Anda di halaman 1dari 11

I Gusti Ketut Jelantik

Nama Lengkap : I Gusti Ketut Jelantik


Alias : Ketut Jelantik
Profesi : Pahlawan Nasional
Agama : Hindu
Warga Negara : Indonesia

Istri : I Gusti Ayu Made Geria, I Gusti Ayu Kompyang, Gusti Biyang Made Saji, Jero
Sekar
Anak : I Gusti Ayu Jelantik, I Gusti Ayu Made Sasih, I Gusti Bagus Weda Tarka

BIOGRAFI
I Gusti Ketut Jelantik adalah pahlawan nasional Indonesia. Dia mendapatkan penghargaan
berupa gelar Pahlawan Nasional menurut SK Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993 karena
memang layak disematkan pada berkat usahanya yang tetap teguh membela tanah
kelahiran atas kekuasaan Belanda kala itu.

Berawal dari hak hukum Tawan yang menyatakan bahwa kapal dari pemerintah manapun
apabila bersandar maupun terdampar di wilayah perairan Bali maka menjadi milik kerajaan
Bali. Saat itu, pemerintah Belanda menolak dengan adanya hak Tawan yang sudah barang
tentu merugikan pihaknya.
Kapal dagang Belanda terdampar di daerah Prancak, Jebrana yang merupakan wilayah dari
kerajaan Buleleng disita oleh kerajaan Buleleng yang membuat pemerintah Belanda
meradang. Tak setuju dengan adanya peraturan hak Tawan yang mengakibatkan kapalnya
terkena Tawan Karang, pemerintah Belanda menuntut untuk penghapusan hukum tersebut
dan menyarankan agar pihak kerajaan Buleleng mengakui kekuasaan Belanda di Hindia
Belanda.

Tuntutan yang bagi patih kerajaan Buleleng, Ketut Jelantik, sangat meremehkan tersebut
akhirnya ditanggapi dengan sikap meradang. Ia bahkan bersumpah selama hidupnya tidak
akan pernah tunduk pada kekuasaan Belanda demi apapun alasannya. Suami dari I Gusti
Ayu Made Geria ini lebih memilih untuk berperang dibandingkan mengakui kedaulatan dan
kekuasaan pemerintah Belanda.

Memilih jarang peperangan. Begitulah tindakan berani Ketut Jelantik dalam menghadapi
pemerintah Belanda. Pada tahun 1943, ketika pemerintah Belanda berhasil meminta
persetujuan beberapa raja dari kerajaan-kerajaan Bali untuk menghapuskan hak hukum
Tawan dan mengakui kekuasaan Belanda, kerajaan Buleleng tetap pada pendiriannya.
Mereka menolak untuk menghapuskan perjanjian yang bagi Ketut Jelantik akan merugikan
warganya. Karena penolakan itulah akhirnya pecah perang yang terjadi antara Buleleng dan
Belanda pada tahun 1846 yang menghasilkan kekalahan dari pihak Buleleng. Istana
Buleleng berhasil dikuasai Belanda yang membuat raja Buleleng dan patihnya melarikan diri
ke daerah Jagaraga.

Kurang puas hanya merebut istana Buleleng, Belanda mengejar Ketut Jelantik dan raja ke
daerah Jagaraga. Di sana, ayah dari tiga anak ini bersembunyi di benteng-benteng
pertahanan yang dibuatnya bersama dengan para prajurit. Siasat perang yang menyatakan
bahwa daerah benteng mempunyai bentuk bangunan yang sulit dijangkau oleh meriam,
Ketut Jelantik memilih untuk bertahan dan menyusun strategi perang. Benar saja, keteguhan
sikap yang menolak adanya penghapusan hak hukum Tawan nyatanya mengantarkan
Buleleng pada peperangan yang cukup sengit.
Peperangan yang meletus pada bulan Juni 1848 ini tak hanya melibatkan tentara Belanda,
tapi juga kerajaan-kerajaan yang berhasil diberdaya Belanda untuk tunduk kepada Belanda.
Berhasil memukul mundur tentara Belanda pada perang Jagaraga I, pasa tahun 1849
Belanda kembali menyerang wilayah Jagaraga. Dengan pengalaman strategi yang pernah
dipelajari, maka pada 16 April 1849, akhirnya Buleleng jatuh ke tangan Belanda.

Kalah dalam berperang, Ketut Jelantik melarikan diri ke pegunungan Batur Kintamani. Di
sana, ia bertahan di perbukitan Bale Pundak sampai akhirnya gugur dalam perjuangan
ketika Belanda mengetahui gerak geriknya dan berhasil mengepungnya. Berkat usahanya
yang gigih dalam mempertahankan tanah kelahiran, Ketut Jelantik berhak mendapatkan
gelar Pahlawan Nasional menurut SK tahun 1993. Penghargaan tersebut sepadan dengan
pengorbanannya.
Biografi Pahlawan Agama Hindu

1. Untung Suropati
Untung Suropati (lahir di Bali, 1660 – meninggal dunia di Bangil, Jawa Timur, 5
Desember 1706 pada umur 45/46 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang
berjuang di Pulau Jawa. Ia telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional
Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.

Asal Usul Si Untung

Untung Suropati, Nama aslinya tidak diketahui. Menurut Babad Tanah Jawi ia berasal
dari Bali yang ditemukan oleh Kapten van Beber, seorang perwira VOC yang ditugaskan
di Makasar.

Kapten van Beber kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia yang bernama
Moor. Sejak memiliki budak baru, karier dan kekayaan Moor meningkat pesat. Anak kecil itu
dianggap pembawa keberuntungan sehingga diberi nama Si Untung.

Ketika Untung berumur 20 tahun, ia dimasukkan penjara oleh Moor karena berani menikahi
putrinya yang bernama Suzane. Untung kemudian menghimpun para tahanan dan berhasil
kabur dari penjara dan menjadi buronan.

Mendapat Nama Surapati

Pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa raja Banten dikalahkan VOC. Putranya yang
bernama Pangeran Purbaya melarikan diri ke Gunung Gede. Ia memutuskan menyerah
tetapi hanya mau dijemput perwira VOC pribumi.

Kapten Ruys (pemimpin benteng Tanjungpura) berhasil menemukan kelompok Untung.


Mereka ditawari pekerjaan sebagai tentara VOC daripada hidup sebagai buronan. Untung
pun dilatih ketentaraan, diberi pangkat letnan, dan ditugasi menjemput Pangeran Purbaya.

Untung menemui Pangeran Purbaya untuk dibawa ke Tanjungpura. Datang pula pasukan
Vaandrig Kuffeler yang memperlakukan Pangeran Purbaya dengan kasar. Untung tidak
terima dan menghancurkan pasukan Kuffeler di Sungai Cikalong, 28 Januari 1684.

Pangeran Purbaya tetap menyerah ke Tanjungpura, tapi istrinya yang bernama Gusik
Kusuma meminta Untung mengantarnya pulang ke Kartasura. Untung kini kembali menjadi
buronan VOC. Antara lain ia pernah menghancurkan pasukan Jacob Couper yang
mengejarnya di desa Rajapalah.

Ketika melewati Cirebon, Untung bertengkar dengan Raden Surapati anak angkat sultan.
Setelah diadili, terbukti yang bersalah adalah Suropati. Surapati pun dihukum mati. Sejak itu
nama Surapati oleh Sultan Cirebon diserahkan kepada Untung.

Terbunuhnya Kapten Tack

Untung alias Suropati tiba di Kartasura mengantarkan Raden Ayu Gusik Kusuma pada
ayahnya, yaitu Patih Nerangkusuma. Nerangkusuma adalah tokoh anti VOC yang gencar
mendesakAmangkurat II agar mengkhianati perjanjian dengan bangsa Belanda itu.
Nerangkusuma juga menikahkan Gusik Kusuma dengan Suropati.

Kapten François Tack (perwira VOC senior yang ikut berperan dalam
penumpasan Trunajaya dan Sultan Ageng Tirtayasa) tiba di Kartasura bulan Februari 1686
untuk menangkap Suropati.Amangkurat II yang telah dipengaruhi Nerangkusuma, pura-pura
membantu VOC.

Pertempuran pun meletus di halaman keraton. Pasukan VOC hancur. Sebanyak 75


orang Belanda tewas. Kapten Tack sendiri tewas di tangan untung suropati.Tentara Belanda
yang masih hidup menyelamatkan diri ke benteng mereka.

Bergelar Tumenggung Wiranegara

Amangkurat II takut pengkhianantannya terbongkar. Ia merestui Suropati dan


Nerangkusuma merebut Pasuruan. Di kota itu, Suropati mengalahkan bupatinya, yaitu
Anggajaya, yang kemudian melarikan diri ke Surabaya. Bupati Surabaya bernama Adipati
Jangrana tidak melakukan pembalasan karena ia sendiri sudah kenal dengan Suropati
di Kartasura.

Untung Suropati pun mengangkat diri menjadi bupati Pasuruan bergelar Tumenggung
Wiranegara.

Pada tahun 1690 Amangkurat II pura-pura mengirim pasukan untuk merebut Pasuruan.
Tentu saja pasukan ini mengalami kegagalan karena pertempurannya hanya bersifat
sandiwara sebagai usaha mengelabui VOC.

Kematian Untung Suropati

Sepeninggal Amangkurat II tahun 1703, terjadi perebutan


takhta Kartasura antara Amangkurat III melawan Pangeran Puger. Pada tahun
1704 Pangeran Puger mengangkat diri menjadiPakubuwana I dengan dukungan VOC.
Tahun 1705 Amangkurat III diusir dari Kartasura dan berlindung ke Pasuruan.

Pada bulan September 1706 gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madura,


dan Surabaya dipimpin Mayor Goovert Knole menyerbu Pasuruan. Pertempuran di benteng
Bangil akhirnya menewaskan Untung Suropati alias Wiranegara tanggal 17 Oktober 1706.
Namun ia berwasiat agar kematiannya dirahasiakan.

Makam Suropati pun dibuat rata dengan tanah. Perjuangan dilanjutkan putra-putranya
dengan membawa tandu berisi Suropati palsu.

Pada tanggal 18 Juni 1707 Herman de Wilde memimpin ekspedisi mengejar Amangkurat III.
Ia menemukan makam Suropati yang segera dibongkarnya. Jenazah Suropati pun dibakar
dan abunya dibuang ke laut.

Perjuangan Putra-Putra Suropati

Putra-putra Untung Suropati, antara lain Raden Pengantin, Raden Suropati, dan Raden
Suradilaga memimpin pengikut ayah mereka (campuran orang Jawa dan Bali). Sebagian
dari mereka ada yang tertangkap bersama Amangkurat III tahun 1708 dan ikut dibuang
ke Srilangka.

Sebagian pengikut Untung Suropati bergabung dalam pemberontakan Arya Jayapuspita


di Surabaya tahun 1717. Pemberontakan ini sebagai usaha balas dendam atas dihukum
matinya Adipati Jangrana yang terbukti diam-diam memihak Suropati dalam perang tahun
1706.

Setelah Jayapuspita kalah tahun 1718 dan mundur ke Mojokerto, pengikut Suropati masih
setia mengikuti. Mereka semua kemudian bergabung dalam pemberontakan Pangeran Blitar
menentangAmangkurat IV yang didukung VOC tahun 1719. Pemberontakan ini berhasil
dipadamkan tahun 1723. Putra-putra Untung Suropati dan para pengikutnya
dibuang VOC ke Srilangka.

Untung Suropati dalam Karya Sastra

Kisah Untung Suropati yang legendaris cukup banyak ditulis dalam bentuk sastra.
Selain Babad Tanah Jawi, juga terdapat antara lain Babad Suropati.

Penulis Hindia Belanda Melati van Java (nama samaran dari Nicolina Maria Sloot) juga
pernah menulis roman berjudul Van Slaaf Tot Vorst, yang terbit pada tahun 1887. Karya ini
kemudian diterjemahkan oleh FH Wiggers dan diterbitkan tahun 1898 dengan judul Dari
Boedak Sampe Djadi Radja. Penulis pribumi yang juga menulis tentang kisah ini adalah
sastrawan Abdul Muis dalam novelnya yang berjudul Surapati.
2. I Gusti Ngurah Rai

Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai (lahir di Desa Carangsari, Petang, Kabupaten
Badung, Bali, Hindia Belanda, 30 Januari 1917 – meninggal di Marga, Tabanan, Bali,
Indonesia, 20 November 1946 pada umur 29 tahun) adalah seorang pahlawan Indonesia
dari Kabupaten Badung, Bali.

Ngurah Rai memiliki pasukan yang bernama “Ciung Wenara” melakukan pertempuran terakhir
yang dikenal dengan nama Puputan Margarana. (Puputan, dalam bahasa bali, berarti “habis-
habisan”, sedangkan Margarana berarti “Pertempuran di Marga”; Marga adalah sebuah desa
ibukota kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali). Bersama 1.372 anggotanya
pejuang MBO (Markas Besar Oemoem) Dewan Perjoeangan Republik Indonesia Sunda Kecil
(DPRI SK) dibuatkan nisan di Kompleks Monumen de Kleine Sunda Eilanden, Candi Marga,
Tabanan. Detil perjuangan I Gusti Ngurah Rai dan resimen CW dapat disimak dari beberapa
buku, seperti “Bergerilya Bersama Ngurah Rai” (Denpasar: BP, 1994) kesaksian salah
seorang staf MBO DPRI SK, I Gusti Bagus Meraku Tirtayasa peraih “Anugrah Jurnalistik
Harkitnas 1993″, buku “Orang-orang di Sekitar Pak Rai: Cerita Para Sahabat Pahlawan
Nasional Brigjen TNI (anumerta) I Gusti Ngurah Rai” (Denpasar: Upada Sastra, 1995), atau
buku “Puputan Margarana Tanggal 20 November 1946″ yang disusun oleh Wayan Djegug A
Giri (Denpasar: YKP, 1990).

Pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra dan kenaikan pangkat menjadi


Brigjen TNI (anumerta). Namanya kemudian diabadikan dalam nama bandar udara di Bali,
Bandara Ngurah Rai.
Biografi Pahlawan Agama Budha

1. Jenderal Gatot Subroto

Salah satu pahlawan nasional beragama Buddha yang terjun langsung dalam berbagai
pertempuran melawan penjajah adalah Jenderal Gatot Subroto. Ia adalah tokoh asal
Banyumas, Jawa Tengah yang merupakan penggagas akademi militer gabungan –sekarang
dikenal dengan istilah AD, AU, dan AL– untuk membina para perwira muda.
Jenderal Gatot Subroto dikenal sering membantu perkembangan agama Buddha di
Indonesia kala Buddhisme luntur dan berusaha disebarkan lagi di Nusantara. Istrinya
bahkan pernah memimpin rombongan wanita Buddhis perwakilan dari Indonesia dalam
Konferensi Wanita Buddhis Sedunia di Jepang pada tahun 1961.

2. R.A. Kartini

Agama Buddha tidak hanya menarik perhatian dua perwira tersohor semasa perjuangan
kemerdekaan. Raden Ajeng Kartini, pelopor pejuang hak-hak perempuan juga menjadi salah
satu pahlawan nasional yang memiliki keyakinan pada ajaran Buddha.
Lewat surat-surat kepada sahabat-sahabatnya di luar negeri ketika ia memperjuangkan hak-
hak perempuan, R.A. Kartini seringkali menggunakan istilah yang berhubungan dengan
Buddhisme seperti ”Boeddhabeeld ” yang berarti arca Buddha, ”Boeddha-kindje” yang
berarti anak Buddha, ”Boeddhisme” yang berarti Buddhisme, dan ”Bodhisatwa” yang berarti
calon Buddha. Ia bahkan memilih untuk menjadi vegetarian dan menyebut dirinya sendiri
“anak Buddha”.

Dalam buku “Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang), salah satu surat
Kartini kepada R.M. Abendanon-Mandri yang berhasil dikumpulkan oleh J.H. Abendanon,
tertulis kutipan pernyataan dari Kartini mengenai pilihannya bervegetarian: Ik ben een
Boeddha-kindje, weet u, en dat is al een reden om geen dierlijk voedsel te gebruiken; Saya
adalah anak Buddha, Anda tahu, itu alasan saya tidak memakan makanan hewani. (Door
Duisternis tot Licht: 277)

Dalam tiga suratnya yang lain, Kartini memuji buku karya Harold Fielding berjudul ”De Ziel
van een Volk” (Jiwa Suatu Bangsa) yang diterjemahkan oleh Felix Orrt ke dalam bahasa
Inggris. Buku ini berisi pengalaman dan pengetahuan penulis mengenai ajaran Buddha
serta bagaimana masyarakat Myanmar menerapkan dan menerjemahkan ajaran dalam
kehidupan mereka. De Ziel van een Volk juga membahas mengenai kedudukan kaum
perempuan yang secara umum setara dengan pria, pernikahan yang dianggap murni urusan
duniawi bukan urusan agama, dan peran perempuan dalam keagamaan yang ”lebih religius
tapi tidak serius”, yang berbanding terbalik dengan kaum laki-lakinya.

Gagasan Kartini mengenai emansipasi wanita kemudian lahir dan berkembang di Indonesia.
Wanita Jepara yang banyak terinspirasi oleh ajaran Buddha ini menjadi satu lagi bukti
bahwa keberagaman dan perbedaan menimbulkan banyak dampak positif dan bahwa
keberagaman adalah napas bangsa yang harus kembali berembus di usia ke-70 ini.
Biografi Pahlawan Agama Islam

1. KH. Hasyim Asyari


Beliau adalah sosok yang tidak asing di kalangan Nahdlatul Ulama. Pendiri Nahdlatul Ulama
ini dikenal sebagai "master plan pesantren" yang memiliki ilmu agama yang sangat tinggi.
Sepulangnya dari Mekah pada tahun 1899 beliau mendirikan pesantren Tebuireng di
Jombang. Dan pada tahun 1926 b3liau mendirikan organisasi islam terbesar di Indonesia,
bahkan dunia, yakni Nahdlatul Ulama.

Sebagai seorang ulama sekaligus pimpinan peantren, beliau senantiasa membimbing dan
mengajar para santri dalam berbagai bidang disiplin keilmuan khususnya di bidang agama.
Disamping itu beliau juga produktif dalam membuat karya tulis. Diantara karya-karya KH.
Hasyim Asyari adalah bisa dilihat disini ( Karya-karya KH. Hasyim Asyari )

Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, salah satu moment penting


yang beliau lakukan adalah dengan mengeluarkan resolusi jihad. Melalui resolusi ini beliau
mewajibkan umat islam membela tanah air dan melawan para penjajah sebagai sebuah
jihad. Hingga kemudian umat islam berbondong-bondong melakukan perlawanan, terkhusus
dari kalangan peantren di Indonesia.

2. KH. Ahmad Dahlan


KH. Ahmad Dahlan atau Darwis lahir pada 1 Agustus 1968 di Yoyakarta. Nama beliau tidak
asing di kalangan umat islam nusantara. Sebagai Pendiri organisasi Muhammadiyah beliau
banyak melaksanakan cita-cita pembaruan islam di Indonesia.
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia
melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia
menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657
tahun 1961.
BIOGRAFI PAHLAWAN NASIONAL BERAGAMA
HINDU, BUDHA DAN ISLAM

KLIPING

Nama
M. Danan Fathurahman

SDN DUTA PAKUAN KOTA BOGOR


2017

Anda mungkin juga menyukai