Puputan Margarana tanggal 20 November 1946. Ini adalah pertempuran habis-habisan yang
dilancarkan kaum pejuang dan rakyat Bali melawan pasukan Belanda yang ingin berkuasa
kembali.
Puputan Margarana merupakan salah satu perang terdahsyat yang terjadi di Bali pada masa
Revolusi Fisik. Perang ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Inf. I Gusti Ngurah Rai. Puputan
Margarana menjadi medan perjuangan rakyat Bali yang tidak ingin dijajah lagi oleh Belanda.
Dalam bahasa Bali, puputan dapat dimaknai sebagai perang yang dilakukan hingga mati atau
sampai titik darah penghabisan. Sedangkan Margarana merujuk pada lokasi pertempuran
Selain Puputan Margarana, di Pulau Dewata sebelumnya juga pernah terjadi perang habis-
habisan serupa dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Tahun 1906 pecah Puputan
langsung dapat menjalani kehidupan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat dalam
pasukan Sekutu yang baru saja mengalahkan Jepang di Perang Dunia II.
Masuknya NICA tidak hanya terjadi di pulau Jawa, daerah-daerah lain Indonesia juga
menjadi sasaran, salah satunya adalah Bali. Marwati Djoened Poeponegoro dan kawan-
kawan dalam Sejarah Nasional Indonesia VI (2008), menjelaskan bahwa tanggal 2 Maret
Semula, kedatangan mereka bertujuan untuk melucuti senjata tentara Jepang. Hadirnya
pasukan Belanda di Pulau Dewata tentu saja ditentang oleh kaum pejuang republik dan
rakyat Bali. Mulai terjadilah pertempuran-pertempuran kecil antara para pejuang Bali
dengan Belanda.
NICA mengajak berundingan melalui surat melalui surat dari Letnan Kolonel J.B.T
Konig kepada I Gusti Ngurah Rai selaku Kepala Divisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
untuk wilayah Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara) dan sekitarnya. I Gusti Ngurah Rai
menginjakkan kaki di Bali, perlawanan pejuang dan rakyat akan terus dilakukan.
membentuk Batalyon Ciung Wanara untuk menghadapi Belanda di Bali. Tak hanya itu,
dibentuk pula basis-basis perjuangan di banyak desa di Bali. Perjuangan pasukan Ciung
Wanara pimpinan I Gusti Ngurah Rai mendapatkan dukungan penuh dari rakyat.
Hal tersebut diketahui dari penelitian "Peranan Masyarakat dalam Perang Kemerdekaan:
Studi Kasus Desa Marga dalam Peristiwa Puputan Margarana 20 November 1946 pada
Masa Revolusi di Bali" karya Dewa Made Alit. Disebutkan, beberapa desa di Bali yang
menjadi basis perjuangan antara lain: Desa Marga, Desa Kelaci, Desa Tegaljadi, Desa
Selanbawak, Desa Banjar Adeng, Desa Banjar Ole, Desa Banjar Bedugul, Desa Banjar
Kelaci, dan lainnya. Tanggal 19 November 1946 malam hari, senjata prajurit NICA yang
sedang berada di Tabanan direbut oleh tentara rakyat pimpinan I Gusti Ngurah Rai. Aksi
mengepung desa yang menjadi pertahanan tentara rakyat Bali. Terjadilah aksi tembak-
Belanda terpaksa mengerahkan seluruh kekuatan militernya yang ada di Bali ditambah
mendatangkan pesawat pengebom dari Makassar. Meskipun dikepung dan kalah jumlah
prajurit maupun persenjataan, I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya serta rakyat Bali
pantang menyerah. Mereka bertekad tidak akan mundur sampai tetes darah terakhir.
kemerdekaan Indonesia sekaligus demi harga diri rakyat Bali. Terjadilah pertempuran
besar yang sejatinya tidak seimbang. Pasukan Bali yang berjumlah kurang dari 100 orang
Namun, Belanda juga mengalami kerugian besar. Sebanyak 400 orang tentaranya tewas.
Untuk mengenang peristiwa heroik itu, di lokasi Puputan Margarana kini berdiri Tugu
Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. I Gusti Ngurah Rai pun ditetapkan sebagai pahlawan
nasional oleh pemerintah RI. Selain itu, nama I Gusti Ngurah Rai juga diabadikan
sebagai nama bandara internasional di Bali dan Kapal Perang Republik Indonesia atau
KRI, juga disematkan untuk profil mata uang pecahan Rp50 ribu pada 2005.
Jika dari pihak Bali terdapat nama I Gusti Ngurah Rai sebagai tokoh utama, dari kubu
Belanda tersebutlah nama Kapten J.B.T König dan Letnan Kolonel F. Mollinger sebagai