Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (Sultan Banten
periode 1640-1650) dan Ratu Martakusuma. Sejak kecil ia bergelar Pangeran Surya,
kemudian ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran
Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651, ia diangkat
sebagai Sultan Banten ke-6 dengan gelar Sultan Abu al-Fath Abdulfattah.
PERJUANGAN
Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menjalin hubungan dagang dan kerja sama dengan
pedagang-pedagang Eropa selain Belanda, seperti Inggris, Denmark, dan Prancis.
Caron kembali mengunjungi raja dan menghadiahkan getah damar, dua meja besar (yang
dibawa dari Surat, India), dua belas pucuk senapan, dua jenis mortir, beberapa granat, dan
hadiah lain.
Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Batavia. Ia meninggal dunia
dalam penjara dan dimakamkan di Komplek Pemakaman Raja-raja Banten, di sebelah
utara Masjid Agung Banten, Banten Lama.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga kemudian diabadikan menjadi nama salah satu perguruan
tinggi negeri di Banten, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
RIWAYAT SINGKAT PERJUANGAN SULTAN HASANUDDIN DALAM
MELAWAN BELANDA
Sultan Hasanuddin merupakan anak kedua dari Raja Gowa ke-15, I Manuntungi Daeng
Mattola, Karaeng Lakiung yang bergelar Sultan Malikussaid dan ibunya bernama I Sabbe
To'mo Lakuntu yang merupakan Putri bangsawan Laikang.Sultan Hasanuddin juga
mempunyai seorang saudara perempuan yang bernama I Patimang Daeng Nisaking Karaeng
Bonto Je'ne yang kemudian menjadi permaisuri Sultan Bima, Ambela Abul Chair
Sirajuddin.Sejak kecil Sultan Hasanuddin sudah memperlihatkan jiwa kepemimpinan sebagai
seorang pemimpin masa depan. Kecerdasan dan kerajinan beliau dalam belajar sangat
menonjol dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain. Pendidikannya di Pusat
Pendidikan dan Pengajaran Islam di Mesjid Bontoala membentuk Hasanuddin menjadi
pemuda yang beragama, rendah hati, jujur dan memiliki semangat perjuangan.
Selain itu, Hasanuddin pandai bergaul. Tidak hanya dalam lingkungan bangsawan istana dan
rakyatnya, tetapi meluas kepada orang asing seperti orang melayu, portugis dan inggris yang
pada saat itu banyak berkunjung ke Makassar untuk berdagang.
Wafatnya Sultan Alauddin dan Pengangkatan Sultan Malikussaid sebagai Raja Gowa ke-
15Pada umur 8 tahun, Sultan Alauddin Mangkat setelah memerintah selama 46 tahun.
Hasanuddin merasa sangat sedih sekali. Kemudian ayahnya Sultan Malikussaid mengantikan
kakek beliau menjadi Raja Gowa ke-15. Beliau dilantik pada tanggal 15 Juni 1639.
Selama kepemimpinannya Sultan Malikussaid kerap kali mengajak Hasanuddin yang masih
berusia remaja untuk menghadiri perundingan-perundingan penting. Hal ini tiada lain
dilakukan untuk mengajarkan Sultan Hasanuddin tentang ilmu pemerintahan, diplomasi dan
strategi peperangan.
Sejak itulah kecakapan dalam bidang ini sudah menonjol. Selain mendapat bimbingan dari
ayahnya, Hasanuddin juga banyak dibimbing oleh mangkubumi kerajaan Gowa Karaeng
Pattingaloang tokoh yang paling berpengaruh dan cerdas yang sekaligus guru dari Arung
Palakka yang merupakan Raja Bone.
tahun. Sultan Hasanuddin bukanlah putra mahkota yang mutlak menjadi pewaris kerajaan,
dikarenakan derajat kebangsawanan ibunya lebih rendah dari ayahnya.
Sultan Hasanuddin diangkat menjadi raja karena pesan dari ayahnya sebelum wafat. Wasiat
dari Raja kepada Sultan Hasanuddin disetujui oleh Mangkubumi Kerajaan Karaeng
Pattingaloang. karena melihat sifat-sifat Hasanuddin yang tegas, berani dan juga memiliki
kemampuan serta pengetahuan yang luas.
Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa ketika Belanda sedang berusaha menguasai
hasil rempah-rempah dan memonopoli hasil perdagangan wilayah timur Indonesia. Salah satu
caranya adalah melarang orang Makasar berdagang dengan musuh-musuh Belanda seperti
Portugis dsb.
Tentu saja keinginan Belanda ditolak mentah-mentah Raja Gowa. Kerajaan Gowa menentang
dengan keras hak monopoli yang hendak dijalankan VOC. Sultan Alaudin, Sultan
Muhammad Said, dan Sultan Hasanuddin berpendirian sama. Bahwa Tuhan menciptakan
bumi dan lautan untuk dimiliki dan dipakai bersama.
Itu sebabnya Kerajaan Gowa menentang usaha monopoli VOC dan ini yang membuat VOC
berusaha untu menghancurkan dan menyingkirkan Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa pada saat
itu merupakan kerajaan terbesar yang menguasai jalur perdagangan.
Pada saat peperangan Belanda terus menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya
Gowa terdesak dan semakin lemah. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Sultan
Hasanuddin bersedia menandatangani Perjanjian Bungaya, pada 18 November 1667.
Setelah merasa Perjanjian Bungaya itu sangat merugikan bagi rakyat dan Kerajaan Gowa,
akhirnya pada 12 April 1668 perang kembali pecah.
Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar, menambah
kekuatan
pasukan Belanda, hingga akhirnya berhasil menerobos benteng terkuat Kerajaan Gowa yaitu
Benteng Sombaopu pada tanggal 24 Juni 1669.
PERJUANGAN TUANKU IMAM BONJOL
Muhammad Shahab atau lebih dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol adalah seorang
ulama, pemimpin, sekaligus pejuang yang tercatat dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Ia
memiliki peran penting dalam melawan Belanda ketika Perang Padri yang terjadi pada 1803
hingga 1838.
Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat, pada 1772. Ia merupakan anak dari
pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai
Rimbang, Suliki. Sebagai anak seorang anak alim ulama, Imam Bonjol tentu dididik dan
dibesarkan dengan napas Islami.
Sejak 1800 hingga 1802, Imam Bonjol menimba dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam di
Aceh. Usai menuntaskan masa pendidikannya, ia pun mendapat gelar Malin Basa, yakni gelar
untuk tokoh yang dianggap besar atau mulia. Sebelum berperang melawan pasukan Hindia-
Belanda, Imam Bonjol terlebih berseteru dengan kaum adat.
Ketika itu, kaum Padri yang di dalamnya juga termasuk Imam Bonjol hendak membersihkan
dan memurnikan ajaran Islam yang cukup banyak diselewengkan. Kala itu, kalangan ulama
di Kerajaan Pagaruyung menghendaki Islam yang sesuai dengan ahlus sunnah wal jamaah
dan berpegang teguh pada Alquran serta sunah-sunah Rasulullah SAW
Dalam proses perundingan dengan kaum adat, tidak didapatkan sebuah kesepakatan yang
dirasa adil untuk kedua belah pihak. Seiring dengan macetnya perundingan, kondisi pun kian
bergejolak. Hingga akhirnya, kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang
Pagaruyung pada 1815. Pertempuran pun pecah di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar.
Pada Februari 1821, kaum adat yang tengah digempur menjalin kerja sama dengan Hindia-
Belanda untuk membantunya melawan kaum Padri. Sebagai imbalannya, Hindia-Belanda
mendapatkan hak akses dan penguasaan atas wilayah Darek (pedalaman Minangkabau).
Salah satu tokoh yang menghadiri perjanjian dengan Hindia-Belanda kala itu adalah Sultan
Tangkal Alam Bagagar, anggota keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung.
Kendati disokong oleh kekuatan dan pasukan kolonial, dalam peperangan, kaum Padri tetap
sulit ditaklukkan. Oleh karena itu, Hindia-Belanda, melalui Gubernur Jenderal Johannes van
den Bosch mengajak pemimpin kaum Padri yang kala itu telah diamanahkan kepada Imam
Bonjol untuk berdamai. Tanda dari perjanjian damai tersebut adalah dengan menerbitkan
maklumat Perjanjian Masang pada 1824.
Pada 1833 kondisi peperangan pun berubah. Kaum adat akhirnya bergabung dan bahu
membahu dengan kaum Padri melawan pasukan kolonial. Bersatunya kaum adat dan Padri ini
dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek
Patah. Dari sana lahirlah sebuah konsenus adat basandi syarak, yakni adat berdasarkan
agama.
Bergabungnya kaum adat dan kaum Padri tentu semakin menyulitkan pasukan Hindia-
Belanda. Kendati sempat melakukan penyerangan bertubi-tubi dan mengepung benteng kaum
padri di Bonjol pada Maret hingga Agustus 1837, hal tersebut tak mampu menundukkan
perlawanan kaum Padri. Hindia-Belanda bahkan tiga kali mengganti komandan perangnya
untuk menaklukkan benteng kaum Padri tersebut.
Sadar bahwa taktik dan strategi perangnya kalah oleh kaum Padri, pemerintah Hindia-
Belanda pun mengambil jalan pintas. Pada 1837 mereka mengundang Imam Bonjol sebagai
pemimpin kaum Padri ke Palupuh untuk kembali merundingkan perdamaian.
Diponegoro lebih berminat pada kehidupan keagamaan dan rakyat jelata. Sehingga dia lebih
suka berada di Tegalrejo. Dulu Tegalrejo adalah tempat tinggal eyang buyut putrinya atau
permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I. Namanya yaitu Gusti Kangjeng Ratu
Tegalrejo. Pemberontakan Diponegoro ke keraton dimulai ketika kepemimpinan Sultan
Hamengkubuwana V pada tahun 1822. Waktu itu, Diponegoro jadi salah satu anggota
perwalian yang menemani Hamengkubuwana V yang masih berusia 3 tahun. Sedangkan
pemerintahan keraton biasanya dipegang bersama oleh Patih Danureja dan Residen Belanda.
Tentu Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian yang seperti itu.
Perang Diponegoro dimulai karena penjajah Belanda memasang patok di wilayah milik
Diponegoro di desa Tegalrejo. Sebelum itu, Diponegoro memang sudah muak dan sebal
dengan tingkah Belanda yang tidak menghormati adat istiadat serta budaya setempat dan
sangat mengeksploitasi ekonomi rakyat dengan pembebanan pajak. Bisa dibilang seenaknya
sendiri. Namanya juga penjajah. Tindakan Diponegoro yang menentang Belanda secara
frontal, mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas nasehat dari GPH Mangkubumi,
sang paman, Diponegoro pergi dari Tegalrejo dan membuat basis perlawanan di sebuah gua
yang diberi nama Gua Selarong.
Ibu dari Kyai Mojo yang bernama R.A. Mursilah adalah saudara perempuan dari Sultan
Hamengkubuwana III. Tapi Kyai Mojo yang aslinya bernama Muslim Mochamad Khalifah
tidak pernah merasakan kemewahan gaya hidup khas keluarga bangsawan. Jalinan
persaudaraan antara Kyai Mojo dan Diponegoro semakin erat ketika Kyai Mojo menikahi
janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Karena itulah,
Diponegoro memanggil Kyai Mojo dengan sebutan “paman” meski hubungan antara
keduanya lebih tepat dikatakan saudara sepupu.
Selain didukung oleh Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Raden
Tumenggung Prawiradigdaya yang merupakan Bupati dari Gagatan dan Sunan Pakubuwono
VI. Pengaruh dukungan dari Kyai Mojo pada perjuangan Diponegoro sangatlah kuat karena
dia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal
sebagai ulama yang dikenal teguh menegakkan ajaran Islam ini memiliki impian agar tanah
Jawa dipimpin oleh pemimpin yang bersandar pada syariat Islam sebagai landasan hukum
yang utama. Karena sejarah Islam di Indonesia cukup mengakar di penduduk. Semangat
perlawanan melawan Belanda yang merupakan musuh Islam menjadi strategi Perang Suci.
Oleh karena itulah, kekuatan Dipenogoro terus mendapat dukungan khususnya dari tokoh-
tokoh agama yang cukup dekat dengan Kyai Mojo. Menurut seorang sejarawan Peter Carey
di bukunya yang berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 terbitan tahun
2016, disebutkan bahwa kira-kira ada 112 kyai, 31 haji, 15 syekh dan puluhan penghulu yang
bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Dan selama perang ini, pihak Belanda mengalami
kerugian hingga tidak kurang dari 15.000 tentara dan biaya sebesae 20 juta gulden. Banyak
cara terus diusahakan oleh Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
digunakan. Hadiah sebesar 50.000 Gulden diberikan kepada siapapun yang berhasil
menangkap Diponegoro. Hingga akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap pada tahun 1830.
Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan pengerahan semua pasukan. Contohnya
seperti pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri yang membuat pertarungan di kedua belah
pihak berlangsung dengan sengit. Artileri sendiri menjadi senjata andalan sejak Napoleon dan
tentara Perancisnya mengacak-acak tanah Eropa. Medan pertempuran terjadi di puluhan kota
dan desa di seluruh tanah Jawa. Pertempuran berkecemuk dengan sangat hebat sehingga jika
suatu wilayah bisa dikuasai pasukan Belanda di siang hari, maka malam hari atau esoknya
wilayah itu sudah berhasil direbut kembali oleh pasukan pribumi.
Dan berlaku pula sebaliknya. Cukup banyak jalan logistik dibangun dari satu lokasi ke lokasi
lain untuk mendukung kepentingan perang. Puluhan tempat mesiu dibangun di hutan dan
dasar jurang. Kebutuhan peluru dan mesiu terus meningkat karena peperangan terus
berkecamuk. Para intel dan kurir bekerja keras mencari, menganalisis dan menyampaikan
informasi yang diperlukan untuk merancang stategi perang yang ampuh. Informasi meliputi
kekuatan musuh, jarak dan waktu tempuh, situasi medan tempur dan curah hujan. Semakin
banyak informasi yang terkumpul maka terciptalah taktik dan strategi yang jitu karena
peperangan tidak hanya dimenangkan dari satu atau dua faktor
SEJARAH SINGKAT KAPITEN PATIMURA
Pattimura pada masa kecilnya bernama Thomas Matulessy. Pattimura lahir di Ambon tahun
1783. Ia pernah menjadi tentara Inggris berpangkat Sersan. Pada waktu itu Belanda harus
menyerahkan wilayah jajahannya diantaranya Maluku kepada Inggris. Namun, pada tahun
8116 Belanda kembali berkuasa di Maluku. Rakyat Maluku hidup menderita akibat
penindasan Belanda. Rakyat dipaksa kerja rodi. Kekayaan Maluku dikuras Belanda.
Pasukan Belanda yang dipimpin Mayor Beetjes berusaha merebut kembali benteng
Duutstede. Kapitan Pattimura melakukan perlawanan. Pasukan Mayor Beetjes mundur.
Selama tiga bulan benteng itu dikuasai Kapitan Pattimura. Belanda kembali mengerahkan
pasukan besar-besaran untuk menyerang Kapitan Pattimura. Pasukan Pattimura kemudian
mengosongkan benteng itu.
Belanda mengadakan sayembara untuk menangkap Kapitan Pattimura. Bagi yang bisa
menangkap Kapitan Pattimura akan mendapat hadiah 1000 gulden. Kapitan Pattimura belum
tertangkap juga. Belanda kemudian mengadakan serangan besar-besaran tanggal 15 Oktober
1817. Pada bulan November 1817, Kapitan Pattimura ditangkap Belanda. Pada tanggal 16
Desember 1817 Kapitan Pattimura dihukum gantung. Untuk menghormati jasa-jasanya
pemerintah Republik Indonesia menetapkan Kapitan Pattimura sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia.
I GUSTI KETUT JELANTIK, PAHLAWAN NASIONAL ASAL BALI YANG AHLI
DALAM STRATEGI PERANG
TRIBUNNEWSWIKI.COM - I Gusti Ketut Jelantik adalah seorang tokoh bali yang berjuang
pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
I Gusti Ketut Jelantik memiliki keberanian dalam menentang penindasan yang dilakukan
pemerintahan Belanda.
I Gusti Ketut Jelantik juga disuruh untuk mengakui kedaulatan Belanda di Hindia Belanda.
Perang yang terkenal di deerah Bali adalah Perang Jagaraga yang salah satu tokohnya
adalah I Gusti Ketut Jelantik.