Anda di halaman 1dari 2

Jejak Khilafah di Nusantara

https://id.berita.yahoo.com/klaim-khilafah-di-nusantara-diponegoro-055121863.html

REPUBLIKA.CO.ID, 22-08-2020

REPUBLIKA.CO.ID, Film “Jejak Khilafah di Nusantara” yang tayang secara virtual hari
Kamis (20/8) menyisakan polemik. Tayangan tersebut pun akhirnya diblokir
penayangannya. Belum ada pernyataan resmi soal hal ini.

Namun, terkait dengan pencatutan nama Prof Peter Carey, Jawanis asal Inggris
tersebut, berbuntut panjang. Dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Prof Peter
Carey menjelaskan sejumlah klaim pengusung khilafah tentang sejumlah polemik ihwal
klaim khilafah ala HTI di bumi Nusantara. Di antara klaim tersebut adalah bahwa
Pangeran Diponegoro pernah melakukan kontak dengan Ottoman.

Menurut Carey, tidak diragukan lagi kalau banyak orang Jawa, termasuk Diponegoro,
yang mengagumi Kesultanan Utsmaniyah pada abad ke-18 dan ke-19. Namun dia
menjelaskan penggunaan nama Turki Utsmani oleh Diponegoro yang inovatif dan
radikal (Bulkio berasal dari bahasa Turki bölük = regu) untuk pasukan elite paswal-nya,
dan penggunaan pangkat Turki, Ali Pasha ("Pasha Agung") untuk panglimanya, Sentot
Ali Basah, Pasha (Basah / Komandan Senior) dan Dullah (Komandan Junior) untuk
perwira lapangannya, adalah pertanda dari pengaruh yang kemungkinan didapatkan
dari, atau dipercepat, oleh karena orang-orang Jawa yang naik Haji dan lama tinggal di
Haramain untuk berguru kepada ustadz di Makkah dan Madinah yang ahli dalam
bidang hukum dan teologi Islami.

Menurut Carey, mereka seringkali juga ikut mengabdi secara sementara kepada
pasukan pertahanan Utsmaniyah yang menguasai haramain (dua masjid suci Makkah
Madinah) setelah mengusir kaum Wahabbi pada 1812, untuk mendapat uang demi
melakukan perjalanan pulang ke Jawa. “Maka mereka pun kembali dengan membawa
pengalaman dari dunia militer Utsmaniyah,” ujar Prof Carey.

Dia melanjutkan, Diponegoro sendiri mengambil nama Ngabdulhamid dari seorang


sultan Utsmaniyah, Abdulhamid I (bertakhta 1774-1789), seorang sultan yang pertama
kali membangkitkan kembali klaim Utsmaniyah atas peran sebagai Khilafah atau
pelindung umat Muslim di seluruh dunia, peran yang kemudian diperluas penerus
namanya, Abdulhamid II (bertakhta 1875-1908).

Menurut Prof Carey, semua pengaruh ini memang benar dan tidak dapat disangkal, dan
jelas-jelas dirujuk dalam sumber-sumber berbahasa Jawa dan Belanda, misalnya seperti
dalam "perang budaya" ketika pihak Belanda mencoba untuk menghasut Sentot, ketika
ia membelot ke pihak Belanda pada Oktober 1829, untuk menanggalkan surbannya dan
kembali mengenakan blangkon Jawa dan lain-lain.

Memang, menurut Prof Carey, Belanda bahkan menganggap serius kekaguman orang
Jawa terhadap Kesultanan Utsmaniyah ini sampai-sampai mereka memastikan agar
para negosiator dari pihak Diponegoro ketika menyiapkan perundingan damai dengan
Diponegoro pada Desember 1829 selalu diberitahu tentang perkembangan terbaru
dalam perang Russia-Turki yang ketiga (1829-30) yang berakhir dengan Rusia
mencaplok benteng pertahanan agung di Edirne/Adrianople, di mana perjanjian damai
antara Turki dan Russia ditandatangani pada awal 1830.

Namun, Prof Carey menggarisbawahi yang sekarang terlihat sangat jelas adalah bahwa
walaupun di pihak Jawa terdapat rasa kekaguman dan kemauan untuk mengikuti
praktik Utsmaniyah, di dalam arsip Turki Utsmaniyah, sama sekali tidak ada catatan
yang menandakan kalau para penguasa Turki dan pemerintah di sana mengetahui
tentang apa yang terjadi di Jawa ataupun bahkan tentang nama Diponegoro, apalagi
mengirimkan bantuan material ataupun moril untuk mendukung perjuangannya.

“Demikian juga halnya dengan semua dugaan dari Keraton Yogyakarta mengenai Kiai
Tunggul Wulung, Raden Patah, Demak, dan peran para sultan di Yogyakarta sebagai
wakil Kesultanan Utsmaniyah di Jawa,” tutur dia.

Prof Carey menambahkan pernyataan ini juga dikeluarkan seorang sejarawan Turki
yang sangat mengenal arsip Turki Utsmaniyah dengan sangat seksama, yaitu Dr
Ismail Hakki Kadi dari Medeniyet University, Istanbul.

“Sebagai sejarawan, kami adalah pengabdi Clio maka dari itu kami tidak mengarang
hal-hal yang tidak terdapat dalam arsip sejarah, namun kami mengikuti apa kata
sumber sejarah. Kami mengutarakan apa yang kami temukan dalam sumber-sumber
sejarah tersebut, tidak lebih, tidak kurang,” kata dia.

Prof Carey mengatakan, alasan mengapa mengapa sangat penting untuk


mengatakan apa adanya (atau apa yang sebenarnya terjadi"/wie es eigentlich
gewesen, menurut ucapan Leopold von Ranke yang terkenal) adalah untuk
menghindari berbagai interpretasi sejarah yang penuh khayalan seperti yang
dikemukakan HTI dan para khilafis, yang tidak ada dalam kenyataan.

Jadi, menurut Prof Carey, seperti yang dikatakan William Routh, seorang presiden di
Oxford, "anak muda selalu memeriksa rujukan Anda," yaitu, periksa dan periksa ulang.
Ini adalah tugas seorang sejarawan. Tidak lebih, tidak kurang.

Dia menuturkan, kenyataan di mana sumber-sumber Turki Utsmani semuanya senyap,


bungkam seribu bahasa, mengenai pulau Jawa pada periode 1475-1908, ketika
begitu banyak sumber yang menghubung-hubungkan Kesultanan Utsmaniyah dengan
perjuangan Aceh di akhir abad kesembilan belas, sangat penting diketahui.

“Semua ini meluruskan catatan sejarah untuk menghindari insinuasi dan implikasi
yang kita saksikan dalam film Jejak Khilafah di Nusantara yang mengusulkan sejarah
Indonesia yang penuh dusta dan sudut pandang lancing, dalam hubungannya dengan
Kesultanan Utsmaniyah,” ungkap dia sembari menambahkan semua ini sangat penting
diketahui agar orang Indonesia mengenal sejarahnya yang sebenarnya dan bukan
sejarah yang dimanipulasi hasil karangan para pengusung khilafah.

Anda mungkin juga menyukai