OLEH : 4
Athaya Baasith
Fakhrara
Fitriafita Ramadhani
M. Prizkiansyah Alvian Putra
Sultan Syekar Simamora
A. LATAR BELAKANG
Saat ini, kita telah menikmati kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang kita
nikmati sekarang tidak diperoleh secara cuma-Cuma. Melainkan melalui proses
perjuangan yang panjang dan dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Bali,
telah terjadi beberapa kali proses perjuangan melawan penjajah di beberapa
tempat. Antara lain perang Jagaraga, perang Puputan, perang Margarana, dan lain
sebagainya. Di dalam Indonesia kesadaran masyarakatnya akan sejarah negaranya
sendiri masih terbilang rendah, seakan melupakan petuah dari Presiden Indonesia
yang pertama kita yaitu Ir. Soekarno, ia mengatakan "Jas Merah" Jangan sekali
sekali melupakan sejarah. Disamping itu pula sangat dirasakan bahwa penulisan
sejarah yang ada kebanyakan masih merupakan hasil penulisan orang-orang asing
terutama Belanda. Disadari bahwa Indonesia ini tumbuh dari kebinekaan sifat,
corak, bentuk, budayanya yang tercermin jelas pada bentuk geografisnya dan
suku-suku bangsa yang ada, dan masing-masing dari suku itu dengan caranya
sendiri didalam perjuangan melawan penjajahan Belanda telah menunjukkan
bentuknya dengan satu tujuan adalah bebas dari belenggu penjajahan.
Menurut sejarah, ada sejumlah puputan yang meletus di Bali. Namun, yang
terkenal dan termasuk hebat, terdapat sekitar dua puputan. Pertama, Puputan
Jagaraga yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng melawan imprealis Belanda.
Strategi puputan yang diterapkan ketika itu adalah sistem tawan karang dengan
menyita transportasi laut imprealis Belanda yang bersandar ke pelabuhan
Buleleng. Kedua, puputan Margarana yang berpusat di Desa Adeng, Kecamatan
Marga, Tababan, Bali. Tokoh perang ini adalah Letnan Kolonel I Gusti Ngurah
Rai. I Gusti Ngurah Rai dilahirkan di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, Bali,
30 Januari 1917.
Puputan Margarana dianggap banyak pihak sebagai perang sengit yang pernah
bergulir di Pulau Dewata, Bali. Terdahap beberapa versi yang melatarbelakangi
meledaknya Puputan Margarana. Namun, jika kembali membalik lembaran
sejarah Indonesia, maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa perang ini
terjadi akibat ketidakpuasan yang lahir pasca Perjanjian Linggarjati. Perundingan
itu terjadi pada 10 November 1945, antara Belanda dan pemerintahan Indonesia.
Salah satu poin Linggarjati membuat hati rakyat Bali terasa tercabik hatinya
adalah tidak masuknya daerah Bali menjadi bagian dari daerah teritorial
Indonesia.
B. TUJUAN PENULISAN
C. RUMUSAN MASALAH
Keadaan ini membuat suhu perpolitikan dalam negeri sedikit tidak stabil,
goyah Sebagian pihak menilai perjanjian Linggarjati merugikan RI. Rakyat bali
kecewa karena berhak menjadi bagian dari kesatuan RI. I Gusti Ngurah Rai yang
saat itu menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara ‘digoda’ oleh
Belanda. Sejumlah tawaran menggiurkan disodorkan untuk meluluhkan hati Sang
Kolonel agar membentuk Negara Indonesia Timur. Gusti Ngurah Rai yang saat itu
berusia 29 tahun lebih memilih Indonesia sebagai Tanah Airnya.
16 April
Bermula dari patroli keamanan Belanda di wilayah Klungkung pada 13—
16 April 1908. Patroli ini sudah ditolak Raja Klungkung karena dianggap
melanggar kedaulatan Kerajaan Klungkung. Belanda berdalih patrol ini untuk
memeriksa dan mengamankan tempat-tempat penjualan candu sebagai
konsekuensi monopoli perdagangan candu yang dipegang Belanda. Kerabat Raja,
Cokorda Gelgel yang berada di barisan penentang ini, mempersiapkan suatu
penyerangan terhadap patroli Belanda. Benar saja, serangan terhadap patroli
Belanda terjadi di Gelgel. Serangan mendadak ini membuat Belanda menderita
kekalahan; 10 orang serdadu gugur termasuk Letnan Haremaker, salah
seorang pemimpin serdadu Belanda. Di pihak Gelgel kehilangan 12
prajurit termasuk I Putu Gledeg
17 April 1908
Belanda melakukan serangan balasan terhadap Gelgel. Untuk mendapat
dukungan pasukan, Belanda mengirim pasukan dari Karangasem dengan masuk
dari arah Satria pada 16 April 1908 malam. Laskar Klungkung memberikan
perlawanan sengit hingga mengakibatkan tiga orang pasukan Belanda tewas dan
lima orang luka-luka. Pada 17 April 1908 pagi, pasukan Belanda mulai
menyerang Gelgel. Raja Klungkung sempat berusaha mencegah pertumpahan
darah ini dengan mengirim saudara raja, Cokorda Raka Pugog untuk berdamai
dengan Belanda dan menekan Cokorda Gelgel agar tidak melakukan perlawanan.
Namun, usaha ini gagal. Cokorda Gelgel tetap pada pendiriannya dan Belanda
malah berbalik mencurigai Cokorda Raga Pugog. Perang tak terhindarkan di
Gelgel. Dalam perang inilah digunakan meriam pusaka kerajaan I Bangke Bahi.
Namun, perang di Gelgel ini berakhir dengan kekalahan Gelgel. Bahkan, Cokorda
Raga Pugog ikut gugur dalam pertempuran ini. Bantuan pasukan yang dikirim
Raja Klungkung di bawah pimpinan Ida Bagus Jumpung juga tak mampu
memukul pasukan Belanda. Malah, Ida Bagus Jumpung ikut gugur dalam
pertempuran. Cokorda Gelgel bersama sisa pasukan mundur ke Klungkung. Pada
malam hari, laskar Gelgel menyerang perkemahan pasukan Belanda yang
mengakibatkan banyak serdadu Belanda luka-luka. Belanda memutuskan mundur
ke Gianyar. Residen Bali-Lombok, F.A. Liefrinck tiba di Jumpai dengan
membawa empat buah kapal perang sebagai alat intimidasi. Residen
mengultimatum raja dan pembesar Kerajaan Klungkung menyerah tanpa syarat
hingga 22 April 1908.
21 April 1908
27 April 1908
Ekspedisi khusus dari Batavia tiba dengan kapal perang dan persenjataan
lengkap di perairan Jumpai pada 27 April 1908 malam. Dari atas kapal, Belanda
kembali memberi ultimatum agar sampai tengah hari, Raja Klungkung menyerah
tanpa syarat. Raja Klungkung menjawab ultimatum itu dan meminta penundaan
waktu lima hari untuk berunding dengan para pejabat tinggi kerajaan. Belanda
menolak permintaan itu dan Klungkung terus ditembaki meriam dari atas kapal.
28 April 1908
Perang pun dimulai. Karena persenjataan tidak seimbang, Belanda bisa
menguasai Kusamba dan Jumpai, meskipun rakyat di kedua desa itu melakukan
perlawanan sengit. Perlahan, pasukan Belanda pun merangsek menuju
Klungkung. Istana Smarapura terkepung. Cokorda Gelgel dan Dewa Agung Gde
Semarabawa gugur dalam menghadapi serdadu Belanda di benteng selatan. Kabar
inilah yang mendorong Dewa Agung Istri Muter bersama putra mahkota, Dewa
Agung Gde Agung turun ke medan perang mengikuti ibu suri, Dewa Agung
Muter. Semuanya berpakaian serbaputih, siap menyongsong maut. Dewa Agung
Muter bersama putra mahkota akhirnya gugur.
Mendengar permaisuri dan putra mahkota gugur di medan laga, tidak malah
membuat Dewa Agung Jambe menyerah, justru semakin bulat memutuskan
berperang sampai titik darah penghabisan. Dewa Agung Jambe keluar diiringi
seluruh keluarga istana dan prajurit yang setia maju menghadapi Belanda dengan
gagah berani. Karena persenjataan yang tidak imbang, mereka pun gugur dalam
berondongan peluru Belanda. Mereka menunjukkan jiwa patriotis membela tanah
kelahiran dan harga diri. Hari itu pun, 28 April 1908 sore, sekitar pukul 15.00 kota
Klungkung jatuh ke tangan Belanda. Sesudah Klungkung diduduki maka berarti
seluruh Bali dikuasi oleh pemerintah
Puputan adalah tradisi perang masyarakat Bali. Puputan berasal dari kata
puput. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata puput bermakna terlepas dan
tanggal. Adapun yang dimaksud dengan kata puputan versi pribumi bali adalah
perang sampai nyawa lepas atau tanggal dari badan. Dapat dikatakan kalau
puputan adalah perang sampai game over atau titik darahterakhir. Istilah
Margarana diambil dari lokasi pertempuran hebat yang saat itu berlangsung di
daerah Marga, Tababan-Bali.
Perlu diketahui, istilah puputan berbeda dengan frasa “sampai titik darah
penghabisan”. Dan konon, perlawanan Pak Rai dan kawan-kawan yang “sampai
titik darah penghabisan” telah memberikan inspirasi kepada penyusunan Sumpah
Prajurit Sapta Marga nomor dua yang berbunyi: Kami patriot Indonesia,
pendukung serta pembela ideologi negara, yang bertanggung jawab dan tidak
kenal menyerah.
Walaupun frasa “tidak kenal menyerah” tidak sama benar dengan “sampai
titik darah penghabisan”, namun jika itu dilaksanakan, hasilnya bisa sama.
Contohnya, jika sebuah pasukan atau seorang prajurit yang tidak kenal menyerah
dapat meloloskan diri. Tetapi dalam keadaan yang tak mungkin meloloskan diri
dan tetap pantang menyerah, mungkin dia atau mereka akan hancur. Itu sama saja
dengan melawan sampai titik darah penghabisan. Kedua frasa di atas tidak dapat
disamakan dengan puputan, karena ia mempunyai makna dan sejarahnya sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
http://syaahwaall.blogspot.co.id/2014/01/makalah-tentang-puputan-
margarana.html
https://brainly.co.id/tugas/1204862
http://www.balisaja.com/2015/11/begini-kronologi-perang-puputan_20.html
Badrika, I Wayan. 2006. Sejarah Untuk SMA Kelas XI. Jakarta : Erlangga