Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH TENTANG PUPUTAN MARGARANA

OLEH : 4

Athaya Baasith
Fakhrara
Fitriafita Ramadhani
M. Prizkiansyah Alvian Putra
Sultan Syekar Simamora

SMA Negeri 10 Fajar harapan


Tahun Ajaran 2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Saat ini, kita telah menikmati kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang kita
nikmati sekarang tidak diperoleh secara cuma-Cuma. Melainkan melalui proses
perjuangan yang panjang dan dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Bali,
telah terjadi beberapa kali proses perjuangan melawan penjajah di beberapa
tempat. Antara lain perang Jagaraga, perang Puputan, perang Margarana, dan lain
sebagainya. Di dalam Indonesia kesadaran masyarakatnya akan sejarah negaranya
sendiri masih terbilang rendah, seakan melupakan petuah dari Presiden Indonesia
yang pertama kita yaitu Ir. Soekarno, ia mengatakan "Jas Merah" Jangan sekali
sekali melupakan sejarah. Disamping itu pula sangat dirasakan bahwa penulisan
sejarah yang ada kebanyakan masih merupakan hasil penulisan orang-orang asing
terutama Belanda. Disadari bahwa Indonesia ini tumbuh dari kebinekaan sifat,
corak, bentuk, budayanya yang tercermin jelas pada bentuk geografisnya dan
suku-suku bangsa yang ada, dan masing-masing dari suku itu dengan caranya
sendiri didalam perjuangan melawan penjajahan Belanda telah menunjukkan
bentuknya dengan satu tujuan adalah bebas dari belenggu penjajahan.

Menurut sejarah, ada sejumlah puputan yang meletus di Bali. Namun, yang
terkenal dan termasuk hebat, terdapat sekitar dua puputan. Pertama, Puputan
Jagaraga yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng melawan imprealis Belanda.
Strategi puputan yang diterapkan ketika itu adalah sistem tawan karang dengan
menyita transportasi laut imprealis Belanda yang bersandar ke pelabuhan
Buleleng. Kedua, puputan Margarana yang berpusat di Desa Adeng, Kecamatan
Marga, Tababan, Bali. Tokoh perang ini adalah Letnan Kolonel I Gusti Ngurah
Rai. I Gusti Ngurah Rai dilahirkan di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, Bali,
30 Januari 1917.

Puputan Margarana dianggap banyak pihak sebagai perang sengit yang pernah
bergulir di Pulau Dewata, Bali. Terdahap beberapa versi yang melatarbelakangi
meledaknya Puputan Margarana. Namun, jika kembali membalik lembaran
sejarah Indonesia, maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa perang ini
terjadi akibat ketidakpuasan yang lahir pasca Perjanjian Linggarjati. Perundingan
itu terjadi pada 10 November 1945, antara Belanda dan pemerintahan Indonesia.
Salah satu poin Linggarjati membuat hati rakyat Bali terasa tercabik hatinya
adalah tidak masuknya daerah Bali menjadi bagian dari daerah teritorial
Indonesia.
B. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui latar belakang peristiwa Perang Puputan Margarana

2. Untuk mengetahui tujuan Perang Puputan Margarana

3. Untuk mengetahui kronologi peristiwa terjadinya perang Puputan

4. Untuk mengetahui dampak dari terjadinya perang Puputan

5. Mengetahui asal usul nama perang Puputan

C. RUMUSAN MASALAH

1. Apa latar belakang terjadinya perang Puputan Margarana?

2. Apa tujuan terjadinya Perang Puputan Margarana?

3. Bagaimana kronologi peristiwa terjadinya perang Puputan?

4. Apa dampak terjadinya dari Perang Puputan?

5. Asal usul nama disebut perang Puputan?


BAB II
PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG TERJADINYA PERANG PUPUTAN

Latar belakang munculnya puputan Margarana sendiri bermula dari


Perundingan Linggarjati. Pada tanggal 10 November 1946, Belanda melakukan
perundingan linggarjati dengan pemerintah Indonesia. Linggar jadi sangat
menguntungkan Belanda. Melalui Linggarjati Belanda hanya mengakui Sumatera,
Jawa dan Madura sebagai wilayah teritorial Indonesia secara de facto, sementara
tidak untuk pulau seribu idaman, Dewata, Bali.

Dan selanjutnya Belanda diharuskan sudah meninggalkan daerah de facto


paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda
mendaratkan pasukannya kurang lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh
tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali
sendiri adalah untuk menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu
itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang menjabat sebagai Komandan
Resiman Nusa Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan
konsultasi dengan Markas tertinggi TRI, sehingga dia tidak mengetahui tentang
pendaratan Belanda tersebut.

Niat menjadikan bali sebagai Negara Indonesia Timur, Belanda menambah


kekuatan militernya untuk menacapkan kuku imprealis lebih dalam di Bali. Pasca
Linggarjati sejumlah kapal banyak mendarat di pelabuah lepas pantai Baling. Ini
juga barangkali yang menyebabkan meletusnya Puputan Jagarana yang dipimpin
oleh Kerajaan Buleleng.

Keadaan ini membuat suhu perpolitikan dalam negeri sedikit tidak stabil,
goyah Sebagian pihak menilai perjanjian Linggarjati merugikan RI. Rakyat bali
kecewa karena berhak menjadi bagian dari kesatuan RI. I Gusti Ngurah Rai yang
saat itu menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara ‘digoda’ oleh
Belanda. Sejumlah tawaran menggiurkan disodorkan untuk meluluhkan hati Sang
Kolonel agar membentuk Negara Indonesia Timur. Gusti Ngurah Rai yang saat itu
berusia 29 tahun lebih memilih Indonesia sebagai Tanah Airnya.

Di saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali, perkembangan


politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat
perundingan Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah
Republik Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri merasa kecewa terhadap
isi perundingan tersebut karena mereka merasa berhak masuk menjadi bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlebih lagi ketika Belanda
berusaha membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk
Negara Indonesia Timur. Untung saja ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I
Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18
November 1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya Ciung
Wanara Berhasil memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di
Tabanan. Karena geram, kemudian Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya di
Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan I Gusti Ngurah Rai dan Rakyat
Bali. Selain merasa geram terhadap kekalahan pada pertempuran pertama,
ternyata pasukan Belanda juga kesal karena adanya konsolidasi dan pemusatan
pasukan Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa Adeng, Kecamatan Marga,
Tabanan, Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya dari Bali dan
Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari pusat kedudukan pasukan Ciung
Wanara.

B. TUJUAN PERANG PUPUTAN

Memepertahankan pulau Bali dari kolonialisme Belanda.

C. KRONOLOGI TERJADINYA PERANG PUPUTAN

16 April
Bermula dari patroli keamanan Belanda di wilayah Klungkung pada 13—
16 April 1908. Patroli ini sudah ditolak Raja Klungkung karena dianggap
melanggar kedaulatan Kerajaan Klungkung. Belanda berdalih patrol ini untuk
memeriksa dan mengamankan tempat-tempat penjualan candu sebagai
konsekuensi monopoli perdagangan candu yang dipegang Belanda. Kerabat Raja,
Cokorda Gelgel yang berada di barisan penentang ini, mempersiapkan suatu
penyerangan terhadap patroli Belanda. Benar saja, serangan terhadap patroli
Belanda terjadi di Gelgel. Serangan mendadak ini membuat Belanda menderita
kekalahan; 10 orang serdadu gugur termasuk Letnan Haremaker, salah
seorang pemimpin serdadu Belanda. Di pihak Gelgel kehilangan 12
prajurit termasuk I Putu Gledeg

17 April 1908
Belanda melakukan serangan balasan terhadap Gelgel. Untuk mendapat
dukungan pasukan, Belanda mengirim pasukan dari Karangasem dengan masuk
dari arah Satria pada 16 April 1908 malam. Laskar Klungkung memberikan
perlawanan sengit hingga mengakibatkan tiga orang pasukan Belanda tewas dan
lima orang luka-luka. Pada 17 April 1908 pagi, pasukan Belanda mulai
menyerang Gelgel. Raja Klungkung sempat berusaha mencegah pertumpahan
darah ini dengan mengirim saudara raja, Cokorda Raka Pugog untuk berdamai
dengan Belanda dan menekan Cokorda Gelgel agar tidak melakukan perlawanan.
Namun, usaha ini gagal. Cokorda Gelgel tetap pada pendiriannya dan Belanda
malah berbalik mencurigai Cokorda Raga Pugog. Perang tak terhindarkan di
Gelgel. Dalam perang inilah digunakan meriam pusaka kerajaan I Bangke Bahi.
Namun, perang di Gelgel ini berakhir dengan kekalahan Gelgel. Bahkan, Cokorda
Raga Pugog ikut gugur dalam pertempuran ini. Bantuan pasukan yang dikirim
Raja Klungkung di bawah pimpinan Ida Bagus Jumpung juga tak mampu
memukul pasukan Belanda. Malah, Ida Bagus Jumpung ikut gugur dalam
pertempuran. Cokorda Gelgel bersama sisa pasukan mundur ke Klungkung. Pada
malam hari, laskar Gelgel menyerang perkemahan pasukan Belanda yang
mengakibatkan banyak serdadu Belanda luka-luka. Belanda memutuskan mundur
ke Gianyar. Residen Bali-Lombok, F.A. Liefrinck tiba di Jumpai dengan
membawa empat buah kapal perang sebagai alat intimidasi. Residen
mengultimatum raja dan pembesar Kerajaan Klungkung menyerah tanpa syarat
hingga 22 April 1908.

21 April 1908

Klungkung kini jelas-jelas dalam posisi perang dengan Belanda. Ekspedisi


khusus pun dikirimkan Belanda dari Batavia. Raja dan rakyat Klungkung
diultimatum untuk menyerah hingga 22 April 1908. Raja Klungkung tentu saja
menolak tudingan Belanda itu. Mulai 21 April 1908, Belanda memborbardir
istana Smarapura, Gelgel, dan Satria dengan tembakan meriam selama enam hari
berturut-turut. Sebelum melakukan serangan, Belanda mengeluarkan ultimatum
yang isinya agar Buleleng :

a. Mengakui kekuasaan Belanda

b. Hak tawan karang harus dihapus

c. Memberi perlindungan kepada perdagangan Belanda

27 April 1908
Ekspedisi khusus dari Batavia tiba dengan kapal perang dan persenjataan
lengkap di perairan Jumpai pada 27 April 1908 malam. Dari atas kapal, Belanda
kembali memberi ultimatum agar sampai tengah hari, Raja Klungkung menyerah
tanpa syarat. Raja Klungkung menjawab ultimatum itu dan meminta penundaan
waktu lima hari untuk berunding dengan para pejabat tinggi kerajaan. Belanda
menolak permintaan itu dan Klungkung terus ditembaki meriam dari atas kapal.

28 April 1908
Perang pun dimulai. Karena persenjataan tidak seimbang, Belanda bisa
menguasai Kusamba dan Jumpai, meskipun rakyat di kedua desa itu melakukan
perlawanan sengit. Perlahan, pasukan Belanda pun merangsek menuju
Klungkung. Istana Smarapura terkepung. Cokorda Gelgel dan Dewa Agung Gde
Semarabawa gugur dalam menghadapi serdadu Belanda di benteng selatan. Kabar
inilah yang mendorong Dewa Agung Istri Muter bersama putra mahkota, Dewa
Agung Gde Agung turun ke medan perang mengikuti ibu suri, Dewa Agung
Muter. Semuanya berpakaian serbaputih, siap menyongsong maut. Dewa Agung
Muter bersama putra mahkota akhirnya gugur.

Mendengar permaisuri dan putra mahkota gugur di medan laga, tidak malah
membuat Dewa Agung Jambe menyerah, justru semakin bulat memutuskan
berperang sampai titik darah penghabisan. Dewa Agung Jambe keluar diiringi
seluruh keluarga istana dan prajurit yang setia maju menghadapi Belanda dengan
gagah berani. Karena persenjataan yang tidak imbang, mereka pun gugur dalam
berondongan peluru Belanda. Mereka menunjukkan jiwa patriotis membela tanah
kelahiran dan harga diri. Hari itu pun, 28 April 1908 sore, sekitar pukul 15.00 kota
Klungkung jatuh ke tangan Belanda. Sesudah Klungkung diduduki maka berarti
seluruh Bali dikuasi oleh pemerintah

D. DAMPAK PERANG PUPUTAN

- Rakyat Indonesia bisa segera terbebas dari penjajahan Perang Belanda

- Banyak memakan korban jiwa dari pihak Indonesia

- Memudahkan Belanda untuk membuat Negara Indonesia Timur

E. NILAI NILAI YANG DAPAT DIAMBIL DARI PERANG


PUPUTAN

• Sikap rela berkorban untuk kepentingan bersama

• Sikap pantang menyerah seperti yang dilakukan I Gusti Ngurah Rai

• Menghargai semua upaya yang telah mempertaruhkan nyawan demi


kemerdekaan Indonesia
F. ASAL MULA KATA “PUPUTAN’

Puputan adalah tradisi perang masyarakat Bali. Puputan berasal dari kata
puput. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata puput bermakna terlepas dan
tanggal. Adapun yang dimaksud dengan kata puputan versi pribumi bali adalah
perang sampai nyawa lepas atau tanggal dari badan. Dapat dikatakan kalau
puputan adalah perang sampai game over atau titik darahterakhir. Istilah
Margarana diambil dari lokasi pertempuran hebat yang saat itu berlangsung di
daerah Marga, Tababan-Bali.

Perlu diketahui, istilah puputan berbeda dengan frasa “sampai titik darah
penghabisan”. Dan konon, perlawanan Pak Rai dan kawan-kawan yang “sampai
titik darah penghabisan” telah memberikan inspirasi kepada penyusunan Sumpah
Prajurit Sapta Marga nomor dua yang berbunyi: Kami patriot Indonesia,
pendukung serta pembela ideologi negara, yang bertanggung jawab dan tidak
kenal menyerah.

Walaupun frasa “tidak kenal menyerah” tidak sama benar dengan “sampai
titik darah penghabisan”, namun jika itu dilaksanakan, hasilnya bisa sama.
Contohnya, jika sebuah pasukan atau seorang prajurit yang tidak kenal menyerah
dapat meloloskan diri. Tetapi dalam keadaan yang tak mungkin meloloskan diri
dan tetap pantang menyerah, mungkin dia atau mereka akan hancur. Itu sama saja
dengan melawan sampai titik darah penghabisan. Kedua frasa di atas tidak dapat
disamakan dengan puputan, karena ia mempunyai makna dan sejarahnya sendiri.
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN

Perang Puputan Margarana Adalah Perang habis-habisan yang terjadi pada


tanggal 20 November 1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya
(Ciung Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau
Bali. Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan
persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka
masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti
Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang
diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas
sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda.
Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul mundur
serdadu Belanda. Perang sampai habis atau puputan inilah yang kemudian
mengakhiri hidup I Gusti Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat
sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di
Marga.
DAFTAR PUSTAKA

http://syaahwaall.blogspot.co.id/2014/01/makalah-tentang-puputan-
margarana.html

https://brainly.co.id/tugas/1204862

http://www.balisaja.com/2015/11/begini-kronologi-perang-puputan_20.html

Hermawan, Suprijono, Agus, dan Mustopo, M. Habib. 2014. Sejarah Peminatan


Ilmu-Ilmu Sosial 2. Bogor : Yudhistira

Badrika, I Wayan. 2006. Sejarah Untuk SMA Kelas XI. Jakarta : Erlangga

Anda mungkin juga menyukai