Anda di halaman 1dari 13

SULTAN AGENG TIRTAYASA 

sultan ageng tirtayasa atau Pangeran Surya (Lahir di Kesultanan Banten, 1631 – meninggal


di Batavia, Hindia Belanda, 1692 pada umur 60 - 61 tahun)[1] adalah Sultan Banten ke-6. Ia
naik takhta pada usia 20 tahun menggantikan kakeknya, Sultan Abdul Mafakhir yang wafat
pada tanggal 10 Maret 1651, setelah sebelumnya ia diangkat menjadi Sultan Muda dengan
gelar Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati, menggantikan ayahnya[2] yang wafat lebih
dulu pada tahun 1650.[3]

Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (Sultan Banten
periode 1640-1650) dan Ratu Martakusuma. Sejak kecil ia bergelar Pangeran Surya,
kemudian ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran
Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651, ia diangkat
sebagai Sultan Banten ke-6 dengan gelar Sultan Abu al-Fath Abdulfattah.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di


dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang).[4]

PERJUANGAN

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683. Ia


memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian
monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak
perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng
Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar.

Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka


sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh
Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda


ikut campur dengan cara bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng
Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda.
HUBUNGAN DIPLOMATIK

Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten aktif membina


hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai kesultanan di sekitarnya, bahkan dengan
negara lain di luar Nusantara. Banten menjalin hubungan
dengan Turki, Inggris, Aceh, Makassar, Arab, dan kerajaan lain.[5][6]

Banten dan Kerajaan Nusantara lain[sunting | sunting sumber]

Sekitar tahun 1677, Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang


memberontak terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin hubungan baik
dengan Makassar, Bangka, Cirebon dan Inderapura.[7]

BANTEN DAN PRANCIS

Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menjalin hubungan dagang dan kerja sama dengan
pedagang-pedagang Eropa selain Belanda, seperti Inggris, Denmark, dan Prancis.

Pada tahun 1671, Raja Prancis Louis XIV mengutus François Caron, pimpinan Kongsi


Dagang Prancis di Asia sekaligus pemimpin armada pelayaran ke Nusantara. Setelah
mendarat di pelabuhan Banten, ia diterima oleh Syahbandar Kaytsu, seorang Tionghoa
muslim. Pada 16 Juli 1671, raja didampingi oleh beberapa pembesar kerajaan mendatangi
kediaman orang-orang Prancis di kawasan Pecinan. Caron meminta izin untuk membuka
kantor perwakilan di Banten. Hal itu berangkat dari pengalaman Caron yang pernah bekerja
pada VOC dan berambisi membuat kongsi dagang Prancis sebesar VOC[8]. Raja kemudian
menanyakan tujuan kongsi dagang mereka, ke mana tujuan kapal-kapal mereka, barang
dagangan yang diinginkan, dan jumlah uang tunai yang mereka miliki. Sesudah itu pihak
Prancis berusaha menjual barang muatan mereka. Barang-barang dagangan apa saja dapat
dijual, kecuali candu yang dilarang keras beredar di Banten.

Caron kembali mengunjungi raja dan menghadiahkan getah damar, dua meja besar (yang
dibawa dari Surat, India), dua belas pucuk senapan, dua jenis mortir, beberapa granat, dan
hadiah lain.

Caron dan Gubernur Banten kemudian menyetujui perjanjian yang berisi sepuluh


kesepakatan mengenai pemberian kemudahan dan hak-hak khusus kepada pihak Prancis,
sama dengan yang diberikan kepada pihak Inggris.[9]

BANTEN DAN INGGRIS

Hubungan baik antara Inggris dan Banten sudah terjalin sejak lama, salah satunya adalah


ketika Sultan Abdul Mafakhir mengirimkan surat ucapan selamat pada
tahun 1602 kepada Kerajaan Inggris atas dinobatkannya Charles I sebagai Raja
Inggris. Sultan Abdul Mafakhir juga memberikan izin kepada Inggris untuk membuka kantor
dagang. Bahkan, Banten menjadi pusat kegiatan dagang Inggris sampai akhir masa
penerintahan Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1682, karena saat itu terjadi perang saudara
antara Sultan dengan putranya, Sultan Haji. Sultan Haji meminta bantuan Belanda, sedangkan
KEMATIAN DAN PENGHARGAAN

Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Batavia. Ia meninggal dunia
dalam penjara dan dimakamkan di Komplek Pemakaman Raja-raja Banten, di sebelah
utara Masjid Agung Banten, Banten Lama.

Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar pahlawan


Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970, tanggal 1
Agustus 1970.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga kemudian diabadikan menjadi nama salah satu perguruan
tinggi negeri di Banten, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
RIWAYAT SINGKAT PERJUANGAN SULTAN HASANUDDIN DALAM
MELAWAN BELANDA

Sultan Hasanuddin, (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan,12 Januari 1631 - meninggal di


Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun). Sultan Hasanuddin terlahir
dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.
Setelah naik tahta sebagai sultan, beliau mendapat gelar Sultan Hasanuddin, Tumenanga Ri
Balla Pangkana (yang meninggal di istananya yang indah). atau lebih dikenal dengan Sultan
Hasanuddin. Ia dijuluki e Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam
Jantan/Jago dari Benua Timur, karena keberaniannya melawan penjajah Belanda.

Sultan Hasanuddin merupakan anak kedua dari Raja Gowa ke-15, I Manuntungi Daeng
Mattola, Karaeng Lakiung yang bergelar Sultan Malikussaid dan ibunya bernama I Sabbe
To'mo Lakuntu yang merupakan Putri bangsawan Laikang.Sultan Hasanuddin juga
mempunyai seorang saudara perempuan yang bernama I Patimang Daeng Nisaking Karaeng
Bonto Je'ne yang kemudian menjadi permaisuri Sultan Bima, Ambela Abul Chair
Sirajuddin.Sejak kecil Sultan Hasanuddin sudah memperlihatkan jiwa kepemimpinan sebagai
seorang pemimpin masa depan. Kecerdasan dan kerajinan beliau dalam belajar sangat
menonjol dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain. Pendidikannya di Pusat
Pendidikan dan Pengajaran Islam di Mesjid Bontoala membentuk Hasanuddin menjadi
pemuda yang beragama, rendah hati, jujur dan memiliki semangat perjuangan. 

Selain itu, Hasanuddin pandai bergaul. Tidak hanya dalam lingkungan bangsawan istana dan
rakyatnya, tetapi meluas kepada orang asing seperti orang melayu, portugis dan inggris yang
pada saat itu banyak berkunjung ke Makassar untuk berdagang.

Wafatnya Sultan Alauddin dan Pengangkatan Sultan Malikussaid sebagai Raja Gowa ke-
15Pada umur 8 tahun, Sultan Alauddin Mangkat setelah memerintah selama 46 tahun.
Hasanuddin merasa sangat sedih sekali. Kemudian ayahnya Sultan Malikussaid mengantikan
kakek beliau menjadi Raja Gowa ke-15. Beliau dilantik pada tanggal 15 Juni 1639.

Selama kepemimpinannya Sultan Malikussaid kerap kali mengajak Hasanuddin yang masih
berusia remaja untuk menghadiri perundingan-perundingan penting. Hal ini tiada lain
dilakukan untuk mengajarkan Sultan Hasanuddin tentang  ilmu pemerintahan, diplomasi dan
strategi peperangan.

Sejak itulah kecakapan dalam bidang ini sudah menonjol. Selain mendapat bimbingan dari
ayahnya, Hasanuddin juga banyak dibimbing oleh mangkubumi kerajaan Gowa Karaeng
Pattingaloang tokoh yang paling berpengaruh dan cerdas yang sekaligus guru dari Arung
Palakka yang merupakan Raja Bone.

tahun. Sultan Hasanuddin bukanlah putra mahkota yang mutlak menjadi pewaris kerajaan,
dikarenakan derajat kebangsawanan ibunya lebih rendah dari ayahnya.

Sultan Hasanuddin diangkat menjadi raja karena pesan dari ayahnya sebelum wafat. Wasiat
dari Raja kepada Sultan Hasanuddin disetujui oleh Mangkubumi Kerajaan Karaeng
Pattingaloang. karena melihat sifat-sifat Hasanuddin yang tegas, berani dan juga memiliki
kemampuan serta pengetahuan yang luas.

Sultan Hasanuddin melanjutkan perjuangan ayahandanya melawan VOC yang menjalankan


monopoli perdagangannya di Indonesia bagian timur. VOC menganggap orang - orang
Makasar dan Kerajaan Gowa sebagai penghalang dan saingan berat. Bahkan VOC
menganggap sebagai musuh yang sangat berbahaya. 

Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa ketika Belanda sedang berusaha menguasai
hasil rempah-rempah dan memonopoli hasil perdagangan wilayah timur Indonesia. Salah satu
caranya adalah melarang orang Makasar berdagang dengan musuh-musuh Belanda seperti
Portugis dsb.

Tentu saja keinginan Belanda ditolak mentah-mentah Raja Gowa. Kerajaan Gowa menentang
dengan keras hak monopoli yang hendak dijalankan VOC. Sultan Alaudin, Sultan
Muhammad Said, dan Sultan Hasanuddin berpendirian sama. Bahwa Tuhan menciptakan
bumi dan lautan untuk dimiliki dan dipakai bersama.
Itu sebabnya Kerajaan Gowa menentang usaha monopoli VOC dan ini yang membuat VOC
berusaha untu menghancurkan dan menyingkirkan Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa pada saat
itu merupakan kerajaan terbesar yang menguasai jalur perdagangan.

Peperangan Melawan Belanda dan Perjanjian Bongaya

Dalam perjalanannya, terjadi pertempuran yang berlangsung di medan perang Sulawesi


Selatan antara orang-orang Makassar yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dengan VOC
dipimpin oleh Laksamana Speelman. 
Tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Belanda berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi mereka belum berhasil menundukkan Kerajaan
Gowa. Karena Sultan Hasanuddin berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan
kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Belanda.

Pertempuran-pertempuran terus berlangsung begitu pula selalu diadakannya berbagai


perjanjian perdamaian dan gencatan senjata, namun selalu dilanggar oleh VOC dan
merugikan Kerajaan Gowa.

Pada saat peperangan Belanda terus menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya
Gowa terdesak dan semakin lemah. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Sultan
Hasanuddin bersedia menandatangani Perjanjian Bungaya, pada 18 November 1667.

Setelah merasa Perjanjian Bungaya itu sangat merugikan bagi rakyat dan Kerajaan Gowa,
akhirnya pada 12 April 1668 perang kembali pecah.

Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar, menambah
kekuatan

pasukan Belanda, hingga akhirnya berhasil menerobos benteng terkuat Kerajaan Gowa yaitu
Benteng Sombaopu  pada tanggal 24 Juni 1669.
PERJUANGAN TUANKU IMAM BONJOL

Muhammad Shahab atau lebih dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol adalah seorang
ulama, pemimpin, sekaligus pejuang yang tercatat dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Ia
memiliki peran penting dalam melawan Belanda ketika Perang Padri yang terjadi pada 1803
hingga 1838.

Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat, pada 1772. Ia merupakan anak dari
pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai
Rimbang, Suliki. Sebagai anak seorang anak alim ulama, Imam Bonjol tentu dididik dan
dibesarkan dengan napas Islami.

Sejak 1800 hingga 1802, Imam Bonjol menimba dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam di
Aceh. Usai menuntaskan masa pendidikannya, ia pun mendapat gelar Malin Basa, yakni gelar
untuk tokoh yang dianggap besar atau mulia. Sebelum berperang melawan pasukan Hindia-
Belanda, Imam Bonjol terlebih berseteru dengan kaum adat.

Ketika itu, kaum Padri yang di dalamnya juga termasuk Imam Bonjol hendak membersihkan
dan memurnikan ajaran Islam yang cukup banyak diselewengkan. Kala itu, kalangan ulama
di Kerajaan Pagaruyung menghendaki Islam yang sesuai dengan ahlus sunnah wal jamaah
dan berpegang teguh pada Alquran serta sunah-sunah Rasulullah SAW

Dalam proses perundingan dengan kaum adat, tidak didapatkan sebuah kesepakatan yang
dirasa adil untuk kedua belah pihak. Seiring dengan macetnya perundingan, kondisi pun kian
bergejolak. Hingga akhirnya, kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang
Pagaruyung pada 1815. Pertempuran pun pecah di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar.
Pada Februari 1821, kaum adat yang tengah digempur menjalin kerja sama dengan Hindia-
Belanda untuk membantunya melawan kaum Padri. Sebagai imbalannya, Hindia-Belanda
mendapatkan hak akses dan penguasaan atas wilayah Darek (pedalaman Minangkabau).
Salah satu tokoh yang menghadiri perjanjian dengan Hindia-Belanda kala itu adalah Sultan
Tangkal Alam Bagagar, anggota keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung.
Kendati disokong oleh kekuatan dan pasukan kolonial, dalam peperangan, kaum Padri tetap
sulit ditaklukkan. Oleh karena itu, Hindia-Belanda, melalui Gubernur Jenderal Johannes van
den Bosch mengajak pemimpin kaum Padri yang kala itu telah diamanahkan kepada Imam
Bonjol untuk berdamai. Tanda dari perjanjian damai tersebut adalah dengan menerbitkan
maklumat Perjanjian Masang pada 1824.

Namun, pemerintah Hindia-Belanda memang tidak sungguh-sungguh memiliki iktikad baik


dan ingin berdamai dengan kaum Padri. Hindia-Belanda melanggar kesepakatan damai yang
telah mereka buat dengan kaum Padri dengan menyerang Nagari Pandai Sikek.

Pada 1833 kondisi peperangan pun berubah. Kaum adat akhirnya bergabung dan bahu
membahu dengan kaum Padri melawan pasukan kolonial. Bersatunya kaum adat dan Padri ini
dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek
Patah. Dari sana lahirlah sebuah konsenus adat basandi syarak, yakni adat berdasarkan
agama.

Bergabungnya kaum adat dan kaum Padri tentu semakin menyulitkan pasukan Hindia-
Belanda. Kendati sempat melakukan penyerangan bertubi-tubi dan mengepung benteng kaum
padri di Bonjol pada Maret hingga Agustus 1837, hal tersebut tak mampu menundukkan
perlawanan kaum Padri. Hindia-Belanda bahkan tiga kali mengganti komandan perangnya
untuk menaklukkan benteng kaum Padri tersebut.

Sadar bahwa taktik dan strategi perangnya kalah oleh kaum Padri, pemerintah Hindia-
Belanda pun mengambil jalan pintas. Pada 1837 mereka mengundang Imam Bonjol sebagai
pemimpin kaum Padri ke Palupuh untuk kembali merundingkan perdamaian. 

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Hindia-Belanda memanfaatkan momen perundingan


untuk menjerat Imam Bonjol. Sesampainya di Palupuh, Imam Bonjol ditangkap. Tak hanya
ditangkap, pemimpin kaum Padri itu pun diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.
Perjalanan pengasingan Imam Bonjol tak berhenti di sana. Dia sempat dibuang ke Ambon.
Pengasingannya terhenti di Lotak, Minahasa, dekat Manado, Sulawesi Selatan. Di tempat
pengasingannya yang terakhir itu Imam Bonjol menghembuskan napas terakhirnya pada 8
November 1864.
Sosok Imam Bonjol memang sangat patut menjadi seorang pemimpin yang dimuliakan. Ia
tidak hanya berjuang memurnikan ajaran dan nilai-nilai Islam, tapi ia pun rela
mempertaruhkan hidupnya untuk melawan pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
PANGERAN DIPONEGORO : KEHIDUPAN PANGERAN DIPONEGORO

Diponegoro lebih berminat pada kehidupan keagamaan dan rakyat jelata. Sehingga dia lebih
suka berada di Tegalrejo. Dulu Tegalrejo adalah tempat tinggal eyang buyut putrinya atau
permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I. Namanya yaitu Gusti Kangjeng Ratu
Tegalrejo. Pemberontakan Diponegoro ke keraton dimulai ketika kepemimpinan Sultan
Hamengkubuwana V pada tahun 1822. Waktu itu, Diponegoro jadi salah satu anggota
perwalian yang menemani Hamengkubuwana V yang masih berusia 3 tahun. Sedangkan
pemerintahan keraton biasanya dipegang bersama oleh Patih Danureja dan Residen Belanda.
Tentu Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian yang seperti itu.

Terjadinya Perang Diponegoro

Perang Diponegoro dimulai karena penjajah Belanda memasang patok di wilayah milik
Diponegoro di desa Tegalrejo. Sebelum itu, Diponegoro memang sudah muak dan sebal
dengan tingkah Belanda yang tidak menghormati adat istiadat serta budaya setempat dan
sangat mengeksploitasi ekonomi rakyat dengan pembebanan pajak. Bisa dibilang seenaknya
sendiri. Namanya juga penjajah. Tindakan Diponegoro yang menentang Belanda secara
frontal, mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas nasehat dari GPH Mangkubumi,
sang paman, Diponegoro pergi dari Tegalrejo dan membuat basis perlawanan di sebuah gua
yang diberi nama Gua Selarong.

Ketika perjuangan akan dimulai, Diponegoro mengumandangkan bahwa perjuangannya


adalah perang sabil yang berarti perlawanan menghadapi kaum kafir. Teriakan perang sabil
yang dikobarkan Diponegoro efeknya sangat luas bahkan sampai ke wilayah Kedu dan
Pacitan. Salah seorang tokoh ulama dari Surakarta yang bernama Kyai Maja juga ikut
bergabung dengan pasukan Diponegoro yang berada di Gua Selarong. Kyai Mojo yang lahir
di Desa Mojo tertarik berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena sang Pangeran ingin
mendirikan kerajaan atau pemerintahan yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo adalah sebagai
ulama besar dan berpengaruh yang sebenarnya masih memiliki hubungan keluarga dengan
Diponegoro.

Ibu dari Kyai Mojo yang bernama R.A. Mursilah adalah saudara perempuan dari Sultan
Hamengkubuwana III. Tapi Kyai Mojo yang aslinya bernama Muslim Mochamad Khalifah
tidak pernah merasakan kemewahan gaya hidup khas keluarga bangsawan. Jalinan
persaudaraan antara Kyai Mojo dan Diponegoro semakin erat ketika Kyai Mojo menikahi
janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Karena itulah,
Diponegoro memanggil Kyai Mojo dengan sebutan “paman” meski hubungan antara
keduanya lebih tepat dikatakan saudara sepupu.

Selain didukung oleh Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Raden
Tumenggung Prawiradigdaya yang merupakan Bupati dari Gagatan dan Sunan Pakubuwono
VI. Pengaruh dukungan dari Kyai Mojo pada perjuangan Diponegoro sangatlah kuat karena
dia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal
sebagai ulama yang dikenal teguh menegakkan ajaran Islam ini memiliki impian agar tanah
Jawa dipimpin oleh pemimpin yang bersandar pada syariat Islam sebagai landasan hukum
yang utama. Karena sejarah Islam di Indonesia cukup mengakar di penduduk. Semangat
perlawanan melawan Belanda yang merupakan musuh Islam menjadi strategi Perang Suci.

Oleh karena itulah, kekuatan Dipenogoro terus mendapat dukungan khususnya dari tokoh-
tokoh agama yang cukup dekat dengan Kyai Mojo. Menurut seorang sejarawan Peter Carey
di bukunya yang berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 terbitan tahun
2016, disebutkan bahwa kira-kira ada 112 kyai, 31 haji, 15 syekh dan puluhan penghulu yang
bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Dan selama perang ini, pihak Belanda mengalami
kerugian hingga tidak kurang dari 15.000 tentara dan biaya sebesae 20 juta gulden. Banyak
cara terus diusahakan oleh Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
digunakan. Hadiah sebesar 50.000 Gulden diberikan kepada siapapun yang berhasil
menangkap Diponegoro. Hingga akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap pada tahun 1830.

Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan pengerahan semua pasukan. Contohnya
seperti pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri yang membuat pertarungan di kedua belah
pihak berlangsung dengan sengit. Artileri sendiri menjadi senjata andalan sejak Napoleon dan
tentara Perancisnya mengacak-acak tanah Eropa. Medan pertempuran terjadi di puluhan kota
dan desa di seluruh tanah Jawa. Pertempuran berkecemuk dengan sangat hebat sehingga jika
suatu wilayah bisa dikuasai pasukan Belanda di siang hari, maka malam hari atau esoknya
wilayah itu sudah berhasil direbut kembali oleh pasukan pribumi.

Dan berlaku pula sebaliknya. Cukup banyak jalan logistik dibangun dari satu lokasi ke lokasi
lain untuk mendukung kepentingan perang. Puluhan tempat mesiu dibangun di hutan dan
dasar jurang. Kebutuhan peluru dan mesiu terus meningkat karena peperangan terus
berkecamuk. Para intel dan kurir bekerja keras mencari, menganalisis dan menyampaikan
informasi yang diperlukan untuk merancang stategi perang yang ampuh. Informasi meliputi
kekuatan musuh, jarak dan waktu tempuh, situasi medan tempur dan curah hujan. Semakin
banyak informasi yang terkumpul maka terciptalah taktik dan strategi yang jitu karena
peperangan tidak hanya dimenangkan dari satu atau dua faktor
SEJARAH SINGKAT KAPITEN PATIMURA

Pattimura pada masa kecilnya bernama Thomas Matulessy. Pattimura lahir di Ambon tahun
1783. Ia pernah menjadi tentara Inggris berpangkat Sersan. Pada waktu itu Belanda harus
menyerahkan wilayah jajahannya diantaranya Maluku kepada Inggris. Namun, pada tahun
8116 Belanda kembali berkuasa di Maluku. Rakyat Maluku hidup menderita akibat
penindasan Belanda. Rakyat dipaksa kerja rodi. Kekayaan Maluku dikuras Belanda.

Rakyat Maluku melakukan perlawanan. Sebelum melakukan perlawanan, rakyat Maluku


melakukan rapat rahasia. Rapat rahasia menghasilkan keputusan untuk mengangkat Thomas
Matulessy sebagai pemimpin. Ia mendapat julukan Kapitan Pattimura. Kapitan Pattimura
menyerbu Belanda. Penyerbuan dilakukan dua kali. Pertama, pada tanggal 14 Mei 1817
Kapitan Pattimura menyerang pos Belanda. Penyerangan berhasil menangkap Residen Van
Den Berg. Namun, residen tersebut dibebaskan dan diperbolehkan kembali ke benteng.
Penyerbuan kedua pada tanggal 16 Mei 1817. Pasukan Kapitan Pattimura menyerang benteng
Duurstede. Benteng dapat dikuasai. Semua tentara Belanda ditangkap. Residen, istri, dan dua
anaknya tewas.

Pasukan Belanda yang dipimpin Mayor Beetjes berusaha merebut kembali benteng
Duutstede. Kapitan Pattimura melakukan perlawanan. Pasukan Mayor Beetjes mundur.
Selama tiga bulan benteng itu dikuasai Kapitan Pattimura. Belanda kembali mengerahkan
pasukan besar-besaran untuk menyerang Kapitan Pattimura. Pasukan Pattimura kemudian
mengosongkan benteng itu.

Belanda mengadakan sayembara untuk menangkap Kapitan Pattimura. Bagi yang bisa
menangkap Kapitan Pattimura akan mendapat hadiah 1000 gulden. Kapitan Pattimura belum
tertangkap juga. Belanda kemudian mengadakan serangan besar-besaran tanggal 15 Oktober
1817. Pada bulan November 1817, Kapitan Pattimura ditangkap Belanda. Pada tanggal 16
Desember 1817 Kapitan Pattimura dihukum gantung. Untuk menghormati jasa-jasanya
pemerintah Republik Indonesia menetapkan Kapitan Pattimura sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia.
I GUSTI KETUT JELANTIK, PAHLAWAN NASIONAL ASAL BALI YANG AHLI
DALAM STRATEGI PERANG

I Gusti Ketut jelantik 

TRIBUNNEWSWIKI.COM - I Gusti Ketut Jelantik adalah seorang tokoh bali yang berjuang
pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

I Gusti Ketut Jelantik memiliki keberanian dalam menentang penindasan yang dilakukan
pemerintahan Belanda.

Dalam permulaan pertentangannya dengan Belanda, I Gusti Ketut Jelantik membuat sikap


dan tindakan dengan menolak tuntutan Belanda untuk mengganti kerugian atas kapal-kapal
yang dirampas.

I Gusti Ketut Jelantik juga disuruh untuk mengakui kedaulatan Belanda di Hindia Belanda.

I Gusti Ketut Jelantik

Disinilah kemudian menyulut kemarahan I Gusti Ketut Jelantik yang dikobarkan dalam


perang.

Perang yang terkenal di deerah Bali adalah Perang Jagaraga yang salah satu tokohnya
adalah I Gusti Ketut Jelantik.

ADVERTISINGBerkat jasa dan perjuangannya, Pemerintah Republik Indonesia


menganugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 077/TK/Tahun
1993 tanggal 19 Agustus 1993.
TUGAS PPKAN
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
NAMA : ZAJLA FATRIA
KELAS : 8.9
SMP NEGERI 9 PALEMBANG
GURU PEMBIMBING : DITA ANGRAINI

TAHUN AJARAN 2019/2020

Anda mungkin juga menyukai