PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Saat ini, kita telah menikmati kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang kita
nikmati sekarang tidak diperoleh secara cuma-Cuma. Melainkan melalui proses
perjuangan yang panjang dan dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Bali, telah
terjadi beberapa kali proses perjuangan melawan penjajah di beberapa tempat. Antara
lain perang Jagaraga, perang Puputan, perang Margarana, dan lain sebagainya.
Di dalam Indonesia kesadaran masyarakatnya akan sejarah negaranya sendiri
masih terbilang rendah, seakan melupakan petuah dari Presiden Indonesia yang
pertama kita yaitu Ir. Soekarno, ia mengatakan "Jas Merah" Jangan sekali sekali
melupakan sejarah. Disamping itu pula sangat dirasakan bahwa penulisan sejarah yang
ada kebanyakan masih merupakan hasil penulisan orang-orang asing terutama Belanda.
Disadari bahwa Indonesia ini tumbuh dari kebinekaan sifat, corak, bentuk, budayanya
yang tercermin jelas pada bentuk geografisnya dan suku-suku bangsa yang ada, dan
masing-masing dari suku itu dengan caranya sendiri didalam perjuangan melawan
penjajahan Belanda telah menunjukkan bentuknya dengan satu tujuan adalah bebas dari
belenggu penjajahan.
Menurut sejarah, ada sejumlah puputan yang meletus di Bali. Namun, yang
terkenal dan termasuk hebat, terdapat sekitar dua puputan. Pertama, Puputan Jagaraga
yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng melawan imprealis Belanda. Strategi puputan
yang diterapkan ketika itu adalah sistem tawan karang dengan menyita transportasi laut
imprealis Belanda yang bersandar ke pelabuhan Buleleng. Kedua, puputan Margarana
yang berpusat di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tababan, Bali. Tokoh perang ini
adalah Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. I Gusti Ngurah Rai dilahirkan di Desa
Carangsari, Kabupaten Badung, Bali, 30 Januari 1917.
Puputan Margarana dianggap banyak pihak sebagai perang sengit yang pernah
bergulir di Pulau Dewata, Bali. Terdahap beberapa versi yang melatarbelakangi
meledaknya Puputan Margarana. Namun, jika kembali membalik lembaran sejarah
Indonesia, maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa perang ini terjadi akibat
ketidakpuasan yang lahir pasca Perjanjian Linggarjati. Perundingan itu terjadi pada 10
November 1945, antara Belanda dan pemerintahan Indonesia. Salah satu poin
Linggarjati membuat hati rakyat Bali terasa tercabik hatinya adalah tidak masuknya
daerah Bali menjadi bagian dari daerah teritorial Indonesia.
B. TUJUAN PENULISAN
1
1. Untuk mengetahui latar belakang peristiwa Perang Puputan Margarana
2. Untuk mengetahui tujuan Perang Puputan Margarana
3. Untuk mengetahui kronologi peristiwa terjadinya peristiwa perang Puputan.
4. Untuk mengetahui dampak dari terjadinya perang Puputan.
5. Mengetahui asal usul nama perang Puputan
C. RUMUSAN MASALAH
1. Apa latar belakang terjadinya perang Puputan Margarana?
2. Apa tujuan terjadinya Perang Puputan Margarana?
3. Bagaimana kronologi peristiwa terjadinya perang Puputan?
4. Apa dampak terjadinya dari Perang Puputan?
5. Asal usul nama disebut perang Puputan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
pasukan Belanda juga kesal karena adanya konsolidasi dan pemusatan
pasukan Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa Adeng, Kecamatan Marga,
Tabanan, Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya dari Bali dan
Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari pusat kedudukan pasukan
Ciung Wanara.
16 April
Bermula dari patroli keamanan Belanda di wilayah Klungkung pada 13—16
April 1908. Patroli ini sudah ditolak Raja Klungkung karena dianggap
melanggar kedaulatan Kerajaan Klungkung. Belanda berdalih patrol ini untuk
memeriksa dan mengamankan tempat-tempat penjualan candu sebagai
konsekuensi monopoli perdagangan candu yang dipegang Belanda. Kerabat
Raja, Cokorda Gelgel yang berada di barisan penentang ini, mempersiapkan
suatu penyerangan terhadap patroli Belanda. Benar saja, serangan terhadap
patroli Belanda terjadi di Gelgel. Serangan mendadak ini membuat Belanda
menderita kekalahan; 10 orang serdadu gugur termasuk Letnan Haremaker,
salah seorang pemimpin serdadu Belanda. Di pihak Gelgel kehilangan 12
prajurit termasuk I Putu Gledeg.
17 April 1908
Belanda melakukan serangan balasan terhadap Gelgel. Untuk mendapat
dukungan pasukan, Belanda mengirim pasukan dari Karangasem dengan masuk
dari arah Satria pada 16 April 1908 malam. Laskar Klungkung memberikan
perlawanan sengit hingga mengakibatkan tiga orang pasukan Belanda tewas dan
lima orang luka-luka. Pada 17 April 1908 pagi, pasukan Belanda mulai
menyerang Gelgel. Raja Klungkung sempat berusaha mencegah pertumpahan
darah ini dengan mengirim saudara raja, Cokorda Raka Pugog untuk berdamai
dengan Belanda dan menekan Cokorda Gelgel agar tidak melakukan
perlawanan. Namun, usaha ini gagal. Cokorda Gelgel tetap pada pendiriannya
dan Belanda malah berbalik mencurigai Cokorda Raga Pugog. Perang tak
terhindarkan di Gelgel. Dalam perang inilah digunakan meriam pusaka kerajaan
I Bangke Bahi. Namun, perang di Gelgel ini berakhir dengan kekalahan Gelgel.
Bahkan, Cokorda Raga Pugog ikut gugur dalam pertempuran ini. Bantuan
pasukan yang dikirim Raja Klungkung di bawah pimpinan Ida Bagus Jumpung
juga tak mampu memukul pasukan Belanda. Malah, Ida Bagus Jumpung ikut
gugur dalam pertempuran. Cokorda Gelgel bersama sisa pasukan mundur ke
Klungkung. Pada malam hari, laskar Gelgel menyerang perkemahan pasukan
Belanda yang mengakibatkan banyak serdadu Belanda luka-luka. Belanda
memutuskan mundur ke Gianyar. Residen Bali-Lombok, F.A. Liefrinck tiba di
Jumpai dengan membawa empat buah kapal perang sebagai alat intimidasi.
Residen mengultimatum raja dan pembesar Kerajaan Klungkung menyerah
tanpa syarat hingga 22 April 1908.
4
21 April 1908
Klungkung kini jelas-jelas dalam posisi perang dengan Belanda. Ekspedisi
khusus pun dikirimkan Belanda dari Batavia. Raja dan rakyat Klungkung
diultimatum untuk menyerah hingga 22 April 1908. Raja Klungkung tentu saja
menolak tudingan Belanda itu. Mulai 21 April 1908, Belanda memborbardir
istana Smarapura, Gelgel, dan Satria dengan tembakan meriam selama enam
hari berturut-turut. Sebelum melakukan serangan, Belanda mengeluarkan
ultimatum yang isinya agar Buleleng :
a. Mengakui kekuasaan Belanda
b. Hak tawan karang harus dihapus
c. Memberi perlindungan kepada perdagangan Belanda
27 April 1908
Ekspedisi khusus dari Batavia tiba dengan kapal perang dan persenjataan
lengkap di perairan Jumpai pada 27 April 1908 malam. Dari atas kapal,
Belanda kembali memberi ultimatum agar sampai tengah hari, Raja Klungkung
menyerah tanpa syarat. Raja Klungkung menjawab ultimatum itu dan meminta
penundaan waktu lima hari untuk berunding dengan para pejabat tinggi
kerajaan. Belanda menolak permintaan itu dan Klungkung terus ditembaki
meriam dari atas kapal.
28 April 1908
Perang pun dimulai. Karena persenjataan tidak seimbang, Belanda bisa
menguasai Kusamba dan Jumpai, meskipun rakyat di kedua desa itu melakukan
perlawanan sengit. Perlahan, pasukan Belanda pun merangsek menuju
Klungkung. Istana Smarapura terkepung. Cokorda Gelgel dan Dewa Agung
Gde Semarabawa gugur dalam menghadapi serdadu Belanda di benteng selatan.
Kabar inilah yang mendorong Dewa Agung Istri Muter bersama putra mahkota,
Dewa Agung Gde Agung turun ke medan perang mengikuti ibu suri, Dewa
Agung Muter. Semuanya berpakaian serbaputih, siap menyongsong maut.
Dewa Agung Muter bersama putra mahkota akhirnya gugur.
Mendengar permaisuri dan putra mahkota gugur di medan laga, tidak malah
membuat Dewa Agung Jambe menyerah, justru semakin bulat memutuskan
berperang sampai titik darah penghabisan. Dewa Agung Jambe keluar diiringi
seluruh keluarga istana dan prajurit yang setia maju menghadapi Belanda
dengan gagah berani. Karena persenjataan yang tidak imbang, mereka pun
gugur dalam berondongan peluru Belanda. Mereka menunjukkan jiwa patriotis
membela tanah kelahiran dan harga diri. Hari itu pun, 28 April 1908 sore, sekitar
pukul 15.00 kota Klungkung jatuh ke tangan Belanda. Sesudah Klungkung
diduduki maka berarti seluruh Bali dikuasi oleh pemerintah Belanda.
Perlu diketahui, istilah puputan berbeda dengan frasa “sampai titik darah
penghabisan”. Dan konon, perlawanan Pak Rai dan kawan-kawan yang
“sampai titik darah penghabisan” telah memberikan inspirasi kepada
penyusunan Sumpah Prajurit Sapta Marga nomor dua yang berbunyi: Kami
patriot Indonesia, pendukung serta pembela ideologi negara, yang
bertanggung jawab dan tidak kenal menyerah.
Walaupun frasa “tidak kenal menyerah” tidak sama benar dengan “sampai
titik darah penghabisan”, namun jika itu dilaksanakan, hasilnya bisa sama.
Contohnya, jika sebuah pasukan atau seorang prajurit yang tidak kenal
menyerah dapat meloloskan diri. Tetapi dalam keadaan yang tak mungkin
meloloskan diri dan tetap pantang menyerah, mungkin dia atau mereka
akan hancur. Itu sama saja dengan melawan sampai titik darah
penghabisan. Kedua frasa di atas tidak dapat disamakan dengan puputan,
karena ia mempunyai makna dan sejarahnya sendiri.
BAB III
6
A. KESIMPULAN
Perang Puputan Margarana Adalah Perang habis-habisan yang terjadi pada
tanggal 20 November 1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya
(Ciung Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau
Bali. Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan
persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda.
Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I
Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda
menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan
membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan
Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul
mundur serdadu Belanda. Perang sampai habis atau puputan inilah yang
kemudian mengakhiri hidup I Gusti Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang
kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20
November 1946 di Marga.
BAB IV
7
Belanda dan Indonesia mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara
diplomasi. Dikutip situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), selain
perjuangan dengan senjata, bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan juga melalui
diplomasi, yakni melalui meja perundingan. Salah satu perundingan, yakni Konferensi Meja Bundar
(KMB). Sebelum KMB, sudah berlangsung beberapa pertemuan dengan menghasilkan perjanjian,
seperti perjanjian Linggarjati dan perjanjian Renville. Perjanjian Linggarjati dilaksanakan pada 10
November 1946 di Linggarjati sebelah selatan Cirebon. Perjanjian Linggarjati ditandatangani pada
25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (Istana Merdeka), Jakarta.
Sejarah KMB
1. Pihak Indonesia
Pihak Indonesia diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta dan terdiri dari
12 delegasi secara keseluruhan.
8
Ir. Djuanda
Dr. Sukiman
Mr. Suyono Hadinoto
Dr. Sumitro Djojohadikusumo
Mr. Abdul Karim Pringgodigdo
Kolonel T.B. Simatupang
Mr. Muwardi
2. Pihak Belanda
Dalam KMB, pihak Belanda diwakili oleh BFO (Bijeenkomst voor
Federaal Overleg) yang mewakili berbagai negara yang diciptakan
Belanda di kepulauan Indonesia.
3. Pihak UNCI
Pihak UNCI atau United Nations Comissioner for Indonesia bertindak
sebagai penengah jalannya konferensi antara Indonesia dan Belanda.
Pembentukan UNCI dilakukan sebagai penengah dan mediator
perdamaian perselisihan Indonesia dan Belanda.
9
5. Republik Indonesia Serikat akan mengembalikan hak milik
Belanda dan memberikan hak-hak konsesi serta izin baru untuk
perusahaan-perusahaan Belanda.
6. Republik indonesia Serikat harus membayar semua utang
Belanda sejak tahun 1942.
7. Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan
catatan beberapa korvet akan diserahkan kepada RIS.
8. Tentara Kerajaan Belanda akan ditarik mundur, sedangkan
Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) akan dibubarkan dengan
catatan bahwa anggotanya yang diperlukan akan dimasukkan
dalam kesatuan TNI.
Dampak Konferensi Meja Bundar
Pengesahan dan penandatanganan isi Konferensi Meja Bundar
dilakukan pada tanggal 29 Oktober 1949. Hasil KMB ini
kemudian disampaikan kepada Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP).
10
Penyerahan kedaulatan menandai pengakuan Belanda atas berdirinya
Republik Indonesia Serikat dan wilayahnya mencakup semua bekas
wilayah jajahan Hindia-Belanda secara formal kecuali wilayah Irian
Barat. Irian barat diserahkan oleh Belanda setahun kemudian.
11