Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH PERTEMPURAN MARGARANA DAN PERISTIWA

MERAH PUTIH DI MANADO

Disusun oleh :

1. Andhi Setiaki

2. Arista Eka Yunanta

3. Hasbi Salim

4. Kayla Aurelly Putri

5. Rafael Andira

6. Sefian Ardiansyah

SMA PRESTASI PRIMA

Jl. Hankam Raya No.89, RT.7/RW.4, Cilangkap, Cipayung, Kota Jakarta Timur,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13870
Pertempuran Margarana

Sejarah perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Bali terwujud dalam Puputan
Margarana tanggal 20 November 1946. Ini adalah pertempuran habis-habisan yang dilancarkan kaum
pejuang dan rakyat Bali melawan pasukan Belanda yang ingin berkuasa kembali. Puputan Margarana
merupakan salah satu perang terdahsyat yang terjadi di Bali pada masa Revolusi Fisik. Perang ini
dipimpin oleh Letnan Kolonel Inf. I Gusti Ngurah Rai. Puputan Margarana menjadi medan perjuangan
rakyat Bali yang tidak ingin dijajah lagi oleh Belanda. Dalam bahasa Bali, puputan dapat dimaknai
sebagai perang yang dilakukan hingga mati atau sampai titik darah penghabisan. Sedangkan Margarana
merujuk pada lokasi pertempuran yang kini menjadi kecamatan bernama Marga di Kabupaten Tabanan,
Bali.

A. Latar Belakang

Latar belakang dari peristiwa Pertempuran Margarana atau dikenal sebagai Puputan Margarana
bermula dari situasi politik di Indonesia pada masa setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus
1945. Saat itu, Indonesia masih harus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya dari Belanda
yang mencoba merebut kembali kendali atas wilayah-wilayah bekas jajahannya.

Pada tahun 1946, Belanda melancarkan operasi militer besar-besaran di Indonesia yang dikenal
dengan nama Agresi Militer Belanda I. Salah satu target operasi tersebut adalah Bali, yang saat itu masih
menjadi wilayah otonom dengan raja-raja setempat sebagai pemimpinnya. Belanda ingin merebut kendali
atas Bali untuk memudahkan operasi militer mereka di daerah sekitarnya. Namun, raja-raja Bali dan
sebagian besar rakyat Bali menolak tawaran Belanda untuk mengakui kedaulatan Belanda atas Bali.
Mereka memilih untuk bersatu dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dengan bantuan pasukan
Indonesia yang dipimpin oleh Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai.

Beberapa bulan berselang setelah proklamasi, NICA (Netherlands Indies Civil Administration)
alias Belanda datang kembali ke Indonesia dengan membonceng pasukan Sekutu yang baru saja
mengalahkan Jepang di Perang Dunia II. Masuknya NICA tidak hanya terjadi di pulau Jawa, daerah-
daerah lain Indonesia juga menjadi sasaran, salah satunya adalah Bali. Marwati Djoened Poeponegoro
dan kawan-kawan dalam Sejarah Nasional Indonesia VI (2008), menjelaskan bahwa tanggal 2 Maret
1946, dua batalyon pasukan NICA mendarat di Bali. Semula, kedatangan mereka bertujuan untuk
melucuti senjata tentara Jepang. Hadirnya pasukan Belanda di Pulau Dewata tentu saja ditentang oleh
kaum pejuang republik dan rakyat Bali. Mulai terjadilah pertempuran-pertempuran kecil antara para
pejuang Bali dengan Belanda.

NICA mengajak berundingan melalui surat melalui surat dari Letnan Kolonel J.B.T Konig kepada I Gusti
Ngurah Rai selaku Kepala Divisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk wilayah Sunda Kecil (Bali dan
Nusa Tenggara) dan sekitarnya. I Gusti Ngurah Rai dengan tegas menolak perundingan tersebut. Ia
menegaskan, selama Belanda masih menginjakkan kaki di Bali, perlawanan pejuang dan rakyat akan terus
dilakukan.

Pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda di Bali berlangsung sengit, dengan pasukan
Indonesia terusir dari wilayah utama di Gianyar. Akhirnya, pada 20 November 1946, Letnan Kolonel I
Gusti Ngurah Rai memutuskan untuk melakukan puputan (tradisi masyarakat di Bali yang berupa
tindakan perlawanan bersenjata habis-habisan sampai mati demi kehormatan tanah air) sebagai tanda
penghormatan terhadap martabat dan kehormatan Bali, serta untuk menghindari kehancuran lebih lanjut
dari rakyat Bali.

Peristiwa Puputan Margarana menjadi lambang perjuangan Bali melawan penjajahan dan menjadi bagian
penting dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setiap tahun, peristiwa ini diperingati sebagai
Hari Pahlawan Nasional di Bali dan dijadikan momen untuk menghormati para pahlawan yang telah
berjuang dan berkorban dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia khususnya di wilayah Bali.

B. Kronologi Jalannya Perang

Sudarmanto dalam buku Jejak-jejak Pahlawan (2007) menyebutkan, I Gusti Ngurah Rai
membentuk Batalyon Ciung Wanara yang mayoritas berisi pemuda untuk menghadapi Belanda di Bali.
Mereka diperintahkan oleh I Gusti Ngurah Rai untuk merebut senjata polisi NICA yang berada di
Tabanan, Bali. Pada tanggal 8 November 1946, operasi pelucutan senjata ini pun berhasil dilaksanakan.
Semua senjata diserahkan kepada pasukan I Gusti Ngurah Rai. Belanda yang mengetahui operasi
pelucutan senjata tersebut pun marah, terutama Wagimin, kepala polisi NICA saat itu.

Tak hanya itu, dibentuk pula basis-basis perjuangan di banyak desa di Bali. Perjuangan pasukan
Ciung Wanara pimpinan I Gusti Ngurah Rai mendapatkan dukungan penuh dari rakyat. Hal tersebut
diketahui dari penelitian "Peranan Masyarakat dalam Perang Kemerdekaan: Studi Kasus Desa Marga
dalam Peristiwa Puputan Margarana 20 November 1946 pada Masa Revolusi di Bali" karya Dewa Made
Alit. Disebutkan, beberapa desa di Bali yang menjadi basis perjuangan antara lain: Desa Marga, Desa
Kelaci, Desa Tegaljadi, Desa Selanbawak, Desa Banjar Adeng, Desa Banjar Ole, Desa Banjar Bedugul,
Desa Banjar Kelaci, dan lainnya.

Tidak tinggal diam, Belanda pun segera mengambil tindakan. Belanda memerintahkan kepada
seluruh pasukannya yang berada di sekitar Tabanan mulai dipusatkan di wilayah Tabanan. Mengetahui
apa yang dilakukan Belanda, I Gusti Ngurah Rai pun segera kembali ke Desa Marga, Bali. Tanggal 19
November 1946 malam hari, senjata prajurit NICA yang sedang berada di Tabanan direbut oleh tentara
rakyat pimpinan I Gusti Ngurah Rai. Aksi ini membuat Belanda murka.

Pada tanggal 20 November 1946, militer Belanda memutuskan untuk mengurung Desa Marga dan
memburu pasukan I Gusti Ngurah Rai yang berada didalamnya. Pasukan Ciung Wanara yang merasa
terkepung oleh pasukan Belanda pun tidak lantas menyerah dan melakukan perlawanan. Hebatnya lagi,
pasukan Ciung Wanara sempat berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Meski begitu, pertempuran
tersebut tak kunjung usai. Sebab, bala bantuan Belanda terus berdatangan dalam jumlah besar dengan
dilengkapi persenjataan modern dan didukung pesawat pengebom dari Makassar.

Meskipun dikepung dan kalah jumlah prajurit maupun persenjataan, I Gusti Ngurah Rai dan
pasukannya serta rakyat Bali pantang menyerah. Mereka bertekad tidak akan mundur sampai tetes darah
terakhir. Hingga akhirnya, kondisi jadi berbalik. Di mana, pasukan Ciung Wanara yang dipimpin oleh I
Gusti Ngurah Rai mulai terdesak hingga mundur ke area persawahan dan ladang jagung. Komando
puputan pun diserukan. Perang habis-habisan dilancarkan demi tegaknya kemerdekaan Indonesia
sekaligus demi harga diri rakyat Bali. Terjadilah pertempuran besar yang sejatinya tidak seimbang.

Pasukan Bali yang berjumlah kurang dari 100 orang seluruhnya gugur di medan laga, termasuk I Gusti
Ngurah Rai. Namun, Belanda juga mengalami kerugian besar. Sebanyak 400 orang tentaranya tewas.

C. Akhir Perlawanan Pertempuran Puputan Margarana

Meski kekuatan perang antara pasukan Ciung Wanara dan pasukan Belanda tidak seimbang, tak
membuat I Gusti Ngurah Rai menyerah. Beliau memerintahkan pasukannya untuk tetap berperang habis-
habisan. Sejak saat itu Perang Margarana dikenal dengan istilah Perang Puputan yang mengacu pada
perang sampai titik darah penghabisan. Setelah melalui pertempuran panjang, pertempuran ini pun telah
menewaskan 96 orang Indonesia dan 400 orang Belanda.

Untuk mengenang dan menghormati peristiwa tersebut, setiap tanggal 20 November diperingati
sebagai Hari Puputan Margarana. Selain itu, dibangun juga Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa
Margarana untuk mengenang tragedi perang Puputan Margarana di Bali.

D. Tokoh dalam Pertempuran Puputan Margarana

Untuk mengenang peristiwa heroik itu, di lokasi Puputan Margarana kini berdiri Tugu Pahlawan
Taman Pujaan Bangsa. I Gusti Ngurah Rai pun ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah RI.
Selain itu, nama I Gusti Ngurah Rai juga diabadikan sebagai nama bandara internasional di Bali dan
Kapal Perang Republik Indonesia atau KRI, juga disematkan untuk profil mata uang pecahan Rp.
50.000,00 rupiah pada 2005. Nama beliau juga dipakai sebagai bandara di Bali bernama Bandara I Gusti
Ngurah Rai.

Jika dari pihak Bali terdapat nama I Gusti Ngurah Rai sebagai tokoh utama, dari kubu Belanda tersebutlah
nama Kapten J.B.T König dan Letnan Kolonel F. Mollinger sebagai pemimpin pasukan NICA.
Peristiwa Merah Putih di Manado

Anda mungkin juga menyukai