Anda di halaman 1dari 7

Perang Diponegoro (1825-1830)[sunting 

| sunting sumber]
Artikel utama: Perang Jawa
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di
desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak
menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan
pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan
rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan
membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan
bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat
"perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan
dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan
Diponegoro di Gua Selarong. Kyai Mojo yang lahir di Desa Mojo di wilayah Pajang, dekat Kota
Surakarta tertarik berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena Pangeran Diponegoro ingin
mendirikan kerajaan yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo dikenal sebagai ulama besar yang
sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Diponegoro. Ibu Kyai Mojo, R.A.
Mursilah, adalah saudara perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III.[2] Akan tetapi, Kyai Mojo
yang aslinya bernama Muslim Mochamad Khalifah semenjak lahir tidak mencicipi kemewahan
gaya hidup keluarga istana. Jalinan persaudaraan Diponegoro dan Kyai Mojo kian erat setelah
Kyai Mojo menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari
Diponegoro. Tak heran, Diponegoro memanggil Kyai Mojo dengan sebutan "paman" meski relasi
keduanya adalah saudara sepupu.[3]

Diponegoro, c.1830.

Selain Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwono VI dan Raden
Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan. Meski demikian, pengaruh dukungan Kyai Mojo
terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai
lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita,
tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam.
Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh
sebab itu, kekuatan Dipenogoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama
yang berafiliasi dengan Kyai Mojo.[4] Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat
Pangeran Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112 kyai, 31 haji, serta 15 syekh
dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap pada 1830.
Perang Diponegoro merupakan perang terbuka dengan pengerahan pasukan-
pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri—yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan
dalam pertempuran frontal—di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front
pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung
sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang
hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula
sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong
keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi
mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan
kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun
stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan,
curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun
melalui penguasaan informasi.

Sultan Hasanuddin
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Sultan Hasanuddin diabadikan sebagai salah satu perangko

Sultan Hasanuddin (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal


di Gowa, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan
pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi
Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape sebagai nama pemberian dari Qadi Islam
Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Ahmad Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid
tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan yang juga adalah gurunya, termasuk guru tarekat
dari Syeikh Yusuf Al-Makassari. Setelah menaiki Takhta, ia digelar Sultan Hasanuddin, setelah
meninggal ia digelar Tumenanga Ri Balla Pangkana. Karena keberaniannya, ia dijuluki De
Haantjes van Het Osten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan dari Timur. Ia dimakamkan
di Katangka, Kabupaten Gowa. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan
Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.[1]
Sultan Hasanuddin, merupakan putera dari Raja Gowa ke-15, I Manuntungi Daeng Mattola
Karaeng Lakiyung Sultan Muhammad Said. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan
Gowa mulai tahun 1653 sampai 1669. Kerajaan Gowa adalah merupakan kerajaan besar di
Wilayah Timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada pertengahan abad ke-17, Kompeni Belanda (VOC) berusaha memonopoli perdagangan
rempah-rempah di Maluku setelah berhasil mengadakan perhitungan dengan orang-orang
Spanyol dan Portugis. Kompeni Belanda memaksa orang-orang negeri menjual dengan harga
yang ditetapkan oleh mereka, selain itu Kompeni menyuruh tebang pohon pala dan cengkeh di
beberapa tempat, supaya rempah-rempah jangan terlalu banyak. Maka Sultan Hasanuddin
menolak keras kehendak itu, sebab yang demikian adalah bertentangan dengan kehendak Allah
katanya. Untuk itu Sultan Hasanuddin pernah mengucapkan kepada Kompeni "marilah berniaga
bersama-sama, mengadu untuk dengan serba kegiatan". Tetapi Kompeni tidak mau, sebab dia
telah melihat besarnya keuntungan di negeri ini, sedang Sultan Hasanuddin memandang bahwa
cara yang demikian itu adalah kezaliman.
Pada tahun 1660, VOC Belanda menyerang Makassar, tetapi belum berhasil menundukkan
Kerajaan Gowa. Tahun 1667, VOC Belanda di bawah pimpinan Cornelis Speelman beserta
sekutunya kembali menyerang Makassar. Pertempuran berlangsung di mana-mana, hingga
pada akhirnya Kerajaan Gowa terdesak dan semakin lemah, sehingga dengan sangat terpaksa
Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667
di Bungaya. Gowa yang merasa dirugikan, mengadakan perlawanan lagi. Pertempuran kembali
pecah pada Tahun 1669. Kompeni berhasil menguasai benteng terkuat Gowa yaitu Benteng
Sombaopu pada tanggal 24 Juni 1669. Sultan Hasanuddin wafat pada tanggal 12 Juni 1670.

Nama Lengkap
Sultan Ageng Tirtayasa
Alias
Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah | Sultan Ageng Titayasa
Agama
Islam
Tempat Lahir
Banten
Tanggal Lahir
Sabtu, 0 1631
Zodiak
-
Warga Negara
Indonesia
Relation
-
Biografi

Sultan Ageng Tirtayasa, beliau adalah pahlawan yang berasal dari provinsi Banten. Lahir

pada tahun 1631. Beliau putra dari Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Ratu Martakusuma

yang menjadi Sultan Banten periode 1640 - 1650.

Perjuangan beliau salah satunya adalah menentang Belanda karena VOC menerapkan

perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan kesultanan dan rakyat Banten.

Dimasa mudanya beliau diberi gelar Pangeran Surya. Peran Sultan Ageng dalam

perkembangan Islam di Banten sangat berpengaruh. Dia menginginkan Banten

mempunyai kerajaan Islam.

Langkah yang beliau tempuh pertama dalam sektor ekonomi. Kesejahteraan rakyat

ditingkatkan melalui pencetakan sawah-sawah baru serta irigasi yang sekaligus

berfungsi sebagai sarana perhubungan.

Sultan Ageng tidak hanya mendobrak perekonomian rakyat menjadi lebih baik tetapi juga

berperan besar di bidang keagamaan. Dia mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama

asal Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan keagamaan

dan penasehat sultan dalam bidang pemerintahan.

Dia juga menggalakkan pendidikan agama, baik di lingkungan kesultanan maupun di

masyarakat melalui pondok pesantren.

Ketika menjadi raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal cerdas dan menghargai

pendidikan. Perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan pesat.

Nilai-nilai yang dimunculkan dari Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai seorang pemimpin, ia

adalah pemimpin yang sangat amanah dan memiliki visi ke depan membangun

bangsanya.
Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang pemimpin yang sangat visioner, ahli

perencanaan wilayah dan tata kelola air, egaliter dan terbuka serta berwawasan

internasional.

Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai pihak

di sekitarnya atau di tempat yang jauh sekalipun.

Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang

memberontak terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin hubungan baik

dengan Makasar, Bangka, Cirebon dan Indrapur.

Karakter Sultan Ageng Tirtayasa mewakili karakter kepemimpinan dan intelektual.  Bagi

dia, kepentingan rakyat adalah segala-galanya. Ketegasan pemimpin juga tidak kalah

penting.

Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Jakarta. Ia meninggal

dunia dalam penjara. Ia dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja Banten di sebelah

utara Masjid Agung Banten. Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan Ageng Tirtayasa

diberi gelar Pahlawan Nasional.

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat, Indonesia, 1772 - wafat dalam


pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864) adalah salah
seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan
yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838.[1] Tuanku Imam Bonjol diangkat
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973,
tanggal 6 November 1973.[2]
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada 1
Januari 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin Shahab (ayah) dan Hamatun
(ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin Shahab, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari
Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat,
Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku
Imam.[4] Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau
nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia
akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Salah satu Naskah aslinya ada di
Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Sumatra Barat Jalan Diponegoro No.4 Padang
Sumatra Barat. Naskah tersebut dapat dibaca dan dipelajari di Dinas Kearsipan dan
Perpustakàan Provinsi Sumatra Barat.

Perang Padri[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Perang Padri
Tak dapat dipungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam
memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang
berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama
di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah
Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung
dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan
Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai
dengan Islam (bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum
ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu di beberapa nagari dalam kerajaan
Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku
Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto
Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibu kota
kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia
Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang,
sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek
(pedalaman Minangkabau).[5] Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada
di Padang waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit
Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen
James du Puy di Padang. Dalam hal ini, Kompeni melibatkan diri dalam perang karena
"diundang" oleh kaum Adat.

Kapitan Pattimura (lahir di Hualoy, Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di
Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), memiliki nama asli Ahmad Lussy, di
sejarah versi pemerintah ia dikenal dengan nama Thomas Matulessy atau Thomas Matulessia,
adalah seorang bangsawan dan ulama yang kelak kemudian dikenal sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia. Beliau merupakan salah satu pahlawan nasional yang sangat gigih melawan penjajah
Belanda. Mengenai profil Pattimura, Beliau memiliki nama asli Thomas Matulessy ada juga yang
mengatakan nama aslinya adalah Ahmad Lussy. Adapun dalam buku biografi Pattimura versi
pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan
bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah
anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau
merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian
Belanda meneterapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan
penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain
dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu
pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan
jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus
dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau
keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahn dinas militer ini dipaksakan.

Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini
disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua
abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Thomas Matulessy
yang diberi gelar Kapitan Pattimura  Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda
tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai
pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi).

Sebagai panglima perang, Thomas Matulessy mengatur strategi perang bersama pembantunya.
Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan
pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun
benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih
maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan
kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala
nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan
sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
I Gusti Ketut Jelantik
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

I Gusti Ketut Jelantik

Ketut Jelantik berburu rusa, lukisan karya Raden Saleh

Lahir 1800

Tukadmungga, Buleleng, Buleleng

Meninggal 1849

Jagaraga, Buleleng

Pengabdian Buleleng

Dinas/cabang Patih

Perang/pertempuran Pertempuran Jagaraga

Penghargaan Pahlawan Nasional Indonesia

Pasangan I Gusti Ayu Made Geria, I Gusti

Ayu Kompyang, Gusti Biyang Made

Saji, Jero Sekar[1]

I Gusti Ketut Jelantik ( w. 1849) adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal


dari Karangasem, Bali. Ia merupakan patih Kerajaan Buleleng. Ia berperan dalam Perang Bali
I, Perang Jagaraga, dan Perang Bali III yang terjadi di Bali pada tahun 1849. Dalam perang
terakhir ia gugur.

Pertempuran Jagaraga[sunting | sunting sumber]


Perlawanan ini bermula karena pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin menghapuskan tawan
karang yang berlaku di Bali, yaitu hak bagi raja-raja yang berkuasa di Bali untuk mengambil
kapal yang kandas di perairannya beserta seluruh isinya. Pada kala itu,Belanda berusaha
memanipulasi rempah rempah Bali dan melalui pelayaran Hongi,kapal Belanda karam Di
Bali.Kapal tersebut langsung ditawan oleh Kerajaan Buleleng.Ucapannya yang terkenal ketika itu
ialah "Apapun tidak akan terjadi. Selama aku hidup aku tidak akan mengakui
kekuasaan Belanda di negeri ini". Perang ini berakhir sebagai suatu puputan, seluruh anggota
kerajaan dan rakyatnya bertarung mempertahankan daerahnya sampai titik darah penghabisan.
Namun akhirnya ia harus mundur ke Gunung Batur, Kintamani. Pada saat inilah ia gugur.
Setelah dia wafat, perjuangan Raja-Raja Bali mulai mengalami kemunduran.Seluruh Bali dapat
dikuasai dengan mudah hanya Bali Selatan saja yang masih melakukan perlawanan.

Pahlawan Nasional[sunting | sunting sumber]


I Gusti Ketut Jelantik adalah pahlawan nasional Indonesia. Dia mendapatkan penghargaan
berupa gelar Pahlawan Nasional menurut SK Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993 karena
memang layak disematkan pada berkat usahanya yang tetap teguh membela tanah kelahiran
atas kekuasaan Belanda kala itu.
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di
Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama
Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau
mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur,
Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu,
sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto
mempunyai anak Kartika..

Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD
hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto,
politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger
School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas
lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau
sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi IT.Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926

Anda mungkin juga menyukai