Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ni Luh Gede Diah Suardanhi

Kls : 12 MIPA 4
No : 19

Sejarah Puputan Margarana


Latar Belakang Perang Puputan
Perang Puputan adalah pertempuran sampai titik darah penghabisan yang dilakukan rakyat
Bali terhadap Belanda. Perang Puputan di Bali dikenal juga dengan Pertempuran Margarana,
karena perang terakhir terjadi di Desa Margarana.
Perang dilatarbelakangi ketika NICA (Netherlands Indies Civil Administration) atau Belanda
datang ke Indonesia dengan membawa Sekutu yang baru mengalahkan Jepang dalam Perang
Dunia II dengan maksud untuk melucuti persenjataan tentara Jepang. Kedatangan Belanda ini
tidak hanya terjadi di Pulau Jawa saja, tapi juga di Pulau Bali.
Para rakyat serta pejuang di Bali menolak kedatangan Belanda ini. Setelah itu, muncul
berbagai perlawanan terhadap Belanda. Oleh karena perlawanan yang semakin besar, Pihak
Belanda melakukan perundingan dengan I Gusti Ngurah Rai, Kepala Divisi Tentara
Keamanan Rakyat di wilayah Bali dan Nusa Tenggara.
Belanda yang diwakili Letkol J.B.T Konig mengajak I Gusti Ngurah Rai untuk
menyelesaikan konflik dengan damai. Perundingan ini ditolak oleh I Gusti Ngurah Rai, Ia
akan tetap melakukan perlawanan jika Belanda masih tetap berada di Bali.

Kronologi Kejadian Perang Puputan


Kejadian Perang Puputan Margarana bermula ketika Keamanan Belanda melakukan patroli di
Klungkung pada tanggal 13 sampai 16 April 1908. Raja Klungkung menolak patroli ini
karena dianggap melanggar kedaulatan dari Kerajaan Klungkung.
Belanda mengatakan bahwa patroli ini bertujuan untuk mengamankan serta memeriksa
tempat penjualan candu, karena pada saat itu perdagangan candu dimonopoli oleh Belanda.
Cokorda Gelgel, kerabat dari Raja Klungkung mempersiapkan penyerangan terhadap patroli
Belanda tersebut. Patroli tersebut dapat dikalahkan dengan mudah, sebanyak 10 prajurit
gugur termasuk pemimpin dari patroli Belanda.
Belanda kemudian melakukan serangan balasan kepada Gelgel. Perlawanan terjadi pada 17
April 1908 ketika Belanda mulai menyerang Gelgel. Raja Klungkung mengirimkan Cokorda
Raka Pogog untuk menghentikan pertumpahan darah, tapi hal ini gagal dilakukan dan
Cokorda Raka Pogog dicurigai oleh Belanda.

Gelgel mengalami kekalahan pada pertempuran ini. Ditambah lagi, Cokorda Raka Pogog ikut
gugur dalam Perang Puputan. Raja Klungkung terus mengirimkan pasukan, tapi tidak ada
yang dapat mengalahkan pasukan Belanda. Belanda semakin mendesak Kerajaan Klungkung
untuk menyerah tanpa syarat.

Oleh karena Kerajaan Klungkung yang tidak mengindahkan ultimatum tersebut, Belanda
akhirnya melakukan bombardir ke istana Gelgel, Satria dan Smarapura selama 6 hari
berturut-turut.

Pada tanggal 28 April 1908, perang dimulai. Persenjataan Belanda jauh lebih canggih
dibanding persenjataan rakyat Bali, hal ini membuat Belanda dengan mudah menguasai desa
Jumpai dan Kusamba. Belanda kemudian menguasai Klungkung. Perlawanan keluarga
kerajaan menjadi semakin besar, mereka sudah siap untuk melawan maut demi mengalahkan
pasukan Belanda. Meskipun semangat juang yang tinggi, Belanda jauh lebih kuat dengan
senapan nya membuat banyak keluarga kerajaan yang gugur di medan perang.

Akhirnya, Klungkung jatuh ke kekuasaan Belanda pada tanggal 28 April 1908. Setelah
Kerajaan Klungkung dikuasai, secara otomatis seluruh daerah Bali sudah berada dalam
kekuasaan Belanda. Perlawanan raja-raja bali terhadap belanda dikenal dengan sebutan
Perang Puputan yang maknanya adalah perang hingga titik darah penghabisan.

Di sisi lain, I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya yang disebut sebagai Ciung Wanara
melakukan perjalanan ke Gunung Agung. Saat di tengah perjalanan, pasukan ini dihadang
oleh pasukan Belanda di Desa Marga. Pertempuran sengit tak bisa terhindarkan dan terjadi
saat itu.

Pada 20 November 1946, Desa Marga menjadi arena pertempuran yang mencekam dengan
bunyi letupan meriam dan senjata. Para pasukan Ciung Wanara berhasil memukul mundur
pasukan Belanda. Belanda tidak mau kalah dan mengeluarkan bom dari pesawat udara untuk
menggempur pasukan I Gusti Ngurah Rai.
Pasukan Indonesia berjuang sampai titik darah penghabisan, begitu pula dengan I Gusti
Ngurah Rai. Tidak ada pasukan Indonesia yang selamat, semuanya gugur. Peristiwa ini
kemudian dikenang dengan nama Perang Puputan Margarana.

Tokoh Perang Puputan


Perang Puputan di Bali dipimpin oleh Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai. Beliau
lahir pada 30 Januari 1917 di Desa Carangsari, Kabupaten Badung , Bali. Ia dikenal ketika
bersama pasukannya melakukan pertempuran habis-habisan untuk merebut wilayah Bali dari
Belanda. Ia meninggal pada tanggal 20 November 1946 dan diangkat sebagai pahlawan
Indonesia dari Kabupaten Badung, Bali.

Pemerintah menganugerahi I Gusti Ngurah Rai dengan Bintang Mahaputra dan menaikkan
pangkatnya menjadi Brigjen TNI Anumerta. Namanya juga dijadikan sebagai nama bandara
di Bali.

Dewan Perjuangan Republik Indonesia Sunda Kecil juga membuatkan nisannya bersama
anggota pejuang Markas Besar Oemoem lainnya di Kompleks Monumen de Kleine Sunda
Eilanden, Tabanan. Kisah perjuangan dari I Gusti Ngurah Rai juga diabadikan dalam
berbagai tulisan. Jasa beliau dan pasukannya sangat besar bagi Indonesia.

Dampak Perang Puputan


Setelah Perang Puputan selesai, dampak dari perang ini adalah Belanda yang dapat
menguasai wilayah Bali. Selain itu, juga banyak korban yang gugur selama perang
berlangsung. I Gusti Ngurah Rai mengetahui apa yang benar menurutnya. Setiap tetes darah
dan nyawa yang dikorbankan oleh para pasukan tersebut, tidak ada yang sia-sia. Perjuangan
mereka memberikan semangat kepada para generasi penerus.

Monumen Margarana
Untuk mengenang Perang Puputan Margarana, Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa
Margarana dibangun di desa Marga. Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Lokasinya
berjarak sekitar 25 km dari Kota Denpasar. Peristiwa tersebut terjadi tepat di depan monumen
ini berdiri.
Luas dari Monumen Margarana adalah sekitar 9 hektar. Bangunan terbagi dalam bagian hulu,
tengah dan hilir. Konsep ini mengikuti konsep dari Tri Mandala.

Anda mungkin juga menyukai