Sultan Ageng Tirtayasa, beliau adalah pahlawan yang berasal dari provinsi Banten.
Lahir pada tahun 1631. Beliau putra dari Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Ratu
Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640 - 1650.
Dimasa mudanya beliau diberi gelar Pangeran Surya. Peran Sultan Ageng dalam
perkembangan Islam di Banten sangat berpengaruh. Dia menginginkan Banten
mempunyai kerajaan Islam.
Sultan Ageng tidak hanya mendobrak perekonomian rakyat menjadi lebih baik
tetapi juga berperan besar di bidang keagamaan. Dia mengangkat Syekh Yusuf,
seorang ulama asal Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas
menyelesaikan urusan keagamaan dan penasehat sultan dalam bidang
pemerintahan.
Ketika menjadi raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal cerdas dan
menghargai pendidikan. Perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan
pesat.
Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang pemimpin yang sangat visioner, ahli
perencanaan wilayah dan tata kelola air, egaliter dan terbuka serta berwawasan
internasional.
Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai
pihak di sekitarnya atau di tempat yang jauh sekalipun.
Kisah Sultan Hasanuddin berawal pada tahun 1660, saat itu sedang gencar terjadi
peperangan antara kerajaan Gowa dengan pemerintahan VOC. Saat itu
pemerintahan Belanda dibantu oleh kerajaan bone yang sudah ditaklukan oleh
Belanda. Pada saat peperangan raja dari Kerajaan Bone wafat dalam
pertempuran.
Akhirnya peperangan itu berakhir damai tetapi tak berlangsung lama Sultan
Hasanuddin melawan kembali pemerintahan Belanda karena merasa dirugikan.
Beliau akhirnya mengambil 2 kapal milik Belanda yaitu kapal Leeuwin dan De
Walfis. Ini banyak diceritakan di cerita tentang biografi Sultan Hasanuddin.
Belanda marah besar dan akhirnya mengirim pasukan yang lebih banyak ke
Kerajaan Gowa. Pertempuran tersebut dipimpin oleh panglima Belanda yang
bernama Cornelis Spellman. Sultan Hasanuddin mengalami kewalahan dan
akhirnya memutuskan untuk menandatangani perjanjian bongaya.
Berawal dari hak hukum Tawan yang menyatakan bahwa kapal dari pemerintah
manapun apabila bersandar maupun terdampar di wilayah perairan Bali maka
menjadi milik kerajaan Bali. Saat itu, pemerintah Belanda menolak dengan
adanya hak Tawan yang sudah barang tentu merugikan pihaknya.
Mereka menolak untuk menghapuskan perjanjian yang bagi Ketut Jelantik akan
merugikan warganya. Karena penolakan itulah akhirnya pecah perang yang
terjadi antara Buleleng dan Belanda pada tahun 1846 yang menghasilkan
kekalahan dari pihak Buleleng. Istana Buleleng berhasil dikuasai Belanda yang
membuat raja Buleleng dan patihnya melarikan diri ke daerah Jagaraga.
Pihak Belanda merasa kurang puas hanya merebut istana Buleleng, mereka
berlanjut dengan mengejar Ketut Jelantik dan raja ke daerah Jagaraga. Di sana,
ayah dari tiga anak ini bersembunyi di benteng-benteng pertahanan yang
dibuatnya bersama dengan para prajurit. Siasat perang yang menyatakan bahwa
daerah benteng mempunyai bentuk bangunan yang sulit dijangkau oleh meriam,
Ketut Jelantik memilih untuk bertahan dan menyusun strategi perang. Benar
saja, keteguhan sikap yang menolak adanya penghapusan hak hukum Tawan
nyatanya mengantarkan Buleleng pada peperangan yang cukup sengit.
Peperangan yang meletus pada bulan Juni 1848 ini tak hanya melibatkan tentara
Belanda, tapi juga kerajaan-kerajaan yang berhasil diberdaya Belanda untuk
tunduk kepada Belanda. Berhasil memukul mundur tentara Belanda pada perang
Jagaraga I, pada tahun 1849 Belanda kembali menyerang wilayah Jagaraga.
Dengan pengalaman strategi yang pernah dipelajari, maka pada 16 April 1849,
akhirnya Buleleng jatuh ke tangan Belanda.
Pangeran Diponegoro
Imam Bonjol adalah putra tunggal dari pasangan Bayanuddin Syahab dan
Hamatun. Ayahnya merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai
Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Bonjol dilahirkan di kalangan keluarga
pedagang dan senang merantau. Inilah yang menyebabkan dirinya pernah
dikirim ke Malaysia untuk mendapatkan pendidikan formal Sekolah Rakyat
Desa (setingkat Sekolah Dasar) pada 1779.
Setelah dewasa, dia belajar agama Islam kepada Syekh Ibrahim Kumpulan di
Bonjol pada 1809–1814. Selanjutnya, antara tahun 1818 dia memperdalam
ilmu Tarekat Naqsyabandiyah di Bonjol. Dia juga tertarik mempelajari budi
bahasa yang luhur, tingkah laku, dan kearifan.
yang bernama asli Thomas Matulessy, ini lahir di Negeri Haria, Saparua,
Maluku tahun 1783. Perlawanannya terhadap penjajahan Belanda pada
tahun 1817 sempat merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga
bulan setelah sebelumnya melumpuhkan semua tentara Belanda di
benteng tersebut. Namun beliau akhirnya tertangkap. Pengadilan
kolonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung padanya. Eksekusi
yang dilakukan pada tanggal 16 Desember 1817 akhirnya merenggut
jiwanya.
SISINGAMANGARAJA
Sejak kecil, perempuan yang akrab disapa Martha Christina ini sering
mengikuti ayahnya dalam rapat pembentukan kubu-kubu pertahanan
hingga pada akhirnya di usia yang ketujuh belas tahun ia turut andil dalam
pertempuran melawan Belanda di desa Ouw, Ullath, pulau Saparua. Dalam
pertempuran itu, ia memimpin pasukan perang wanita dan mengobarkan
semangat juang pada pasukan agar terus ikut mendampingi pasukan laki-
laki dalam perebutan wilayah Maluku dari penjajah hanya berbekal bambu
runcing dengan ikat kepala melingkar di kepala.
Bersama dengan para pejuang tanah Maluku yang lain, Martha Christina
cukup membuat kerepotan Belanda. Saat itu, pimpinan Belanda,
Richemont, tewas tertembak dalam pertempuran membuat Belanda
semakin sengit dalam melancarkan aksinya. Dengan persenjataan
lengkap, pasukan Indonesia berhasil dipukul mundur dan beberapa
pentolan pasukan ditangkap untuk dijatuhi hukuman mati termasuk ayah
Martha Christina, Kapitan Paulus Tiahahu.
RA KARTINI