Anda di halaman 1dari 17

SULTAN AGENG TIRTAYASA

Sultan Ageng Tirtayasa, beliau adalah pahlawan yang berasal dari provinsi Banten.
Lahir pada tahun 1631. Beliau putra dari Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Ratu
Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640 - 1650.

Perjuangan beliau salah satunya adalah menentang Belanda karena VOC


menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan kesultanan dan
rakyat Banten.

Dimasa mudanya beliau diberi gelar Pangeran Surya. Peran Sultan Ageng dalam
perkembangan Islam di Banten sangat berpengaruh. Dia menginginkan Banten
mempunyai kerajaan Islam.

Langkah yang beliau tempuh pertama dalam sektor ekonomi. Kesejahteraan


rakyat ditingkatkan melalui pencetakan sawah-sawah baru serta irigasi yang
sekaligus berfungsi sebagai sarana perhubungan.

Sultan Ageng tidak hanya mendobrak perekonomian rakyat menjadi lebih baik
tetapi juga berperan besar di bidang keagamaan. Dia mengangkat Syekh Yusuf,
seorang ulama asal Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas
menyelesaikan urusan keagamaan dan penasehat sultan dalam bidang
pemerintahan.

Dia juga menggalakkan pendidikan agama, baik di lingkungan kesultanan maupun


di masyarakat melalui pondok pesantren.

Ketika menjadi raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal cerdas dan
menghargai pendidikan. Perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan
pesat.

Nilai-nilai yang dimunculkan dari Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai seorang


pemimpin, ia adalah pemimpin yang sangat amanah dan memiliki visi ke depan
membangun bangsanya.

Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang pemimpin yang sangat visioner, ahli
perencanaan wilayah dan tata kelola air, egaliter dan terbuka serta berwawasan
internasional.

Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai
pihak di sekitarnya atau di tempat yang jauh sekalipun.

Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang


sedang memberontak terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin
hubungan baik dengan Makasar, Bangka, Cirebon dan Indrapur.

Karakter Sultan Ageng Tirtayasa mewakili karakter kepemimpinan dan


intelektual.  Bagi dia, kepentingan rakyat adalah segala-galanya. Ketegasan
pemimpin juga tidak kalah penting.

Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Jakarta. Ia


meninggal dunia dalam penjara. Ia dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja
Banten di sebelah utara Masjid Agung Banten. Atas jasa-jasanya pada negara,
Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar Pahlawan Nasional.
SULTAN HASANUDDIN
Sultan Hasanuddin merupakan Raja Gowa generasi ke-15, Ia lahir pada tanggal 12
Januari 1631. Ketika wafat, Sultan Hasanuddin dimakamkan di Katangka,
Kabupaten Gowa. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan
Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.

Sultan Hasanuddin terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng


Mattawang Karaeng Bonto Mangape. Nama ini merupakan nama pemberian dari
Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Muhammad
Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan
sekaligus guru tarekat dari Syeikh Yusuf dan Sultan Hasanuddin.

Kisah Sultan Hasanuddin berawal pada tahun 1660, saat itu sedang gencar terjadi
peperangan antara kerajaan Gowa dengan pemerintahan VOC. Saat itu
pemerintahan Belanda dibantu oleh kerajaan bone yang sudah ditaklukan oleh
Belanda. Pada saat peperangan raja dari Kerajaan Bone wafat dalam
pertempuran.

Ketika Belanda menuntut agar Makassar tunduk, Sultan Hasanudin justru


memberikan jawaban lantang kepada Belanda.

Akhirnya peperangan itu berakhir damai tetapi tak berlangsung lama Sultan
Hasanuddin melawan kembali pemerintahan Belanda karena merasa dirugikan.
Beliau akhirnya mengambil 2 kapal milik Belanda yaitu kapal Leeuwin dan De
Walfis. Ini banyak diceritakan di cerita tentang biografi Sultan Hasanuddin.

Belanda marah besar dan akhirnya mengirim pasukan yang lebih banyak ke
Kerajaan Gowa. Pertempuran tersebut dipimpin oleh panglima Belanda yang
bernama Cornelis Spellman. Sultan Hasanuddin mengalami kewalahan dan
akhirnya memutuskan untuk menandatangani perjanjian bongaya.

Perjanjian tersebut dilakukan pada tanggal 18 November tahun 1667. Pada


tanggal 12 April tahun 1668, Pangeran Antasari dan pasukannya kembali
menyerang Belanda. Namun, pasukan Belanda yang menyerbu semakin banyak.
Benteng pertahanan terakhir kerajaan Gowa yaitu Benteng Sombaopu akhirnya
runtuh dan dikuasai oleh Belanda.

I Gusti Ketut Jelantik

 (??? - 1849) adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari


Karangasem, Bali. Ia merupakan patih Kerajaan Buleleng. Ia berperan dalam
Perang Jagaraga yang terjadi di Bali pada tahun 1849. Perlawanan ini bermula
karena pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin menghapuskan hak tawan
karang yang berlaku di Bali, yaitu hak bagi raja-raja yang berkuasa di Bali untuk
mengambil kapal yang kandas di perairannya beserta seluruh isinya. Ucapannya
yang terkenal ketika itu ialah "Apapun tidak akan terjadi. Selama aku hidup aku
tidak akan mangakui kekuasaan Belanda di negeri ini". Perang ini berakhir
sebagai suatu puputan, seluruh anggota kerajaan dan rakyatnya bertarung
mempertahankan daerahnya sampai titik darah penghabisan. Namun akhirnya ia
harus mundur ke Gunung Batur, Kintamani. Pada saat inilah beliau gugur.

Berawal dari hak hukum Tawan yang menyatakan bahwa kapal dari pemerintah
manapun apabila bersandar maupun terdampar di wilayah perairan Bali maka
menjadi milik kerajaan Bali. Saat itu, pemerintah Belanda menolak dengan
adanya hak Tawan yang sudah barang tentu merugikan pihaknya.

Kapal dagang Belanda terdampar di daerah Prancak, Jebrana yang merupakan


wilayah dari kerajaan Buleleng disita oleh kerajaan Buleleng yang membuat
pemerintah Belanda meradang. Tak setuju dengan adanya peraturan hak Tawan
yang mengakibatkan kapalnya terkena Tawan Karang, pemerintah Belanda
menuntut untuk penghapusan hukum tersebut dan menyarankan agar pihak
kerajaan Buleleng mengakui kekuasaan Belanda di Hindia Belanda.

Bagi patih kerajaan Buleleng, Ketut Jelantik, tuntutan tersebut sangat


meremehkan, akhirnya ia menanggapinya dengan sikap meradang. Ia bahkan
bersumpah selama hidupnya tidak akan pernah tunduk pada kekuasaan Belanda
demi apapun alasannya. Suami dari I Gusti Ayu Made Geria ini lebih memilih
untuk berperang dibandingkan mengakui kedaulatan dan kekuasaan pemerintah
Belanda.

Dalam menghadapi pemerintah Belanda, Ketut Jelantik mengambil tindakan


berani yakni dengan jalan memilih jarang peperangan. Pada tahun 1943, ketika
pemerintah Belanda berhasil meminta persetujuan beberapa raja dari kerajaan-
kerajaan Bali untuk menghapuskan hak hukum Tawan dan mengakui kekuasaan
Belanda, kerajaan Buleleng tetap pada pendiriannya.

Mereka menolak untuk menghapuskan perjanjian yang bagi Ketut Jelantik akan
merugikan warganya. Karena penolakan itulah akhirnya pecah perang yang
terjadi antara Buleleng dan Belanda pada tahun 1846 yang menghasilkan
kekalahan dari pihak Buleleng. Istana Buleleng berhasil dikuasai Belanda yang
membuat raja Buleleng dan patihnya melarikan diri ke daerah Jagaraga.

Pihak Belanda merasa kurang puas hanya merebut istana Buleleng, mereka
berlanjut dengan mengejar Ketut Jelantik dan raja ke daerah Jagaraga. Di sana,
ayah dari tiga anak ini bersembunyi di benteng-benteng pertahanan yang
dibuatnya bersama dengan para prajurit. Siasat perang yang menyatakan bahwa
daerah benteng mempunyai bentuk bangunan yang sulit dijangkau oleh meriam,
Ketut Jelantik memilih untuk bertahan dan menyusun strategi perang. Benar
saja, keteguhan sikap yang menolak adanya penghapusan hak hukum Tawan
nyatanya mengantarkan Buleleng pada peperangan yang cukup sengit.

Peperangan yang meletus pada bulan Juni 1848 ini tak hanya melibatkan tentara
Belanda, tapi juga kerajaan-kerajaan yang berhasil diberdaya Belanda untuk
tunduk kepada Belanda. Berhasil memukul mundur tentara Belanda pada perang
Jagaraga I, pada tahun 1849 Belanda kembali menyerang wilayah Jagaraga.
Dengan pengalaman strategi yang pernah dipelajari, maka pada 16 April 1849,
akhirnya Buleleng jatuh ke tangan Belanda.

Pangeran Diponegoro

Berasal dari keluarga bangsawan, namun Pangeran Diponegoro lebih suka


kehidupan yang lebih dekat dengan rakyatnya. Kehidupannya banyak
dihabiskan untuk mempelajari ilmu agama. Ia tinggal di rumah eyang
buyutnya di Tegalrejo.
Pangeran Diponegoro terkenal akan pemberontakannya terhadap
kesultanan/keraton yang saat itu dibawah pengaruh penjajahan Belanda.
Perlawanan ini kemudian berkembang ke arah peperangan. Disebut dengan
Perang Jawa. Perang ini ia sebut perang menghadapi kaum kafir. Diponegoro
mendapat simpati dari sebagian besar kalangan rakyat atas perlawanan
yang ia lakukan. 

Perang Diponegoro sangat merugikan pihak Belanda, diakibatkan karena


banyak menelan biaya dan banyak juga pasukan militer Belanda
berguguran. Apabila dihitung, pemerintah Belanda menghabiskan lebih dari
50 juta Gulden untuk keperluan perang. Sementara itu, jumlah pasukan
yang gugur lebih dari 15.000 tentara.
Oleh sebab itu, Belanda mengeluarkan perintah bagi siapa saja yang bisa
menangkap Pangeran Diponegoro akan mendapat imbalan yang cukup
banyak, yaitu sekitar 50 ribu Gulden. Strategi Belanda tersebut gagal
menangkap pemimpin perang Jawa tersebut.

Akhirnya dengan alih-alih perundingan gencatan senjata dan perdamaian,


Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang, tepat pada tanggal 28
Maret 1830. Tanpa sepengetahuan Pangeran Diponegoro, ternyata pihak
Belanda telah menyiapkan pasukan untuk menyergap dan menangkapnya.

Pangeran Diponegoro akhirnya ditangkap, kemudian diasingkan ke Ungaran


lalu dibawa ke Semarang. Lalu ia dipindahkan ke Batavia dan Makasar. Ia
pun wafat di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855

Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung pada 1


Januari 1772 dengan nama Muhammad Syahab. Dia selanjutnya dikenal oleh
masyarakat setempat dengan nama Syekh Muhammad Said Bonjol atau Inyik
Bonjol.

Bonjol sendiri merupakan suatu kampung yang berada di daerah Sumatra


Barat. Kampung ini terkenal karena Muhammad Syahab dilahirkan dan
berjuang bersama-sama dengan seluruh lapisan masyarakat di tempat itu.
Mereka saling bekerja sama menentang penjajahan dan memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia.
Syahab adalah seorang ulama, pejuang, dan tokoh yang dituakan oleh
masyarakat. Dia menjadi tempat meminta nasihat, petunjuk, dan mengadu
segala hal, baik yang berkenaan dengan masalah keagamaan maupun
kedunian. Hal inilah yang menyebabkan dirinya memperoleh beberapa gelar,
yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.

Sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan, Tuanku nan


Renceh dari Kamang, Agam menunjuknya sebagai imam (pemimpin) bagi
kaum Padri di Bonjol. Dia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku
Imam Bonjol.
Kehidupan Imam Bonjol mencerminkan keteladanan dan kesederhanaan.
Patutlah jika Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Agama memilih
dirinya untuk ditulis biografinya, dengan harapan perjuangannya dapat
dijadikan sebagai pedoman hidup oleh generasi selanjutnya.

Imam Bonjol adalah putra tunggal dari pasangan Bayanuddin Syahab dan
Hamatun. Ayahnya merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai
Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Bonjol dilahirkan di kalangan keluarga
pedagang dan senang merantau. Inilah yang menyebabkan dirinya pernah
dikirim ke Malaysia untuk mendapatkan pendidikan formal Sekolah Rakyat
Desa (setingkat Sekolah Dasar) pada 1779.

Setelah dewasa, dia belajar agama Islam kepada Syekh Ibrahim Kumpulan di
Bonjol pada 1809–1814. Selanjutnya, antara tahun 1818 dia memperdalam
ilmu Tarekat Naqsyabandiyah di Bonjol. Dia juga tertarik mempelajari budi
bahasa yang luhur, tingkah laku, dan kearifan.

Dia mempunyai beberapa orang istri, tetapi hanya satu yang


mendampinginya hingga meninggal, yaitu Hajjah Solehah. Melalui
pernikahannya dengan Solehah, dia dikaruniai 10 orang anak, yaitu lima
orang anak laki-laki dan lima orang anak perempuan. Anak-anaknya adalah
Hasan, Hasyim, Harun al-Rasyid, Syahrudin, Djusnah, Sawwadjir, Hasanah,
Rofiah, Cholidi, dan Nur Baiti.
KAPITAN PATTIMURA

yang bernama asli Thomas Matulessy, ini lahir di Negeri Haria, Saparua,
Maluku tahun 1783. Perlawanannya terhadap penjajahan Belanda pada
tahun 1817 sempat merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga
bulan setelah sebelumnya melumpuhkan semua tentara Belanda di
benteng tersebut. Namun beliau akhirnya tertangkap. Pengadilan
kolonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung padanya. Eksekusi
yang dilakukan pada tanggal 16 Desember 1817 akhirnya merenggut
jiwanya. 

Perlawanan sejati ditunjukkan oleh pahlawan ini dengan keteguhannya


yang tidak mau kompromi dengan Belanda. Beberapa kali bujukan
pemerintah Belanda agar beliau bersedia bekerjasama sebagai syarat
untuk melepaskannya dari hukuman gantung tidak pernah
menggodanya. Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra
Kesuma Bangsa daripada hidup bebas sebagai penghianat yang
sepanjang hayat akan disesali rahim ibu yang melahirkannya.

Dalam sejarah pendudukan bangsa-bangsa eropa di Nusantara, banyak


wilayah Indonesia yang pernah dikuasai oleh dua negara kolonial secara
bergantian. Terkadang perpindahtanganan penguasaan dari satu negara
ke negara lainnya itu malah kadang secara resmi dilakukan, tanpa
perebutan. Demikianlah wilayah Maluku, daerah ini pernah dikuasai
oleh bangsa Belanda kemudian berganti dikuasai oleh bangsa Inggris
dan kembali lagi oleh Belanda. 

Thomas Matulessy sendiri pernah mengalami pergantian penguasaan


itu. Pada tahun 1798, wilayah Maluku yang sebelumnya dikuasai oleh
Belanda berganti dikuasai oleh pasukan Inggris. Ketika pemerintahan
Inggris berlangsung, Thomas Matulessy sempat masuk dinas militer
Inggris dan terakhir berpangkat Sersan. 

Namun setelah 18 tahun pemerintahan Inggris di Maluku, tepatnya


pada tahun 1816, Belanda kembali lagi berkuasa. Begitu pemerintahan
Belanda kembali berkuasa, rakyat Maluku langsung mengalami
penderitaan. Berbagai bentuk tekanan sering terjadi, seperti bekerja
rodi, pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan lain sebagainya.
Tidak tahan menerima tekanan-tekanan tersebut, akhirnya rakyat pun
sepakat untuk mengadakan perlawanan untuk membebaskan diri.
Perlawanan yang awalnya terjadi di Saparua itu kemudian dengan
cepat merembet ke daerah lainnya diseluruh Maluku. 

Di Saparua, Thomas Matulessy dipilih oleh rakyat untuk memimpin


perlawanan. Untuk itu, ia pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura.
Pada tanggal 16 mei 1817, suatu pertempuran yang luar biasa terjadi.
Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut
berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam
benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg. 

Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali


benteng itu juga dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil,
selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan
Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja
benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran
dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan
persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya
kewalahan dan terpukul mundur. 

Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap


pasukan Belanda. Bersama beberapa anggota pasukannya, dia dibawa
ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk agar bersedia
bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya. 

Akhirnya dia diadili di Pengadilan kolonial Belanda dan hukuman


gantung pun dijatuhkan kepadanya. Walaupun begitu, Belanda masih
berharap Pattimura masih mau berobah sikap dengan bersedia
bekerjasama dengan Belanda. Satu hari sebelum eksekusi hukuman
gantung dilaksanakan, Pattimura masih terus dibujuk. Tapi Pattimura
menunjukkan kesejatian perjuangannya dengan tetap menolak bujukan
itu. Di depan benteng Victoria, Ambon pada tanggal 16 Desember 1817,
eksekusi pun dilakukan. 

Kapitan Pattimura gugur sebagai Pahlawan Nasional. Dari


perjuangannya dia meninggalkan pesan tersirat kepada pewaris bangsa
ini agar sekali-kali jangan pernah menjual kehormatan diri, keluarga,
terutama bangsa dan negara ini.

SISINGAMANGARAJA

Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 –


meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur 62 tahun)
adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara,
pejuang yang berperang melawan Belanda, kemudian
diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia sejak tanggal 9 November 1961
berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sebelumnya ia
dimakamkan di Tarutung Tapanuli Utara, lalu dipindahkan
ke Soposurung, Balige pada tahun 1953.

Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar,


yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo Batu. Ia juga
dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta
pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja
XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga
disebut juga sebagai raja imam.

Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di


negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door
policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan
modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda, dan yang
tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian
pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba,
di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan
negara-negara Eropa lainya.

Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan


monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda
ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan
Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan
tahun.

Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal


Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial
Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII.
Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat
untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja
XII di Bakara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di
Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig
Nommensen.

Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit


sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke
Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan[butuh
rujukan]. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah
memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian
mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari
1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai
dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle
bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel
Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada
tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Si
Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei
1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun
Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat
menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi.
Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa
Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut
dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia
Belanda.

Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII


terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun
sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti
Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur
juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.

Di antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil


melakukan konsolidasi pasukannya[butuh rujukan].
Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara
ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan
dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu pada tahun
1884

Martha Christina Tiahahu


Martha Christina Tiahahu adalah Pahlawan Nasional perempuan pertama
yang gugur di medan perang saat bertempur melawan Belanda demi
mempertahankan tanah Maluku yang kaya akan hasil bumi. Ia lahir di Nusa
Laut, Maluku, 4 Januari 1800 dan dibesarkan seorang diri oleh ayahnya,
Kapitan Paulus Tiahahu yang merupakan kawan baik dari Thomas
Mattulessi atau Kapitan Pattimura.

Sejak kecil, perempuan yang akrab disapa Martha Christina ini sering
mengikuti ayahnya dalam rapat pembentukan kubu-kubu pertahanan
hingga pada akhirnya di usia yang ketujuh belas tahun ia turut andil dalam
pertempuran melawan Belanda di desa Ouw, Ullath, pulau Saparua. Dalam
pertempuran itu, ia memimpin pasukan perang wanita dan mengobarkan
semangat juang pada pasukan agar terus ikut mendampingi pasukan laki-
laki dalam perebutan wilayah Maluku dari penjajah hanya berbekal bambu
runcing dengan ikat kepala melingkar di kepala.

Bersama dengan para pejuang tanah Maluku yang lain, Martha Christina
cukup membuat kerepotan Belanda. Saat itu, pimpinan Belanda,
Richemont, tewas tertembak dalam pertempuran membuat Belanda
semakin sengit dalam melancarkan aksinya. Dengan persenjataan
lengkap, pasukan Indonesia berhasil dipukul mundur dan beberapa
pentolan pasukan ditangkap untuk dijatuhi hukuman mati termasuk ayah
Martha Christina, Kapitan Paulus Tiahahu.

Mendengar kabar eksekusi yang akan dilakukan Belanda terhadap


ayahnya, Martha Christina berusaha untuk membebaskan ayahnya dari
hukuman yang dijatuhkan. Namun usahanya sia-sia, ayah Martha Christina
meninggal dalam eksekusi yang dilakukan Belanda terhadap beberapa
pejuang Indonesia di tanah Maluku yang berhasil ditangkap. Sepeninggal
ayahnya, Martha Christina digiring bersama pejuang lainnya yang
tertangkap untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi yang ada
di pulau Jawa.

Namun, dalam perjalanan menuju pulau Jawa, tepatnya di kapal Eversten,


Martha Christina melanjutkan aksi pemberontakannya terhadap Belanda
dengan aksi mogok makan dan mogok pengobatan. Dalam aksinya
tersebut, akhirnya Martha Christina meninggal di perjalanan menuju pulau
Jawa pada tanggal 2 Januari 1818. Jasadnya kemudian dibuang di laut
Banda dan namanya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun
1969. Berkat pengorbanannya tersebut, pemerintah Maluku membuat
monumen untuk mengenang jasa Martha Christina

RA KARTINI

Lahir pada 21 April 1979, R. A Kartini sendiri dikenal luas sebagai


tokoh emansipasi wanita di Indonesia. Putri dari Raden Mas Adipati
Ario Sosroningrat ini kemudian menjalani masa sekolah hingga usia
12 tahun, usia saat ia mulai dipingit. R.A Kartini sendiri mengenyam
pendidikannya di Europese Lagere School.

Setelah dipingit pada usia 12 tahun, Karini tetap melanjutkan proses


belajarnya di rumah, berlatih menulis dan membaca. Karena memiliki
kemampuan bahasa Belanda yang baik, ia lantas terus belajar dengan
berkirim surat dengan teman-temannya yang ada di Belanda.

Dari aktivitas bekirim surat dengan sahabat penanya ini, selain


mendapatkan ilmu dari dunia luar, Kartini juga  mendapatkan banyak
buku dan koran Eropa, yang dikirimkan oleh teman-temannya. 

Kartini muda memiliki keinginan untuk memajukan perempuan


Indonesia, yang pada masa tersebut hanya memiliki status sosial
yang sangat rendah. Ia merintis keinginannya ini dengan mengajari
anak-anak perempuan di sekitarnya untuk bisa menulis dan membaca.

Pada 12 November 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang


kala itu, Raden Adipati Joyodiningrat. Suaminya mendukung dan
memberikan kebebasan padanya, sehingga ia mampu mendirikan
sekolah wanita di kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Sekolah ini terus dikembangkan hingga pada 1912, Sekolah Wanita
oleh Yayasan Kartini resmi didirikan di Semarang. Menyusul
setelahnya sekolah wanita di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun,
hingga Cirebon.
Perjuangannya dalam mengangkat derajat Perempuan Indonesia
kemudian mendapat dukungan dari rekan dekatnya, Mr. J.H.
Abendanon, yang mengumpulkan surat-surat dari Kartini dan
kemudian menjadikannya sebuah buku berjudul Habis Gelap Terbitlah
Terang.

CUT NYAK DIEN

Cut Nyak Dhien  (Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa


Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang)
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang
melawan Belanda pada masa Perang Aceh.
            Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat
beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya
bernama Teuku Nanta Seutia. Cut Nyak Dien menerima pinangan Teuku
Umar pada tahun 1880. Hal ini meningkatkan moral semangat perjuangan
Aceh melawan Belanda. Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar
memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
            Pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur
tertembak peluru. Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan
Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan
mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai
kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa
berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin
tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga
jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal
ini membuat iba para pasukan-pasukannya.
            Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan
lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda
menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut
dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong dan
mencoba untuk melawan musuh. Namun, aksi Dhien berhasil dihentikan
oleh Belanda. Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil
melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan
oleh ayah dan ibunya.
                Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal
karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada
tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu
Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2
Mei 1964.

Anda mungkin juga menyukai