| sunting sumber]
Artikel utama: Perang Jawa
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di
desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak
menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan
pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan
rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan
membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan
bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat
"perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan
dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan
Diponegoro di Gua Selarong. Kyai Mojo yang lahir di Desa Mojo di wilayah Pajang, dekat Kota
Surakarta tertarik berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena Pangeran Diponegoro ingin
mendirikan kerajaan yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo dikenal sebagai ulama besar yang
sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Diponegoro. Ibu Kyai Mojo, R.A.
Mursilah, adalah saudara perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III.[2] Akan tetapi, Kyai Mojo
yang aslinya bernama Muslim Mochamad Khalifah semenjak lahir tidak mencicipi kemewahan
gaya hidup keluarga istana. Jalinan persaudaraan Diponegoro dan Kyai Mojo kian erat setelah
Kyai Mojo menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari
Diponegoro. Tak heran, Diponegoro memanggil Kyai Mojo dengan sebutan "paman" meski relasi
keduanya adalah saudara sepupu.[3]
Diponegoro, c.1830.
Selain Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwono VI dan Raden
Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan. Meski demikian, pengaruh dukungan Kyai Mojo
terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai
lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita,
tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam.
Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh
sebab itu, kekuatan Dipenogoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama
yang berafiliasi dengan Kyai Mojo.[4] Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat
Pangeran Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112 kyai, 31 haji, serta 15 syekh
dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap pada 1830.
Perang Diponegoro merupakan perang terbuka dengan pengerahan pasukan-
pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri—yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan
dalam pertempuran frontal—di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front
pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung
sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang
hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula
sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong
keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi
mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan
kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun
stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan,
curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun
melalui penguasaan informasi.
Sultan Hasanuddin
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Nama Lengkap
Sultan Ageng Tirtayasa
Alias
Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah | Sultan Ageng Titayasa
Agama
Islam
Tempat Lahir
Banten
Tanggal Lahir
Sabtu, 0 1631
Zodiak
-
Warga Negara
Indonesia
Relation
-
Biografi
Sultan Ageng Tirtayasa, beliau adalah pahlawan yang berasal dari provinsi Banten. Lahir
pada tahun 1631. Beliau putra dari Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Ratu Martakusuma
Perjuangan beliau salah satunya adalah menentang Belanda karena VOC menerapkan
Dimasa mudanya beliau diberi gelar Pangeran Surya. Peran Sultan Ageng dalam
Langkah yang beliau tempuh pertama dalam sektor ekonomi. Kesejahteraan rakyat
Sultan Ageng tidak hanya mendobrak perekonomian rakyat menjadi lebih baik tetapi juga
berperan besar di bidang keagamaan. Dia mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama
asal Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan keagamaan
Ketika menjadi raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal cerdas dan menghargai
Nilai-nilai yang dimunculkan dari Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai seorang pemimpin, ia
adalah pemimpin yang sangat amanah dan memiliki visi ke depan membangun
bangsanya.
Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang pemimpin yang sangat visioner, ahli
perencanaan wilayah dan tata kelola air, egaliter dan terbuka serta berwawasan
internasional.
Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai pihak
Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang
memberontak terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin hubungan baik
Karakter Sultan Ageng Tirtayasa mewakili karakter kepemimpinan dan intelektual. Bagi
dia, kepentingan rakyat adalah segala-galanya. Ketegasan pemimpin juga tidak kalah
penting.
Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Jakarta. Ia meninggal
utara Masjid Agung Banten. Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan Ageng Tirtayasa
Kapitan Pattimura (lahir di Hualoy, Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di
Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), memiliki nama asli Ahmad Lussy, di
sejarah versi pemerintah ia dikenal dengan nama Thomas Matulessy atau Thomas Matulessia,
adalah seorang bangsawan dan ulama yang kelak kemudian dikenal sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia. Beliau merupakan salah satu pahlawan nasional yang sangat gigih melawan penjajah
Belanda. Mengenai profil Pattimura, Beliau memiliki nama asli Thomas Matulessy ada juga yang
mengatakan nama aslinya adalah Ahmad Lussy. Adapun dalam buku biografi Pattimura versi
pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan
bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah
anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau
merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian
Belanda meneterapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan
penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain
dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu
pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan
jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus
dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau
keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahn dinas militer ini dipaksakan.
Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini
disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua
abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Thomas Matulessy
yang diberi gelar Kapitan Pattimura Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda
tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai
pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi).
Sebagai panglima perang, Thomas Matulessy mengatur strategi perang bersama pembantunya.
Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan
pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun
benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih
maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan
kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala
nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan
sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
I Gusti Ketut Jelantik
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Lahir 1800
Meninggal 1849
Jagaraga, Buleleng
Pengabdian Buleleng
Dinas/cabang Patih
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD
hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto,
politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger
School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas
lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau
sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi IT.Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926