Anda di halaman 1dari 16

TOKOH -TOKOH PEJUANG KEMERDEKAAN INDONESIA

A. Masa Sebelum Kebangkitan Nasional


Penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing telah membawa penderitaan bagi bangsa
Indonesia. Oleh sebab itu, para pejuang bangsa bangkit memberikan perlawanan. Pada masa
sebelum kebangkitan nasional, perlawanan yang dilancarkan masih bersifat kedaerahan dan
melibatkan pertempuran fisik. Periode perlawanan masa sebelum kebangkitan nasional
dilakukan oleh para tokoh-tokoh daerah yang maju membela tanah kelahirannya atau
kerajaannya dari kekuasaan asing. Tokoh-tokoh pejuang daerah tersebut tidak menginginkan
tanah kelahirannya dikuasai oleh asing. Keberanian, harp diri, dan semangat pantang
menyerah telah menguatkan tekad para pejuang bangsa untuk bertempur mati-matian
menghadapi penjajah. Berikut adalah beberapa nama-nama tokoh daerah yang berjuang
melawan penjajah di daerahnya masing-masing.

1. Sultan Ageng Tirtayasa


Abdulfath atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa adalah sultan
keenam yang memerintah Kesultanan Banten. Ia dilahirkan tahun 1631 dan tumbuh dewasa
dalam suasana memburuknya hubungan antara Kesultanan Banten dengan VOC (Verenigde
Oostindische Compagnie). Hubungan buruk tersebut terjadi karena secara terang-terangan
VOC menuntut hak monopoli perdagangan kepada Banten. Banten menolak karena sejak
dahulu telah menerapkan sistem perdagangan bebas dengan wilayah atau negara manapun
termasuk Inggris.
Pada 1645, Sultan Abdulmufakar Mahmud Abdulkadir akhirnya mengadakan
perjanjian dengan Belanda dalam hal monopoli perdagangan. Namun, pada saat Sultan
Ageng Tirtayasa berkuasa, perjanjian ini tidak diperpanjang. Ia bahkan menghalangi Belanda
untuk melakukan aktivitas perdagangan di Banten. Hal ini membuat Belanda tidak senang.
Pada 1656, pertempuran antara Banten dan Belanda beberapa kali terjadi.
Selanjutnya, pada 11 Mei 1658, Sultan Ageng menyatakan perang kepada Belanda. Meriam-
meriam ditempatkan secara strategis untuk melindungi kerajaan. Perintah untuk melakukan
perang dadali—menyerang sekaligus menyapu bersih musuh—diberlakukan bagi rakyat
Banten. Sementara itu, Belanda melakukan perang papak—pengepungan dari arah belakang.
Peperangan terjadi di beberapa wilayah, seperti di perairan Selat Pulau Pamujan dan
Tanjung Balukbuk. Melihat kondisi rakyat Banten yang gigih melawan Belanda, melalui
perantara Sultan Jambi, Belanda menawarkan perjanjian damai dan disepakati tanggal 10 Juli
1659 dengan memuat 12 pasal. Meskipun telah menyepakati perjanjian damai, Sultan Ageng
tidak percaya penuh pada Belanda. Guna mencegah penyerangan terhadap istananya, ia
membangun istana baru

2. Sultan Hasanuddin
I Mallombosi Daeng Kraeng Bontomangape yang lebih dikenal dengan nama Sultan
Hasanuddin dilahirkan tahun 1631. Ia adalah putera kedua dari Sultan Malikussaid, Sultan
Gowa ke-15. Di usia 20 tahun, Sultan Hasanuddin telah menjadi utusan resmi Kerajaan Gowa
ke berbagai kerajaan lain di Indonesia. Tujuan Malikussaid mengirim Sultan Hasanuddin ke
kerajaan lain untuk menjalin kerja sama dalam hal mempertahankan wilayahnya dari
serangan yang sewaktu-waktu akan dilancarkan VOC. Kongsi dagang Belanda ini ingin
memonopoli perdagangan, tetapi Malikussaid menolaknya. Ia menghimpun kekuatan dengan
kerajaan lain. Kerajaan yang tidak mau bergabung dipaksa dengan cara penaklukkan,
misalnya Kerajaan Wajo, Bone, Soppeng, dan Bantaeng.
Setelah Sultan Hasanuddin resmi menjadi raja Gowa, hubungan dengan VOC
semakin memburuk. Terjadi berbagai insiden penawanan kapal dan awak VOC di perairan
kekuasaan Gowa. Sikap ini membuat VOC ingin mengadakan perundingan damai, tetapi
ditolak oleh Sultan Hasanuddin. VOC kemudian menuduh Sultan Hasanuddin bekerja sama
dengan Inggris. Tuduhan ini tidak benar karena meskipun ditawarkan bantuan oleh Inggris,
Sultan Hasanuddin menolak.
Perlawanan dengan VOC terus dilancarkan, tetapi VOC menggunakan taktik lain
dengan membantu kerajaan-kerajaan yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Gowa seperti
Kerajaan Bone yang dipimpin Arung Palaka dan Kerajaan Buton. Dua kerajaan ini cukup
melemahkan keinginan Sultan Hasanuddin untuk mempertahankan wilayahnya dari ancaman
asing. Korban semakin bertambah dan perang terus terjadi. Hasanuddin kemudian menerima
Perjanjian Bongaya tahun 1667 sampai menunggu waktu yang tepat untuk kembali
menyerang Belanda.
Penyerangan terakhir yang dilancarkan Sultan Hasanuddin tahun 1669 telah menelan
banyak korban baik dari pihak Gowa maupun VOC. Perlawanan tanpa akhir inilah yang
akhirnya membuat Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari takhta Kerajaan Gowa untuk
mencegah jumlah korban semakin banyak. Hingga akhir hayatnya, is tetap menolak
keberadaan Belanda. Akibat sikap pantang menyerahnya ini, Belanda menjulukinya sebagai
Haantje van het Oosten (Ayam Jantan dari Timur). Bangsa Indonesia sendiri kini mengakui
Sultan Hasanuddin sebagai tokoh yang memiliki kepercayaan tinggi terhadap kemampuan
bangsanya untuk dapat menghadapi persoalan dengan bangsa asing. Ia juga rela menyerahkan
takhtanya demi menyelamatkan rakyatnya dari pertempuran dengan VOC dan menghabiskan
hampir'seluruh usianya untuk memperjuangkan keinginannya mempertahankan wilayah
Kerajaan Gowa.

3. Pattimura
Thomas Matulessy atau Kapitan Pattimura dilahirkan di Ambon tahun 1783, tetapi
dibesarkan di Saparua. Dalam masa mudanya, Thomas menyaksikan terjadinya pergantian
kekuasaan di Pulau Maluku. Penjajahan Belanda yang sudah berlangsung hampir dua abad
digantikan oleh penjajahan Inggris. Pemerintah Inggris berusaha menarik simpati rakyat
dengan memberikan kesempatan kepada pemuda Maluku untuk memasuki militer. Dalam
dinas ketentaraan Inggris, Matulessy berhasil mencapai pangkat sersan.
Pemerintahan Inggris tidak berlangsung lama, wilayah Maluku kembali diserahkan
kepada Belanda dan pemerintahan politik Belanda dijalankan. Orang-orang yang pernah
terlibat dalam ketentaraan Inggris mendapat hukuman. Hal ini membangkitkan perlawanan
rakyat Maluku. Setelah berhasil menguasai benteng Duurstede, pasukan Pattimura
mendeklarasikan "Proklamasi Haria". Proklamasi tersebut pada intinya menjelaskan mengapa
rakyat Maluku akan terus berperang dengan Belanda yang terus-menerus melakukan
pemerasan baik fisik maupun waktu rakyat Maluku.
Berbagai siasat dilakukan oleh Belanda tetapi tidak satu pun dapat melumpuhkan
semangat perang rakyat Maluku yang dipimpin Pattimura. Hingga pada 11 November 1817,
atas dasar laporan dari Raja Booi yang menunjukkan tempat persembunyian Pattimura,
Belanda menangkapnya tanpa perlawanan. Pattimura dan kawan-kawan seperjuangannya
seperti Anthony Rhebok, Said Perintah, dan Philips Latumahina disidang dan diputuskan
menjalani hukuman gantung. Pada 16 Desember 1817, hukuman gantung dilaksanakan,
perjuangannya terus dilanjutkan oleh rakyat Maluku.

4. Pangeran Diponegoro
Raden Mas Ontowiryo atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Diponegoro lahir 11
November 1785. Ia adalah putra dari Sultan Hamengku Buwono III yang diasuh oleh
neneknya, Ratu Ageng, permaisuri Hamengku Buwono I, pendiri

5. Imam Bonjol
Peto Syarif yang kemudian lebih dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol
dilahirkan tahun 1772 di kampong Tanjung Bunga, Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat.
Sejak kecil, is mendapatkan pendidikan agama yang kuat di dalam keluarganya. Imam Bonjol
tumbuh dewasa ketika terjadi perang saudara antara kaum padri dan kaum adat. Kaum padri
yang terpengaruh gerakan Wahabi di tanah Arab berusaha memurnikan kembali Islam yang
dianggap telah diselewengkan oleh kaum adat. Hal ini memicu perlawanan dari kaum adat
yang merasa kedudukannya akan terancam. Perang terjadi di wilayah-wilayah pesisir, kaum
adat berusaha meminta bantuan Inggris yang sedang berkuasa, tetapi Inggris sudah memihak
padri dengan menyuplai persenjataan.
Saat Perjanjian London, wilayah Sumatra dikembalikan ke Belanda. Belanda
kemudian membantu kaum adat. Sementara itu, Imam Bonjol berusaha melerai dampak
perang saudara ini dengan cara persuasif pada awalnya. Ia bahkan berhasil mengembangkan
ajaran Islam sampai ke wilayah Tapanuli Selatan. Namun, pertempuran antara padri dan
Belanda dengan sendirinya melibatkan Imam Bonjol yang kemudian mengirimi bantuan ke
daerah Agam dan Tanah Datar. Imam Bonjol juga mengarahkan pasukannya ke wilayah
pesisir dan ini mengancam Belanda. Maka diadakanlah Perjanjian Masang antara Belanda
dan Imam Bonjol tahun 1824 yang isinya Belanda mengakui Imam Bonjol sebagai penguasa
Alahan Panjang. Selanjutnya, perjanjian ini dilanggar oleh Belanda yang melancarkan
serangan ke wilayah Pandai Sikat. Sejak saat itu perang terus terjadi dan Perjanjian Masang
tidak berlaku lagi.
Pada tahun 1836, keberadaan Imam Bonjol yang sebelumnya sempat menguasai dan
memenangkan perang di beberapa wilayah kemudian terancam karena pasukannya mulai
mengalami keletihan. Benteng Bonjol yang terbuat dari tanah hat kemudian dihancurkan oleh
Belanda tetapi perlawanan terus dilakukan hingga Imam Bonjol mengalami luka-luka akibat
mempertahankan benteng. Di usianya yang 64 tahun, is masih mampu menghalau musuh
dengan pedangnya. Belanda pun mundur dan kekalahan ini membuat malu sehingga Cleerens
yang memimpin penyerangan digantikan oleh Letnan Kolonel Michiels.
Letnan Kolonel Michiels membuat strategi lain dengan mengepung dari arah belakang
benteng yakni Bukit Tajadi_ Michiels berhasil menduduki benteng dan Imam Bonjol
mengungsi ke Marapak dan menyusun strategi baru. Ajakan untuk berunding dari pihak
Residen Francis tanggal 28 Oktober 1837 diterima oleh Imam Bonjol. Sama halnya dengan
Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol tertipu dengan penangkapan yang berkedok
perundingan. Tuanku Imam Bonjol kemudian ditangkap dan ditawan di Bukittinggi,
kemudian Padang, dan diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Selanjutnya, karena mendapat
tempat di hati masyarakat Cianjur, Belanda mengasingkannya lagi ke Manado dan meninggal
dalam usia 92 tahun pada 8 November 1864.
6. Pangeran Antasari
Pangeran Antasari dari Kesultanan Banjarmasin lahir pada tahun 1809. Perebutan
takhta membuatnya disingkirkan dari lingkungan istana. Ia tumbuh dewasa di Antasan,
Martapura. Kericuhan di istana terjadi ketika Sultan Aminullah wafat tahun 1761. Ia
meninggalkan tiga orang putra yang masih kecil dam karena itu, saudara Aminullah,
Pangeran Natanegara diangkat menjadi wali. Dua orang putra Aminullah terbunuh secara
rahasia Adapun seorang lagi, Pangeran Amir, berhasil menyelamatka diri ke Pegatan.
Sesudah itu, Pangeran Natanegara menobatka-diri menjadi sultan dengan nama Sulaiman
Saidilah. Tahun 177f-Pangeran Amir melancarkan pemberontakan untuk merebt.-.- takhta
dengan kekuatan 3.000 orang Gubis. Sultan Sulaima-_- meminta bantuan Belanda. Pasukan
Belanda di bawah pimpina-Kapten Christoffel berhasil mematahkan perlawanan Pangera-
Amir.
Belanda menarik keuntungan dari kericuhan itu. Sebagai imbalan jasa memadamkan
pemberontakan Pangeran Amir, sesuai dengan perjanjian Agustus 1787, Sultan Sulaiman
Saidilah menyerahkan kedaulatan Banjar kepada Belanda. Tahun 1857, Belanda mengangkat
Tamjillah sebagai sultan yang dianggap dapat membantu Belanda mempertahankan investasi
pertambangan batu baranya. Sementara itu, para bangsawan dan rakyat banyak tidak
menyukai Tamjillah karena tabiatnya yang tidak menghargai rakyatnya.
Selanjutnya, terjadi pemberontakan di beberapa wilayah kekuasaan Kesultanan
Banjar. Pangeran Antasari kemudian berperan dalam pemberontakan tersebut dengan
mempersatukan gerakan-gerakan di desa-desa ke dalam sebuah kekuatan besar dan is
menjadi pemimpinnya. Hal ini dilakukan Antasari untuk menyelamatkan rakyat dari
kekuasaan Belanda dan menyadarkan para petinggi di Kesultanan Banjar agar tidak
diperintah oleh Belanda.
Pada tanggal 28 April 1859, pertempuran pertama terjadi. Dengan mengerahkan 300
orang laskar, Pangeran Antasari menyerbu benteng Pangaron. Belanda kemudian mengajak
berunding Antasari, tetapi Antasari menolaknya karena sudah mengetahui bahwa
perundingan tersebut adalah tipu muslihat Belanda. Pangeran Antasari lalu membalasnya
dengan mengatakan bahwa perundingan hanya bisa dilakukan jika Belanda mau
menyerahkan sepenuhnya Kesultananan Banjar. Jika tidak, maka peperangan akan terus
dilakukannya. Bagi Antasari, menyerah kepada musuh adalah haram hukumnya. Belanda
menolak dan peperangan terus terjadi hingga ke daerah-daerah pedalaman. Dalam kondisi
demikian, wabah penyakit cacar menyerang Pangeran Antasari. la pun meninggal setelah tiga
setengah tahun berusaha membantu rakyat melawan Belanda dan mempertahankan
kedudukan Kesultanan Banjar.

7. I Gusti Ketut Jelantik


Keberanian I Gusti Ketut Jelantik menentang penjajahan Belanda diawali dengan
sikapnya yang menolak tuntutan Belanda agar mengganti kerugian atas kapal-kapal yang
dirampas dan mengakui kedaulatan Belanda. Tuntutan tersebut membuat Patih Jelantik marah
karena Belanda dianggap tidak menghormati Hukum Tawan Karang—perahu yang terdampar
menjadi milik raja Bali—yang telah diterapkan. Belanda meminta agar perahu yang
terdampar di Pantai Sangit diberikan kembali. Patih Jelantik kemudian menyatakan perang
dengan Belanda.
Patih Jelantik adalah orang yang ahli dalam strategi perang dan disegani oleh raja-raja
di Bali karena keberaniannya. Pada tanggal 6-8 Juni 1848, Belanda mengirim ekspedisi ke
wilayah Sangsit kedua kalinya untuk menyerang Patih Jelantik. Pasukan Belanda yang
dipimpin oleh Jenderal Van der Wijck gagal merebut benteng-benteng. Keberhasilan rakyat
Bali menahan serangan Belanda membuat malu Parlemen Belanda. Ekspedisi ketiga
dikirimkan pada 31 Maret 1849 di bawah pimpinan Jenderal Michiels. Serangan ketiga ini
berhasil dimenangkan Belanda yang mendesak pasukan Patih Jelantik sampai ke Pegunungan
Batur Kintamani. Pasukan Belanda terus menyerang sampai ke Pegunungan Bale Punduk, di
tempat ini Patih Jelantik gugur. Namun, sifat patriotismenya dalam menentang penjajahan
Belanda terus dikenal dan diteladani oleh masyarakat Bali dan menjadi kebanggaan bagi
bangsa Indonesia.

8. Raja Si Singamangaraja XII


Sesudah Perang Padri di Sumatra Barat berakhir tahun 1837, kekuasaan Belanda
meluas sampai ke bagian selatan, yaitu tanah Batak. Si Singamangaraja XII, yang merupakan
seorang kepala adat sekaligus pemimpin agama yang disebut "Parmalim" berusaha mencegah
tumbuhnya kekuasaan asing di wilayah kekuasaannya. Meskipun telah mencegah usaha
Belanda, pada awal Februari 1878 wilayah Bahal Batu dikuasai Belanda. Hal ini membuat Si
Singamangaraja marah dan berangkat ke Balige untuk menyusun kekuatan. Tanggal 17
Februari 1878, Si Singamangaraja XII menyatakan perang dengan Belanda dan dua hari
kemudian ia menyerang Belanda di Bahal Batu. Ketidakseimbangan senjata pasukannya
dengan Belanda membuat pertempuran menjadi sulit. Namun, ia tents mengobarkan perang
dengan Belanda di beberapa wilayah seperti di Butar, Lobu Siregar, Balige, dan Lagu Boti.
Serangan Si Singamangaraja XII membuat Belanda kesulitan sehingga harus
mendatangkan pasukan dari berbagai daerah, termasuk pasukan marsose yang terkenal kejam
dalam Perang Aceh. Pelabuhan Barus pun ditutup oleh Belanda untuk menghalau bantuan
dari Aceh. Jalan raya dan kampung-kampung dibakar untuk mencegah perlawanan. Keadaan
ini bertujuan untuk mendesak Si Singamangaraja agar menyerah. Namun, ia tidak mau
menyerah dan mengakui kekuasaan Belanda. Si Singamangaraja XII melakukan perlawanan
dan ,pelarian ke hutan-hutan bersama keluarganya (ibu, istri, dan puterinya tewas tertembak
dalam perjalanan). Kapten Belanda, Christoffel terus memburu Si Singamangaraja XII
sampai ke hutan di daerah Simsim. Setelah kedua puteranya, Patuan Nagari dan Patuan
Anggi tewas tertembak, Si Singamangaraja dipaksa menyerah. Namun, dengan sebilah
rencong dia berusaha melawan tetapi akhirnya gugur setelah tertembak Si Singamangaraja
gugur dalam perjuangannya melawan pemerintah kolonial yang ingin menguasai tanah
kelahirannya.

9. Cut Nyak Dhien


Cut Nyak Dhien adalah putri dari Nanta Sella, Uleebalang VI Mukim. Ia dilahirkan
sekitar tahun 1850. Perang antara Aceh dan Belanda tahun 1873 telah menewaskan suami
dari Cut Nyak Dhien. Sejak saat itu, Cut Nyak Dhien mulai berperan dengan menggabungkan
diri bersama pejuang-pejuang Aceh untuk mempertahankan wilayahnya dari ambisi perluasan
wilayah kekuasaan yang dilakukan Belanda. Cut Nyak Dhien yang kemudian menikah
dengan Teuku Umar bersama-sama membangun kekuatan untuk merebut daerah VI Mukim
yang telah dikuasai Belanda selama empat tahun. Setelah itu, Teuku Umar membuat sebuah
strategi untuk mengusir Belanda dari tanah Aceh. Teuku Umar berpura-pura bekerja sama
dengan Belanda selama tiga tahun dan berhasil mempelajari taktik perang serta persenjataan
Belanda. Teuku Umar kemudian membawa lari 800 pucuk senapan beserta 25.000 butir
peluru, peralatan perang, dan sejumlah uang.
Bersama Cut Nyak Dhien, Teuku Umar membawa pasukannya dari Pidie ke pantai
barat dan bertahan di Meulaboh. Namun, Umar gugur dalam pertempuran pada 11 Februari
1899. Meski demikian, Cut Nyak Dhien menghimpun kembali pasukannya dan menyerang
pos-pos Belanda yang berada di pedalaman. Sikap tidak mau menyerah Cut Nyak Dhien ini
memaksa Belanda menugaskan pasukan Marsose, pasukan yang terkenal kejam dan ahli
berperang di wilayah hutan rimba. Cut Nyak Dhien mulai terdesak, kesulitan makanan dan
penyakit rabun yang menyerangnya membuat orang terdekatnya, Pang Leot, menyerahkan
Cut Nyak Dien ke Belanda dengan syarat diberikan perawatan untuk penyakitnya dan
kehidupannya terjamin.
Belanda menyetujui syarat yang diberikan Pang Leot dan kemudian membawa
pasukan untuk proses penyerahan Cut Nyak Dhien. Meski berusaha melawan dan bunuh din
karena tidak mau ikut Belanda, Cut Nyak Dhien berhasil dibawa Belanda dan mendapatkan
perawatan di Aceh.Rakyat Aceh yang mendengar kabar Cut Nyak Dhien kemudian ramai
mengunjungi rumahnya. Hal ini membuat Belanda takut akan pengaruh pemberontakan yang
kembali akan dilakukan Cut Nyak Dhien. Ia pun dipindahkan ke Sumedang, Jawa Barat dan
menjadi tahanan dengan perlakuan istimewa. Ia diberikan rumah dan beberapa pelayan, tetapi
hal tersebut tidak membuatnya senang. Ia berulangkali meminta agar dipindahkan kembali ke
Aceh, tetapi terus mendapat penolakan hingga akhirnya meninggal dengan status tawanan.

B. Masa Kebangkitan Nasional


Sejak praktik imperialisme dan kolonialisme diterapkan di Indonesia, Belanda
menguasai dan kehidupan bangsa Indonesia. Kehadiran bangsa asing sebagai penjajah,
membawa penderitaan bagi bangsa Indonesia. Bangkitnya perlawanan bangsa Indonesia
adalah respon dari penindasan yang dilakukan terhadap bangsa Indonesia. Memasuki awal
abad XX, perlawanan yang dilancarkan disalurkan melalui media-media perjuangan seperti
surat kabar dan organisasi pergerakan. Melalui saluran perjuangan tersebut, para pejuang
bangsa melancarkan kritikan tajam terhadap praktik kolonialisme yang diterapkan di
Indonesia. Pada masa ini pula, sifat gerakan mengalami perubahan dari bersifat kedaerahan
menjadi bersifat nasional. Hal ini tercermin dari perjuangan yang dilakukan tokoh-tokoh
masa kebangkitan nasional. Melalui sejumlah tulisan di surat kabar dan organisasi
pergerakan yang mereka tergabung di dalamnya, para pejuang bangsa menyadarkan bangsa
Indonesia akan penderitaan yang harus ditanggung akibat penjajahan, bahwa penjajahan
tidak memberikan apapun kecuali penindasan dan satu-satunya cara untuk lepas dari
penindasan adalah dengan memperoleh kemerdekaan. Berikut adalah beberapa nama-nama
tokoh pejuang bangsa masa pergerakan nasional.

1. Tirto Adhi Suryo


Raden Mas Tirto Adhi Suryo lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 1880. Djokomono
adalah panggilan akrabnya ketika masih kanak-kanak. Ia adalah anak kesembilan dari sebelas
bersaudara. Sepeninggal orang tuanya, Tirto Adhi Suryo diasuh oleh neneknya, Raden Ayu
Tirtonoto. Pada usia 14-15 tahun, Tirto Adhi Suryo sudah menunjukkan ketertarikan di
bidang tulis menulis dengan mengirimkan tulisannya ke sejumlah surat kabar terbitan Betawi.
Sebelum menjalankan koran sendiri, Tirto Adhi Suryo aktif membantu sejumlah surat kabar,
seperti Chabar Hindia Olanda dan Pembrita Betawi. Pada 1903, Tirto Adhi Suryo mendirikan
korannya sendiri dengan nama Soenda Berita yang diterbitkan setiap Minggu bekerja sama
dengan Bupati Cianjur, R. A. A. Prawiradireja. Surat kabar tersebut merupakan surat kabar
pertama yang mengandalkan tenaga pribumi. Semua hal digerakkan oleh pribumi mulai dari
permodalan hingga pengelolaan. Surat kabar Soenda Berita bertahan sampai tahun 1906.
Tirto Adhi Suryo kemudian mendirikan Medan Prijaji pada 1 Januari 1907 yang diterbitkan
dengan modalnya sendiri. Surat kabar Medan Prijaji merupakan surat kabar dengan visi
nasional yang pertama di Indonesia.
"Anak Hindia" adalah istilah yang dipopulerkan oleh Tirto Adhi Suryo melalui
Medan Prijaji. Melalui tulisan-tulisannya, Tirto Adhi Suryo menyadarkan masyarakat
Indonesia tentang ketidakadilan dan kerugian yang harus dialami akibat penjajahan. Kritik-
kritik tajam yang disampaikan Tirto Adhi Suryo melalui tulisan-tulisannya kemudian
membuat resah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Akibatnya, ia kemudian dibuang oleh
pemerintah kolonial ke Teluk Betting (1910) dan Ambon (1913). Medan Prijaji kemudian
dibubarkan paksa pada 22 Agustus 1912. Selain berjuang melalui surat kabar, R.M. Tirto
Adhi Suryo juga berjuang melalui Sarekat Dagang Islamiyah. Sarekat Dagang Islamiyah
merupakan cikal bakal dari Sarekat Islam. Kondisi kesehatan R.M. Tirto Adhi Suryo semakin
memburuk setelah kembali dari pembuangannya di Ambon. Pada 7 Desember 1918, di
kediamannya, Tirto Adhi Suryo mengembuskan napas terakhirnya.
Melalui usaha dan perjuangannya, Tirto Adhi Suryo merintis pertumbuhan dan
perkembangan pers nasional Indonesia. Dewan Pers Republik Indonesia kemudian
menyatakan Tirto Adhi Suryo sebagai Perintis Pers Nasional pada 1973. Untuk menghormati
jasa-jasanya, tanggal kematiannya pada 7 Desember diperingati sebagai Hari Pers Nasional
dan melalui Keputusan Presiden RI No. 085 / TK/ 2006 tanggal 3 November 2006, Tirto
Adhi Suryo dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional.

2. Cokroaminoto
Raden Haji Umar Said Cokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur pada 1883.
Ayahnya bernama Raden Mas Cokroaminoto dan kakeknya adalah seorang bupati Ponorogo.
Setelah menamatkan sekolah dasar, Cokroaminoto melanjutkan pendidikannya ke OSVIA
(Opleiding School voor Inlandse Ambtenaren) di Magelang. Cokroaminoto tamat dari
OSVIA pada 1902. Setelah itu ia mulai bekerja di beberapa tempat seperti menjadi juru tulis
dan ahli kimia pada sebuah pabrik gula di Surabaya karena ia sempat mengambil sekolah
teknik di Burgerlijke Avond School setelah lulus dari OSVIA.
Pada 1912, Cokroaminoto berkenalan dengan H. Samanhudi, pemimpin Sarekat
Dagang Islam (SDI). Perkenalannya dengan H. Samanhudi kemudian membuat
Cokroaminoto mengenal dunia politik. H. Samanhudi melihat adanya potensi pada diri
Cokroaminoto yang memang dikenal sebagai pribadi yang taat beragama dan cerdas.
Berawal dari ketertarikannya tersebut, H. Samanhudi kemudian meminta Cokroaminoto
untuk bergabung dalam SDI. Ajakan tersebut diterima oleh Cokroaminoto. Perubahan nama
dari Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam adalah usulan yang diajukan oleh
Cokrominoto. Alasannya adalah untuk memperluas jangkauan organisasi. Setelah itu,
Cokroaminoto kemudian menyusun anggaran dasar yang memuat tujuan SI, yaitu
memajukan perdagangan, menolong anggotanya yang mengalami kesulitan, memajukan
kepentingan rohani dan jasmani kaum bumiputera, dan memajukan kehidupan agama Islam.

3. dr. Sutomo
Sutomo atau nantinya dikenal dengan dr. Sutomo lahir di Nganjuk, Jawa Timur pada
30 Juli 1888. Sutomo sempat bersekolah di Sekolah Rendah Bumiputera dan kemudian
dipindahkan ke Sekolah Rendah Belanda (ELS= Europeesche Lagere School). Setelah tamat,
Sutomo melanjutkan pendidikannya ke STOVIA. Di STOVIA, ia bertemu dan berkenalan
dengan Wahidin Sudirohusodo, seorang dokter pensiunan yang tengah berkeliling ke
berbagai daerah untuk mengkampanyekan idenya mengenai pembentukan sebuah badan
yang akan memberikan beasiswa bagi anak Indonesia yang cerdas. Tidak Lama setelah
pertemuan tersebut, Sutomo dan pelajar lainnya di STOVIA sepakat untuk membentuk
sebuah organisasi yang diberi nama Budi Utomo. Organisasi ini berdiri pada tanggal 20 Mei
1908. Dalam kesempatan itu, Sutomo terpilih menjadi ketuanya. Budi Utomo merupakan
organisasi pertama yang didirikan di Indonesia. Pendirian Budi Utomo kemudian menjadi
pendorong terbentuknya organisasi dan partai-partai politik. Tanggal pembentukannya, 20
Mei, ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Pada 1909, Sutomo mulai melepaskan din dari Budi Utomo dan berfokus pada
pendidikannya. Ia lulus dari STOVIA pada 1911. Setelah itu, ia mulai bertugas menjadi
dokter di berbagai daerah di Indonesia. Pada 1911, ia melanjutkan pendidikannya ke
Belanda, kemudian Jerman Barat, dan Austria. Selama menuntut ilmu di Belanda, ia masuk
menjadi anggota Indische Vereeniging, yang merupakan perkumpulan pelajar-pelajar
Indonesia yang bersekolah di negeri Belanda. Indische Vereeniging kemudian berganti nama
menjadi Indonesische Vereniging dan akhirnya menjadi Perhimpunan Indonesia. Sutomo
pernah menjabat ketua dalam organisasi ini yaitu antara tahun 1920 sampai 1921.
Setelah kembali dari luar negeri, Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club (ISC)
pada 11 Juli 1924 dengan tujuan agar golongan-golongan terpelajar dapat bergerak bersama-
sama untuk memajukan rakyat. Pada 11 Oktober 1930, ISC berubah menjadi partai
Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dengan Sutomo sebagai ketuanya. PBI bergerak di bidang
sosial, ekonomi, pengajaran, dan politik. Sutomo melalui PBI juga mendirikan surat kabar
harian Soeara Oemoem dan mingguan Penyebar Semangat. Pada 1933, PBI meleburkan diri
dengan Budi Utomo menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) dengan ketuanya dr. Sutomo
dan wakilnya K. R. M. H. Wuryaningrat. Pada tahun 1934, kondisi kesehatan Sutomo terus
menurun. Sutomo akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada 30 Mei 1938 dan
dimakamkan di belakang Gedung Nasional Indonesia, Surabaya.

4. H. Samanhudi
Samanhudi dilahirkan di Surakarta, Jawa Tengah pada 1878. Ia memiliki nama kecil
Sudarno Nadi. Samanhudi menempuh dua pendidikan, yaitu pendidikan agama dan
pendidikan umum. Samanhudi memperoleh pendidikan agamanya dari Kyai Jadermo di
Surabaya dan pendidikan umum di Sekolah Dasar Bumiputera Kelas Satu. Bisnis
perdagangan batik adalah usaha yang dipilih oleh Samanhudi dalam berbisnis. Melalui
bisnisnya tersebut, ia menjalin hubungan dengan pedagang-pedagang dari kota-kota lain
seperti Purwokerto, Bandung, Surabaya, dan Banyuwangi. Dalam menjalankan bisnisnya, ia
merasakan hambatan-hambatan yang diberikan oleh pemerintah kolonial terhadap para
pedagang pribumi. Dilatarbelakangi oleh hal tersebut, Samanhudi kemudian membentuk
perkumpulan Mardi Budi yang beranggotakan para pedagang-pedagang batik. Tujuan
perkumpulan tersebut adalah saling tolong menolong apabila ada anggota keluarga yang
meninggal dunia. Seiring berjalannya waktu, dirasakan perlunya mengusahakan kemajuan
masing-masing bisnis anggotanya. Berlandaskan tujuan tersebut, pada 1911 Mardi Budi
berganti nama menjadi Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada saat pendiriannya, R. M. Tirto
Ardi Suryo diangkat sebagai penasihat. R. M. Tirto Adi Suryo merupakan ketua SDI yang
lebih dahulu berdiri di Bogor.
Dalam perkembangannya, pemerintah kolonial sempat melarang semua aktivitas SDI
karena adanya ketegangan antara SDI dengan pedagang Tiongkok. Namun, pada 1912, SDI
diizinkan beroperasi kembali setelah pemerintah kolonial tidak menemukan hal-hal yang
membahayakan dalam tubuh SDI. Di tengah usahanya mengembangkan SDI, Samanhudi
bertemu dengan Cokroaminoto. Bersama-sama dengan Cokroaminoto, Samanhudi terus
mengembangkan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berganti nama menjadi
Sarekat Islam (SI). Samanhudi kemudian meminta Cokroaminoto untuk menggantikan
dirinya menjadi ketua SI. Pilihannya tersebut terbukti tepat. Di bawah Cokroaminoto, SI
berkembang pesat dengan jumlah anggota mencapai 450.000 orang. Samanhudi selalu
berpesan agar SI tetap memperhatikan tujuannya. yaitu memperjuangkan kepentingan
rakyat. Samanhudi wafat di Klaten pada 28 Desember 1956, setahun setelah mendapat
penghargaan dan pemerintah RI sebagai Perintis Kemerdekaan.

5. Ki Hajar Dewantara
Suwardi Suryaningrat lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Ia adalah anak kelima
dari Pangeran Suryaningrat, putra pertama dari Sri Paku Alam III. Suwardi memulai
pendidikannya di ELS (Europeesche Lagere School). Setelah tamat, ia melanjutkan ke
Kweekschool (sekolah guru).

Menteri Pendidikan adalah jabatan yang sempat dipangku oleh Suwardi Suryaningrat setelah
Indonesia merdeka. Berkat kepedulian dan kontribusinya yang begitu besar terhadap dunia
pendidikan di Indonesia, -IC Hajar Dewantara dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
Ajarannya yang terkenal adalah "Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani" yang artinya di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, dan di
belakang memberi dorongan. Ki Hajar Dewantara wafat pada 26 April 1959 di Yogyakarta
dan dimakamkan di makam Wijayabrata. Untuk mengenang jasa Ki Hajar Dewantara yang
begitu besar di bidang pendidikan, tanggal lahirnya, yaitu 2 Mei diperingati sebagai Hari
Pendidikan Nasional.

6. E. F. E. Douwes Dekker Ernest Francois Eugene Douwes Dekker lahir di Pasuruan, Jawa
Timur pada 8 Oktober 1879. Ketika dewasa, Douwes Dekker mengganti namanya menjadi
Danudirja Setiabudi. Douwes Dekker memiliki darah campuran Belanda, Jerman, Prancis,
dan Jawa. Ia memperoleh pendidikan di HBS (Hoogere Burger School) atau Sekolah
Menengah Tingkat Atas Belanda. Douwes Dekker aktif berkecimpung di dunia jurnalistik. Ia
pernah bekerja di harian De Locomotief di Semarang, kemudian Soerabiaasch Handelsblad,
dan Bataviaasch Nieuwsblad. Pada 1910, Douwes Dekker kemudian menerbitkan majalahnya
sendiri yang terbit sekali dalam lima belas hari di Bandung, yaitu Het Tijdschrift. Dua tahun
kemudian, pada 1 Maret 1912, Douwes Dekker menerbitkan harian De Expres yang tajam
mengkritik pemerintah Hindia Belanda. kehadiran surat kabar harian De Expres kemudian
dengan cepat berkembang menjadi wadah bagi pemuda untuk menyalurkan tulisan-tulisan
yang menyerang dan mengecam praktik kolonialisme Belanda di Indonesia. Bersama Cipto
Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker mendirikan partai politik
Indische Partij (IP) pada 25 Desember 1912. Partai ini berhaluan radikal. Tujuannya adalah
mempersatukan bangsa sebagai persiapan untuk mencapai kemerdekaan. Indische Partij
adalah organisasi yang memperkenalkan istilah "Indie voor Indiers" atau "Hindia untuk
bangsa Hindia". Istilah Indie pada masa itu sama dengan Indonesia pada masa kini. Indische
Partij kemudian berkembang dalam waktu singkat dengan jumlah cabang mencapai 30
cabang dan jumlah anggota mencapai 7.500 orang. Namun, nasib Indische Partij harus
berakhir ketika pemerintah Hindia Belanda menolak untuk mengesahkan partai ini menjadi
badan hukum. Indische Partij kemudian dibubarkan oleh pengurus pusatnya pada Maret
1913.

C. Masa Proklamasi dan Mempertahankan Kemerdekaan

Periode ini didominasi oleh kaum-kaum terpelajar yang menyadari penderitaan yang
bangsanya alami. Tekad bulat ini didukung dengan keberanian, rela berkorban, dan tanggung
jawab telah menjadi aspek pendorong dari kegigihan bangsa Indonesia berjuang memperoleh
kemerdekaan. Berikut tokoh-tokoh yang berjuang dalam periode mencapai kemerdekaan dan
mempertahankannya.

1. Sukarno Sukarno dilahirkan di Surabaya pada 6 Juni 1901. Ayahnya bernama Raden
Sukeni Sosrodihardjo adalah seorang guru asal Blitar. Ibunya bernama Ida Nyoman
Rai, berasal dari Bali. Berlatar belakang keluarga bangsawan, Sukarno mendapatkan
keistimewaan dengan memperoleh pendidikan yang cukup. Hal yang tidak semua
masyarakat pribumi dapat menikmatinya. Sukarno mengenyam pendidikannya di
Volkschool (Sekolah Rakyat), Standard School, dan Europeesche Lagere School di
Sidoarjo, Jawa Timur. Pada 1915, Sukarno meneruskan pendidikannya ke HBS
Surabaya dan THS (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung dan lulus pada 1925 dengan
menyandang gelar Sarjana Teknik atau insinyur. Setelah tamat, Sukarno sempat
bekerja sebagai seorang arsitek dan mendirikan biro insinyur bersama dengan Ir.
Anwari.
2. Mohammad Hatta Mohammad Hatta dilahirkan di Bukittinggi, Sumatra Barat pada 12
Agustus 1902. Ia menempuh pendidikan dasarnya di ELS (Europeesche Lagere
School) di Bukittinggi dan pendidikan setingkat SMP di MULO (Meer Uitgebreid
Lagere Onderwijk) di Padang. Setelah tamat, is melanjutkan pendidikannya ke
Handels Middlebare School (Sekolah Menengah Ekonomi) di Jakarta. Tamat dari
sekolah ini pada 1921, Hatta pergi ke negeri Belanda untuk melanjutkan
3. pendidikan tinggi di Handels Hogere School (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam.
Hatta berhasil menyelesaikan studinya pada 1932 dan berhak menyandang gelar
sarjana ekonomi. Hatta muda aktif terlibat dalam sejumlah organisasi kepemudaan
baik ketika masih di Sumatra Barat, Jakarta, bahkan ketika berada di Belanda. Ketika
masih sekolah di MULO, hanya bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond
(JSB) cabang Padang. Keterlibatannya dalam organisasi tersebut berlanjut ketika is
berada di Jakarta. Hatta diangkat menjadi bendahara JSB Pusat. Ketika berada di
negeri Belanda, Hatta bergabung dalam Indische Vereniging yang nantinya menjadi
Perhimpunan Indonesia (PI). Hatta juga dipercaya untuk menjadi ketua Perhimpunan
Indonesia selama empat tahun, yaitu antara 1926 sampai 1930. Melalui PI, Hatta
memulai perjuangan politiknya. Perhimpunan Indonesia di bawah pimpinan Hatta
mengedepankan semangat nonkooperasi dan kemerdekaan Indonesia. Pada 25
September 1927, Hatta ditangkap dan dipenjar a akibat tuduhan telah menjadi
komunis dan tengah mempersiapkan pemberontakan. Anggapan tersebut terjadi
karena Hatta bertemu dengan Semaun, seorang tokoh komunis yang melarikan diri ke
luar negeri setelah pemberontakan PKI yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia
gagal. Dalam sidangnya di pengadilan, Hatta menyampaikan melalui pidatonya yang
berjudul "Indonesia Vrij" (Indonesia Merdeka) tentang kesengsaraan yang dialami
oleh rakyat Indonesia akibat dari praktik-praktik kolonial. Hatta dan rekan-rekannya
kemudian dibebaskan setelah pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa mereka
bersalah. Pada 1935, Hatta kembali ditangkap dan dibuang ke Digul dan kemudian
bersama Syahrir dipindahkan ke Banda Naira. Menjelang proklamasi kemerdekaan,
Hatta juga menjadi tokoh yang diculik oleh golongan pemuda ke Rengasdengklok
bersama Sukarno. Pada 17 Agustus 1945, teks proklamasi dibacakan oleh Sukarno
dengan didampiingi oleh Hatta. Sidang PPKI sehari setelahnya kemudian mengangkat
Sukarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden. Setelah proklamasi
kemerdekaan, Hatta aktif terlibat dalan-1 sejumlah perundingan antara Indonesia dan
Belanda. Salah satunya adalah memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja
Bundar (KMB). Hasil KMB adalah pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Namun, RIS tidak bertahan lama. Ketika Indonesia kembali ke bentuk negara
kesatuan, Hatta kembali memegang kekuasaan sebagai Wakil Presiden. Pada
Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden.
Hatta wafat pada 14 Maret 1980 dan dimakamkan di pemakaman umum Tanah Kusir,
Jakarta.
4. 3. Sutan Syahrir Sutan Syahrir dilahirkan di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada
tanggal 5 Maret 1909. Ia mendapatkan pendidikan yang cukup. Setelah menamatkan
Sekolah Dasar Belanda (Europeesche Lagere School) di Medan, ia melanjutkan ke
MULO (SMP) di Medan juga. Kemudian melanjutkan ke AMS bagian A (sejenis
SMA urusan budaya) di Bandung. Ia aktif dalam organisasi Jong Indonesia (Pemuda
Indonesia) yang berasaskan nasionalisme. Pada tahun 1929, ia berangkat ke negeri
Belanda, belajar di fakultas Hukum Universitet Amsterdam. Di Belanda, ia bertemu
dengan Hatta dan menjalani organisasi bersama. Pada tahun 1930 Sutan Syahrir juga
bergabung dengan organisasi Perhimpunan Indonesia (PI). Pada tahun 1931, H. Agus
Salim datang ke negeri Belanda. Dan mulut H. Agus Salim sendiri, Hatta dan Syahrir
menerima berita lengkap tentang kejadian di Indonesia, seperti penangkapan Ir.
Sukarno dan dibubarkannya PNI oleh Mr. Sartono. Hatta dan Syahrir kemudian
memutuskan harus ada yang pulang ke Indonesia dan meninggalkan kuliah yang
belum tamat. Syahrir kemudian mengalah dan pulang ke Indonesia. Selanjutnya, ia
bergabung dengan PNI baru yang sebelumnya sempat dibubarkan oleh pemerintah
Hindia Belanda. PNI kemudian dianggap semakin radikal sehingga Sutan Syahrir dan
Moh Hatta diasingkan di Boven Digoel selama setahun dan selanjutnya dipindahkan
ke Banda Neira untuk masa pembuangan 6 tahun. Semangat perjuangan menentang
penjajah tidak hanya saat pemerintahan Belanda, tetapi dalam biografi Sutan Syahrir,
ia masih tetap berjuang pada saat penjajahan Jepang. PNI yang semakin berkembang
ia jadikan roda pergerakan kekuatan bawah tanah. Hingga akhirnya Sutan Syahrir
beserta pemuda-pemuda Indonesia mendesak Sukarno dan Hatta untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sutan Syahrir juga berperan dalam
mempertahankan kemerdekaan, yaitu dengan membentuk Kabinet Syahrir I hingga
Kabinet Syahrir III, dan mempertahankan Indonesia melalui jalur diplomasi. Setelah
tidak memimpin kabinet, Sutan Syahrir menjadi penasihat Presiden Sukarno dan
membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI). Syahrir kemudian terjerat kasus PRRI dan
partainya dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada 1961. Selama tiga tahun, Sutan
Syahrir dipenjara tanpa diadili dan menderita sakit tekanan darah tinggi. Atas izin
yang didapat, ia boleh berobat di Swiss, tetapi ia tidak dapat bertahan hingga
meninggal di Swiss. Sutan Syahrir meninggal pada tanggal 9 April 1966 dan
dikebumikan di TMP Kalibata. Pemikiran dan tindakannya yang berkontribusi besar
membangun negara Indonesia tidak terlepas dari sikap pantang menyerah yang
dipegang teguh oleh Sutan Syahrir. Ia telah mengorbankan dirinya untuk berjuang
sedan masa
5. pergerakan nasional, Jepang, saat peristiwa proklamasi hingga pasca kemerdekaan
Indonesia. Maka, pada tanggal 9 April 1966 pemerintah Indonesia memberikan gelar
pahlawan nasional dengan S.K. Presiden No.76 kepada Sutan Syahrir. 4. Ahmad
Soebardjo Ahmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat,
tanggal 23 Maret 1896. Ia bersekolah di Hogere Burger School Jakarta, pada 1917. Ia
kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan
memperoleh ijazah Meester in de Rechten (setara dengan Sarjana Hukum) di bidang
undang-undang pada 1933. Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui beberapa organisasi, seperti Jong
Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia
pun menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta dan para ahli
gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga Menentang
Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di
Jerman. Saat kembali ke Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 16 Agustus 1945, para pemuda
pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, dan Shodanco Singgih, membawa
Sukarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Sukarno dan
Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Peristiwa ini dinamakan Peristiwa
Rengasdengklok. Dalam peristiwa ini, golongan muda berusaha meyakinkan Sukarno
bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa
pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Ahmad
Soebardjo melakukan perundingan. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto
untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Sukarno
dan Hatta kembali ke Jakarta. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda
untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan. Pada 18 Agustus 1945,
Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet Presidensial, kabinet
Indonesia yang pertama, dart kembali menjabat menjadi Menteri Luar Negeri sekali
lagi pada tahun 1951-1952. Selain itu, ia juga menjadi duta besar Republik Indonesia
di Swiss antara tahun-tahun 1957-1961. Dalam bidang pendidikan, Soebardjo
merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan dan Diplomasi Republik
Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas

5. Sukarni Kartodiwiryo Sukarni dilahirkan 14 Juli 1916, is mulai bersekolah di mardisiswa,


yaitu sejenis taman siswa yang didirikan oleh Mohammad Anwar di Semarang. Ia banyak
memperoleh pembelajaran tentang pergerakan bangsa dan negara melalui

taman siswa tersebut. Sejak kecil, Sukarni terkenal pemberani termasuk saat ia berhadapan
dengan keturunan-keturunan Belanda. Ia merasa dirinya tetap setara dengan anak keturunan
Belanda. Sukarni pun dikeluarkan dari sekolah dan dia tidak menyerah untuk belajar. Ia
melanjutkan sekolah di Yogyakarta lalu pindah ke Jakarta. Sukarni kemudian mendalami
ilmu jurnalistik di Bandung. Salah satu jasa Sukarni yang terkenal adalah ketika terjadi
peristiwa rengasdengklok. Peristiwa rengasdengklok adalah peristiwa penculikan Sukarno
dan Mohammad Hatta dengan tujuan menyelamatkan dari pengaruh Jepang dan mempercepat
proses kemerdekaan RI. Selain perannya dalam peristiwa bersejarah Rengasdengklok,
Sukarni terkenal aktif dalam partai politik. Hal ini dibuktikan dengan jabatannya sebagai
politisi di Partai Murba yang didirikannya dan diketuai olehnya. Partai ini merupakan partai
nasionalis yang membawa perubahan Indonesia lebih baik terutama dalam hal
mempertahankan kemerdekaannya. Sukarni bahkan sering dipenjara karena perjuangannya.
Bahkan ketika Sukarni mencoba menasihati Bung Karno tentang gerakan PKI di Istana Bogor
ia malah ditangkap dan selanjutnya partai ini dibekukan oleh pemerintah. Namun, akhirnya
setelah Sukarni bebas, pembekuan partai ini sudah berakhir lalu partai ini kembali aktif. Jasa
Sukarni ini lalu dianggap begitu penting hingga akhirnya Presiden Joko Widodo memberikan
ia gelar bintang mahaputra kelas empat yang ditujukan pada perwakilan keluarganya. 6.
Sayuti Melik Sayuti dilahirkan pada 22 November 1908, di Sleman, Yogyakarta. Nama ash
beliau adalah Mohammad Ibnu Sayuti. Orang tuanya bernama Abdul Mu'in alias
Partoprawito dan Sumilah. Istri beliau bernama Soerastri Karma. Istri Sayuti Melik
merupakan seorang aktivis perempuan sekaligus wartawan.Dalam Biografi Sayuti Melik
disebutkan pendidikan beliau di mulai dari Sekolah Ongko Loro (SD) di Srowolan Solo
hanya sampai kelas 4 dan kemudian dilanjutkan di Yogyakarta. Sejak masih muda beliau
aktif menulis tentang aktivitas pemerintah Belanda yang dianggap menyimpang hingga
Sayuti Melik beberapa kali ditahan. Sayuti Melik, bahkan pernah dibuang di Boven Digul
(1927-1933) karena dianggap terlibat dengan PKI oleh Belanda. Selama satu tahun, beliau
juga pernah ditawan dan dipenjara di Singapura. Pada 1937, beliau pulang ke Jakarta, tetapi
dimasukkan ke sel di Gang Tengah hingga 1938. Berkat kegemarannya dan istrinya dalam
bidang menulis dan melakukan analisis kritik, Sayuti Melik mendirikan koran Pesat di
Semarang. Bagian redaksi, percetakan, hingga penjualan dilakukan sendiri. Namun, mereka
tetap tidak terlepas dari pengasingan. Selama menerbitkan koran tersebut, Sayuti Melik atau
istrinya bergantian keluar masuk penjara dan pengasingan. Hal itu dikarenakan tulisan
mereka yang tajam dan kritis. Pada pendudukan Jepang, atas bantuan Bung Karno, Sayuti
Melik dan istrinya dapat bersatu kembali. Selain aktif dalam dunia jurnalis, biografi Sayuti
Melik juga menyebutkan bahwa dirinya menjadi anggota PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia). Sayuti Melik sangat berperan dalam proses lahirnya kemerdekaan
Indonesia. Pada tanggal 16 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta diculik dan dibawa ke
Rengasdengklok. Penculikan tersebut bertujuan mencapai sebuah kesepakatan mengenai
proklamasi. Akhirnya naskah proklamasi dirumuskan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di
rumah Laksamana Muda Maeda. Biografi Sayuti Melik menyatakan bahwa dirinya dan
Sukarni menjadi saksi dan membantu mereka dalam merumuskan proklamasi. Atas usul
Sayuti Melik juga proklamasi ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama
bangsa Indonesia. Karier politik Sayuti Melik semakin berkembang. Beliau pernah menjabat
sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Adapun pada masa orde baru
karier politik Sayuti Melik berkembang menjadi anggota DPR pada 1971 hingga 1977.
Beliau meninggal pada 27 Februari 1989. Penghargaan yang beliau dapat adalah Bintang
Mahaputra (1961) dan Bintang Mahaputra Adiprana pada tahun 1973.

7. B. M. Diah Nama asli B. M. Diah adalah Burhanuddin. Nama ayahnya adalah Mohammad
Diah, yang berasal dari Barus, Sumatra Utara. Burhanuddin kemudian menambahkan nama
ayahnya kepada namanya sendiri. Burhanuddin belajar di HIS, kemudian melanjutkan ke
Taman Siswa di Medan. Keputusan ini diambilnya karena ia tidak mau belajar di bawah
asuhan guru-guru Belanda. Pada usia 17 tahun, Burhanuddin berangkat ke Jakarta dan belajar
di Ksatrian Instituut (sekarang Sekolah Ksatrian) yang dipimpin oleh E.E. Douwes Dekker.
Burhanuddin memilih jurusan jurnalistik, tetapi ia banyak belajar tentang dunia
kewartawanan dari pribadi Douwes Dekker. Burhanuddin sebenarnya tidak mampu
membayar biaya sekolah. Namun, melihat tekadnya untuk belajar, Dekker mengizinkannya
terus belajar dan bahkan memberikan kesempatan kepadanya menjadi sekretaris di sekolah
itu. Setelah tamat belajar, Burhanuddin kembali ke Medan dan menjadi redaktur harian Sinar
Deli. Ia tidak lama bekerja di sana, karena satu setengah tahun kemudian ia kembali ke
Jakarta dan bekerja di harian Sin Po sebagai tenaga honorer. Tak lama kemudian ia pindah ke
Warta Harian. Tujuh bulan kemudian, koran itu dibubarkan karena dianggap membahayakan
keamanan.'Burhanuddin kemudian mendirikan usahanya sendiri, Pertjatoeran Doenia.

Anda mungkin juga menyukai