“ KLIPING
Tentang BIOGRAFI PAHLAWAN “
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
1. ALVINA NUR AZIZAH (04)
2. ARISKA JUITANINGRUM (06)
3. ASIH DWI P. (07)
4. MIRA WATI (24)
5. SALSA PRISTI S (32)
KELAS : VIII F
SMP N 1 JEPON
TAHUN PELAJARAN 2017/2018
Ia adalah seorang raja dari Mataram. Sang ibu bernama R.A. Mangkarawati, ia berdarah Pacitan.
Saat dilahirkan, Diponegoro memiliki nama Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Sang Ayah sempat
punya niat untuk mengangkatnya sebagai raja. Hanya saja waktu itu ia sadar bahwa ia hanya
putra dari seorang selir, sehingga menolak keinginan dari ayahnya tersebut. Sepanjang hidupnya,
Diponegoro pernah mempersuntingnya banyak istri, diantaranya adalah Raden Ayu
Ratnaningrum, Bendara Raden Ayu Antawirya, dan Raden Ayu Ratnaningsih.
5. Biografi Patimura
adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah
kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada
saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi
pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November
1975.
2. Biografi Pangeran Antasari
Pangeran Antasari merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Pangeran Antasari adalah
putra dari pasangan Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman dan Pangeran Masohut (Mas’ud) bin
Pangeran Amir yang lahir pada tahun 1797 atau 1809 di Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan. Pangeran Antasari meninggal dunia pada 11 Oktober 1862 (53 Tahun) di
Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
Pada 14 Maret 1862, didepan kepala suku dayak dan dan Adipati penguasa wilayah dusun Atas,
Kapuas dan Kahayan yakni Tumenggung Surapati/ Tumenggung Yang Pati Jaya Raja, Pangeran
Antasari ditunjuk sebagai pimpinan tertinggi Kesultanan Banjar atau menjadi Sultan Banjar
dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
3. Gusti Ngurahrai
I Gusti Ngurah Rai, adalah pahlawan nasional dari daerah Bali. Terkenal dengan gagasan
perangnya yakni Puputan Margarana yang berarti perang secara habis-habisan di daerah
Margarana (Kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali). Memiliki darah pejuang dengan
tanah kelahiran Badung, Bali pada 30 Januari 1917. Ia merupakan anak camat yang bernama I
Gusti Ngurah Palung. Hal ini pula yang menjadikan ia berkesempatan untuk bersekolah formal
di Holands Inlandse School (HIS). Untuk mengenal lebih mendalam, mari kita ulas bersama
biografi I Gusti Ngurah Rai.
5. Sisingamangaraja
Sisingamangaraja XII adalah pejuang gigih yang lahir di Bakara, Tapanuli pada 18 Februari
1845. Selama hidup, ia habiskan waktunya untuk memperjuangkan wilayahnya dari
penjajahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ia meninggal di Dairi pada 17 Juni 1907
dan mendapat gelar pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 9 November, melalui Keppres
No. 590 Tahun 1961. Kiprahnya Sisingamangaraja XII bermula pada tahun 1867 saat ia naik
tahta menggantikan ayahnya. Ia menjadi Tapanuli yang gigih melawan kompeni. Kala itu
Belanda mulai masuk ke Tapanuli dan Sisingamangaraja XII mengumpulkan para penguasa
lokal untuk melawan. Lobi Belanda selama beberapa tahun untuk masuk ke wilayah
Tapanuli selalu gagal, hingga puncaknya terjadi perang pada 19 Februari 1878 antara tentara
kolonial versus pasukan Sisingamangaraja XII di pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat
Tarutung. Pasukan Sisingamangaraja mengalami kekalahan dan mundur, sementara itu
tentara Belanda terus merengsek mengejar sembari membakar tiap desa yang dilaluinya.
Pertempuran kembali terjadi di Balige, Sisingamangaraja XII terkena tembakan di bagian
atas lengan. Ia kembali harus mundur dan menetapkan taktik gerilya untuk melawan
Belanda. Taktik berpindah tempat ini berhasil membuat tentara Belanda kewalahan hingga
pada 1989 Belanda mengetahui pasukan Sisingamangaraja XII menyingkir ke Lintong.
Pasukan Sisingamangaraja XII kembali dibombardir dengan alat modern, sehingga harus
mundur dan bertahan di Dairi.
6. Wahidin Sudirohusodo
Sutomo atau lebih dikenal sebagal Bung Tomo dilahirkan di Kampung Blauran, Surabaya, pada
3 Oktober 1920. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, Sutomo adalah sosok yang aktif
berorganisasi sejak remaja. Bergabung dalam Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), beliau
tercatat sebagai salah satu dari tiga orang pandu kelas I di seluruh Indonesia saat itu.
Pada masa mudanya, Bung Tomo yang memiliki minat pada dunia jurnalisme tercatat sebagai
wartawan lepas pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya 1937. Setahun kemudian, ia menjadi
Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi wartawan dan penulis pojok harian
berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya pada tahun 1939.
Pada masa pendudukan Jepang, Sutomo bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang,
Domei, bagian Bahasa Indonesia untük seluruh Jawa Timur di Surabaya (1942-1945). Saat
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, beliau memberitakannya dalam
bahasa Jawa bersama wartawan senior Romo Bintarti untuk menghindari sensor Jepang.
Selanjutnya, beliau menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.
Ketika meletus pertempuran di Surabaya, 10 November 1945, Bung Tomo tampil sebagai orator
ulung di depan corong radio, membakar semangat rakyat untuk berjuang melawan tentara
Inggris dan NICA-Belanda. Sejarah mencatat bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya
yang terdiri atas berbagai suku bangsa sangat dahsyat. Tidak ada rasa takut menghadapi tentara
Inggris yang bersenjata lengkap. Tanggal 10 November pun kemudian kita kenang sebagai
Hari Pahlawan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo pernah aktif dalam politik pada tahun 1950-an.
Namun pada awal tahun 1970-an, ia berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Pada 11
April 1978 ditahan oleh pemerintah selama satu tahun karena kritik-kritiknya yang pedas.
Sutomo meninggal di Mekkah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Jenazah Bung Tomo
dibawa kembali ke Indonesia dan dimakamkan di TPU Ngagel, Surabaya. Bung Tomo,
pahlawan pengobar semangat Juang arek-arek Surabaya ini mendapat gelar pahlawan secara
resmi dan pemerintah pada tahun 2008.
Tempat/Tgl. Lahir : Surabaya, 3 Oktober 1920
Tempat/Tgl. Wafat : Mekah,7 Oktober 1981
SK Presiden : Keppres No. 41/TK/2008, Tgl. 6 November 2008
Gelar : Pahlawan Nasional
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin
setjarik kain poetih mendjadi merah & putih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah
kepada siapapoen djuga!”
– Bung Tomo –
Pertempuran Surabaya merupakan salah satu perang terberat yang pernah dihadapi Inggris seusai
PD II. Bahkan, seorang jenderal Inggris tewas di Surabaya.
8. Dr. Cipto Mangunkusuma
Cipto Mangunkusumo dilahirkan di Desa Pecagakan, Jepara. Ia adalah putera tertua dan
Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa yang bekerja sebagai
guru. Meskipun demikian, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang
yang tinggi. Ketika menempuh pendidikan di STOVIA, Cipto dinilai sebagai pribadi yang jujur,
berpikiran tajam, dan rajin. Para guru menjuluki Cipto sebagai “een begaald leerling” atau murid
yang berbakat. Cipto juga dengan tegas memperlihatkan sikapnya. Ia membuat tulisan-tulisan
pedas mengkritik Belanda di harian De locomotive dan Bataviaasch Nieuwsblad sejak tahun
1907. Setelah lulus dari STOVIA, beliau bekerja sebagai dokter pemerintah kolonial Belanda
yang ditugaskan di Demak. Sikapnya yang tetap kritis melalui berbagai tulisan membuatnya
kehilangan pekerjaan.
Cipto menyambut baik kehadiran Budi Utomo sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya.
Namun, Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara
demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Hal ini menimbulkan perbedaan antara
dirinya dan pengurus BU lainnya. Cipto lalu mengundurkan diri dan membuka praktek dokter di
Solo, ia pun mendirikan R.A. Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat.
Ia kemudian bertemu Douwes Dekker dan bersama Suwardi Suryaningrat mereka mendirikan
Indische Partij pada tahun 1912. Cipto selanjutnya pindah ke Bandung dan aktif menulis di
harian De Express. Menjelang perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dan Perancis, Cipto
Mangunkusumo dan Suwardi mendirikan Komite Bumiputera sebagai reaksi atas rencana
Belanda merayakannya di Indonesia.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express
menerbitkan artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Ais ik Nederlands Was” (Andaikan
Saya Seorang Belanda). Cipto kemudian menulis artikel yang mendukung Suwardi keesokan
harinya. Akibatnya, 30 Juli 1913 Cipto Mangunkusumo dan Suwardi dipenjara. Melihat kedua
rekannya dipenjara, Douwes Dekker menulis artikel di De Express yang menyatakan bahwa
keduanya adalah pahlawan. Pada 18 Agustus 1913, Cipto Mangunkusumo bersama Suwardi
Suryaningrat dan Douwes Dekker dibuang ke Belanda.
Selama di Belanda, kehadiran mereka membawa perubahan besar terhadap Indische
Vereeniging, sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang semula bersifat social
menjadi lebih politis. Konsep Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia
yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Oleh karena
alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto Mangunkusumo diperbolehkan pulang kembali ke Jawa
dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama
menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).
Pada tahun 1918, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Cipto
Mangunkusumo terpilih sebagai salah satu anggota oleh gubernur jenderal Hindia Belanda
mewakili tokoh yang kritis. Sebagai anggota Volksraad, sikap Cipto Mangunkusumo tidak
berubah. Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920 mengusir Cipto
Mangunkusumo ke luar Jawa. Cipto kemudian dibuang lagi ke Bandung dan dikenakan tahanan
kota. Selama tinggal di Bandung, Cipto Mangunkusumo kembali membuka praktek dokter
dengan bersepeda ke kampung-kampung. Di Bandung pula Cipto Mangunkusumo bertemu
dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk
Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai
Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene
Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai penyumbang pemikiran bagi generasi muda,
termasuk oleh Sukarno.
Tempat/Tgl. Lahir : Jepara, 4 Maret 1886
Tempat/Tgl. Wafat : Jakarta, 8 Maret 1943
SK Presiden : Keppres No. 109/TK/1964, Tgl. 2 Mei 1964
Gelar : Pahlawan Nasional
Pada tahun 1927, Belanda Menganggap Cipto Mangunkusumo terlibat dalam upaya sabotase
sehingga membuangnya ke Banda Neira. Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh.
Ketika Cipto Mangunkusumo diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat
pulang ke Jawa untuk berobat dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas
mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda. Cipto kemudian dipindahkan ke Makasar, lalu ke
Sukabumi pada tahun 1940. Udara Sukabumi yang dingin Ternyata tidak baik bagi kesehatan
beliau sehingga dipindahkan lagi ke Jakarta hingga Dokter Cipto Mangunkusumo wafat pada 8
Maret 1943.
9. K.H. Samanhudi
Kutipan H.O.S Cokroaminoto
"Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah
seperti orator."
"Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat."
11. Ir. Soekarno
Ir Soekarno
Biografi Ir. Soekarno Secara Singkat
Lahir: Surabaya, 6 Juni 1901
Wafat: Jakarta, 21 Juni 1970
Dimakamkan: Kota Blitar, Jawa Timur
Kebangsaan: Indonesia
Anak-anak:
Putra: Guruh Soekarnoputra, Guntur Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra, Taufan
Soekarnoputra, Totok Suryawan,
Putri: Megawati Soekarnoputri, Kartika Sari Dewi Soekarno, Rachmawati
Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Ayu Gembirowati, Rukmini Soekarno,
Pasangan/Istri:
Siti Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi
Soekarno, Haryati, Yurike Sanger, Heldy Djafar
Pendidikan:
Sekolah Dasar Bumi Putera
HBS (Hoogere Burger School)
Technische Hoogeschool, sekarang ITB
Penghargaan:
Penghargaan Perdamaian Lenin (1960)
Bintang Kehormatan Filipina (1965)
Doktor Honoris Causa dari 26 Universitas
The Order Of The Supreme Companions of OR Tambo (Presiden Afsel - 2005)
Orangtua: Soekemi Sosrodihardjo (Bapak), Ida Ayu Nyoman Rai (Ibu)
Gelar Pahlawan: Pahlawan Nasional
Biografi Ir. Soekarno Lengkap
Ir. Soekarno lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni tahun 1901. Ir. Soekarno adalah Presiden
RI pertama yang dikenal sebagai tokoh proklamator bersama Dr. Mohamad Hatta. Pada tahun
1926, beliau lulus dari Technische Hoge School, Bandung (sekarang ITB). Pada tanggal 4 Juli
1927, Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) untuk mencapai kemerdekaan
Kharisma dan kecerdasan beliau membuat dirinya terkenal sebagai orator ulung yang dapat
membangkitkan semangat rakyat. Belanda merasa terancam dengan sikap nasionalisme beliau.
Pada Desember 1929, Soekarno dan tokoh PNI lainnya ditangkap dan dipenjara. PNI sendiri
dibubarkan dan berganti menjadi Partindo. Perjuangan beliau terus berlanjut setelah dibebaskan,
tetapi pada Agustus 1933, Proklamator kemerdekaan RI ini kembali ditangkap dan diasingkan ke
Ende, Flores, lalu dipindahkan ke Bengkulu.
Soekarno dibebaskan ketika Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda. Jepang meminta Ir.
Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur mendirikan PUTERA
(Pusat Tenaga Rakyat) untuk kepentingan Jepang. Namun, PUTERA justru lebih banyak
berjuang untuk kepentingan rakyat. Akibatnya, Jepang membubarkan PUTERA. Ketika
posisinya dalam Perang Asia Raya mulai terdesak pasukan Sekutu, Jepang mendirikan
BPUPKI. Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan gagasan tentang
dasar Negara yang disebut Pancasila.
Setelah BPUPKI dibubarkan, beliau diangkat menjadi ketua PPKI. Tidak lama kemudian
Jepang memanggil Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat ke Ho Chi Minh, Vietnam,
untuk menemui Jenderal Terauchi guna membicarakan masalah kemerdekaan Indonesia. Setelah
kembali ke Indonesia, Soekarno dan Hatta diculik para pemuda yang sudah mendengar berita
kekalahan Jepang atas Sekutu dan dibawa ke Rengasdengklok. Akhirnya, tercapai kesepakatan
sehingga Soekarno-Hatta segera kembali ke Jakarta mempersiapkan Naskah Proklamasi.
Bersama Hatta, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI atas nama rakyat Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.
Kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia, bukan pemberian Jepang.
Satu hari kemudian, beliau dilantik menjadi Presiden RI yang pertama. Beliau memerintah
selama 22 tahun. Soekarno meninggal saat berusia 69 tahun dan dimakamkan di Blitar, Jawa
Timur.
12. Ki Hajar Dewantara
Ki hajar dewantara bersekolah di ELS yang dulu merupakan sekolah dasar Belanda. Selanjutnya
beliau juga melanjutkan sekolah di STOVIA yang merupakan sekolah dokter untuk bumiputera.
Tetapi selama sekolah di Stovia beliau tidak sampai tamat dikarenakan sakit. Hal ini juga banyak
diceritakan disemua buku biografi Ki Hajar Dewantoro. Beliau juga pernah bekerja menjadi
wartawan diberbagai media cetak terkenal pada masa itu. Seperti mideen java, sedyotomo, De
ekpress, kaoem moeda, poesara, oetoesan hindia, dan tjahaja timoer. Tulisan beliau diberbagai
media tersebut sangat komunikatif dan juga kritis, sehingga dapat meningkatkan semangat
rakyat pada masa itu.
Ketika membahas tentang biografi Ki hajar dewantara memang tidak pernah ada habisnya. Ada
banyak sekali hal yang harus kita banggakan untuk beliau. Pada tahun 1908 beliau aktif sebagai
pengurus di organisasi boedi oetomo. Selanjutnya beliau juga membuat organisasi sendiri
bersama Douwes Dekker atau lebih dikenal dengan Dr. Danudirdja Setya Budhi dan Dr Cipto
Mangoekoesoemo mendirikan sebuah organisasi yang bernama Indische Partij pada tanggal 25
desember tahun 1912. Organisasi ini merupakan partai politik pertama di Indonesia yang
beraliran nasionalisme untuk mencapai Indonesia merdeka. Ketika ingin mendaftarkan partai ini,
mereka di tolak oleh Belanda, karena dianggap menumbuhkan nasionalisme pada rakyat.
Dengan ditolaknya partai tersebut, mereka akhirnya komite boemi poetra yang digunakan untuk
membuat kritik ke pemerintahan Belanda. Mereka menulis berbagai kritikan untuk pemeritahan
Belanda yang dimuat di surat kabar De ekpress yang pemiliknya pada saat out adalah Douwe
Dekker. Dalam tulisan tersebut mereka mengatakan bahwa tidak mungkin merayakan
kemerdekaan, di Negara yang sudah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Karena tulisannya itu
beliau di buang ke pulau Bangka, sebagai hukuman pengasingannya oleh pemerintahan Belanda.
Cerita ini banyak ditemukan di buku-buku biografi ki hajar dewantara.
Setelah pulang dari pengasingan dan sempat melakukan perjalanan ke Belanda. Beliau akhirnya
mendirikan taman siswa. Selama pendirian taman siswa ini banyak sekali tantangan dan
halangan dari pihak pemerintahan Belanda. Dengan segala kegigihannya, akhirnya taman siswa
mendapatkan ijin berdirinya. Setelah masa kemerdekaan, beliau menjabat sebagai menteri
pendidikan dan kebudayaan. Jika kalian mengunjungi Yogyakarta, anda bisa mengunjungi
museum yang didedikasikan untuk ki hajar dewantara. Sekian artikel tentang biografi Ki Hjar
Dewantara, semoga dapat memberikan informasi untuk anda.
Karir Ki Hajar Dewantara
Pendiri perguruan Taman Siswa
Penghargaan Ki Hajar Dewantara
Gelar doktor kehormatan (Doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari Universitas Gadjah Mada
Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan
Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959
13. Muh. Hatta
Pasangan :
Hj. Siti Walidah
Nyai Abdullah
Nyai Rum
Nyai Aisyah
Nyai Yasin
Anak :
Djohanah
Siradj Dahlan
Siti Busyro
Irfan Dahlan
Siti Aisyah
Siti Zaharah
Dandanah
Nama K.H. Ahmad Dahlan kecil adalah Muhammad Darwisy, Ia adalah anak ke 4 dari 7
bersaudara. Ahmad Dahlan merupakan keturunan ke 12 dari Maulana Malik Ibrahim atau Sunan
Gresik. Berikut adalah Silsilah tersebut Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul
Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai
Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad
Dahlan).
Pada saat Ahmad Dahlan berumur 15 tahun, Ia pergi melaksanakan ibadah haji lalu selama 5
tahun ia menetap di Mekkah. Masa ini, K.H. Ahmad Dahlan memulai interaksi dengan
pemikiran pembaharu Islam, seperti Al-Afghani, Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyah, dan
Rasyid Ridha.
Pada tahun 1888, Ahmad Dahlan kembali ke kampung halamannya dan Ia yang bernama asli
Muhammad Darwisy berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Ia kembali lagi ke Mekkah pada
tahun 1903 dan Ia tinggal selama 2 tahun, masa ini Oa sempat berguru pada Syeh Ahmad Khatib
yang juga merupakan guru dari K.H. Hasyim Asyari yaitu pendiri NU.
Setelah pulang dari Mekkah, Ahmad Dahlan Menikah dengan sepupunya bernama Siti Walidah
(Nyi Ahmad Dahlan) yaitu putri dari Kyai Penghulu Haji Fadhil. Dari pernikahan ini, mereka
dianugrahi 6 orang anak yakni Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah,
dan Siti Zaharah.
Selain dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan juga pernah menikah dengan Nyai Abdullah yaitu
janda H. Abdullah, Nyai Rum yang merupakan adik dari Kyai Munawwir Krapyak, Nyai Aisyah
yang merupakan adik Adjengan Penghulu Cianjur dan dari pernikahan ini Ahmad dahlan
memiliki putra Dandanah. Serta Ahmad Dahlan juga pernah menikah dengan Nyai Yasin
Pakualaman Yogyakarta.
Pada tahun 1909, K.H. Ahmad Dahlan bergabung dengan organisasi Budi Utomo dan disana Ia
mengajarkan agama dan pelajaran yang diperlukan anggota. Pelajaran yang diberikan K.H.
Ahmad Dahlan dirasa sangat berguna bagi para anggota Budi Utomo, lalu mereka menyarankan
agar Ahmad Dahlan membuka sekolah yang ditata rapi serta didukung organisasi permanen.
Pada 18 November 1912 (8 Djulhijah 1330), K.H Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
bernama Muhammadiyah yang bergerak dibidang kemasyarakatan dan pendidikan. Dengan
mendirikan Organisasi ini, Ia berharap dapat memajukan pendidikan dan membangun
masyarakat islam. Ahmad Dahlan mengajarkan Al-Qur’an dengan terjemah juga tafsirnya agar
masyarakat memahami makna yang ada dalam Al-Qur’an dan tidak hanya pandai membaca dan
melagukannya saja.
Pada bidang pendidikan, Dahlan mengubah sistem pendidikan pesantren pada masa itu. Ia
mendirikan sekolah-sekolah agama yang juga mengajarkan pelajaran umum dan juga bahasa
belanda. Bahkan ada Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S met de Qur’an. Ia memasukan
pelajaran agama di sekolah umum pula. Ahmad Dahlan terus mengembangkan dan membangun
sekolah-sekolah. Selain sekolah semasa hidupnya Ia juga mendirikan masjid, langgar, rumah
sakit, poliklinik, dan juga rumah yatim piatu.
Pada bidang organisasi, tahun 1918 Ia mendirikan organisasi Aisyiyah untuk para kaum wanita.
untuk para pemuda, Ahmad Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu (sekarang Pramuka)
bernama Hizbul Wathan. Pada organisasi tersebut para pemuda belajar baris-berbaris dengan
genderang, memakai celana pendek, bertopi, berdasi, untuk seragam yang mereka pakai mirip
dengan seragam pramuka sekarang.
Pada saat itu, karena semua pembaharuan yang diajarkan oleh K.H. Ahmad Dahlan agak
menyimpang dengan tradisi, Ahmad dahlan sering diteror seperti rumah yang dilempari batu dan
kotoran binatang bahkan pada saat dahwah di Banyuwangi, Ahmad dahlan dituduh sebagai kyai
palsu dan Ia diancam akan dibunuh. Namun dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan
mulai menerima perubahan yang diajarjan oleh Ahmad Dahlan.
Semua yang di lakukan oleh K.H.Ahmad Dahlan bertujuan untuk membuktikan bahwa Islam
adalah agama kemajuan yang dapat mengangkat derajat umat ke taraf yang lebih tinggi dan itu
terbuti membawa dampak positif bagi Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Pemuda dan
golongan Intelektual banyak yang tertarik dengan metode yang diajarkan oleh K.H. Ahmad
Dahlan sehingga mereka banyak yang bergabung dengan organisasi Muhammadiyah.
Muhammadiyah yang merupakan organisasi beramal dan menjalankan ide pembaharuan K.H.
Ahmad Dahlan sanga menarik perhatian para pengamat islam dunia. Bahkan para pengarang dan
sarjana dari timur memusatkan perhatian pada Muhammadiyah.
K.H Ahmad Dahlan banyak mendapatkan ilmu dari banyak kyai di berbagai bidang ilmu seperti
K.H Muhsin di bidang ilmu tata bahasa (Nahwu-Sharaf), K.H. Muhammad Shaleh di bidang
ilmu fikih, Kyai Mahfud dan Syekh K.H. Ayyat di bidang Ilmu Hadist, K.H. Raden Dahlan di
bidang ilmu falak atau astronomi, Syekh Hasan di bidang pengobatan dan racun binatang, serta
Syekh Amin dan sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Qur’an.
Pada 23 Februari 1923, pada usia 54 tahun K.H. Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Kemudian
beliau dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, Mergangsan,Yogyakarta. Pada
27 Desember 1961, berdasarkan SK Presiden RI No.657 Tahun 1961 atas jasanya negara
memberi beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia.
16. K.H. Hasyim Asy’ari
KH Mohammd Hasyim Asy'ari atau lebih dikenal dengan KH Hasyim Ashari lahir di Jombang,
10 April 1875. Berdasarkan biografi KH Hasyim Ashari, Beliau adalah pendiri sebuah
organisasi besar Islam yang ada di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama. Beliau dilahirkan dari
orang tua yang bernama Kyai Asyari dan Halimah. Keluarga beliau memang memegang teguh
dasar-dasar ajaran Islam. Hal itu disebabkan ayahnya yang merupakan keturunan kedelapan Jaka
Tingkir adalah seorang pemimpin Pesantren Keras di bagian selatan Jombang. Dengan demikian
KH Hasyim Asy'ari dibekali ilmu agama yang kuat.
Sejak kecil KH Hasyim Asahri telah terlihat jiwa kepemimpinannya. Beliau juga sudah
membantu ayahnya dalam mengajar santri di pesantren. Kemudian pada umur 15 tahun, beliau
memperdalam ilmunya dengan nyantri di beberapa pesantren. Beliau mengawalinya dari
pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian ke Pesantren Langitan Tuban. Namun beliau tidak
puasa hanya disitu, beliau melanjutkan ke beberapa pesantren seperti Pesantren Trenggilis,
Kedamengan dan bangkalan. Selain menuntut ilmu di Jawa, beliau juga menuntut ilmu hingga
ke Makkah berguru kepada imam masjid besar dan terkemuka di Makkah. Dalam biografi KH
Hasyim Ashari, menyebutkan bahwa beliau merupakan ahli dalam hadits Bukhari Muslim.
Sehingga dalam waktu tertentu beliau sering mengadakan kajian rutin tentang hadist Bukhari
Muslim tersebut.
Makam K.H. Hasyim Asy'ari
Kisah kehidupan KH Hasyim Ashari, pada tahun 1899 beliau mendirikan pesantren yang
bernama tebu ireng. Awalnya santri yang belajar di pesantren tersebut hanyalah 8 santri.
Kemudian berkembang menjadi 28 hingga akhirnya banyak sekali santri yang belajar di
pesantren beliau. Berdasarkan biografi KH Hasyim Asy'ari, beliau merupakan seorang guru serta
seorang petani dan pedagang yang baik hati dan sukses. Belanda merasa kewalahan dengan
posisi KH Hasyim Ashari. Hal itu dikarenakan beliau sempat membuat fatwa bahwa perang
melawan Belanda merupakan perang syahid. Dengan demikian banyak sekali santri dan umat
islam yang menyerang Belanda. Tidak hanya itu beliau juga melarang umat Islam melakukan
haji jika menggunakan kapal Belanda. Dengan demikian Belanda merasa terganggu dan
dirugikan.
Akibat dari fatwa dan larangan beliau, belanda memenjarakan KH Hasyim Ashari selama 3
bulan pada tahun 1942. Belanda juga sempat melakukan politik adu domba terhadap beliau.
Namun beliau tidak pernah mau untuk bekerjasama dengan Belanda. Pada tahun selanjutnya,
Belanda terusir dari tanah air, Jepang melakukan pendekatan terhadap umat muslim. Jepang
tidak terlalu menekan pergerakan dan aktivitas umat muslim namun dengan syarat umat muslim,
termasuk KH. Hasyim Asahri harus untuk melakukan seikerei suatu penghormatan terhadap
Kaisar Hirohito dan Dewa Matahari. tentu dengan keras beliau menolak hal tersebut.
Konsekuensinya beliau ditangkap dan diasingkan dari jombang ke mojokerto dan akhirnya ke
penjara di Surabaya, di Bubutan. Dalam biografi KH Hasyim Ashari, beliau memang sangat taat
terhadap Allah dan ajaran Islam.
Terlepas dari penjajahan yang terjadi di tanah air beliau terus mensyiarkan ajaran agama Islam.
Pda tanggal 16 Rajab 1344 H, beliau mendirikan organisasi Nahdhatul Ulama' yang artinya
sebuah kebangkitan ulama. Organisasi keagamaan ini masih tetap menjadi organisasi besar di
Indonesia. Perjuangan KH Hasyim Asy'ari merupakan suatu teladan yang mulia yang sangat
menjunjung tinggi nilai nilai agama dan mencintai tanah air. demikian biografi KH Hasyim
Ashari, semoga dapat dijadikan renungan dan memberi manfaat.
Pahlawan Nasional
Biografi Singkat
Nama : Wage Rudolf Supratman
Lahir: Somongari, Purworejo, 19 Maret 1903
Meninggal: Surabaya, 17 Agustus 1938
Kebangsaan: Indonesia
Dimakamkan: Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta
Orang tua: Djoemeno Senen Sastrosoehardjo, Siti Senen
Saudara Kandung :
Roekijem Soepratijah,
Roekinah Soepratirah,
Rebo,
Gijem Soepratinah,
Aminah,
Ngadini Soepratini,
Slamet,
Sarah.
Biografi dan Profil Lengkap
Kehidupan Pribadi W.R Soepratman
W.R Soepratman merupakan anak ketujuh dari sembilan bersaudara dari pasangan Djoemeno
Senen Sastrosoehardjo dan Siti Senen. Sang ayah merupakan seorang tentara KNIL Belanda.
Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem kakak sulungnya ke Makassar. Di Makassar
Soepratman disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yaitu Willem van Eldik.
Selanjutnya, selama tiga tahun Soepratman belajar bahasa Belanda di sekolah malam. Lalu, ia
melanjutkan pendidikan ke Normaalschool di Makassar hingga selesai. Saat berumur n20 tahun,
Ia dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun kemudian Ia mendapatkan ijazah Klein
Ambtenaar.
Dalam beberapa waktu yang lama, Soepratman bekerja di sebuah perusahaan dagang.
Kemudian, Ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan
Kaoem Kita. Pekerjaan itu kemudian tetap ia lakukan saat telah tinggal di Jakarta. Pada waktu
itu, Soepratman mulai tertarik dengan pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-
tokoh pergerakan. Dalam bukunya yang berjudul Perawan Desa, Ia menuangkan rasa tidak
senang dengan penjajahan namun kemudian buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah
Belanda.
Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang (ibukota Kabupaten Wajo merupakan salah satu kota
kecil yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan). Di situ tidak lama, Ia meminta berhenti lali
pulang ke Makassar. Kakak sulungnya yaitu Roekijem sangat senang sandiwara dan musik,
banyak karyanya yang ditampilkan di mes militer. Selain itu, Roekijem juga senang bermain
biola, kegemaran yang dimiliki sang kaka membuat Soepratman juga gemar bermain musik dan
membaca buku musik.
W.R Soepratman tidak memiliki istri dan tidak pernah mengangkat anak.
Menciptakan Lagu “Indonesia Raya”
Saat tinggal di Makassar, Soepratman mendapatkan pelajaran tentang musik dari kakak iparnya.
W.R Soepratman pandai bermain biola dan dapat menggubah lagu. Saat tinggal di Jakarta, Ia
membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul, penulis karangan tersebut menantang para
ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
Soepratman merasa tertantang dan ia mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924, terciptalah lagu
Indonesia raya yang pada saat itu Ia berumur 21 tahun dan berada di Bandung.
Pada malam penutupan Kongres Pemuda II di Jakarta pada 28 Oktober 1928, Soepratman
memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental didepan umum dan semua orang yang
hadir terpukau mendengarkannya. Lagu Indonesia Raya kemudian dengan cepat menjadi
terkenal , apabila ada partai yang mengadakan kongres maka lagu tersebut selalu dinyanyikan.
Lagu Indonesia Raya merupakan perwujudan rasa persatuan dan keinginan untuk merdeka.
Wafatnya W.R. Soepratman
Karena menciptakan lagu Indonesia Raya, Soepratman menjadi buronan polisi Hindia Belanda
hingga Ia jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang berjudul “Matahari Terbit”, pada
awal Agustus 1938, Soepratman ditangkap saat sedang menyiarkan lagu tersebut bersama para
pandu di NIROM Jalan Embong Malang, Surabaya lalu Ia ditahan di penjara Kalisosok,
Surabaya. W.R soepratman meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.
Setelah Indonesia Merdeka, Lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Soepratman ditetapkan
sebagai lagu kebangsaan. Namun sayangnya sang pencipta tidak dapat merasakan kemerdekaan
tersebut.
Pendidikan
Hollands Inlandsche School (HIS)
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO)
Sekolah Pertanian Jepang di Tomohon
Sekolah Guru Bahasa Jepang.
Karir
Guru bahasa Jepang di Malalayang
Liwutung dan Luwuk Banggai
Penghargaan
Bintang Gerilya (tahun 1958),
Bintang Maha Putera Kelas III
(tahun 1960),
Ditetapkannya sebagai
Pahlawan Nasional (1973)
Robert Wolter Monginsidi adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus
pahlawan nasional Indonesia dari daerah Bantik Minanga (Malalayang). Beliau lahir di
Malalayang, Manado, Sulawesi Utara pada 14 Februari 1925 dan meninggal di Pacinang,
Makassar, Sulawesi Selatan pada 5 September 1949 pada umur 24 tahun.
Robert dilahirkan di Malalayang (sekarang bagian dari Manado) dan anak dari Petrus
Monginsidi dan Lina Suawa. dia memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa
Belanda: Hollands Inlandsche School atau (HIS), yang diikuti sekolah menengah (bahasa
Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO) di Frater Don Bosco di Manado.
Monginsidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang pada sebuah sekolah di Tomohon.
Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk,
Sulawesi Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Monginsidi tumbuh dalam budaya Bantik yang begitu kental, dengan adat yang paling
mendasar yaitu Hinggilr'idang, Hintalr'unang dan Hintakinang. Falsafah ini berarti berlaku
kasih kepada sesama anggota keluarga, kepada sesama yang masih terikat dalam komunitas
suku Bantik, dan bersifat dermawan kepada siapa pun terlepas dari suku maupun ikatan
keluarga. Falsafah itu yang membakar semangat Monginsidi untuk menentang penjajahan.
Dengan keberanian dan kepintaran yang dimiliki Monginsidi, beliau dipercaya untuk
memimpin pertempuran melawan Belanda dan menjadi sosok yang disegani.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Monginsidi berada di Makassar. Namun,
Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya
Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil
Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Monginsidi menjadi terlibat dalam
perjuangan melawan NICA di Makassar.
Pada tanggal 17 Juli 1946, Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya
membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya
menyerang posisi Robert Wolter Monginsidi adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia
sekaligus pahlawan nasional Indonesia dari daerah Bantik Minanga (Malalayang). Beliau
lahir di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara pada 14 Februari 1925 dan meninggal di
Pacinang, Makassar, Sulawesi Selatan pada 5 September 1949 pada umur 24 tahun.
Robert dilahirkan di Malalayang (sekarang bagian dari Manado) dan anak dari Petrus
Monginsidi dan Lina Suawa. dia memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa
Belanda: Hollands Inlandsche School atau (HIS), yang diikuti sekolah menengah (bahasa
Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO) di Frater Don Bosco di Manado.
Monginsidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang pada sebuah sekolah di Tomohon.
Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk,
Sulawesi Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Monginsidi tumbuh dalam budaya Bantik yang begitu kental, dengan adat yang paling
mendasar yaitu Hinggilr'idang, Hintalr'unang dan Hintakinang. Falsafah ini berarti berlaku
kasih kepada sesama anggota keluarga, kepada sesama yang masih terikat dalam komunitas
suku Bantik, dan bersifat dermawan kepada siapa pun terlepas dari suku maupun ikatan
keluarga.
Falsafah itu yang membakar semangat Monginsidi untuk menentang penjajahan. Dengan
keberanian dan kepintaran yang dimiliki Monginsidi, beliau dipercaya untuk memimpin
pertempuran melawan Belanda dan menjadi sosok yang disegani.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Monginsidi berada di Makassar. Namun,
Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya
Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil
Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Monginsidi menjadi terlibat dalam
perjuangan melawan NICA di Makassar.
Pada tanggal 17 Juli 1946, Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya
membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya
menyerang posisi Belanda.
Pada tanggal 28 Februari 1947 Monginsidi ditangkap tentara Belanda, namun berhasil
melarikan diri pada 27 Oktober 1947 bersama Abdullah Hadade, HM Yosep dan Lewang
Daeng Matari setelah hampir 8 bulan mendekam di tahanan. Sepuluh hari kemudian
Monginsidi kembali tertangkap dan kali ini Belanda memvonisnya dengan hukuman mati.
Monginsidi dieksekusi oleh tim penembak pada 5 September 1949. Jasadnya dipindahkan ke
Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950.
Penghargaan
Robert Wolter Monginsidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah
Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara
Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973. Ayahnya, Petrus,
yang berusia 80 tahun pada saat itu, menerima penghargaan tersebut.
Bandara Wolter Monginsidi di Kendari, Sulawesi Tenggara dinamakan sebagai penghargaan
kepada Monginsidi, seperti kapal Angkatan Darat Indonesia, KRI Wolter Monginsidi dan
Yonif 720/Wolter Monginsidi.
Sebagai anak tunggal yang biasanya selalu dimanjakan oleh orang tuanya, namun Chairil Anwar
tidak mengalami hal tersebut. Bahkan ia dibesarkan dalam keluarga yang terbilang tidak baik.
Kedua orang tuanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan,
sewaktu kecil Nenek dari Chairil Anwar merupakan teman akrab yang cukup mengesankan
dalam hidupnya. Kepedihan mendalam yang ia alami pada saat neneknya meninggal dunia.
Chairil Anwar bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-
orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi
dia keluar sebelum lulus. Dia mulai menulis puisi ketika remaja, tetapi tidak satupun puisi yang
berhasil ia buat yang sesuai dengan keinginannya.
Meskipun ia tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, tetapi ia tidak membuang waktunya sia-sia,
ia mengisi waktunya dengan membaca karya-karya pengarang Internasional ternama, seperti :
Rainer Maria Rike, W.H. Auden, Archibald Macleish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan
Edgar du Perron. Ia juga menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.
Pada saat berusia 19 tahun, ia pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) bersama dengan ibunya pada
tahun 1940 dimana ia mulai kenal dan serius menggeluti dunia sastra. Puisi pertama yang telah
ia publikasikan, yaitu pada tahun 1942. Chairil terus menulis berbagai puisi. Puisinya memiliki
berbagai macam tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan
eksistensialisme.
Selain nenek, ibu adalah wanita yang paling Chairil cinta. Ia bahkan terbiasa menyebut nama
ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya,
Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan
kecintaannya pada ibunya.
Dunia Sastra
Nama Chairil Anwar mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di “Majalah
Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia berusia dua puluh tahun. Namun, saat pertama kali
mengirimkan puisi-puisinya di "Majalah Pandji" untuk dimuat, banyak yang ditolak karena
dianggap terlalu individualistis. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.
Puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia yang tidak
diterbitkan hingga tahun 1945.
Salah satu puisinya yang paling terkenal dan sering dideklamasikan berjudul Aku ("Aku mau
hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke
dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat "Gelanggang"
dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan "Gelanggang Seniman Merdeka" pada tahun 1946.
Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru
Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Seniman Pelopor Angkatan 45
Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang (1986), Koleksi sajak 1942-1949", diedit
oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara
(1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).
Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena
Gempur (1951, John Steinbeck). Karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
Jerman dan Spanyol antara lain “Sharp gravel, Indonesian poems”, oleh Donna M. Dickinson
(Berkeley, California, 1960); “Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar,
Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton
Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); “Only Dust: Three Modern
Indonesian Poets”, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969).
Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta kepada Sri Ayati tetapi
hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Kemudian
ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka
dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun karena masalah kesulitan ekonomi,
mereka berdua akhirnya bercerai pada akhir tahun 1948.
Puisi "Aku"
Chairil Anwar pertama kali membaca "AKU" di Pusat Kebudayaan Jakarta pada bulan Juli 1943.
Hal ini kemudian dicetak dalam Pemandangan dengan judul "Semangat", sesuai dengan
dokumenter sastra Indonesia, HB Jassin, ini bertujuan untuk menghindari sensor dan untuk lebih
mempromosikan gerakan kebebasan. "AKU" telah pergi untuk menjadi puisi Anwar yang paling
terkenal.
Prof. Mr. Sunario Sastrowardoyo adalah salah satu tokoh Indonesia pada masa pergerakan
kemerdekaan Indonesia dan pernah menjabat sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia di
Belanda.
Sunario adalah satu-satunya tokoh yang berperan aktif dalam dua peristiwa yang menjadi
tonggak sejarah nasional Manifesto 1925 dan Konggres Pemuda II. Ketika Manifesto Politik itu
dicetuskan ia menjadi Pengurus Perhimpunan Indonesia bersama Hatta. Sunario menjadi
Sekretaris II, Hatta bendahara I. Akhir Desember 1925, ia meraih gelar Meester in de rechten,
lalu pulang ke Indonesia. Aktif sebagai pengacara, ia membela para aktivis pergerakan yang
berurusan dengan polisi Hindia Belanda. Ia menjadi penasihat panitia Kongres Pemuda II tahun
1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Dalam kongres itu Sunario menjadi pembicara dengan
makalah “Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia.”
Riwayat
Sunario lahir di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 28 Agustus 1902. Ia adalah anak pertama dari
13 bersaudara dari pasangan Sutejo Sastrowardoyo yang merupakan mantan wedana di Uteran
dan Suyati Kartokusumo.
Sunario yang beragama Islam dan berasal dari Jawa Timur ini menikah dengan gadis Minahasa
beragama Protestan yang ditemuinya saat berlangsung Kongres Pemuda 1928.
Sunario menikah dengan Dina Maranta Pantouw pada 7 Juli 1930, gadis Minahasa yang
dikenalnya saat rangkaian Kongres Pemuda II. Ada kisah menarik sebelum pernikahan
berlangsung.
Pada malam midodareni, Sunario dan Dina diminta untuk datang ke rumah Mr Sartono. Di sana
telah hadir MH Thamrin dan AK Pringgodigdo.
Kemudian diputarlah lagu “Indonesia Raya” sebagai penghormatan kepada kedua calon
mempelai yang sangat besar cintanya kepada Indonesia. Dari pernikahan tersebut, mereka
dikaruniai lima orang anak.
Sunario wafat pada tahun 1997 di RS Medistra, Jakarta. Sementara istrinya tiga tahun lebih
awal, 1994. Sunario dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Pendidikan
Pada tahun 1908, Sunario masuk ke Frobelschool (sekolah taman kanak-kanak) di Madiun. Di
sekolah tersebut, ia diajar oleh guru-guru wanita yang bernama Mejuffrouw Acherbeek dan
Mejuffrouw Tien.
Setelah ia lulus dari Frobelschool, ia masuk ke Europeesche Lagere School (ELS), yang
merupakan Sekolah Dasar di Madiun tahun 1909 – 1916, Sunario tinggal di rumah kakeknya
yang merupakan pensiunan Mantri Kadaster yang bernama Sastrosentono. Sunario termasuk
murid yang cerdas dan tidak pernah tinggal kelas yang membuat orang tuanya bangga.
Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, Sunario melanjutkan sekolahnya ke MULO, yang
merupakan singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (sejenis dengan Sekolah Menengah
Pertama) di Madiun. Ia bersekolah disini hanya 1 tahun, dan pada tahun 1917 ia pindah ke
Rechtschool (setingkat dengan SMK/Sekolah Menengah Kejuruan Hukum) di Batavia. Di
Batavia, ia tinggal di rumah pamannya, yang bernama Kusman dan Kunto. Di Rechschool, ia
belajar hukum dan belajar bahasa Perancis. Sewaktu ia bersekolah disitu, ia menjadi anggota
Jong Java.
Setelah ia menyelesaikan pendidikannya di Rechtschool, ia melanjutkan pelajarannya ke
Belanda. Ia berangkat ke Belanda dengan biaya sendiri dengan menaiki kapal sampai ke Genoa,
lalu meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Brussel, Belgia dan menginap disana semalam.
Setelah itu, ia pergi ke Den Haag dan mengganti kereta api menuju Leiden. Di Leiden, ia
diterima di Universitas Leiden dan mengikuti kuliah doktoral, sehingga pada tahun 1925 ia
meraih gelar Mr. atau Meester in de Rechten yang artinya ahli dalam ilmu hukum. Ia menerima
ijazah pada tanggal 15 Desember dan ditandatangani oleh Prof. C. van Vollenhoven dan Prof.
N.Y. Krom. Selama di Belanda, ia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia.
Karier
Setelah Indonesia merdeka, Sunario menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional
Indonesia Pusat).
Ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada periode 1953-1955. Pada masa jabatannya
sebagai Menteri Luar Negeri Mr. Sunario menjabat sebagai Ketua Delegasi RI dalam Konferensi
Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Ketika menjadi Menlu, Sunario juga menandatangani
Perjanjian tentang Dwi kewarganegaraan etnis Cina dengan Chou En Lai.
Ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Inggris periode 1956 – 1961. Setelah itu
Sunario diangkat sebagai guru besar politik dan hukum internasional, lalu menjadi Rektor
Universitas Diponegoro, Semarang (1963-1966) dan menjadi Rektor IAIN Al-Jami’ah Al-
Islamiyah Al-Hukumiyah (1960-1972) yang merupakan cikal bakal UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta serta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada 1968, Sunario berprakarsa mengumpulkan pelaku sejarah Sumpah Pemuda, dan meminta
kepada Gubernur DKI mengelola dan mengembalikan gedung di Kramat Raya 106 milik Sie
Kong Liang yang telah berganti-ganti penyewa dan pemilik kepada bentuknya semula. Tempat
ini disepakati menjadi Gedung Sumpah Pemuda, tetapi usulan mengganti nama jalan Kramat
Raya menjadi jalan Sumpah Pemuda belum tercapai.
Setelah pensiun, diangkat sebagai Panitia Lima tahun 1974. Panitia itu dibentuk pemerintah
karena muncul kehebohan di kalangan masyarakat tentang siapa sebetulnya penggali Pancasila.
Panitia ini diketuai Bung Hatta. Anggota lainnya adalah Ahmad Subardjo, A. A. Maramis, dan
A. G. Pringgodigdo, tokoh yang ikut merumuskan Piagam Jakarta tahun 1945.
Biodata Sunario Sastrowardoyo
Jabatan
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ke-7
Masa jabatan: 9 April 1957 – 10 Juli 1959
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ke-2
Masa jabatan: 1960 – 1963
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ke-3
Masa jabatan: 1960 – 1972
Informasi pribadi
Lahir: 28 Agustus 1902 Madiun, Jawa Timur, Hindia Belanda
Meninggal: 18 Mei 1997 (umur 94) Jakarta, Indonesia
Kebangsaan: Indonesia
Profesi: Diplomat
Agama: Islam
Amir Sjarifuddin lahir di Medan, Sumatera Utara pada 27 April 1907 adalah seorang tokoh
Indonesia, mantan menteri, dan perdana menteri pada awal berdirinya negara Indonesia. Amir
memulai jenjang pendidikannya di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914
hingga selesai Agustus 1921. Kemudian atas tawaran saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang
baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad, Amir meneruskan sekolahnya di Leiden.
Pada periode 1926-1927, Amir aktif sebagai anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium
di Haarlem dan selama itu pula Amir sering terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok Kristen.
Salah satunya di kelompok CSV-op Java yang menjadi cikal bakal dari GMKI (Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia). Namun Amir tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di
Leiden, karena pada September 1927 setelah lulus ujian tingkat kedua, Amir harus kembali ke
Medan karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar
menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Setelah itu Amir meneruskan kembali pendidikannya
di Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat
106, bersama dengan senior satu sekolahnya Mr. Muhammad Yamin.
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha menyetujui dan menjalankan garis
Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk
menghancurkan Fasisme. Amir diminta oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal,
menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam
menghadapi serbuan Jepang. Rencana tersebut tidak banyak mendapat sambutan, ini disebabkan
karena rekan-rekan Amir sesama aktivis masih belum pulih kepercayaannya terhadap Amir
akibat polemik yang terjadi di awal tahun 1940-an dan mereka tidak paham akan strategi Amir
melawan Jepang.
Pada bulan Januari 1943 Amir tertangkap oleh fasis Jepang. Kejadian ini diartikan sebagai
terbongkarnya jaringan organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai
hubungan dengan Amir. Melalui beberapa sidang pengadilan tahun 1944, hukuman terberat
dijatuhkan pada para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.
Setelah Peristiwa Madiun 1948, pemerintah menuduh PKI berupaya untuk membentuk negara
komunis di Madiun dan menyatakan perang terhadap PKI. Amir sebagai salah seorang tokoh
PKI yang pada saat terjadi peristiwa Madiun sedang berada di Yogyakarta dalam rangka kongres
Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) juga ditangkap beserta beberapa orang temannya.
Tanggal 19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di dekat desa Ngalihan, Amir Sjarifuddin
tewas ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer. Sebelumnya beberapa orang
penduduk desa setempat telah diperintahkan untuk menggali sebuah lubang besar. Dari sebelas
orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang dieksekusi
malam itu.
Riwayat karir Amir Sjarifuddin:
• Menteri Penerangan Kabinet Presidensial (19 Agustus 1945 - 14 November 1945)
• Menteri Keamanan Rakyat Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 12 Maret 1946)
• Menteri Penerangan (ad interim) Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 3 Januari 1946)
• Menteri Pertahanan Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946)
• Menteri Keamanan Rakyat Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)
• Perdana Menteri Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 - 29 Januari 1948)
Djoko Marsaid. Merupakan wakil ketua pada saat Kongres Pemuda berlangsung. Djoko
mewakili organisasinya, Jong Java. Tidak banyak informasi mengenai Djoko Marsaid ini.
Meskipun begitu, namanya tetap tercantum sebagai tokoh penting dalam perumusan Sumpah
Pemuda.
R.M. Djoko Marsaid merupakan wakil ketua panitia kongres, sekaligus ketua organisasi Jong
Java.
24. Rajiman Widyodiningrat
Ayah: Sutodrono
Penghargaan: Gelar Pahlawan Nasional Indonesia
Setelah kemerdekaan
Di masa setelah kemerdekaan RI Radjiman pernah menjadi anggota DPA, KNIP dan pemimpin
sidang DPR pertama di saat Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dari RIS.
Dr. Radjiman Wedyodiningrat meninggal di Ngawi, Jawa Timu pada 20 September 1952 pada
umur 73 tahun. Oleh pemerintah Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia yang
diberikan bertepatan dengan peringatan hari pahlawan pada 10 November 2013 melalui Keppres
No. 68/TK/2013 bersama kedua pahlawan lainnya yakni: Lambertus Nicodemus Palar dan Tahi
Bonar Simatupang.
25. Soegondo Djoyopuspito
Pekerjaan:
Pada masa penjajahan Jepang, bekerja sebagai pegawai Shihabu (Kepenjaraan)
Pada masa revolusi aktif dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-
KNIP)
Menteri Pembangunan Masyarakat dalam Kabinet Halim. Pada masa RIS, dalam Negara
Republik Indonesia dengan Acting Presiden Mr. Assaat.