya dijaga ketat oleh polisi dan
tidak membiarkan siapapun menemui Husni Thamrin termasuk dokter yang ingin mengobatinya.
Akibatnya, sakit demam yang diderita oleh Muhammad Husni Thamrin semakin parah. Baru
ditanggal 10 Januari 1941, dokter bernama J. Kayadi baru bisa memeriksa dan mencoba
mengobati sakit demam yang diderita oleh Muhammad Husni Thamrin.
Pemakaman Muhammad Husni Thamrin sendiri dihadiri sekitar 10.000 pelayat. Beliau
dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Atas jasa-jasa MH Thamrin, Pemerintah Indonesia
kemudian memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Muhammad Husni Thamrin.
Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan protokol di Jakarta yakni Jl. MH Thamrin. Selain
itu beliau juga diabadikan dalam pecahan uang kertas rupiah nominal 2.000 yang dikeluarkan
pada tahun 2016.
29. Rajiman Widyodiningrat
Ayah: Sutodrono
Penghargaan: Gelar Pahlawan Nasional Indonesia
Pendidikan
Pendidikan Radjiman dimulai dengan model pembelajaran hanya dengan mendengarkan
pelajaran di bawah jendela kelas saat mengantarkan putra Dr. Wahidin Soedirohoesodo ke
sekolah, kemudian atas belas kasihan guru Belanda disuruh mengikuti pelajaran di dalam kelas
sampai akhirnya di usia 20 tahun ia sudah berhasil mendapatkan gelar dokter dan mendapat gelar
Master of Art pada usia 24 tahun. Ia juga pernah belajar di Belanda, Perancis, Inggris dan
Amerika.
Pilihan belajar ilmu kedokteran yang diambil berangkat dari keprihatinannya ketika melihat
masyarakat Ngawi saat itu dilanda penyakit pes, begitu pula beliau secara khusus belajar ilmu
kandungan untuk menyelamatkan generasi kedepan dimana saat itu banyak Ibu-Ibu yang
meninggal karena melahirkan.
Sejak tahun 1934 ia memilih tinggal di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi
dan mengabdikan dirinya sebagai dokter ahli penyakit pes, ketika banyak warga Ngawi yang
meninggal dunia karena dilanda wabah penyakit tersebut. Rumah kediamannya yang sekarang
telah menjadi situs sudah berusia 134 tahun. Begitu dekatnya Radjiman dengan Bung Karno
sampai-sampai Bung Karno pun telah bertandang dua kali ke rumah tersebut.
Boedi Oetomo sampai BPUPKI
Dr. Radjiman adalah salah satu pendiri organisasi Boedi Oetomo dan sempat menjadi ketuanya
pada tahun 1914-1915.
Dalam perjalanan sejarah menuju kemerdekaan Indonesia, dr. Radjiman adalah satu-satunya
orang yang terlibat secara akif dalam kancah perjuangan berbangsa dimulai dari munculnya
Boedi Utomo sampai pembentukan BPUPKI. Manuvernya di saat memimpin Budi Utomo yang
mengusulkan pembentukan milisi rakyat disetiap daerah di Indonesia (kesadaran memiliki
tentara rakyat) dijawab Belanda dengan kompensasi membentuk Volksraad dan dr. Radjiman
masuk di dalamnya sebagai wakil dari Boedi Utomo.
Pada tanggal 29 Mei 1945 yakni pada sidang BPUPKI, ia mengajukan pertanyaan “apa dasar
negara Indonesia jika kelak merdeka?” Pertanyaan ini dijawab oleh Bung Karno dengan
Pancasila. Jawaban dan uraian Bung Karno tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia ini
kemudian ditulis oleh Radjiman selaku ketua BPUPKI dalam sebuah pengantar penerbitan buku
Pancasila yang pertama tahun 1948 di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi.
Terbongkarnya dokumen yang berada di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi
ini menjadi temuan baru dalam sejarah Indonesia yang memaparkan kembali fakta bahwa
Soekarno adalah Bapak Bangsa pencetus Pancasila.
Pada tanggal 9 Agustus 1945 ia membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Saigon dan Da Lat
untuk menemui pimpinan tentara Jepang untuk Asia Timur Raya terkait dengan pemboman
Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan Jepang berencana menyerah tanpa syarat kepada
Sekutu, yang akan menciptakan kekosongan kekuasaan di Indonesia.
Setelah kemerdekaan
Di masa setelah kemerdekaan RI Radjiman pernah menjadi anggota DPA, KNIP dan pemimpin
sidang DPR pertama di saat Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dari RIS.
Dr. Radjiman Wedyodiningrat meninggal di Ngawi, Jawa Timu pada 20 September 1952 pada
umur 73 tahun. Oleh pemerintah Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia yang
diberikan bertepatan dengan peringatan hari pahlawan pada 10 November 2013 melalui Keppres
No. 68/TK/2013 bersama kedua pahlawan lainnya yakni: Lambertus Nicodemus Palar dan Tahi
Bonar Simatupang.
30. Soegondo Djoyopuspito
Pekerjaan:
Pada masa penjajahan Jepang, bekerja sebagai pegawai Shihabu (Kepenjaraan)
Pada masa revolusi aktif dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-
KNIP)
Menteri Pembangunan Masyarakat dalam Kabinet Halim. Pada masa RIS, dalam Negara
Republik Indonesia dengan Acting Presiden Mr. Assaat.
31. Mathen Indey
Agama : Kristen
Tempat Lahir : Doromena, Jayapura, Papua
Tanggal Lahir : Kamis, 14 Maret 1912
Warga Negara : Indonesia
Pendidikan
Latihan Militer Pard di Bris-bane Cans Australia
Sekolah Marinir di Makasar dan Surabaya
Sekolah Polisi di Sukabumi, Jawa Barat
Sekolah Pelayaran
Sekolah Dasar{Sekolah Rakyat 5 tahun,Tamat}
Marthen Indey merupakan Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Papua. Ia lahir
di Doromena, Jayapura, Papua, 16 Maret 1912 dan meninggal di Doromena, Jayapura,
Papua, 17 Juli 1986 pada umur 74 tahun.
Sebelumnya, pria yang akrab disapa Marthen ini merupakan polisi Belanda yang kemudian
berbalik mendukung Indonesia setelah bertemu dengan beberapa tahanan politik yang
diasingkan di Digul, salah satunya adalah Sugoro Atmoprasojo. Saat itu, ia bertugas untuk
menjaga para tahanan politik yang secara tidak langsung berhasil menumbuhkan jiwa
nasionalismenya dalam pertempuran melawan penjajah.
Jiwa nasionalisme Marthen memang tumbuh sangat kuat, namun beberapa upaya yang
direncanakan olehnya dan puluhan anak buahnya dalam menangkap aparat pemerintah
Belanda berulang kali gagal. Perjuangan Marthen dalam membela tanah kelahirannya sempat
gagal beberapa kali, namun hal itu tidak menyurutkan niat dan semangat juang pria lulusan
Sekolah Polisi di Sukabumi, Jawa Barat ini menyerah dan tunduk pada musuh begitu saja.
Sekembalinya dari pengungsian di Australia selama tiga tahun tepatnya pada tahun 1944,
Marthen ditunjuk sekutu untuk melatih anggota Batalyon Papua yang nantinya akan
difungsikan sebagai tentara pelawan Jepang. Setahun berikutnya, ia diangkat sebagai Kepala
Distrik Arso Yamai dan Waris selama dua tahun. Dalam tahun-tahun tersebut Marthen tak
hanya tinggal diam, namun ia melakukan kontak terhadap mantan para pejuang Indonesia
yang pernah ditahan di Digul. Dalam kontak tersebut, mereka merencanakan suatu
pemberontakan untuk mengusir Belanda dari tanah Cendrawasih. Namun, usaha mereka
gagal begitu Belanda mencium gelagat Marthen dan rencana mereka batal diekskusi.
Pada tahun 1946 Marthen merangkap menjadi Kepala Distrik Arso Yamai dan Waris,
Marthen bergabung dengan sebuah organisasi politik bernama Komite Indonesia Merdeka
(KIM) yang kemudian dikenal dengan sebutan Partai Indonesia Merdeka (PIM). Saat
menjabat sebagai ketua, Marthen dan beberapa kepala suku yang ada di Papua
menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan Belanda yang berencana memisahkan
wilayah Irian Barat dari wilayah kesatuan Indonesia. Mengetahui pihaknya membelot,
Belanda menangkap Marthen dan membuinya selama tiga tahun di hulu Digul karena
pasukan Belanda merasa dikhianati oleh aksinya tersebut.
Pada tahun 1962 Marthen bergerilya untuk menyelamatkan anggota RPKAD yang
didaratkan di Papua selama masa Tri Komando Rakyat (Trikora). Di tahun yang sama,
Marthen menyampaikan Piagam Kota Baru yang berisi mengenai keinginan kuat penduduk
Papua untuk tetap setia pada wilayah kesatuan Indonesia. Berkat piagam tersebut, Marthen
dikirim ke New York untuk melakukan perundingan dengan utusan Belanda tentang
pengembalian Irian Barat yang selama ini berada di bawah pemerintahan sementara PBB ke
dalam wilayah kesatuan Indonesia.
Perundingan tersebut menghasilkan suatu keputusan yakni Irian Barat resmi bergabung
dengan wilayah kesatuan Indonesia dan berganti nama menjadi Irian Jaya. Berkat jasanya,
Marthen diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara)
sejak tahun 1963 hingga 1968. Tak hanya itu, ia juga diangkat sebagai kontrolir
diperbantukan pada Residen Jayapura dan berpangkat Mayor Tituler selama dua puluh tahun.
Marthen Indey meninggal pada tanggal 17 Juli 1986 dalam usia usia 74 tahun. Berkat
jasanya terhadap negara, Marthen bersama dengan dua putra Papua lainnya yaitu Frans
Kaisiepo dan Silas Papare mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 14 September
1993 yakni dengan dikeluarkannya Surat keputusan Presiden No.077 /TK/ 1993.
32. Frans Kaisiepo
Frans Kaisiepo (lahir di Wardo, Biak, Papua, 10 Oktober 1921 – meninggal di Jayapura,
Papua, 10 April 1979 pada umur 57 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia dari Papua.
Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai
pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua. Ia mengusulkan nama
Irian, kata dalam bahasa Biak yang berarti beruap atau panas. Selain itu, ia juga pernah
menjabat sebagai Gubernur Papuake-4 antara tahun 1964-1973.
Sejak muda, Kaisiepo telah dikenal sebagai aktivis gerakan kemerdekaan Republik Indonesia
di wilayah Irian (sekarang kembali bernama Papua). Ketika pemerintah Belanda menangkap
Silas Papare, pendiri Partai Kemerdekaan Irian Indonesia (PKII), bersama beberapa aktivis
pro-Republik setelah mengibarkan bendera Merah-Putih pada 17 Agustus 1947, Kaisiepo
dan Johan Ariks memutuskan untuk meneruskan perjuangan rekan mereka menyatukan
wilayah Irian ke pangkuan Indonesia.
Frans Terkenal dengan sikap anti-Belanda yang kua bahkan dia meminta anaknya, Markus
Kaisiepo, untuk mengganti papan nama sekolah yang saat itu bertuliskan Papua
Bestuurschool menjadi Irian Bestuurschool. Bagi mantan anggota Hakim Tertinggi DPA ini,
nama Irian mencerminkan sikap hidup dan semangat persatuan untuk menolak kehadiran
Belanda yang berusaha berkuasa kembali pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI. Sejarah juga
mencatat tiga hari menjelang Proklamasi, tepatnya 14 Agustus 1945, Kaisiepo dan beberapa
rekan seperjuangannya memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kampung
Harapan Jayapura. Beberapa hari sesudah Proklamasi, atau pada 31 Agustus 1945, Kaisiepo
dan rekan-rekannya melaksanakan upacara dengan pengibaran bendera Merah Putih dan
nyanyian lagu kebangsaan.
Pada 10 Juli 1946, pahlawan Trikora ini mendirikan Partai Indonesia Merdeka yang diketuai
Lukas Rumkofen. Pada bulan yang sama, Kaisiepo juga berangkat ke Sulawesi utara sebagai
salah satu anggota Delegasi RI dalam Konferensi Malino 1946 dan tercatat sebagai satu-
satunya putra Irian yang hadir dalam salah satu perundingan paling penting dalam sejarah
kemerdekaan Indonesia tersebut. Dalam Konferensi yang sama juga nama Irian diusulkan
Frans Kaisiepo untuk mengganti nama Papua sekaligus menyatakan penolakan atas skenario
usulan pembentukan Negara Indonesia Timur.
Selang dua tahun setelah Konferensi, gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial
Belanda pecah di Biak, Irian dengan Kaisiepo tercatat sebagai salah satu penggerak insiden
tersebut. Setahun berikutnya, atau pada 1949, putra Irian sejati ini menolak penunjukan
dirinya sebagai wakil Belanda untuk wilayah Nugini dalam Konferensi Meja Bundar di
Nederland, Belanda berdasar alasan tidak mau didikte oleh Belanda. Atas penolakan ini,
Kaisiepo bahkan rela disekap sebagai tahanan politik mulai 1954 - 1961.
Setelah bebas dari penahanan, Kaisiepo mendirikan Partai Politik Irian pada 1971 yang
bertujuan utama menggabungkan wilayah Nugini sebagai bagian NKRI. Pada masa-masa
inilah salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah RI pecah dengan dimulainya
TRIKORA (Tiga Komando Rakyat) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 di
Yogyakarta. Kaisiepo juga sering melindungi para sukarelawan yang diam-diam melakukan
infiltrasi ke wilayah Irian barat tersebut.
Hasil dari TRIKORA adalah Perjanjian New York pada 15 Agustus 1963 yang memaksa
Belanda menyerahkan kekuasaan politis atas Irian Barat ke tangan Indonesia. Melalui
pengawasan PBB, pemerintah RI berhak atas pengembangan wilayah Irian mulai 1963 -
1969 sebelum rakyat Papua memutuskan untuk terus bergabung atau lepas dari tangan
Indonesia.
Pada 1964 bisa disebut sebagai tahun paling kritis bagi Irian. Gubernur pertama Irian, Elieser
Jon Bonay, mulai menjabat pada 1963. Pada awal 1964, Bonay membuat usulan ke PBB
yang menyatakan separasi dan kemerdekaan bagi Irian Barat sekaligus menyatakan mundur
dari jabatan gubernur dan digantikan Frans Kaisiepo. Sayangnya, pengunduran diri tanpa
penggantian posisi ini justru memicu kekecewaan Bonay dan membuatnya memilih keluar
dari kampung halaman untuk bergabung, dan selanjutnya menjadi salah satu tokoh paling
berpengaruh, dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Belanda.
Kaisiepo sendiri terus berjuang menyatukaan Irian dengan RI sesuai impiannya sejak awal
dan pada 1969 impian ini terbayar dengan masuknya Irian sebagai propinsi paling muda di
Indonesia saat itu. Pada 1972, Kaisiepo dilantik sebagai salah satu anggota MPR RI sebelum
akhirnya menjabat anggota Hakim Tertinggi Dewan Pertimbangan Agung sejak 1973 hingga
1979.
Frans Kaisiepo, salah satu putra terbaik Irian meninggal dunia pada 10 April 1979, Ia
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura. Untuk mengenang
jasanya, namanya diabadikan sebagai nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak. Beliau
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura.
Atas segala jasa-jasanya, Frans Kaisiepo dianugerahi Bintang Maha Putera Adi Pradana
Kelas Dua. Dan diangkat menjadi salah satu pahlawan Indonesia berdasar Keputusan
Presiden nomor 077/TK/1993.
33. R. A. Kartini
Raden Ajeng Kartini lahir pada tahun 1879 di kota Rembang. Ia anak salah seorang bangsawan
yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak
diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit
sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia
ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan
kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang
kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya).
Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk
surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang
dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada
kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul
keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus
mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan
tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca
dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama
ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di
negeri Belanda.
Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh
orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah
Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita.
Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya,
Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah
“Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun,
menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.Pada
tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia
melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan
membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di
Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap
Terbitlah Terang”.
Saat ini mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang mau
berjuang demi kepentingan orang banyak
KESIMPULAN :
R.A Kartini dilahirkan pada tahun 1879. Beliau adalah seorang pendiri sekolah wanita pertama
di Indonesia. Beliau telah membuat sebuah buku yang berjudul habis gelap tebitlah terang. Dan
akhirnya R.A. Kartini wafat pada tanggal 17 September 1904.
34. Teuku Umar
Teuku Umar berasal dari keluarga keturunan Minangkabau yang merantau ke Aceh pada
akhir abad ke-17. Teuku Umar lahir di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854, anak seorang
Uleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dari perkawinan dengan adik perempuan Raja
Meulaboh. Umar mempunyai dua orang saudara perempuan dan tiga saudara laki-laki.
Teuku Umar dari kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, dan terkadang suka berkelahi
dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah
dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan
formal yang baik. Meski ia tidak mendapatkan pendidikan yang baik, ia mampu menjadi
seorang pemimpin yang kuat, cerdas , dan pemberani.
Nenek moyang Teuku Umar adalah Datuk Makhudum Sati yang berasal dari Minangkabau.
Salah satu seorang keturunan Datuk Makhudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh,
yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut
kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut, orang itu diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim
dengan gelar Teuku Nan Ranceh.
Teuku Nan Ranceh mempunyai dua orang putra yaitu Teuku Nanta Setia dan Teuku Ahmad
Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Teuku Nanta Setia menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. la mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak
Dhien.
Perang Aceh
Perang Aceh meletus pada tahun1873, pada saat itu Teuku Umar ikut serta berjuang
bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya ia
berjuang di kampungnya sendiri, kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang
masih muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai kepala desa atau keuchik gampong di
daerah Daya Meulaboh.
Pada tahun 1878, Belanda berhasil menguasai Kampung Darat yang pada waktu itu
merupakan markas Teuku Umar beserta pasukannya. Karena sudah dikuasai oleh Belanda,
maka ia beserta pasukannya mundur ke daerah Aceh Besar sambil menyusun kekuatan dan
melancarkan Wakil Panglima Besar (1962-1965) Ketua MPRS (1966-1972) perang gerilya.
Menikah
Teuku Umar menikah saat berusia 20 tahun, dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang
Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi
dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim.
Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku
Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni
1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Kemudian mereka berdua berjuang
bersama untuk melancarkan serangan terhadap Belanda.
Belanda berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn pada
saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat
Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer Beland dan dianugerahi gelar Teuku
Johan Pahlawan. Namun, taktik yang digunakan oleh Teuku Umar diketahui oleh Belanda
sehingga perdamaian itu tidak berlangsung lama. Belanda mulai menyerang pasukan Teuku
Umar kembali.
Tahun 1884 Kapal Inggris "Nicero" terdampar. Kapten dan awak kapal tersebut disandera
oleh raja Teunom. Raja Teunom menuntut tebusan senilai 10 ribu dolar tunai kepada Inggris.
Teuku Umar ditugaskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk membebaskan kapal
tersebut, karena kejadian tersebut telah mengakibatkan ketegangan antara Inggris dengan
Belanda.
35. Jendral Sudirman
Jendral Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 24 Januari 1916. Ia berasal
dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang pekerja di pabrik gula Kalibagor Banyumas
dan ibunya keturunan Wedana Rembang.
Jendral Sudirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa yang tersohor akan
pendidikan nasionalisme besutan Ki Hajar Dewantara itu. Setelah tamat dari Taman Siswa, ia
kemudian melanjutkan pendidikannya ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo namun
tidak sampai tamat.
Selama menempuh pendidikan di sana, Jendral Sudirman aktif dalam kegiatan organisasi
Pramuka Hizbul Wathan. Ia kemudian mengabdikan dirinya menjadi guru HIS Muhammadiyah,
Cilacap dan pemandu di organisasi Pramuka Hizbul Wathan tersebut.
Banyak orang menyebut penderitaan mereka sebagai nasib. Namun, sesungguhnya penderitaan
adaah akibat kebodohan mereka sendiri. Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran
melawan pasukan Jepang, Jendral Sudirman berhasil merebut senjata pasukan Jepang di
Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai prajurit pasca kemerdekaan Indonesia.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima
Divisi V Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 November
1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia.
Kemudian pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jendral diberikan kepadanya lewat
pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jendral tidak melalui Akademi Militer atau
pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, namun karena prestasi yang sudah ia
sumbangkan. Saat pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara
Jepang, ternyata tentara Belanda ikut di bonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat
pertempuran dengan tentara sekutu.
Demikian juga pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat
pertempuran sengit melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun
yang sama, dilancarkan lah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran
yang berkobar selama lima hari tanpa henti itu akhirnya bisa memukul mundur pasukan Inggris
dan membuatnya lari tunggang langgang ke Semarang.
Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan Agresi Militer II, Ibukota Negara RI dialihkan di
Yogyakarta karena Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jendral Sudirman saat itu sedang
sakit, kondisinya sangat lemah karena paru-parunya tingggal satu yang berfungsi.
Dalam Agresi Militer II Belanda, dalam kurun waktu yang relatif cepat Yogyakarta pun juga
berhasil dikuasai. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah
ditawan.
Melihat keadaan yang serunyam itu, Jendral Sudirman tidak bisa tinggal diam, dorongan hatinya
mengatakan untuk melakukan perlawanan mengingat tanggungjawabnya sebagai pemimpin
tentara.
Ia terpaksa tidak memenuhi perintah Presiden Soekarno yang sebelumnya telah menganjurkan
untuk tetap tinggal dalam kota dan melakukan perawatan.
Dengan ditandu, Jendral Sudirman berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang
gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari gunung ke gunung, hutan ke
hutan yang lain karena kejaran Belanda. Dan yang membuat semakin miris adalah ia dalam
keadaan sakit parah dan lemah sementara obat juga bisa dikatakan tidak ada.
Namun kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan ia sendiri tidak
merasakan penyakitnya. Meskipun demikian akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya,
karena ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung.
Jendral Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus
Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas ini pernah
mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bencana kelaparan.
Jendral Sudirman wafat pada tanggal 29 Januari 1950 karena penyakit tuberkulosis parah yang ia
derita. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki,
Yogyakarta.
Pada tahun 1997 ia dianugerahi gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima,
pangkat yang hanya dimiliki oleh tiga orang Bangsa Indonesia sampai sekarang.
Orang yang ingin memberi perintah lebih dahulu harus mau diperintah.
Robek-robeklah Badanku, Potong-potonglah Jasad ini, tetapi Jiwaku dilindungi benteng Merah
Putih, akan tetap Hidup, tetap menuntut Bela, siapapun Lawan yang aku Hadapi.
Kamu bukanlah prajurit sewaan. Tetapi tentara yang berideologi. Sanggup berjuang menempuh
maut untuk kelahiran Tanah Airmu.
Percaya dan yakinlah, bahwa Kemerdekaan sebuah negara yang didirikan diatas
timbunan/reruntuhan ribuan korban jiwa, harta benda dari rakyat dan Bangsanya tidak akan
dapat dilenyapkan oleh manusia siapapun juga.
36. Cut Nyak Dien
Ketika usianya menginjak 12 tahun, Cut Nyak Dien dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim
Lamnga pada tahun 1862 yang juga berasal dari keluarga bangsawan. Pasangan muda ini
dikaruniai satu orang anak.
Ketika Perang Aceh meluas pada tanggal 26 maret 1873, ayah dan suami Cut Nyak Dien
memimpin perang di garis depan, melawan Belanda yang memiliki persenjataan lebih lengkap
dan modern. Setelah bertahun-tahun melawan, pasukannya terdesak dan memutuskan untuk
mengungsi ke daerah yang lebih terpencil.
Kendati demikian, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan dengan semangat membara.
Kebetulan saat upacara penguburan suaminya, ia bertemu dengan Teuku Umar yang lantas
menjadi suami sekaligus rekan perjuangan dalam memperjuangkan tanah rencong.
Awalnya Cut Nyak Dien menolak pinangan Teuku Umar, namun pada akhirnya ia setuju untuk
menikah dengan pria yang masih mempunyai garis kekeluargaan dengan dirinya ini setelah
Teuku Umar memenuhi keinginannya untuk ikut turun ke medan perang.
Cut Nyak Dien sangat ingin mengusir Belanda dari bumi Aceh karena telah meresahkan
penduduk dan mengusik keyakinan mereka.
Dimulai dari awal lagi, mereka menggalang kembali kekuatan dan mengumpulkan segenap
pejuang Aceh yang lainnya. Cut Nyak Dien pun gencar melakukan serangan dengan sistem
gerilya, sehingga bisa membuat panik pasukan Belanda yang berada di Aceh.
Dalam masa perjuangan tersebut, Cut Nyak Dien sempat mendapatkan umpatan dari Cut Nyak
Meutia karena strategi suaminya Teuku Umar yang berpura-pura menyerahkan diri pada belanda
dan bekerja sama dengan mereka.
Mestinya kalau komunikasi berjalan dengan baik, Cut Nyak Meutia tidak perlu melakukan hal
itu, karena Teuku Umar hanya bersiasat saja. Setelah rencana awal telah terpenuhi, yakni
mendapatkan banyak senjata dari pasukan Belanda, Teuku Umar kembali pada Cut Nyak Dien
dan para pejuang Aceh lainnya.
Belanda yang merasa telah dikhianati oleh Teuku Umar melancarkan serangan besar-besaran
untuk memburu pasangan suami-istri ini. Teuku Umar pun akhirnya gugur dalam pertempuran di
Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899.
Sementara itu, pasukan Belanda mengetahui dengan persis bahwa pasukan Cut Nyak Dien
melemah dan hanya bisa menghindar dalam tekanan. Akibatnya, karena usis yang sudah mulai
renta kondisi fisik dan kesehatan Cut Nyak Dien pun menurun, tetapi pertempuran tetap ia
lakukan.
Melihat kondisi seperti itu, panglima perangnya, Pang Laot Ali, menawarkan menyerahkan diri
ke Belanda. Tapi Cut Nyak Dien tetap teguh pendirian dan menegaskan untuk terus bertempur.
Akhirnya dalam kurun waktu singkat Cut Nyak Dien berhasil ditangkap dan untuk menghindari
pengaruhnya terhadap masyarakat Aceh, ia diasingkan pada tanggal 11 Desember 1905 di Pulau
Jawa, tepatnya ke Sumedang , Jawa Barat.
Cut Nyak Dien wafat pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Makamnya baru diketahui secara pasti pada tahun 1960 saat Pemda Aceh sengaja melakukan
penelusuran.
Atas teladan, perjuangan dan pengorbanannya yang begitu besar kepada negara, Cut Nyak Dien
dinobatkan menjadi pahlawan Kemerdekaan Nasional. Penobatan tersebut dikuatkan dengan SK
Presiden RI No.106 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.
37. Sri Sultan Hamengkubuwono IX
Sebelum dinobatkan, Sultan yang berusia 28 tahun bernegosiasi secara alot selama 4 bulan
dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adam mengenai otonomi Yogyakarta. Di masa
Jepang, Sultan melarang pengiriman romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran
irigasi Selokan Mataram. Sultan bersama Paku Alam IX adalah penguasa lokal pertama yang
menggabungkan diri ke Republik Indonesia. Sultan pulalah yang mengundang Presiden
untuk memimpin dari Yogyakarta setelah Jakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer
Belanda I
Peranan Sultan Hamengkubuwono IX dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh TNI masih
tidak singkron dengan versi Soeharto. Menurut Sultan, beliaulah yang melihat semangat
juang rakyat melemah dan menganjurkan serangan umum. Sedangkan menurut Pak Harto,
beliau baru bertemu Sultan malah setelah penyerahan kedaulatan. Sultan menggunakan dana
pribadinya (dari istana Yogyakarta) untuk membayar gaji pegawai republik yang tidak
mendapat gaji semenjak Agresi Militer ke-2.
Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin
Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang
Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya
pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan
kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah
karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan
hanyut pada KKN.Beliau ikut menghadiri perayaan 50 tahun kekuasaan Ratu Wilhelmina di
Amsterdam, Belanda pada tahun 1938
Minggu malam 2 Oktober 1988, ia wafat di George Washington University Medical Centre,
Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di Imogiri, Kabupaten
Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia.
Sultan Hamengku Buwana IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia
antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988.
Pendidikan
Taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer di Bintaran Kidul
Eerste Europese Lagere School (1925)
Hogere Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan Bandung
(1931)
Rijkuniversiteit Leiden, jurusan Indologie (ilmu tentang Indonesia) kemudian ekonomi
Jabatan diantaranya:
Pahlawan Nasional
Hamengkubuwana IX diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia tanggal 8 Juni 2003 oleh
presiden Megawati Soekarnoputri.