Anda di halaman 1dari 5

TUGAS BAHASA INDONESIA

MEMBUAT CERPEN
“HARI YANG TAK TERLUPAKAN”

NAMA:
Rizzi Zain Santoso/29

SMPN 2 BLITAR
1.Sultan Agung Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad (memerintah 1640-1650)
serta cucu dari Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir (memerintah 1605-1640). Pada
masa mudanya, beliau bergelar Pangeran Surya. Kemudian setelah ayahnya wafat, sang kakek
mengangkatnya sebagai Sultan Muda bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Dia diangkat
sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah setelah kakeknya meninggal dunia.
Selaku penguasa Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal tegas dan cakap dalam menjalankan
roda pemerintahan. Dia pun berusaha untuk mengembalikan kejayaan Banten. Beliau
memajukan perdagangan Banten dengan meluaskan daerah kekuasaan dan mengusir Belanda
dari Batavia. Berkat kebijakannya itu, dalam waktu tidak terlalu lama, Banten telah menjadi kota
pelabuhan dagang yang penting di Selat Malaka. Kondisi ini tidak disukai VOC. Mereka lantas
memblokade Banten. Banten terpaksa mengadakan perjanjian dengan VOC yang menyatakan
bahwa hak-hak Belanda diakui dan perdagangan Banten dibatasi oleh Belanda. Namun, Sultan
Ageng Tirtayasa beberapa bulan kemudian malah menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Pada saat bersamaan, Sultan Ageng Tirtayasa juga berkeinginan mewujudkan Banten menjadi
kerajaan Islam terbesar. Ada dua hal yang ia lakukan. Pertama, di bidang ekonomi, kesejahteraan
rakyat ditingkatkan melalui pencetakan sawah-sawah baru serta irigasi yang sekaligus berfungsi
sebagai sarana perhubungan. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama
asal Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan keagamaan dan
penaschat sultan dalam bidang pemerintahan.
•Tempat/Tgl. Lahir: Banten, 1631
•Tempat Tgl. Wafat: Jakarta, 1692
• SK Presiden: Keppres No. 045/TK/1970, Tgl. 1 Agustus 1970
• Gelar Pahlawan Nasional
Sayangnya, saat kedua putra beliau beranjak dewasa justru terjadi pertentangan dan perebutan
kekuasaan di antara mereka yang antara lain disebabkan hasutan Belanda. Sultan Abdul Fathi
yang telah mengundurkan diri kemudian pindah ke daerah Titayasa di Serang dan mendirikan
keratin baru. Dan sini sebutan Sultan Ageng Tirtayasa berasal Di, sisi lain, Belanda terus
menghasut Sultan Haji (Pangeran Gusti) sebagai putra tertua bahwa kedudukannya sebagal
sultan akan diganti oleh adiknya, Pangeran Purbaya yang didukung Sultan Ageng. Kekhawatiran
ini buat Sultan Haji bersedia mengadakan perjanjian dengan Belanda yang intinya adalah
persekongkolan merebut kekuasaan dan tangan Sultan Ageng Tirtayasa. Tahun 1681. Sultan Haji
mengkudeta ayahnya dan tahta kesultanan. Sultan Ageng segera menyusun kekuatan kembali
guna mengepung Sultan Haji di Sorosowan (Banten). Karena terus terdesak, akhirnya Sultan
Haji meminta bantuan Belanda. Pasukan Sultan Haji dan Belanda pun menyerang benteng
Tirtayasa dan dapat menaklukkannya dengan menderita kerugian besar. Sultan Ageng masih
mengadakan perjuangan secara gerilya. Namun, Belanda terus mendesak ke wilayah selatan.
Hingga kemudian di tahun 1683. Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap melalui tipu muslihat
Belanda dan Sultan Haji. Beliau akhirnya dipenjarakan di Batavia sampai meninggal di Jakarta
pada tahun 1692. Atas permintaan pembesar dan rakyat Banten, jenazah Sultan Ageng Tirtayasa
dapat dibawa kembali ke Banten. Sultan Ageng Tirtayasa lantas dimakamkan di sebelah utara
Masjid Agung Banten

2.Penembahan Senopati

Nama aslinya ialah Danang sutowjoyo yang juga dikenal sebagai Sutawijaya. Ia adalah putra
Ki Ageng Pemanahan. Pada abad 16 tahun 1570 M, Danang Sutowijoyo bersama ayahnya Ki
Ageng Pemanahan mendapat perintah dari Sultan Hadiwijoyo (Joko Tingkir) raja Kasultanan
Pajang untuk menumpas pemberontakan Adipati Jipangpanolan yang bernama Haryo
Penangsang. Alhasil, tugas itu bissa dilaksanakan dengan baik dan pemberontakan Adipati
Japangpanolan bisa ditumpas sedangkan Haryo Penangsang tewas dalam peperangan tersebut.
Atas keberhasilannya tersebut, Danang Sutowijoyo dianugrahi wilayah berupa hutan di daerah
Mentaok (Kotagede, Yogyakarta sekarang). Bersama ayahnya Ki Ageng Pamanahan, Danang
Sutowijoyo kemudian membuka Alas Mentaok menjadi sebuah Perdikan (pedukuhan) dan
memerintah di daerah itu di bawah Kesultanan Pajang. Dia juga bergelar Ngabehi Loring Pasar
(Yang Dipertuan di Sebelah Utara Pasar) karena pusat pemerintahan ada di sebelah utara pasar.
Perkembangan Perdikan Mentaok sangat pesat dan namanya berubah menjadi Mataram. Pada
tahun 1575 ayahnya sekaligus penasehatnya Ki Ageng Pamanahan wafat.
Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan, Sutawijaya tidak mau tunduk pada Sultan Pajang. Ia ingin
memiliki daerah kekuasaan sendiri bahkan ia ingin menjadi raja di seluruh Pulau Jawa. Tahun
1582 M Danang Sutowijoyo memberontak dan membuat Mataram merdeka dari Pajang.
Akibatnya tahun 1587 M pasukan Pajang menyerbu Perdikan Mataram. Dilihat dari peta
kekuatan, saat itu tentara pajang jauh lebih besar dan lengkap persenjataannya dari pasukan
Mataram.
Namun atas kehendak Allah, tentara Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda
diterjang badai letusan Gunung Merapi sehingga Sutawijaya dan pasukannya selamat.
Di Pajang sendiri, setelah mangkatnya Sultan Hadiwijaya, tahta berpindah pada putranya
Pangeran Benowo, namun ia dikudeta oleh Aryo Pangiri adipati Demak. Pangeran Benowo
kalah, lalu ia minta bantuan Sutawijaya untuk membantunya melawan Aryo Pangiri. Setelah
mengalahkan Aryo Pangiri, Pangeran Benowo menyerahkan pusaka Pajang pada Sutawijaya.
Tahun 1588 M,Mataram menjadi kerajaan dan Sutawijaya akhirnya mengangkat dirinya
menjadi Sultan dengan gelar Panembahan Senopati Ing Ngalogo Khalifatullah Sayyidin
Penatagama artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. Gelar
Khalifatullah Sayyidin Penatagama ini juga di berikan pada raja-raja Mataram sesudahnya
bahkan pada kerajaan-kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta seperti Sultan Hamengkubuwono
dari Yogyakarta. Beliau juga mendirikan Kesultanan Mataram yang berpusat di Kotagede. Gelar
Panembahan Senopati di gunakan karena dia menghormati Pangeran Benowo yang merupakan
penerus yang sah Sultan Hadiwijaya dari Kasultanan Pajang sehingga dia tidak memakai gelar
Sultan. Panembahan Senopati berpendirian bahwa Mataram berkewajiban melanjutkan tradisi
penguasaan atas seluruh pulau jawa.
Selama pemerintahannya ia banyak menaklukkan daerah seperti Ponorogo, Pasuruan, Kediri,
Surabaya, madiun dan lain sebagainya, dimana beberapa daerah tersebut merupakan daerah
wilayah Pajang dan merasa tidak perlu takluk dengan Mataram sebagai Kesultanan yang baru.
Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601 M dan dimakamkan di Kotagede. Tahta digantikan
putranya Mas Jolang yang Bergelar Panembahan Hanyokrowati atau dikenal sebagai
Panembahan Sedo Ing Krapyak.
3.Sultan Baabullah

Anda mungkin juga menyukai