Disusun Oleh :
Khumaira Khanza Aliasman
Kelas VI D
Menurut sejarah, ada sejumlah puputan yang meletus di Bali. Namun, yang terkenal
dan termasuk hebat, terdapat sekitar dua puputan. Pertama, Puputan Jagaraga yang dipimpin
oleh Kerajaan Buleleng melawan imprealis Belanda. Strategi puputan yang diterapkan ketika
itu adalah sistem tawan karang dengan menyita transportasi laut imprealis Belanda yang
bersandar ke pelabuhan Buleleng. Kedua, puputan Margarana yang berpusat di Desa Adeng,
Kecamatan Marga, Tababan, Bali. Tokoh perang ini adalah Letnan Kolonel I Gusti Ngurah
Rai. I Gusti Ngurah Rai dilahirkan di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, Bali, 30 Januari
1917.
Puputan Margarana dianggap banyak pihak sebagai perang sengit yang pernah bergulir di
Pulau Dewata, Bali. Terdahap beberapa versi yang melatarbelakangi meledaknya Puputan
Margarana. Namun, jika kembali membalik lembaran sejarah Indonesia, maka dapat ditarik
sebuah benang merah bahwa perang ini terjadi akibat ketidakpuasan yang lahir pasca
Perjanjian Linggarjati. Perundingan itu terjadi pada 10 November 1945, antara Belanda dan
pemerintahan Indonesia. Salah satu poin Linggarjati membuat hati rakyat Bali terasa tercabik
hatinya adalah tidak masuknya daerah Bali menjadi bagian dari daerah teritorial Indonesia.
17 April 1908
Belanda melakukan serangan balasan terhadap Gelgel. Untuk mendapat dukungan
pasukan, Belanda mengirim pasukan dari Karangasem dengan masuk dari arah Satria
pada 16 April 1908 malam. Laskar Klungkung memberikan perlawanan sengit hingga
mengakibatkan tiga orang pasukan Belanda tewas dan lima orang luka-luka. Pada 17
April 1908 pagi, pasukan Belanda mulai menyerang Gelgel. Raja Klungkung sempat
berusaha mencegah pertumpahan darah ini dengan mengirim saudara raja, Cokorda
Raka Pugog untuk berdamai dengan Belanda dan menekan Cokorda Gelgel agar tidak
melakukan perlawanan. Namun, usaha ini gagal. Cokorda Gelgel tetap pada
pendiriannya dan Belanda malah berbalik mencurigai Cokorda Raga Pugog. Perang
tak terhindarkan di Gelgel. Dalam perang inilah digunakan meriam pusaka kerajaan I
Bangke Bahi. Namun, perang di Gelgel ini berakhir dengan kekalahan Gelgel.
Bahkan, Cokorda Raga Pugog ikut gugur dalam pertempuran ini. Bantuan pasukan
yang dikirim Raja Klungkung di bawah pimpinan Ida Bagus Jumpung juga tak
mampu memukul pasukan Belanda. Malah, Ida Bagus Jumpung ikut gugur dalam
pertempuran. Cokorda Gelgel bersama sisa pasukan mundur ke Klungkung. Pada
malam hari, laskar Gelgel menyerang perkemahan pasukan Belanda yang
mengakibatkan banyak serdadu Belanda luka-luka. Belanda memutuskan mundur ke
Gianyar. Residen Bali-Lombok, F.A. Liefrinck tiba di Jumpai dengan membawa
empat buah kapal perang sebagai alat intimidasi. Residen mengultimatum raja dan
pembesar Kerajaan Klungkung menyerah tanpa syarat hingga 22 April 1908.
21 April 1908
Klungkung kini jelas-jelas dalam posisi perang dengan Belanda. Ekspedisi khusus pun
dikirimkan Belanda dari Batavia. Raja dan rakyat Klungkung diultimatum untuk
menyerah hingga 22 April 1908. Raja Klungkung tentu saja menolak tudingan
Belanda itu. Mulai 21 April 1908, Belanda memborbardir istana Smarapura, Gelgel,
dan Satria dengan tembakan meriam selama enam hari berturut-turut. Sebelum
melakukan serangan, Belanda mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Buleleng :
a. Mengakui kekuasaan Belanda
b. Hak tawan karang harus dihapus
c. Memberi perlindungan kepada perdagangan Belanda
27 April 1908
Ekspedisi khusus dari Batavia tiba dengan kapal perang dan persenjataan lengkap di
perairan Jumpai pada 27 April 1908 malam. Dari atas kapal, Belanda kembali
memberi ultimatum agar sampai tengah hari, Raja Klungkung menyerah tanpa syarat.
Raja Klungkung menjawab ultimatum itu dan meminta penundaan waktu lima
hari untuk berunding dengan para pejabat tinggi kerajaan. Belanda menolak
permintaan itu dan Klungkung terus ditembaki meriam dari atas kapal.
28 April 1908
Perang pun dimulai. Karena persenjataan tidak seimbang, Belanda bisa menguasai
Kusamba dan Jumpai, meskipun rakyat di kedua desa itu melakukan perlawanan
sengit. Perlahan, pasukan Belanda pun merangsek menuju Klungkung. Istana
Smarapura terkepung. Cokorda Gelgel dan Dewa Agung Gde Semarabawa gugur
dalam menghadapi serdadu Belanda di benteng selatan. Kabar inilah yang mendorong
Dewa Agung Istri Muter bersama putra mahkota, Dewa Agung Gde Agung turun ke
medan perang mengikuti ibu suri, Dewa Agung Muter. Semuanya berpakaian
serbaputih, siap menyongsong maut. Dewa Agung Muter bersama putra mahkota
akhirnya gugur.
Mendengar permaisuri dan putra mahkota gugur di medan laga, tidak malah membuat
Dewa Agung Jambe menyerah, justru semakin bulat memutuskan berperang sampai
titik darah penghabisan. Dewa Agung Jambe keluar diiringi seluruh keluarga istana
dan prajurit yang setia maju menghadapi Belanda dengan gagah berani. Karena
persenjataan yang tidak imbang, mereka pun gugur dalam berondongan peluru
Belanda. Mereka menunjukkan jiwa patriotis membela tanah kelahiran dan harga diri.
Hari itu pun, 28 April 1908 sore, sekitar pukul 15.00 kota Klungkung jatuh ke tangan
Belanda. Sesudah Klungkung diduduki maka berarti seluruh Bali dikuasi oleh
pemerintah Belanda.
Walaupun frasa “tidak kenal menyerah” tidak sama benar dengan “sampai titik
darah penghabisan”, namun jika itu dilaksanakan, hasilnya bisa sama. Contohnya, jika
sebuah pasukan atau seorang prajurit yang tidak kenal menyerah dapat meloloskan
diri. Tetapi dalam keadaan yang tak mungkin meloloskan diri dan tetap pantang
menyerah, mungkin dia atau mereka akan hancur. Itu sama saja dengan melawan
sampai titik darah penghabisan. Kedua frasa di atas tidak dapat disamakan dengan
puputan, karena ia mempunyai makna dan sejarahnya sendiri.
Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa atau Taman Pahlawan Margarana digagas oleh
tokoh veteran pejuang kemerdekaan bernama I Nengah Wirtha Tamu atau Pak Tjilik, pada
awalnya hanya dibangun sebuah candi yang juga merupakan budaya warisan kuno, untuk
mengenang dan mengagungkan jiwa-jiwa pahlawan yang telah gugur.
Taman Bahagia, terletak di sebelah Utara dan Timur Laut Candi Pahlawan Margarana, yang
terdiri dari 1372 nisan atau tugu pahlawan yang menunjukkan jumlah pejuang yang gugur di
medan laga selama revolusi fisik di Bali, sebagai pahlawan perang kemerdekaan RI,
termasuk sebuah nisan untuk pahlawan tidak dikenal.