DISUSUN OLEH :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
SMK NEGERI 2 METRO
Jln. Yos Sudarso Ganjar Asri, Kec. Metro Barat,
Kota Metro, Lampung 34121
Ia adalah seorang raja dari Mataram. Sang ibu bernama R.A. Mangkarawati, ia berdarah Pacitan.
Saat dilahirkan, Diponegoro memiliki nama Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Sang Ayah sempat
punya niat untuk mengangkatnya sebagai raja. Hanya saja waktu itu ia sadar bahwa ia hanya putra
dari seorang selir, sehingga menolak keinginan dari ayahnya tersebut. Sepanjang hidupnya,
Diponegoro pernah mempersuntingnya banyak istri, diantaranya adalah Raden Ayu Ratnaningrum,
Bendara Raden Ayu Antawirya, dan Raden Ayu Ratnaningsih.
Kehidupannya lebih banyak dihabiskan untuk mendalami agama. Ia juga dikenal sangat merakyat
dan banyak tinggal di Tegalrejo. Ada satu momen dimana ia melakukan pemberontakan terhadap
keraton dan ini bermula saat keraton berada di bawah pemerintahan Hamengkubuwana V (1822). Ia
saat itu bertindak sebagai anggota perwalian. Ia tidak menyukai prosedur perwalian tersebut.
Diponegoro adalah sosok pejuang luar biasa. Ia tidak suka dengan Belanda sejak mereka berani
memasang patok di tanah miliknya yang berlokasi di Tegalrejo. Itu tidak lain adalah karena Belanda
dinilai semena-mena terhadap masyarakat.
Mereka juga suka membebani pajak kepada rakyat. Ia pun menunjukkan ketidaksukaannya secara
terbuka dan sikap ini ternyata banyak mendapat dukungan dari masyarakat. Sang paman Pangeran
Mangkubumi kemudian memintanya pindah dari Tegalrejo untuk memikirkan strategi melawan
kaum kafir. Ia menamai perjuangan tersebut sebagai Perang Sabil. Semangat tersebut tidak hanya
menyulut semangat orang-orang terdekatnya saja, namun mleluas hingga ke Kedu dan Pacitan.
Bahkan tokoh agama penting seperti Kyai Maja juga turut serta di dalam perjuangan tersebut.
Perang tersebut menyebabkan kerugian di pihak kolonial. Mereka kehilangan banyak prajurit,
bahkan mencapai 15.000 orang. Karena dinilai membahayakan, mereka pun membuat sayembara
dengan hadiah 50.000 Gulden supaya orang tertarik ikut serta dalam perburuan tersebut.
Diponegoro baru berhasil ditangkap di tahun 1830.
Beberapa minggu setelah ditangkap, 28 Maret 1830, ia bertemu dengan Jenderal de Kock di
Magelang. Sang jenderal meminta supaya Diponegoro tidak melakukan aksi serangan lagi. Ia pun
menolaknya, sehingga berdampak pada pengasingan dirinya ke Ungaran, kemudian Semarang, dan
terakhir Batavia. Tidak berhenti disini, ia kembali dipindahkan beberapa kali dari satu tempat ke
tempat lainnya, bahkan sampai ke Manado.
"Gusti Allah menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus
menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan,"
Hidup dan mati ada dalam genggaman Illahi. Takdir adalah kepastian, tapi hidup harus tetap
berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. Gusti Allah akan
menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus menjumpai kematian,
itu artinya mati syahid di jalan Tuhan.
Den Siro Poro Satrio Nagari Mataram
Nagarining Jawi Dodot Iro
Sumimpin Watak Wantune Sayyidina Nagli
Sumimpin Kawicaksanane Sayidina Kasan
Sumimpin Kekendelane Sayidina Kusen
Den seksenono..Hing Wanci Suro
Londo bakal den siro sirnake soko tanah Jowo
Krana sinurung Pangribawaning poro Satrianing Muhammad yoiku
Ngali, Kasan, Kusen
Siro podho lumaksanane yudho kairing Takbir lan Sholawat
Yen Siro gugur ing bantala..Cinondro guguring sakabate Sayidina Kusen
Ing Nainawa...
Terjemahannya :
Wahai ksatria negeri Mataram,
negeri di Jawa tempat aku pegang teguh,
bersama sifat kepemimpinan Sayidina Ali yg tegas,
bersama sifat sayidina Hasan yang bijak,
bersama sifat kepemimpinan sayidina Husein yang gagah berani,
Wahai saksikanlah.
Tunggulah nnti di bulan Muharam,
Belanda akan kita lenyapkan di tanah jawa,
Dengan kewibawaan ksatria Muhammad yaitu Ali Hasan dan Husein,
Kita semua akan berperang dengan Takbir dan Sholawat,
jika kita gugur di medan perang,
itu adalah tanda laksana gugurnya sahabat Husein di Nainawa
3. Biografi Sultan Ageng Tirtoyoso
Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang yang berjuang melawan
Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri. Perang ini merupakan
peperangan yang terjadi akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi
peperangan melawan penjajahan. Selain menjadi seorang pejuang, Imam Bonjol juga merupakan
seorang ulama yang memiliki cita-cita untuk membersihkan praktek Islam dan mencerdaskan
rakyat nusantara dalam wawasan Islam. Ia menuntut ilmu agama di Aceh pada tahun 1800-1802,
dia mendapat gelar Malin basa.
Perjuangan
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam
Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak diselewengkan
agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan
Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal
Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi
wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta
Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk
meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring
itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri
dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah
pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri
dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda
berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai
kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman
Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah
pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu. Perlawanan yang
dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk
mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch
mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk
berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Tetapi kemudian perjanjian ini
dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek. Pada tahun 1833 perang
berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-
membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan
Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru
menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini
dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah
yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak (Adat berdasarkan agama).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan
selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para
perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari
berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.
3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil
dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal
16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di
tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan
ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal
dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat tersebut.
Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia,
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November
1973.
5. Biografi Patimura
Gelar Kapitan
Berdasarkan sejarah yang dituliskan M.Sapija, gelar kapitan yang dimiliki oleh Pattimura berasal
dari pemberian Belanda. Padahal tidak.
Menurut sejarawan Mansyur Suryanegara atas saran dari Abdul Gafur (leluhur bangsa Indonesia).
Dilihat dari sudut sejarah dan antropologi adalah homo religosa (makhluk agamis). Keyakinan
mereka terhadap suatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka yang akhirnya menimbulkan
tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Karena itulah tingkah laku sosialnya dikendalikan oleh
kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus dimiliki
seseorang. Kesaktian tersebut kemudian diterima sebagai suatu peristiwa yang suci dan mulia. Bila
kekuatan tersebut melekat pada seseorang maka akan menjadi lambang kekuatan untuknya.
Pattimura merupakan pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat tersebut melekat dan
berproses turun temurun. Meskipun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara
genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya
sebutan “kapitan” yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
Perjuangan Pattimura
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC, Pattimura pernah berkarier dalam dunia militer
sebagai mantan sersan militer Inggris. Hingga pada tahun 1816, terjadi perpindahan kekuasaan dari
kolonialisme Inggris ke tangan Belanda. Kedatangan Belanda sangat di tentang oleh Belanda,
karena sebelum Inggris darang ke daratan Ambon. Belanda pernah menguasai daratan Ambon
selama kurang lebih 2 Abad.
Selama kurun waktu 2 abad hubungan kemasyarakatan, politik dan ekonomi sangat buruk.
Datangnya Belanda kali ini membawa aturan baru seperti monopoli politik, pemindahan penduduk,
pajak atas tanah, dan mengabaikan Traktat london.
Akibatnya, Rakyat Maluku melakukan perlawanan angkat senjata untuk melawan Belanda di bawah
pimpinan Pattimura. Pattimura diangkat menjadi pemimpin perjuangan melawan Belanda oleh
Patih, ketua adat, dan para kapitan lainnya karena sifat kemimpinan dan ksatria yang ada pada diri
Pattimura.
Karena perjuangan yang ia lakukan, Pattimura berhasil menggalang kekuatan dengan mengajak
kerajaan ternate, Tidore, dan beberapa Raja di Jawa dan di Bali untuk membantu rakyat Maluku
memerangi Belanda. Dengan kekuatan besar ini, Belanda sampai mengerahkan kekuatannya
dibawah pipiman Laksamana Buykes, yang merupakan komisaris Jenderal Belanda.
Pejuangan Kapitan Pattimura dalam melawan Belanda yaitu untuk memperebutkan Benten
Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano. Ouw-Ullath, Jasirah Hitu di pulau
Ambon dan Seram Selatan.
Perang Pattimura dihentikan dengan adanya politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh
Belanda. Pattimura bersama para tokoh pejuang lain yang bersamanya akhirnya dapat ditangkap.
Pattimura ditangkap oleh pemerintah Kolonial Belanda disebuah Rumah di daerah Siri Sori
Pattimura kemudian di adili di Pengadilan Kolonial Belanda dengan tuduhan melawan pemerintah
Belanda.
adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah
kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada
saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi
pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November
1975.
Awal pemerintahan
Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan kakaknya,
Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis
Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap
sebagai Sultan ke-tiga karena kakaknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai
pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah
pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena
usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 dibangun istana baru di desa
Kerta yang kelak mulai ditempati pada tahun 1622.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung
mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai
Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga
Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang
Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit
(sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat
mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya.
Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun
1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki
Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
Pangeran Antasari merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Pangeran Antasari adalah
putra dari pasangan Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman dan Pangeran Masohut (Mas’ud) bin
Pangeran Amir yang lahir pada tahun 1797 atau 1809 di Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan. Pangeran Antasari meninggal dunia pada 11 Oktober 1862 (53 Tahun) di
Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
Pada 14 Maret 1862, didepan kepala suku dayak dan dan Adipati penguasa wilayah dusun Atas,
Kapuas dan Kahayan yakni Tumenggung Surapati/ Tumenggung Yang Pati Jaya Raja, Pangeran
Antasari ditunjuk sebagai pimpinan tertinggi Kesultanan Banjar atau menjadi Sultan Banjar dengan
gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
Pada tanggal 23 Maret 1968, berdasarkan SK No. 06/TK/1968 oleh pemerintah Republik Indonesia,
Pangeran Antasari diberi gelar Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan.
Profil Singkat Pangeran Antasari
Nama : Pangeran Antasari
Lahir : Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan , 1797 atau 1809
Meninggal : Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862
Ibu: Gusti Khadijah binti Sultan Sulaiman
Ayah : Pangeran Masohut (Mas’ud) bin Pangeran Amir
Pangeran Antasari Pewaris Kerajaan Banjar
Pangeran Antasari adalah putra dari Pangeran Masohut (Mas’ud) bin Pangeran Amir dan Gusti
Khadijah binti Sultan Sulaiman. Semasa muda Pangeran Antasari bernama Gusti Inu Kartapati.
Pangeran Antasari memiliki seorang adik perempuan bernama Ratu Antasari atau Ratu Sultan
Abdul Rahman yang meninggal dahulu setelah melahirkan anaknya yang bernama Rakhmatillah
yang merupakan pewaris kesultanan banjar, dan saat masih bayi anaknya pun meninggal.
Pangeran Antasari tidak hanya sebagai pemimpin Suku Banjar, namun juga pemimpin Suku kutai,
Maanyan, Bakumpai, Siang, Murung, Ngaju, Sihong, Pasir dan beberapa suku lain yang ada di
wilayah dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik beragama Islam maupun Kaharingan.
Setelah pengasingan Sultan Hidayatullah ke Cianjur oleh Belanda, perjuangan rakyat banjar
diteruskan oleh Pangeran Antasari. Pada 14 Maret 1862, untuk menguatkan posisi Pangeran
Antasari sebagai pemimpin perjuangan untuk melawan penjajah di kawasan bagian utara Banjar, di
depan rakyat, pejuang, bangsawan, panglima dayak serta alim ulama Banjar, Pangeran Antasari
ditunjuk sebagai Petinggi kesultanan Banjar atau menjadi Sultan Banjar dengan gelar Panembah
Amiruddin Khalifatul Mukminin. Penguatan posisi tersebut dimulai dengan seruan
“Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!”.
Perjuangan Pangeran Antasari Melawan Belanda
Pada 25 April 1859, Pangeran Antasari bersama 300 prajuritnya menyerang pertambangan batu bara
milik Belanda yang ada di Pengaron dengan dimulainya penyerangan tersebut Perang Banjar pun
pecah. Peperangan demi peperangan terus terjadi di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Pangeran
Antasari yang dibantu para panglima dan pengikut setianya menyerang pos-pos milik Belanda yang
ada di Martapura, Riam Kanan, Hulu Sungai, Tabalong, Tanah Laut, Sepanjang sungai Barito
hingga Puruk Cahu.
Peperangan yang terjadi antara pasukan Pangeran Antasari dengan Belanda semakin sengit.
Belanda yang dibantu oleh pasukan Batavia dan juga persenjataan canggih, berhasil mendesak
Pangeran Antasari dan pasukannya dan Pangeran Antasari akhirnya memindahkan benteng
pertahanannya ke Muara Taweh.
Belanda terus membujuk Pangeran Antasari agar menyerah, namun Pangeran Antasari tetap teguh
pada pendiriannya. Pihak Belanda pernah menawarkan hadiah imbalan sebesar 10.000 gulden bagi
siapapun yang dapat menangkap lalu membunuh Pangeran Antasari, namun tidak ada yang mau
menerima tawaran tersebut.
Meninggalnya Pangeran Antasari
Setelah lama berjuang, pada 11 Oktober 1862 di kampung Bayan Begok, Sampirang Pangeran
Antasari wafat ditengah pasukannya di Usia sekitar 75 tahun tanpa menyerah, tertangkap ataupun
tertipu oleh Belanda. Pangeran Antasari meninggal akibat penyakit paru-paru dan juga cacar yang
dideritanya setelah perang dibawah kaki Bukit Begantung, Tundukan. Sepeninggalan Pangeran
Antasari, perjuangan di teruskan oleh putranya yang bernama Muhammad Seman.
Pada tanggal 11 november 1958 atas keinginan Banjar dan juga persetujuan keluarga, setelah
terkubur selama sekitar 91 tahun di daerah Hulu sungai Barito, kerangka Pangeran antasari dipindah
makamkan ke Taman Makam Perang Banjar yang ada di Kelurahan Surgi Mufti, Banjarasin. Bagian
tubuh Pangeran Antasari yang masih utuh dan dipindah makamkan adalah tulang tengkorak,
tempurung lutut dan juga beberapa helai rambut.
Penghargaan Untuk Pangeran Antasari
Pada tanggal 23 Maret 1968, berdasarkan SK No. 06/TK/1968 oleh pemerintah Republik Indonesia,
Pangeran Antasari diberi gelar Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan. Untuk mengenang jasa beliau,
nama beliau di abadikan pada Korem 101/Antasari dan juga nama beliau dipakai sebagai nama
julukan Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari.
8. I Gusti Ngurahrai
I Gusti Ngurah Rai, adalah pahlawan nasional dari daerah Bali. Terkenal dengan gagasan
perangnya yakni Puputan Margarana yang berarti perang secara habis-habisan di daerah Margarana
(Kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali). Memiliki darah pejuang dengan tanah kelahiran
Badung, Bali pada 30 Januari 1917. Ia merupakan anak camat yang bernama I Gusti Ngurah Palung.
Hal ini pula yang menjadikan ia berkesempatan untuk bersekolah formal di Holands Inlandse
School (HIS). Untuk mengenal lebih mendalam, mari kita ulas bersama biografi I Gusti Ngurah Rai.
Biografi I Gusti Ngurah Rai diawali dengan perjalanan pendidikannya di masa kecil. I Gusti Ngurah
Rai memilih untuk mengawali pendidikan formalnya di Holands Inlandse School di Bali. Setelah
tamat dari HIS ia melanjutkan ke MULO (setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) di Malang.
Selanjutnya ia memperdalam ilmu kemiliterannya di Prayodha Bali, Gianyar dilanjutkan pendidikan
di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO) di Magelang dan pendidikan Arteri Malang.
Berkat pendidikan militer yang banyak serta kecerdasan yang ia miliki, ia sempat menjadi intel
sekutu di daerah Bali dan Lombok.
Biografi I Gusti Ngurah Rai berlanjut pada masa perjuangan melawan penjajah colonial. Setelah
pemerintahan Indonesia merdeka, I Gusti Ngurah Rai membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
Sunda Kecil dan di Bali dan memiliki pasukan bernama Ciung Wanara. Pasukan ini dibentuk untuk
membela tanah air guna melawan penjajah di daerah Bali. Sebagai seorang Komandan TKR di
Sunda Kecil dan, ia merasa perlu untuk melakukan konsolidasi ke Yogyakarta yang menjadi markas
TKR pusat. Sampai di Yogyakarta I GUsti Ngurah Rai dilantik menjadi komandan Resimen Sunda
Kecil berpangkat Letnan Kolonel. Sekembalinya dari Yogyakarta dengan persenjataan, I Gusti
Ngurai Rai mendapati Bali telah dikuasai oleh Belanda dengan mempengaruhi raja-raja Bali.
Biografi I Gusti Ngurah Rai berlanjut dengan meletusnya perang di Bali. Setelah kepulangannya
dari Yogyakarta Ia mendapati pasukan Belanda dengan 2000 pasukan dan persenjataan lengkap dan
pesawat terbang siap untuk menyerang I Gusti Ngurah Rai dengan pasukan kecilnya. Bersama
dengan pasukan Ciung Wanaranya, I Ngurah Rai berhasil memukul mundur pasukan Belanda pada
saat itu pada tanggal 18 November 1946. Namun hal ini justru membuat pihak Belanda menyiapkan
bala tentara yang lebih banyak dari Pulau Jawa, Madura dan Lombok untuk membalas
kekalahannya. Pertahanan I Gusti Ngurah Rai berhasil dipukul mundur dan hingga akhirnya tersisa
pertahanan Ciung Wanara terakhir di desa Margarana. Kekuatan terakhir ini pun dipukul mundur
lantaran seluruhnya pasukannya jatuh ke dasar jurang. Hal ini pulalah yang diabadikan dengan
istilah puputan Margarana (perang habis-habisan di daerah Margarana) pada tanggal 20 November
1946.
Berkat usaha yang gigih memperjuangkan Bali untuk masuk menjadi kekuasaan Indonesia (sesuai
kesepakatan Linggarjati hanya Sumatra, Jawa, dan Madura yang masuk kekuasaan Indonesia)
Ngurah Rai mendapat gelar Bintang Mahaputra dan dan kenaikan pangkat menjadi Brigjen TNI
(Anumerta). Ia meninggal pada usia 29 tahun dan memperoleh gelar pahlawan nasional berdasarkan
SK Presiden RI No. 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus 1975. Namanya pun diabadikan menjadi nama
Bandara di kota Bali.
HIS, Denpasar
MULO, Malang
Prayodha Bali, Gianyar, Bali
Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO), Magelang
Pendidikan Artileri, Malang
Bintang Mahaputra
Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI no 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus 1975
9. I Gusti ketut Jelantik
Pertengahan abad 19, Belanda berusaha mewujudkan wilayah kekuasaannya di seluruh nusantara.
Untuk itu, Belanda berupaya menguasai seluruh wilayah Bali. Pada tahun 1843, Belanda telah
mampu memengaruhi beberapa raja di Bali untuk bekerja sama dengannya, termasuk meminta
penghapusan Hukum Tawan Karang. Saat itu, Raja Buleleng pun terpaksa menandatangani
kesepakatan tersebut.
Satu tahun kemudian, sebuah kapal Belanda terdampar di pantai wilayah Buleleng. Belanda
memaksa raja mengembalikannya serta meminta pengakuan raja atas kekuasaan Belanda. I Gusti
Ketut Jelantik sebagai patih kerajaan (diangkat tahun 1828) sangat marah. I Gusti Ketut Jelantik pun
menyatakan tidak akan pernah mengakui kekuasaan Belanda selama masih hidup. Pada tahun 1845,
kembali sebuah kapal terdampar di wilayah Buleleng. Penolakan tegas I Gusti Ketut Jelantik untuk
mengembalikan kapal tersebut karena sikap Belanda yang tidak menghargai Kerajaan Buleleng
memicu perang. Memang, Belanda sebenarnya mempermasalahkan kapal yang terdampar ini hanya
sebagai dalih untuk melakukan serangan. Tepat pada Juni 1846, Belanda mengerahkan pasukan
besar untuk menyerang Buleleng. Di akhir Juni, benteng Kerajaan Buleleng jatuh ke tangan
Belanda. Raja dan Patih Jelantik kemudian mundur ke daerah Jagaraga untuk menyusun pertahanan.
Permintaan Belanda untuk menyerah tidak diabaikan.
Pada tahun 1848, pasukan Belanda menyerang Jagaraga dipimpin Jenderal Van der Wijk. Dua kali
serangan Belanda dapat digagalkan oleh pasukan Buleleng yang dibantu pasukan dan kerajaan lain
di Bali. Akhirnya, pada tahun 1849 Belanda mengerahkan kembali pasukan besar yang dipimpin
Jenderal Michels. Berbekal pemahaman mengenai kondisi Jagaraga dan pertempuran sebelumnya,
Belanda berhasil memenangi pertempuran. I Gusti Ketut Jelantik mundur ke Pegunungan Batur
Kintamani. I Gusti Ketut Jelantik kemudian menuju Perbukitan Bale Pundak. Belanda yang terus
mengejar kembali menyerang sisa pasukan I Gusti Ketut Jelantik yang melawan hingga beliau
gugur dalam pertempuran.
Tempat/Tgl. Lahir : Bali, Tidak diketahui
Tempat/Tgl. Wafat : Bali, April 1849
SK Presiden : Keppres No. 077/TK/1993, Tgl. 14 September 1993
Gelar : Pahlawan Nasional
Tawan Karang (taban karang) merupakan hukum adat yang berlaku di Bali pada masa silam dan
sudah dikenal sejak abad 10 M. Hukum ini membolehkan raja atau masyarakat wilayah pesisir
untuk menyita kapal seisinya yang terdampar di wilayahnya. Tujuan hukum ini adalah menjaga
wilayah kekuasaan dari masuknya musuh asing.
10. Sisingamangaraja
Sisingamangaraja XII adalah pejuang gigih yang lahir di Bakara, Tapanuli pada 18 Februari
1845. Selama hidup, ia habiskan waktunya untuk memperjuangkan wilayahnya dari penjajahan
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ia meninggal di Dairi pada 17 Juni 1907 dan mendapat
gelar pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 9 November, melalui Keppres No. 590 Tahun
1961. Kiprahnya Sisingamangaraja XII bermula pada tahun 1867 saat ia naik tahta
menggantikan ayahnya. Ia menjadi Tapanuli yang gigih melawan kompeni. Kala itu Belanda
mulai masuk ke Tapanuli dan Sisingamangaraja XII mengumpulkan para penguasa lokal untuk
melawan. Lobi Belanda selama beberapa tahun untuk masuk ke wilayah Tapanuli selalu gagal,
hingga puncaknya terjadi perang pada 19 Februari 1878 antara tentara kolonial versus pasukan
Sisingamangaraja XII di pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung. Pasukan
Sisingamangaraja mengalami kekalahan dan mundur, sementara itu tentara Belanda terus
merengsek mengejar sembari membakar tiap desa yang dilaluinya. Pertempuran kembali terjadi
di Balige, Sisingamangaraja XII terkena tembakan di bagian atas lengan. Ia kembali harus
mundur dan menetapkan taktik gerilya untuk melawan Belanda. Taktik berpindah tempat ini
berhasil membuat tentara Belanda kewalahan hingga pada 1989 Belanda mengetahui pasukan
Sisingamangaraja XII menyingkir ke Lintong. Pasukan Sisingamangaraja XII kembali
dibombardir dengan alat modern, sehingga harus mundur dan bertahan di Dairi.
Mulai saat itu Belanda berhasil menguasai Tapanuli dan selama bertahun-tahun tidak ada
pertempuran. Namun, sebenarnya Sisingamangaraja XII tetap berjuang dengan menjalin banyak
sekutu dan mengobarkan semangat anti penjajah sampai ke Aceh. Karena inilah, pada masa ini
banyak perlawanan-perlawanan dari penguasa lokal terhadap Belanda. Sampai akhirnya Belanda
tahu bahwa bahwa perlawanan raja-raja lokal tersebut akibat dari pengaruh Sisingamangaraja
XII.
Belanda pun menawarkan “perdamaian” dengan penobatan Sisingamangaraja sebagai Sultan
Batak, namun Sisingamangaraja XII menolak. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda mengirim
pasukan Marsose di bawah komando Hans Christoffel ke Tapanuli. Dairi dikepung hampir
selama tiga tahun, sampai akhirnya pada 17 Juni 1907, terjadi pertempuran hebat yang
menewaskan Sisingamangaraja XII. Lalu pengikut beserta kerabatny ditawan, tahun ini
menandai rampungnya perlawanan Sisingamangaraja XII terhadap Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/36036851/BIOGRAFI_PAHLAWAN_NASIONAL_docx
11. Wahidin Sudirohusodo
12. Sutomo
Sutomo atau lebih dikenal sebagal Bung Tomo dilahirkan di Kampung Blauran, Surabaya, pada 3
Oktober 1920. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, Sutomo adalah sosok yang aktif
berorganisasi sejak remaja. Bergabung dalam Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), beliau tercatat
sebagai salah satu dari tiga orang pandu kelas I di seluruh Indonesia saat itu.
Pada masa mudanya, Bung Tomo yang memiliki minat pada dunia jurnalisme tercatat sebagai
wartawan lepas pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya 1937. Setahun kemudian, ia menjadi
Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi wartawan dan penulis pojok harian berbahasa
Jawa, Ekspres, di Surabaya pada tahun 1939.
Pada masa pendudukan Jepang, Sutomo bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang, Domei,
bagian Bahasa Indonesia untük seluruh Jawa Timur di Surabaya (1942-1945). Saat Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, beliau memberitakannya dalam bahasa Jawa
bersama wartawan senior Romo Bintarti untuk menghindari sensor Jepang. Selanjutnya, beliau
menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.
Ketika meletus pertempuran di Surabaya, 10 November 1945, Bung Tomo tampil sebagai orator
ulung di depan corong radio, membakar semangat rakyat untuk berjuang melawan tentara Inggris
dan NICA-Belanda. Sejarah mencatat bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya yang terdiri
atas berbagai suku bangsa sangat dahsyat. Tidak ada rasa takut menghadapi tentara Inggris
yang bersenjata lengkap. Tanggal 10 November pun kemudian kita kenang sebagai Hari Pahlawan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo pernah aktif dalam politik pada tahun 1950-an. Namun
pada awal tahun 1970-an, ia berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Pada 11 April 1978
ditahan oleh pemerintah selama satu tahun karena kritik-kritiknya yang pedas.
Sutomo meninggal di Mekkah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Jenazah Bung Tomo dibawa
kembali ke Indonesia dan dimakamkan di TPU Ngagel, Surabaya. Bung Tomo, pahlawan pengobar
semangat Juang arek-arek Surabaya ini mendapat gelar pahlawan secara resmi dan pemerintah pada
tahun 2008.
Tempat/Tgl. Lahir : Surabaya, 3 Oktober 1920
Tempat/Tgl. Wafat : Mekah,7 Oktober 1981
SK Presiden : Keppres No. 41/TK/2008, Tgl. 6 November 2008
Gelar : Pahlawan Nasional
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik
kain poetih mendjadi merah & putih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada
siapapoen djuga!”
– Bung Tomo –
Pertempuran Surabaya merupakan salah satu perang terberat yang pernah dihadapi Inggris seusai
PD II. Bahkan, seorang jenderal Inggris tewas di Surabaya.
Kutipan H.O.S Cokroaminoto
"Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti
orator."
"Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat."
Soekarno dibebaskan ketika Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda. Jepang meminta Ir.
Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur mendirikan PUTERA
(Pusat Tenaga Rakyat) untuk kepentingan Jepang. Namun, PUTERA justru lebih banyak berjuang
untuk kepentingan rakyat. Akibatnya, Jepang membubarkan PUTERA. Ketika posisinya dalam
Perang Asia Raya mulai terdesak pasukan Sekutu, Jepang mendirikan BPUPKI. Pada sidang
BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar Negara yang disebut
Pancasila.
Setelah BPUPKI dibubarkan, beliau diangkat menjadi ketua PPKI. Tidak lama kemudian Jepang
memanggil Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat ke Ho Chi Minh, Vietnam, untuk
menemui Jenderal Terauchi guna membicarakan masalah kemerdekaan Indonesia. Setelah kembali
ke Indonesia, Soekarno dan Hatta diculik para pemuda yang sudah mendengar berita kekalahan
Jepang atas Sekutu dan dibawa ke Rengasdengklok. Akhirnya, tercapai kesepakatan sehingga
Soekarno-Hatta segera kembali ke Jakarta mempersiapkan Naskah Proklamasi. Bersama Hatta,
Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI atas nama rakyat Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.
Kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia, bukan pemberian Jepang. Satu
hari kemudian, beliau dilantik menjadi Presiden RI yang pertama. Beliau memerintah selama 22
tahun. Soekarno meninggal saat berusia 69 tahun dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur.
Ki hajar dewantara bersekolah di ELS yang dulu merupakan sekolah dasar Belanda. Selanjutnya
beliau juga melanjutkan sekolah di STOVIA yang merupakan sekolah dokter untuk bumiputera.
Tetapi selama sekolah di Stovia beliau tidak sampai tamat dikarenakan sakit. Hal ini juga banyak
diceritakan disemua buku biografi Ki Hajar Dewantoro. Beliau juga pernah bekerja menjadi
wartawan diberbagai media cetak terkenal pada masa itu. Seperti mideen java, sedyotomo, De
ekpress, kaoem moeda, poesara, oetoesan hindia, dan tjahaja timoer. Tulisan beliau diberbagai
media tersebut sangat komunikatif dan juga kritis, sehingga dapat meningkatkan semangat rakyat
pada masa itu.
Ketika membahas tentang biografi Ki hajar dewantara memang tidak pernah ada habisnya. Ada
banyak sekali hal yang harus kita banggakan untuk beliau. Pada tahun 1908 beliau aktif sebagai
pengurus di organisasi boedi oetomo. Selanjutnya beliau juga membuat organisasi sendiri bersama
Douwes Dekker atau lebih dikenal dengan Dr. Danudirdja Setya Budhi dan Dr Cipto
Mangoekoesoemo mendirikan sebuah organisasi yang bernama Indische Partij pada tanggal 25
desember tahun 1912. Organisasi ini merupakan partai politik pertama di Indonesia yang beraliran
nasionalisme untuk mencapai Indonesia merdeka. Ketika ingin mendaftarkan partai ini, mereka di
tolak oleh Belanda, karena dianggap menumbuhkan nasionalisme pada rakyat.
Dengan ditolaknya partai tersebut, mereka akhirnya komite boemi poetra yang digunakan untuk
membuat kritik ke pemerintahan Belanda. Mereka menulis berbagai kritikan untuk pemeritahan
Belanda yang dimuat di surat kabar De ekpress yang pemiliknya pada saat out adalah Douwe
Dekker. Dalam tulisan tersebut mereka mengatakan bahwa tidak mungkin merayakan kemerdekaan,
di Negara yang sudah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Karena tulisannya itu beliau di buang ke
pulau Bangka, sebagai hukuman pengasingannya oleh pemerintahan Belanda. Cerita ini banyak
ditemukan di buku-buku biografi ki hajar dewantara.
Setelah pulang dari pengasingan dan sempat melakukan perjalanan ke Belanda. Beliau akhirnya
mendirikan taman siswa. Selama pendirian taman siswa ini banyak sekali tantangan dan halangan
dari pihak pemerintahan Belanda. Dengan segala kegigihannya, akhirnya taman siswa mendapatkan
ijin berdirinya. Setelah masa kemerdekaan, beliau menjabat sebagai menteri pendidikan dan
kebudayaan. Jika kalian mengunjungi Yogyakarta, anda bisa mengunjungi museum yang
didedikasikan untuk ki hajar dewantara. Sekian artikel tentang biografi Ki Hjar Dewantara, semoga
dapat memberikan informasi untuk anda.
Karir Ki Hajar Dewantara
Pendiri perguruan Taman Siswa
Penghargaan Ki Hajar Dewantara
Gelar doktor kehormatan (Doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari Universitas Gadjah Mada
Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan
Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959
Pasangan :
Hj. Siti Walidah
Nyai Abdullah
Nyai Rum
Nyai Aisyah
Nyai Yasin
Anak :
Djohanah
Siradj Dahlan
Siti Busyro
Irfan Dahlan
Siti Aisyah
Siti Zaharah
Dandanah
Nama K.H. Ahmad Dahlan kecil adalah Muhammad Darwisy, Ia adalah anak ke 4 dari 7
bersaudara. Ahmad Dahlan merupakan keturunan ke 12 dari Maulana Malik Ibrahim atau Sunan
Gresik. Berikut adalah Silsilah tersebut Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul
Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai
Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Pada saat Ahmad Dahlan berumur 15 tahun, Ia pergi melaksanakan ibadah haji lalu selama 5 tahun
ia menetap di Mekkah. Masa ini, K.H. Ahmad Dahlan memulai interaksi dengan pemikiran
pembaharu Islam, seperti Al-Afghani, Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyah, dan Rasyid Ridha.
Pada tahun 1888, Ahmad Dahlan kembali ke kampung halamannya dan Ia yang bernama asli
Muhammad Darwisy berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Ia kembali lagi ke Mekkah pada tahun
1903 dan Ia tinggal selama 2 tahun, masa ini Oa sempat berguru pada Syeh Ahmad Khatib yang
juga merupakan guru dari K.H. Hasyim Asyari yaitu pendiri NU.
Setelah pulang dari Mekkah, Ahmad Dahlan Menikah dengan sepupunya bernama Siti Walidah
(Nyi Ahmad Dahlan) yaitu putri dari Kyai Penghulu Haji Fadhil. Dari pernikahan ini, mereka
dianugrahi 6 orang anak yakni Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan
Siti Zaharah.
Selain dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan juga pernah menikah dengan Nyai Abdullah yaitu janda
H. Abdullah, Nyai Rum yang merupakan adik dari Kyai Munawwir Krapyak, Nyai Aisyah yang
merupakan adik Adjengan Penghulu Cianjur dan dari pernikahan ini Ahmad dahlan memiliki putra
Dandanah. Serta Ahmad Dahlan juga pernah menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
Pada tahun 1909, K.H. Ahmad Dahlan bergabung dengan organisasi Budi Utomo dan disana Ia
mengajarkan agama dan pelajaran yang diperlukan anggota. Pelajaran yang diberikan K.H. Ahmad
Dahlan dirasa sangat berguna bagi para anggota Budi Utomo, lalu mereka menyarankan agar
Ahmad Dahlan membuka sekolah yang ditata rapi serta didukung organisasi permanen.
Pada 18 November 1912 (8 Djulhijah 1330), K.H Ahmad Dahlan mendirikan organisasi bernama
Muhammadiyah yang bergerak dibidang kemasyarakatan dan pendidikan. Dengan mendirikan
Organisasi ini, Ia berharap dapat memajukan pendidikan dan membangun masyarakat islam. Ahmad
Dahlan mengajarkan Al-Qur’an dengan terjemah juga tafsirnya agar masyarakat memahami makna
yang ada dalam Al-Qur’an dan tidak hanya pandai membaca dan melagukannya saja.
Pada bidang pendidikan, Dahlan mengubah sistem pendidikan pesantren pada masa itu. Ia
mendirikan sekolah-sekolah agama yang juga mengajarkan pelajaran umum dan juga bahasa
belanda. Bahkan ada Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S met de Qur’an. Ia memasukan pelajaran
agama di sekolah umum pula. Ahmad Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-
sekolah. Selain sekolah semasa hidupnya Ia juga mendirikan masjid, langgar, rumah sakit,
poliklinik, dan juga rumah yatim piatu.
Pada bidang organisasi, tahun 1918 Ia mendirikan organisasi Aisyiyah untuk para kaum wanita.
untuk para pemuda, Ahmad Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu (sekarang Pramuka) bernama
Hizbul Wathan. Pada organisasi tersebut para pemuda belajar baris-berbaris dengan genderang,
memakai celana pendek, bertopi, berdasi, untuk seragam yang mereka pakai mirip dengan seragam
pramuka sekarang.
Pada saat itu, karena semua pembaharuan yang diajarkan oleh K.H. Ahmad Dahlan agak
menyimpang dengan tradisi, Ahmad dahlan sering diteror seperti rumah yang dilempari batu dan
kotoran binatang bahkan pada saat dahwah di Banyuwangi, Ahmad dahlan dituduh sebagai kyai
palsu dan Ia diancam akan dibunuh. Namun dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan mulai
menerima perubahan yang diajarjan oleh Ahmad Dahlan.
Semua yang di lakukan oleh K.H.Ahmad Dahlan bertujuan untuk membuktikan bahwa Islam adalah
agama kemajuan yang dapat mengangkat derajat umat ke taraf yang lebih tinggi dan itu terbuti
membawa dampak positif bagi Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Pemuda dan golongan
Intelektual banyak yang tertarik dengan metode yang diajarkan oleh K.H. Ahmad Dahlan sehingga
mereka banyak yang bergabung dengan organisasi Muhammadiyah.
Muhammadiyah yang merupakan organisasi beramal dan menjalankan ide pembaharuan K.H.
Ahmad Dahlan sanga menarik perhatian para pengamat islam dunia. Bahkan para pengarang dan
sarjana dari timur memusatkan perhatian pada Muhammadiyah.
K.H Ahmad Dahlan banyak mendapatkan ilmu dari banyak kyai di berbagai bidang ilmu seperti
K.H Muhsin di bidang ilmu tata bahasa (Nahwu-Sharaf), K.H. Muhammad Shaleh di bidang ilmu
fikih, Kyai Mahfud dan Syekh K.H. Ayyat di bidang Ilmu Hadist, K.H. Raden Dahlan di bidang
ilmu falak atau astronomi, Syekh Hasan di bidang pengobatan dan racun binatang, serta Syekh
Amin dan sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Qur’an.
Wafatnya K.H Ahmad Dahlan
Pada 23 Februari 1923, pada usia 54 tahun K.H. Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Kemudian
beliau dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, Mergangsan,Yogyakarta. Pada 27
Desember 1961, berdasarkan SK Presiden RI No.657 Tahun 1961 atas jasanya negara memberi
beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia.
KH Mohammd Hasyim Asy'ari atau lebih dikenal dengan KH Hasyim Ashari lahir di Jombang, 10
April 1875. Berdasarkan biografi KH Hasyim Ashari, Beliau adalah pendiri sebuah organisasi
besar Islam yang ada di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama. Beliau dilahirkan dari orang tua yang
bernama Kyai Asyari dan Halimah. Keluarga beliau memang memegang teguh dasar-dasar ajaran
Islam. Hal itu disebabkan ayahnya yang merupakan keturunan kedelapan Jaka Tingkir adalah
seorang pemimpin Pesantren Keras di bagian selatan Jombang. Dengan demikian KH Hasyim
Asy'ari dibekali ilmu agama yang kuat.
Sejak kecil KH Hasyim Asahri telah terlihat jiwa kepemimpinannya. Beliau juga sudah membantu
ayahnya dalam mengajar santri di pesantren. Kemudian pada umur 15 tahun, beliau memperdalam
ilmunya dengan nyantri di beberapa pesantren. Beliau mengawalinya dari pesantren Wonokoyo
Probolinggo, kemudian ke Pesantren Langitan Tuban. Namun beliau tidak puasa hanya disitu,
beliau melanjutkan ke beberapa pesantren seperti Pesantren Trenggilis, Kedamengan dan bangkalan.
Selain menuntut ilmu di Jawa, beliau juga menuntut ilmu hingga ke Makkah berguru kepada imam
masjid besar dan terkemuka di Makkah. Dalam biografi KH Hasyim Ashari, menyebutkan bahwa
beliau merupakan ahli dalam hadits Bukhari Muslim. Sehingga dalam waktu tertentu beliau sering
mengadakan kajian rutin tentang hadist Bukhari Muslim tersebut.
Akibat dari fatwa dan larangan beliau, belanda memenjarakan KH Hasyim Ashari selama 3 bulan
pada tahun 1942. Belanda juga sempat melakukan politik adu domba terhadap beliau. Namun beliau
tidak pernah mau untuk bekerjasama dengan Belanda. Pada tahun selanjutnya, Belanda terusir dari
tanah air, Jepang melakukan pendekatan terhadap umat muslim. Jepang tidak terlalu menekan
pergerakan dan aktivitas umat muslim namun dengan syarat umat muslim, termasuk KH. Hasyim
Asahri harus untuk melakukan seikerei suatu penghormatan terhadap Kaisar Hirohito dan Dewa
Matahari. tentu dengan keras beliau menolak hal tersebut. Konsekuensinya beliau ditangkap dan
diasingkan dari jombang ke mojokerto dan akhirnya ke penjara di Surabaya, di Bubutan. Dalam
biografi KH Hasyim Ashari, beliau memang sangat taat terhadap Allah dan ajaran Islam.
Terlepas dari penjajahan yang terjadi di tanah air beliau terus mensyiarkan ajaran agama Islam. Pda
tanggal 16 Rajab 1344 H, beliau mendirikan organisasi Nahdhatul Ulama' yang artinya sebuah
kebangkitan ulama. Organisasi keagamaan ini masih tetap menjadi organisasi besar di Indonesia.
Perjuangan KH Hasyim Asy'ari merupakan suatu teladan yang mulia yang sangat menjunjung tinggi
nilai nilai agama dan mencintai tanah air. demikian biografi KH Hasyim Ashari, semoga dapat
dijadikan renungan dan memberi manfaat.
Pahlawan Nasional
Pendidikan
Hollands Inlandsche School (HIS)
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO)
Sekolah Pertanian Jepang di Tomohon
Sekolah Guru Bahasa Jepang.
Karir
Guru bahasa Jepang di Malalayang
Liwutung dan Luwuk Banggai
Penghargaan
Bintang Gerilya (tahun 1958),
Bintang Maha Putera Kelas III
(tahun 1960),
Ditetapkannya sebagai
Pahlawan Nasional (1973)
Robert Wolter Monginsidi adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus pahlawan
nasional Indonesia dari daerah Bantik Minanga (Malalayang). Beliau lahir di Malalayang,
Manado, Sulawesi Utara pada 14 Februari 1925 dan meninggal di Pacinang, Makassar, Sulawesi
Selatan pada 5 September 1949 pada umur 24 tahun.
Robert dilahirkan di Malalayang (sekarang bagian dari Manado) dan anak dari Petrus
Monginsidi dan Lina Suawa. dia memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa
Belanda: Hollands Inlandsche School atau (HIS), yang diikuti sekolah menengah (bahasa
Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO) di Frater Don Bosco di Manado.
Monginsidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. Setelah
studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk, Sulawesi
Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Monginsidi tumbuh dalam budaya Bantik yang begitu kental, dengan adat yang paling mendasar
yaitu Hinggilr'idang, Hintalr'unang dan Hintakinang. Falsafah ini berarti berlaku kasih kepada
sesama anggota keluarga, kepada sesama yang masih terikat dalam komunitas suku Bantik, dan
bersifat dermawan kepada siapa pun terlepas dari suku maupun ikatan keluarga. Falsafah itu
yang membakar semangat Monginsidi untuk menentang penjajahan. Dengan keberanian dan
kepintaran yang dimiliki Monginsidi, beliau dipercaya untuk memimpin pertempuran melawan
Belanda dan menjadi sosok yang disegani.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Monginsidi berada di Makassar. Namun, Belanda
berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia
II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil
Hindia Belanda). Monginsidi menjadi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar.
Pada tanggal 17 Juli 1946, Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya membentuk
Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya menyerang posisi
Robert Wolter Monginsidi adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus pahlawan
nasional Indonesia dari daerah Bantik Minanga (Malalayang). Beliau lahir di Malalayang,
Manado, Sulawesi Utara pada 14 Februari 1925 dan meninggal di Pacinang, Makassar, Sulawesi
Selatan pada 5 September 1949 pada umur 24 tahun.
Robert dilahirkan di Malalayang (sekarang bagian dari Manado) dan anak dari Petrus
Monginsidi dan Lina Suawa. dia memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa
Belanda: Hollands Inlandsche School atau (HIS), yang diikuti sekolah menengah (bahasa
Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO) di Frater Don Bosco di Manado.
Monginsidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. Setelah
studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk, Sulawesi
Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Monginsidi tumbuh dalam budaya Bantik yang begitu kental, dengan adat yang paling mendasar
yaitu Hinggilr'idang, Hintalr'unang dan Hintakinang. Falsafah ini berarti berlaku kasih kepada
sesama anggota keluarga, kepada sesama yang masih terikat dalam komunitas suku Bantik, dan
bersifat dermawan kepada siapa pun terlepas dari suku maupun ikatan keluarga.
Falsafah itu yang membakar semangat Monginsidi untuk menentang penjajahan. Dengan
keberanian dan kepintaran yang dimiliki Monginsidi, beliau dipercaya untuk memimpin
pertempuran melawan Belanda dan menjadi sosok yang disegani.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Monginsidi berada di Makassar. Namun, Belanda
berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia
II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil
Hindia Belanda). Monginsidi menjadi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar.
Pada tanggal 17 Juli 1946, Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya membentuk
Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya menyerang posisi
Belanda.
Pada tanggal 28 Februari 1947 Monginsidi ditangkap tentara Belanda, namun berhasil melarikan
diri pada 27 Oktober 1947 bersama Abdullah Hadade, HM Yosep dan Lewang Daeng Matari
setelah hampir 8 bulan mendekam di tahanan. Sepuluh hari kemudian Monginsidi kembali
tertangkap dan kali ini Belanda memvonisnya dengan hukuman mati.
Monginsidi dieksekusi oleh tim penembak pada 5 September 1949. Jasadnya dipindahkan ke
Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950.
Penghargaan
Robert Wolter Monginsidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia
pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia,
Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973. Ayahnya, Petrus, yang berusia 80
tahun pada saat itu, menerima penghargaan tersebut.
Bandara Wolter Monginsidi di Kendari, Sulawesi Tenggara dinamakan sebagai penghargaan
kepada Monginsidi, seperti kapal Angkatan Darat Indonesia, KRI Wolter Monginsidi dan Yonif
720/Wolter Monginsidi.
Sebagai anak tunggal yang biasanya selalu dimanjakan oleh orang tuanya, namun Chairil Anwar
tidak mengalami hal tersebut. Bahkan ia dibesarkan dalam keluarga yang terbilang tidak baik.
Kedua orang tuanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan,
sewaktu kecil Nenek dari Chairil Anwar merupakan teman akrab yang cukup mengesankan dalam
hidupnya. Kepedihan mendalam yang ia alami pada saat neneknya meninggal dunia.
Chairil Anwar bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang
pribumi pada masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar
sebelum lulus. Dia mulai menulis puisi ketika remaja, tetapi tidak satupun puisi yang berhasil ia
buat yang sesuai dengan keinginannya.
Meskipun ia tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, tetapi ia tidak membuang waktunya sia-sia, ia
mengisi waktunya dengan membaca karya-karya pengarang Internasional ternama, seperti : Rainer
Maria Rike, W.H. Auden, Archibald Macleish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du
Perron. Ia juga menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.
Pada saat berusia 19 tahun, ia pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) bersama dengan ibunya pada
tahun 1940 dimana ia mulai kenal dan serius menggeluti dunia sastra. Puisi pertama yang telah ia
publikasikan, yaitu pada tahun 1942. Chairil terus menulis berbagai puisi. Puisinya memiliki
berbagai macam tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme.
Selain nenek, ibu adalah wanita yang paling Chairil cinta. Ia bahkan terbiasa menyebut nama
ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya,
Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan
kecintaannya pada ibunya.
Dunia Sastra
Nama Chairil Anwar mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di “Majalah
Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia berusia dua puluh tahun. Namun, saat pertama kali
mengirimkan puisi-puisinya di "Majalah Pandji" untuk dimuat, banyak yang ditolak karena
dianggap terlalu individualistis. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.
Puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia yang tidak
diterbitkan hingga tahun 1945.
Salah satu puisinya yang paling terkenal dan sering dideklamasikan berjudul Aku ("Aku mau hidup
Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam
bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat "Gelanggang" dan Gema
Suasana. Dia juga mendirikan "Gelanggang Seniman Merdeka" pada tahun 1946.
Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru
Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Seniman Pelopor Angkatan 45 Asrul
Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang (1986), Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh
Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998).
Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).
Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena
Gempur (1951, John Steinbeck). Karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
Jerman dan Spanyol antara lain “Sharp gravel, Indonesian poems”, oleh Donna M. Dickinson
(Berkeley, California, 1960); “Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati”
(Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin
Salam (New York, New Directions, 1963); “Only Dust: Three Modern Indonesian Poets”, oleh Ulli
Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969).
Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta kepada Sri Ayati tetapi hingga
akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Kemudian ia
memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai
seorang putri bernama Evawani Alissa, namun karena masalah kesulitan ekonomi, mereka berdua
akhirnya bercerai pada akhir tahun 1948.
Puisi "Aku"
Chairil Anwar pertama kali membaca "AKU" di Pusat Kebudayaan Jakarta pada bulan Juli 1943.
Hal ini kemudian dicetak dalam Pemandangan dengan judul "Semangat", sesuai dengan dokumenter
sastra Indonesia, HB Jassin, ini bertujuan untuk menghindari sensor dan untuk lebih
mempromosikan gerakan kebebasan. "AKU" telah pergi untuk menjadi puisi Anwar yang paling
terkenal.
Pada periode 1926-1927, Amir aktif sebagai anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di
Haarlem dan selama itu pula Amir sering terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok Kristen. Salah
satunya di kelompok CSV-op Java yang menjadi cikal bakal dari GMKI (Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia). Namun Amir tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di Leiden, karena pada
September 1927 setelah lulus ujian tingkat kedua, Amir harus kembali ke Medan karena masalah
keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden.
Setelah itu Amir meneruskan kembali pendidikannya di Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di
asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, bersama dengan senior satu sekolahnya Mr.
Muhammad Yamin.
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha menyetujui dan menjalankan garis
Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk
menghancurkan Fasisme. Amir diminta oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal,
menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam
menghadapi serbuan Jepang. Rencana tersebut tidak banyak mendapat sambutan, ini disebabkan
karena rekan-rekan Amir sesama aktivis masih belum pulih kepercayaannya terhadap Amir akibat
polemik yang terjadi di awal tahun 1940-an dan mereka tidak paham akan strategi Amir melawan
Jepang.
Pada bulan Januari 1943 Amir tertangkap oleh fasis Jepang. Kejadian ini diartikan sebagai
terbongkarnya jaringan organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan
dengan Amir. Melalui beberapa sidang pengadilan tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada
para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.
Setelah Peristiwa Madiun 1948, pemerintah menuduh PKI berupaya untuk membentuk negara
komunis di Madiun dan menyatakan perang terhadap PKI. Amir sebagai salah seorang tokoh PKI
yang pada saat terjadi peristiwa Madiun sedang berada di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat
Buruh Kereta Api (SBKA) juga ditangkap beserta beberapa orang temannya.
Tanggal 19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di dekat desa Ngalihan, Amir Sjarifuddin tewas
ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer. Sebelumnya beberapa orang penduduk
desa setempat telah diperintahkan untuk menggali sebuah lubang besar. Dari sebelas orang yang
diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang dieksekusi malam itu.
Riwayat karir Amir Sjarifuddin:
• Menteri Penerangan Kabinet Presidensial (19 Agustus 1945 - 14 November 1945)
• Menteri Keamanan Rakyat Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 12 Maret 1946)
• Menteri Penerangan (ad interim) Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 3 Januari 1946)
• Menteri Pertahanan Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946)
• Menteri Keamanan Rakyat Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)
• Perdana Menteri Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 - 29 Januari 1948)
28. Djoko Marsaid
Djoko Marsaid. Merupakan wakil ketua pada saat Kongres Pemuda berlangsung. Djoko
mewakili organisasinya, Jong Java. Tidak banyak informasi mengenai Djoko Marsaid ini.
Meskipun begitu, namanya tetap tercantum sebagai tokoh penting dalam perumusan Sumpah
Pemuda.
R.M. Djoko Marsaid merupakan wakil ketua panitia kongres, sekaligus ketua organisasi Jong
Java.
Ayah: Sutodrono
Penghargaan: Gelar Pahlawan Nasional Indonesia
Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat adalah seorang dokter
yang juga merupakan salah satu tokoh pendiri Republik Indonesia. Beliau adalah satu-satunya orang
yang terlibat secara akif dalam kancah perjuangan bangsa yang dimulai dari munculnya Boedi
Utomo sampai pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKl).
Dr Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Radjiman Wedyodiningrat, lahir di Yogyakarta pada 21
April 1879. Ia berasal dari keluarga rakyat biasa. Bapaknya, Sutodrono, hanya seorang penjaga
sebuah toko kecil di Yogyakarta.
Pendidikan
Pendidikan Radjiman dimulai dengan model pembelajaran hanya dengan mendengarkan pelajaran
di bawah jendela kelas saat mengantarkan putra Dr. Wahidin Soedirohoesodo ke sekolah, kemudian
atas belas kasihan guru Belanda disuruh mengikuti pelajaran di dalam kelas sampai akhirnya di usia
20 tahun ia sudah berhasil mendapatkan gelar dokter dan mendapat gelar Master of Art pada usia 24
tahun. Ia juga pernah belajar di Belanda, Perancis, Inggris dan Amerika.
Pilihan belajar ilmu kedokteran yang diambil berangkat dari keprihatinannya ketika melihat
masyarakat Ngawi saat itu dilanda penyakit pes, begitu pula beliau secara khusus belajar ilmu
kandungan untuk menyelamatkan generasi kedepan dimana saat itu banyak Ibu-Ibu yang meninggal
karena melahirkan.
Sejak tahun 1934 ia memilih tinggal di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi dan
mengabdikan dirinya sebagai dokter ahli penyakit pes, ketika banyak warga Ngawi yang meninggal
dunia karena dilanda wabah penyakit tersebut. Rumah kediamannya yang sekarang telah menjadi
situs sudah berusia 134 tahun. Begitu dekatnya Radjiman dengan Bung Karno sampai-sampai Bung
Karno pun telah bertandang dua kali ke rumah tersebut.
Setelah kemerdekaan
Di masa setelah kemerdekaan RI Radjiman pernah menjadi anggota DPA, KNIP dan pemimpin
sidang DPR pertama di saat Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dari RIS.
Dr. Radjiman Wedyodiningrat meninggal di Ngawi, Jawa Timu pada 20 September 1952 pada umur
73 tahun. Oleh pemerintah Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia yang diberikan
bertepatan dengan peringatan hari pahlawan pada 10 November 2013 melalui Keppres No.
68/TK/2013 bersama kedua pahlawan lainnya yakni: Lambertus Nicodemus Palar dan Tahi Bonar
Simatupang.
Pekerjaan:
Pada masa penjajahan Jepang, bekerja sebagai pegawai Shihabu (Kepenjaraan)
Pada masa revolusi aktif dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP)
Menteri Pembangunan Masyarakat dalam Kabinet Halim. Pada masa RIS, dalam Negara
Republik Indonesia dengan Acting Presiden Mr. Assaat.