Anda di halaman 1dari 12

PAHLAWAN NASIONAL

A. Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad (memerintah 1640-1650)
serta cucu dari Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir (memerintah 1605-1640). Pada
masa mudanya, beliau bergelar Pangeran Surya. Kemudian setelah ayahnya wafat, sang kakek
mengangkatnya sebagai Sultan Muda bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Dia diangkat
sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah , setelah kakeknya
meninggal dunia.

Selaku penguasa Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal tegas dan cakap dalam menjalankan
roda pemerintahan. Dia pun berusaha untuk mengembalikan kejayaan Banten. Beliau
memajukan perdagangan Banten dengan meluaskan daerah kekuasaan dan mengusir Belanda
dari Batavia. Berkat kebijakannya itu, dalam waktu tidak terlalu lama, Banten telah menjadi kota
pelabuhan dagang yang penting di Selat Malaka. Kondisi ini tidak disukai VOC. Mereka lantas
memblokade Banten. Banten terpaksa mengadakan perjanjian dengan VOC yang menyatakan
bahwa hak-hak Belanda diakui dan perdagangan Banten dibatasi oleh Belanda. Namun, Sultan
Ageng Tirtayasa beberapa bulan kemudian malah menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Pada saat bersamaan,Sultan Ageng Tirtayasa juga berkeinginan mewujudkan Banten menjadi
kerajaan Islam terbesar. Ada dua hal yang ia lakukan. Pertama, di bidang ekonomi, kesejahteraan
rakyat ditingkatkan melalui pencetakan sawah-sawah baru serta irigasi yang sekaligus berfungsi
sebagai sarana perhubungan. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama
asal Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan keagamaan dan
penasehat sultan dalam bidang pemerintahan.

 Tempat/Tgl. Lahir : Banten, 1631


 Tempat/Tgl. Wafat : Jakarta, 1692
 SK Presiden : Keppres No. 045/TK/1970, Tgl. 1 Agustus 1970
 Gelar : Pahlawan Nasional

Sayangnya, saat kedua putra beliau beranjak dewasa justru terjadi pertentangan dan perebutan
kekuasaan di antara mereka yang antara lain disebabkan hasutan Belanda. Sultan Abdul Fathi
yang telah mengundurkan diri kemudian pindah ke daerah Titayasa di Serang dan mendirikan
keratin baru. Dari sini sebutan Sultan Ageng Tirtayasa berasal. Di, sisi lain, Belanda terus
menghasut Sultan Haji (Pangeran Gusti) sebagai putra tertua bahwa kedudukannya sebagal
sultan akan diganti oleh adiknya,Pangeran Purbaya yang didukung Sultan Ageng. Kekhawatiran 
ini buat Sultan Haji bersedia mengadakan perjanjian dengan Belanda yang intinya adalah
persekongkolan merebut kekuasaan dan tangan Sultan Ageng Tirtayasa. Tahun 1681, Sultan Haji
mengkudeta ayahnya dan tahta kesultanan. Sultan Ageng segera menyusun kekuatan kembali
guna mengepung Sultan Haji di Sorosowan (Banten). Karena terus terdesak, akhirnya Sultan
Haji meminta bantuan Belanda. Pasukan Sultan Haji dan Belanda pun menyerang benteng
Tirtayasa dan dapat menaklukkannya dengan menderita kerugian besar. Sultan Ageng masih
mengadakan perjuangan secara gerilya. Namun, Belanda terus mendesak ke wilayah selatan.
Hingga kemudian di tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap melalui tipu muslihat
Belanda dan Sultan Haji. Beliau akhirnya dipenjarakan di Batavia sampai meninggal di Jakarta
pada tahun 1692. Atas permintaan pembesar dan rakyat Banten, jenazah Sultan Ageng Tirtayasa
dapat dibawa kembali ke Banten. Sultan Ageng Tirtayasa lantas dimakamkan di sebelah utara
Masjid Agung Banten

B. Sultan Hasannudin

Beliau lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di Makassar,
Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan
nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.

Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri
Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja.

Oleh Belanda ia di juluki sebagai Ayam Jantan Dari Timur atau dalam bahasa Belanda
disebut de Haav van de Oesten karena keberaniannya melawan penjajah Belanda.. Beliau
diangkat menjadi Sultan ke 6 Kerajaan Gowa dalam usia 24 tahun (tahun 1655).

Beliau merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin
memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai
perdagangan rempah-rempah.

Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa.

Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan
kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni. Peperangan antara
VOC dan Kerajaan Gowa (Sultan Hasanuddin) dimulai pada tahun 1660.

Saat itu Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone yang merupakan kerajaan taklukan dari Kerajaan
Gowa. Pada peperangan tersebut, Panglima Bone, Tobala akhirnya tewas tetapi Aru Palaka
berhasil meloloskan diri dan perang tersebut berakhir dengan perdamaian.

Akan tetapi, perjanjian dama tersebut tidak berlangsung lama karena Sultan Hasanuddin yang
merasa dirugikan kemudian menyerang dan merompak dua kapal Belanda , yaitu de Walvis dan
Leeuwin. Belanda pun marah besar.
Advertisement
Lalu Belanda mengirimkan armada perangnya yang besar yang dipimpin oleh Cornelis
Speelman. Aru Palaka, penguasa Kerajaan Bone juga ikut menyerang Kerajaan Gowa. Sultan
Hasanuddin akhirnya terdesak dan akhirnya sepakat untuk menandatangani perjanjian paling
terkenal yaitu Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667.

Pada tanggal 12 April 1668, Sultan Hasanuddin kembali melakukan serangan terhadap Belanda.
Namun karena Belanda sudah kuat maka Benteng Sombaopu yang merupakan pertahanan
terakhir Kerajaan Gowa berhasil dikuasai Belanda.

Reruntuhan Benteng Somba Opu


Makam Sultan Hasanuddin

Hingga akhir hidupnya, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau bekerjasama dengan Belanda. Sultan
Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni
1670.

C. Tuanku Imam Bonjol

uanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah Muhammad Shahab.
Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari
Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia
mendapat gelar Malin Basa.

Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh beberapa
gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari
Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang menunjuknya
sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih dikenal
masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Perjuangan
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam
Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak
diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah
shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan
Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum
Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri  dengan Kaum Adat.
Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum
Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah
pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan
diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-
Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang,
sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman
Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di
bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van
den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam
Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Tetapi kemudian
perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.

Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan
Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan
akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang
Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri.

Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal
dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi
Syarak (Adat berdasarkan agama).

Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan
selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para
perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri
dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. 

3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil
dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada
tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di
tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian
dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu
ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat
tersebut.

Penghargaan

Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia,
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November
1973.

D. Pangeran diponegoro

Beliau dilahirkan di Yogyakarta, 11 November 1785. Ia  meninggal pengasingannya di


Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun. Beliau adalah
salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di Makassar. Pangeran
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta.
Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir)
bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal
dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya,
Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya
bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu
Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka
tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng
Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan
Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang
mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-
hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak
disetujui Diponegoro.

Riwayat perjuangan Pahgeran Diponegoro


Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di
desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak
menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan
rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo,
dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro
menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.
Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke
wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung
dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.

Penangkapan dan Masa Pengasingan


16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen
(sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan
pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal
Markus de Kock dari Batavia.

28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa


mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu
ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga
Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan
Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.

Tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum
Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih,
Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng
Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan
rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.

1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. pada tanggal 8 Januari
1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar. Dalam perjuangannya,
Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki
Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Advertisement

Makam Pangeran Diponegoro di Makassar


Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu
Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah
lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki
Sodewo snediri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem
Keraton Yogyakarta.

Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian
eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena
memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah
dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan.
Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton
sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.

Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada
sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah
tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat
membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas
kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.

Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo
pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh
keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki
Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo. Setidaknya
Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar
di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.
E. Kapitan Pattimura

Kapitan Pattimura yang bernama asli Thomas Matulessy, ini lahir di Negeri Haria, Saparua,
Maluku tahun 1783. Perlawanannya terhadap penjajahan Belanda pada tahun 1817 sempat
merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga bulan setelah sebelumnya melumpuhkan semua
tentara Belanda di benteng tersebut. Namun beliau akhirnya tertangkap. Pengadilan kolonial
Belanda menjatuhkan hukuman gantung padanya. Eksekusi yang dilakukan pada tanggal 16
Desember 1817 akhirnya merenggut jiwanya. 

Perlawanan sejati ditunjukkan oleh pahlawan ini dengan keteguhannya yang tidak mau
kompromi dengan Belanda. Beberapa kali bujukan pemerintah Belanda agar beliau bersedia
bekerjasama sebagai syarat untuk melepaskannya dari hukuman gantung tidak pernah
menggodanya. Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra Kesuma Bangsa daripada
hidup bebas sebagai penghianat yang sepanjang hayat akan disesali rahim ibu yang
melahirkannya.

Dalam sejarah pendudukan bangsa-bangsa eropa di Nusantara, banyak wilayah Indonesia yang
pernah dikuasai oleh dua negara kolonial secara bergantian. Terkadang perpindahtanganan
penguasaan dari satu negara ke negara lainnya itu malah kadang secara resmi dilakukan, tanpa
perebutan. Demikianlah wilayah Maluku, daerah ini pernah dikuasai oleh bangsa Belanda
kemudian berganti dikuasai oleh bangsa Inggris dan kembali lagi oleh Belanda. 

Thomas Matulessy sendiri pernah mengalami pergantian penguasaan itu. Pada tahun 1798,
wilayah Maluku yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda berganti dikuasai oleh pasukan Inggris.
Ketika pemerintahan Inggris berlangsung, Thomas Matulessy sempat masuk dinas militer Inggris
dan terakhir berpangkat Sersan. 

Namun setelah 18 tahun pemerintahan Inggris di Maluku, tepatnya pada tahun 1816, Belanda
kembali lagi berkuasa. Begitu pemerintahan Belanda kembali berkuasa, rakyat Maluku langsung
mengalami penderitaan. Berbagai bentuk tekanan sering terjadi, seperti bekerja rodi, pemaksaan
penyerahan hasil pertanian, dan lain sebagainya. Tidak tahan menerima tekanan-tekanan
tersebut, akhirnya rakyat pun sepakat untuk mengadakan perlawanan untuk membebaskan diri.
Perlawanan yang awalnya terjadi di Saparua itu kemudian dengan cepat merembet ke daerah
lainnya diseluruh Maluku. 
Di Saparua, Thomas Matulessy dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia
pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 mei 1817, suatu pertempuran yang
luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut berhasil
merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya tewas,
termasuk Residen Van den Berg. 

Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga dihancurkan
pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai
pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja benteng itu.
Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan yang lebih
banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya
kewalahan dan terpukul mundur. 

Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda. Bersama
beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk agar
bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya. 

Akhirnya dia diadili di Pengadilan kolonial Belanda dan hukuman gantung pun dijatuhkan
kepadanya. Walaupun begitu, Belanda masih berharap Pattimura masih mau berobah sikap
dengan bersedia bekerjasama dengan Belanda. Satu hari sebelum eksekusi hukuman gantung
dilaksanakan, Pattimura masih terus dibujuk. Tapi Pattimura menunjukkan kesejatian
perjuangannya dengan tetap menolak bujukan itu. Di depan benteng Victoria, Ambon pada
tanggal 16 Desember 1817, eksekusi pun dilakukan. 

Kapitan Pattimura gugur sebagai Pahlawan Nasional. Dari perjuangannya dia meninggalkan
pesan tersirat kepada pewaris bangsa ini agar sekali-kali jangan pernah menjual kehormatan diri,
keluarga, terutama bangsa dan negara ini.

F. I Gusti Ketut Jelantik

Berikut ini Kisah tentang I Gusti Ketut Jelantik . Pertengahan abad 19, Belanda berusaha
mewujudkan wilayah kekuasaannya di seluruh nusantara. Untuk itu, Belanda berupaya
menguasai seluruh wilayah Bali. Pada tahun 1843, Belanda telah mampu memengaruhi beberapa
raja di Bali untuk bekerja sama dengannya, termasuk meminta penghapusan Hukum Tawan
Karang. Saat itu, Raja Buleleng pun terpaksa menandatangani kesepakatan tersebut.

Satu tahun kemudian, sebuah kapal Belanda terdampar di pantai wilayah Buleleng. Belanda
memaksa raja mengembalikannya serta meminta pengakuan raja atas kekuasaan Belanda. I Gusti
Ketut Jelantik sebagai patih kerajaan (diangkat tahun 1828) sangat marah. I Gusti Ketut Jelantik
pun menyatakan tidak akan pernah mengakui kekuasaan Belanda selama masih hidup. Pada
tahun 1845, kembali sebuah kapal terdampar di wilayah Buleleng. Penolakan tegas I Gusti Ketut
Jelantik untuk mengembalikan kapal tersebut karena sikap Belanda yang tidak menghargai
Kerajaan Buleleng memicu perang. Memang, Belanda sebenarnya mempermasalahkan kapal
yang terdampar ini hanya sebagai dalih untuk melakukan serangan. Tepat pada Juni 1846,
Belanda mengerahkan pasukan besar untuk menyerang Buleleng. Di akhir Juni, benteng
Kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda. Raja dan Patih Jelantik kemudian mundur ke daerah
Jagaraga untuk menyusun pertahanan. Permintaan Belanda untuk menyerah tidak diabaikan.

Pada tahun 1848, pasukan Belanda menyerang Jagaraga dipimpin Jenderal Van der Wijk. Dua
kali serangan Belanda dapat digagalkan oleh pasukan Buleleng yang dibantu pasukan dan
kerajaan lain di Bali. Akhirnya, pada tahun 1849 Belanda mengerahkan kembali pasukan besar
yang dipimpin Jenderal Michels. Berbekal pemahaman mengenai kondisi Jagaraga dan
pertempuran sebelumnya, Belanda berhasil memenangi pertempuran. I Gusti Ketut Jelantik
mundur ke Pegunungan Batur Kintamani. I Gusti Ketut Jelantik kemudian menuju Perbukitan
Bale Pundak. Belanda yang terus mengejar kembali menyerang sisa pasukan I Gusti Ketut
Jelantik yang melawan hingga beliau gugur dalam pertempuran.

G. Pangeran Sambernyawa

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa


alias Raden Mas Said (lahir di Kraton Kartasura, 7 April 1725 – meninggal di Surakarta,
28 Desember 1795 pada umur 70 tahun) adalah pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah
kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan Pahlawan Nasional
Indonesia. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dan ibunya
bernama R.A. Wulan. Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh,
gubernur VOC, karena di dalam peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi
musuh-musuhnya. Ia menikah dengan seorang wanita petani bernama Rubiyah, yang
terkenal dengan julukannya "Matah Ati"

Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di


Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (juga disebut
"Sunan Kuning"), mengakibatkan tembok benteng kraton Kartasura setinggi 4 meter
roboh. Pakubuwono II, Raja Mataram ketika itu melarikan diri ke Ponorogo. ketika itu
RM Said berumur 19 tahun. Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan
kebenaran atas harkat dan martabat orang orang Tionghoa dan rakyat Mataram, yang
ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya sendiri Pakubuwono
II.Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina terhadap VOC di
Batavia. Kemudian mereka menggempur Kartasura,yang dianggap sebagai kerajaan
boneka dari Belanda. Sejak Pasukan Cina mengepung kartasura pada awal 1741, para
bangsawan mulai meninggalkan Kraton Kartasura.

RM Said membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, Ia bergabung


dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC. Said diangkat sebagai panglima perang
bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur. Ia menikah dengan Raden Ayu Kusuma
Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari ke Semarang, menemui penguasa
Belanda dan meminta dirinya dirajakan. VOC menolak permintaan itu. Ia kemudian
bergabung dengan Puger di Sukowati. Berkat bantuan Belanda, pasukan Cina diusir dari
Istana Kartasura, enam bulan kemudian, Paku Buwono II kembali ke Kartasura
mendapatkan istananya rusak. Ia memindahkan Istana Mataram ke Solo (Surakarta).
Kebijakan raja meminta bantuan asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai
utara mulai Rembang, Jawa Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa
Timur harus diserahkan kepada VOC. Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib
mendapat persetujuan dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam
kekuasaan Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton.

Sebanyak 144 di antara prajuritnya adalah wanita, terdiri dari satu peleton prajurit
bersenjata karabijn (senapan ringan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton
kavaleri (pasukan berkuda). Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama
melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan
dalam pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan VOC. Selama 16
tahun berperang, Mangkunegara mengajari wanita desa mengangkat senjata dan
menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita mencatat kejadian
di peperangan. Pada 1983, pemerintah mengangkat Mangkunegara I sebagai pahlawan
nasional, karena jasa-jasa kepahlawanannya.Mendapat penghargaan Bintang Mahaputra.
Mangkunegara I memerintah wilayah Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan,
Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Ia bertahta selama 40 tahun, dan wafat
pada 28 Desember 1795.

Anda mungkin juga menyukai