Anda di halaman 1dari 7

SUPRAPTO

Nama Lengkap : Raden Suprapto


Tempat Lahir : Purwokerto, Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Rabu, 2 Juni 1920
Zodiac : Gemini
Meninggal : 1 Oktober 1965 (umur 45)
Lubang Buaya : Jakarta
Makam : Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
PENDIDIKAN

 MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setara SLTP di Yogyakarta


 AMS (Algemeene Middlebare School) yang setara SLTA di Yogykarta
 Koninklijke Militaire Akademie di Bandung

 Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto (lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 20


Juni 1920 – meninggal di Lubangbuaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 45 tahun)
adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu korban dalam
G30SPKI dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

 , jenazah para korban pembunuhan tersebut bisa dikeluarkan dan dimakamkan di


Taman Makam Pahlawan Kalibata. Di hari itu juga, Presiden Sukarno mengeluarkan
Kepres no. 111/KOTI/1965, yang meresmikan Suprapto bersama korban Lubang
Buaya yang lain sebagai Pahlawan Revolusi.
 Letjend (Anumerta) R. Suprapto merupakan satu diantara 7 Perwira Tinggi yang
menjadi korban pembunuhan G 30 S/ PKI. 20 Juni 2014 merupakan hari kelahiran
yang ke 94 bagi sang Pahlawan Revolusi Tersebut. Apa alasan PKI menargetkan
Deputy II Panglima Abri itu sebagai sasarn pembunuhan.

R. Suprapto (lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 20 Juni 1920 – meninggal di


Lubangbuaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada usia 45 tahun) adalah seorang pahlawan
nasional Indonesia. Ia merupakan satu diantara korban dalam malam menyeramkan
yakni peristiwa pemberontakan G30SPKI. Bersama 7 pahlawan revolusilainnya ia
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pria kelahiran
Purwokerto, 20 Juni 1920, ini usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari
sang Panglima Besar Jendral Sudirman. Pendidikan formalnya setelah tamat MULO
(setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang
diselesaikannya pada tahun 1941.

Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan


dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer
pada Koninklijke Militaire Akademie di Bandung. Pendidikan ini tidak bisa
diselesaikannya sampai tamat karena pasukan Jepang sudah keburu mendarat di
Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tapi kemudian ia berhasil
melarikan diri. Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan
mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai.
Dan setelah itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat.

Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan
berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk
menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara
resmi masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan
melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai
perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya.
Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut
menjadi salah satu yang turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara
Inggris. Ketika itu, pasukannya dipimpin langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia
juga salah satu yang pernah menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut.
Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas.
Pertama-tama ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/
Diponegoro di Semarang. Dari Semarang ia kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Staf
Angkatan Darat, kemudian ke Kementerian Pertahanan. Dan setelah pemberontakan
PRRI/Permesta padam, ia diangkat menjadi Deputy Kepala Staf Angkatan Darat
untuk wilayah Sumatera yang bermarkas di Medan. Selama di Medan tugasnya sangat
berat sebab harus menjaga agar pemberontakan seperti sebelumnya tidak terulang
lagi. Letjen Suprapto adalah pahlawan revolusi yang menjadi korban pembunuhan
G30 S PKI pimpinan DN Aidit dan Kolonel Untung. Beliau lahir di Purwokerto 20
Juni 1920 dan wafat di Lubang Buaya 1 Oktober 1965. Untuk menghargai jasa beliau
pemerintah menganugerahi gelar pahlawan Revolusi. Beliau kemudian dimakamkan
di taman makam pahlawan kalibata Jakarta.

Pendidikan umum yang berhasil ia tamatkan adalah MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs) yakni pendidikan setingkat SMP dan AMS (Algemne Middelberge
School) yaitu pendidikan setingkat SMA. Suprapto pernah mengikuti pendidikan
militer Koninklijke Militaire Akademie di Bandung namun tidak tamat karena
pendudukan Jepang.

Pada jaman pendudukan Jepang ia pernah mengikuti pendidikan Keibodan (Barisan


Pembantu Polisi), Seindendan (Barisan Pemuda) dan Syuisyintai (barisan pelopor).
Suprapto kemudian bergabung dengan TKR dan pernah ikut bertempur melawan
Inggris dan Belanda di Ambarawa. Suprapto juga pernah diangkat sebagai ajudan dan
pengawal panglima besar Soedirman bersama Cokropranolo (mantan Gubernur DKI
Jakarta), pernah menjabat kepala staf tentara dan teritorium IV/diponegoro Semarang,
Jabatan lainnya adalah Deputy Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera
dan berkedudukan di Medan. Tugas utama Suprapto selama di Medan adalah menjaga
agar wilayah Sumatera aman dan tidak lagi terjadi pemberontakan seperti
PRRI/Permesta. Setelah di Medan, Suprapto ditugaskan sebagai Deputy II
Menteri/Panglima Angkatan Darat di Jakarta di bawah komando Letjen Ahmad Yani.
Ia juga salah satu perwira TNI yang menolak pembentukan angkatan kelima yang
diusulkan PKI sehingga menjadi target pembunuhan PKI bersama Ahmad Yani, MT
Haryono, DI Pandjaitan,Sutoyo Siswo Miharjo dan S.Parman. 
Angkatan Kelima adalah unsur pertahanan keamanan Republik Indonesia yang
merupakan gagasan Partai Komunis Indonesia PKI. Angkatan Kelima ini diambil dari
kalangan buruh dan petani yang dipersenjatai.

 Suprapto merupakan jenderal yang menjadi salah satu pahlawan revolusi akibat
peristiwa G30S/PKI ini lahir di Kota Purworejo tanggal 20 Juni 1920. Dalam buku
biografi Letnan Jenderal Suprapto disebutkan bahwa usianya lebih muda 4 tahun
ketimbang dengan panglima besar Jenderal Sudirman. Jenderal Suprapto juga pernah
mengecam pendidikan yang sederajat dengan SMP dan SMA yaitu di MULO dan
AMS B Yogyakarta dan selesai di tahun 1941. Saat jenderal memasuki pendidikan
barunya di kemiliteran dengan nama Akademik Militer Koninklijke di Bandung yang
saat itu tahun dimana Hindia Belanda menginformasikan akan milisi yang
berhubungan dengan adanya pecahnya dari Perang Dunia yang kedua. Akhirnya
pendidikan yang ia tempuhpun tidak dapat diselesaikannya karena bangsa Jepang
telah tiba di Negara Indonesia.

Kemudian Pahlawan Suprapto pun ditangkap dan ditahan di penjara Jepang , namun
pada akhirnya bisa meloloskan diri. Lalu selepas dari pelariannya, kemudian jenderal
megikuti sebuah pelatihan Kurus pemuda, latihan Kurus Syuisyintai, Seinendan, dan
Keibodan. Lalu ia pun juga bekerja di salah satu kantor pendidikan masyarakat. Dan
pada awal kemerdekaan RI, ia adalah salah satu pejuang yang ikut andil dan turut
serta dalam merebut senjata dari pasukan Jepang yang ada di Cilacap. Kemudian ia
masuk dalam anggota dari Tentara Keamanan Rakyat yang ada di Purworejo.
Meskipun ia adalah pejuang yang sering melawan tentara Jepang, ia hanya dianggap
sebagai pejuang biasa seperti halnya pejuang rakyat pada umumnya. Kemudian
Jenderal Suprapto telah melakukan catatan sejarah selama ia masuk dalam TKR untuk
melawan Inggris waktu di Ambarawa, dan tercatat pula dalam buku sejarah biografi
Letnan Jenderal Suprapto.

Dalam biografi Letnan Jenderal Suprapto juga disebutkan bahwa jenderal bersama
Panglima besar Jenderal Sudirman juga telah memimpin dan menjadi ajudannya
dalam melawan bangsa Inggris. Sekembalinya ke Indonesia, ia pun sering ditugaskan
secara berpindah-pindah, dan tempat pertama yang jenderal singgahi adalah di
Ponegoro Semarang, yaitu sebagai Kepala Staf dari Tentara dan Territorial IV (T&T).
Lalu ia ditarik kembali ke Jakarta untuk ditugaskan sebagai Staf dari Angkatan Darat,
lalu Menteri Pertahanan, dan terakhir sebagai Debuty Kepala Staf dari Angkatan
Darat wilayah daerah Sumatera yang markasnya di Medan. Tugas yang ia emban ini
sangatlah berat, karena ia harus berhati-hati agar peristiwa yang terjadi sebelumnya
yaitu pemberontakan tidak terulang kembali.

Pada tanggal 1 Oktober dini hari, Suprapto, didatangi oleh sekawanan orang yang
mengaku sebagai pengawal kepresidenan (Cakrabirawa), yang mengatakan bahwa ia
dipanggil oleh presiden Sukarno untuk menghadap. Suprapto kemudian dimasukkan
ke dalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya, daerah pinggiran kota Jakarta, bersama
dengan 6 orang lainnya.

Malam harinya, Jendral Suprapto dan keenam orang lainnya ditembak mati dan
dilemparkan ke dalam sebuah sumur tua. Baru pada tanggal 5 Oktober, jenazah para
korban pembunuhan tersebut bisa dikeluarkan dan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata. Di hari itu juga, Presiden Sukarno mengeluarkan Kepres no.
111/KOTI/1965, yang meresmikan Suprapto bersama korban Lubang Buaya yang lain
sebagai Pahlawan Revolusi dengan diberikan pangkat Letnan Jenderal untuk
mengenang akan jasa dan pengabdian beliau.

 Siang hari tanggal 30 September 1965, Jenderal Suprapto mencabut giginya yang
sakit. Karena itu malam harinya ia merasa kurang enak badan, dan tidak bisa tidur.
Dari pada membuang waktu secara percuma, ia membuat suatu lukisan yang akan
disumbangkannya kepada Museum Perjuangan di Yogyakarta. Penyempurnaan
Museum itu sudah lama menyita perhatian dan pemikirannya. Begitu pula perbaikan
rumah-rumah sakit tentara yang diinginkannya setaraf dengan yang ada di negara
maju. Bangunan untuk kantor pusat Angkatan Darat dan Museum Angkatan Darat
pun-tidak luput dari pemikirannya. Bahkan pada malam itu ia juga sempat membuat
catatan dan coretan mengenai rencana pembangunan gedung tersebut. Ketika Jenderal
Suprapto asyik menekuni pekerjaannya, pada waktu yang bersamaan pim¬pinan
gerombolan yang akan menculiknya sedang mengintai rumahnya.

Kira-kira pukul 04.30 pagi tanggal 1 Oktober 1965 anggota gerombolan G 30 S/PKI
membuka pintu pagar. Anjing yang tidur di sebelah kiri rumah terbangun dan
menggonggong. Jenderal Suprapto pun terbangun dan menanyakan siapa di luar. Dari
luar terdengar jawaban "Cakrabirawa". Jenderal Suprapto dan isterinya tidak curiga,
sebab pasukan Cakrabirawa adalah pasukan terpercaya sebagai pengawal Istana dan
Presiden. Mereka ke luar kamar  membukakan pintu depan. Di teras terlihat beberapa
anggota penculik. Salah seorang di antaranya melaporkan bahwa Jenderal Suprapto
dipanggil Presiden, dan harus menghadap pagi itu juga ke Istana. Sebagai seorang
perwira yang patuh kepada Panglima Tertinggi, Jenderal Suprapto bersedia pergi. Ia
meminta agar mereka menunggu sebentar karena ia akan menukar pakaian terlebih
dahulu. Tetapi para penculik tidak mengizinkannya. Sebelum menyadari keadaan
yang sebenarnya, ia ditodong dengan senjata dan dibawa dengan paksa ke luar
pekarangan. Beberapa orang memegang tangannya. Dengan berpakaian piyama dan
sarung, Jenderal Suprapto dinaikkan ke atas sebuah truk yang telah menunggu.
Sesudah itu ia dibawa ke Lubang Buaya, basis gerombolan G 30S/PKI. Di tempat itu,
sebelum dibunuh, ia dianiaya lebih dahulu dengan mengikat tubuhnya. Jenazahnya
dilemparkan begitu saja ke dalam sumur tua yang sempit bersama-sama dengan
jenazah perwira-perwira lain yang berhasil dicuIik oleh gerombolan G 30S/PKI.

Ibu Suprapto yang menyadari betapa gawatnya keadaan yang dihadapi suaminya
berusaha untuk menolongnya. Laporan melalui telepon yang hendak disampaikan
kepada Jenderal S. Parman, gagal karena dihalangi oleh gerombolan penculik. Ketika
ia sedang menulis surat tentang kejadian yang dialami suaminya, Ibu M.T. Harjono
datang terburu-buru dengan wajah duka. Ternyata tragedi itu juga menimpa Mayor
Jenderal M.T. Harjono dan beberapa pimpinan TNI-AD lainnya.

Pengkhianatan G 30S/PKI dengan cepat dapat ditumpas. Sumur tua itu diketemukan
pada tanggal 3 Oktober 1965 setelah daerah Lubang Buaya dibersihkan dari
gerombolan G 30S/PKI. Tepat pada hari ulang tahun ke-20 ABRI, jenazah Mayor
Jenderal Suprapto dan jenazah korban-korban lainnya dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta. upacara kebesaran militer yang mengiringi diliputi
mendung duka cita seluruh rakyat Indonesia yang Pancasilais.

Jenderal yang bertubuh kekar itu memiliki sepuluh buah tanda jasa sebagai lambang
pengabdiannya kepada Negara dan Bangsa. Atas dasar pengabdiannya itu pula,
Pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Revolusi pada tanggal 5 Oktober
1965, Pangkatnya secara anumerta dinaikkan setingkat menjadi Letnan Jenderal TNI.
Esa hilang dua terbilang tetapi pengabdian dan pengorbanannya tetap dikenang
bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai