Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

TOKOH TOKOH PERJUANGAN KEBANGKITAN

NASIONAL SEBELUM TAHUN 1908


KELOMPOK 1
NAMA KELOMPOK
1.DAFFA ALZAHIDAN
2.RAFFA INDIARTO
3.HAIKAL AL FAJRIN
4.PATHIR EGI REFANZA

KELAS: 8.5
MAPEL: PPKN
SMPN 1 LAWANG KIDUL
TAHUN 2022/2023

1.SULTAN HASANUDDIN
Setelah menjadi sebuah kesultanan Makassar, kemudiaan mereka berusaha
untuk mengislamkan berbagai kerjaan Bone pada tahun 1528 dan Bone
membentuk persekutuan dengan kerajaan – kerajaan kecil lainnya seperti
Kerajaan Wajo dan Kerajaan Soppeng, Kemudiaan persekutuan itu disebut
dengan Persekutuan Tellum Pocco ( Tiga kekuasaan). Namun satu persatu
kerajaan tersebut berhasil ditaklukan oleh Kesultanan Makassar. Selain
menaklukan kerajaan tetangga, mereka memperluas pengaruh hingga ke
bagian timur kepulauan Nusa Tenggara. Kesultanan Makassar (Gowa – Tallo) sempat menjalin kerja sama
dengan kerajaan islam lainnya, khususnya kesultanan Mataram di Jawa. Hingga kini, Islam menjadi agama
Mayoriats di wilayah Sulawesi Selatan. Penguasa terbesar dan terakhir dari Kesultanan Makassar adalah Daeng
Mattawang yang lebih dikenal dengan nama Sultan Hasannudin (1653-1669). Dibawah kepemimpinan
Hasannudin ini Makassar berkembang menajdi satu kekuasaan besar di awasan timur nusantara. Sultan
Hasannudin juga berhasil mengembangkan pelabuhannya dan menjadi bandara transit di Indonesia bagian
timur pada waktu itu. Hassanudin mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur. Karena keberanianya dan
semangat perjuangannya, Makassar menjadi kerajaan besar dan terpengaruh berpengaruh terhadap kerajaan
di sekitarnya..

Namun dalam kurun waktu yang cukup lama, Kesultanan Makassar (Gowa-Tallo) terlibat persaingan dengan
Kerjaan Bone. Persaingan antara dua kekuatan pada akhirnya melibatkan kedua campur tangan dari Belanda
dalam sebuah peperangan yang dinamakan Perang Makassar memanfaatkan situasi dengan berpihak pada
Kerajaan Bone, sebagi musuh kesultanan Makassar dipimpin langsung oleh Sultan Hasannudin akan tetapi
Hasannudin tidak bisa mematahkan kekuataan Kerajaan Bone yang dibantu oleh kekuataan Belanda yang
berambisi menguasai Makassar. Kemudiaan Hasannudin dipaksa oleh VOC untuk menandatangani Perjannjian
Bungaya (18 November 1667) sebagai tanda takluk pada VOC.

2.PANGERAN ANTASARI
Perang Banjar bermula saat Pangeran Antasari dengan 300
prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di
Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan
demi peperangan dikomandoi oleh Pangeran Intisari dan
rakyat Banjar, dengan dibantu para panglima dan pengikutnya
yang setia, Pangeran Antasari Menyerang Pos - pos Belanda
di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut,
Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke puncak Puruk
Cahu.

     Pertempuran yang berkencamuk itu semakin sengit dan


berlangsung terus hngga ke medan perang. Pasukan Belanda
yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan
persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus
pasukan Pangeran Antasari. Dan akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng
pertahananya di Muara Teweh.
   Berkali - kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun dia tetap pada
pendiriannya. Ini tergambar pada surat yang ditunjukan pada Letnan Kolonel Gustav Verspijck di
Banjarmasin pada tanggal 20 Juli 1861.

" dengan tegas kami terangkan pada tuan : kami tidak setuju pada usul minta ampun dan kami
berjuan terus untuk terus menuntut Hak pusaka (Kemerdekaan) ."

  Dalam peperangan, Belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapapun yang mampu
menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imblan 10.000 gulden. Namun sampai perang
selesai tidak ada satu pun yang mau menerima terhadap tawaran tersebut. Berikut orang - orang
yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintahan Kolonial Belanda :
1. Antasari dengan anak - anaknya,
2. Demang Lehman
3. Amin Oellah
4. Soero Patty dengan anak - anaknya
5. Kiai Djaya Lalana
6. Goesti Kassan dengan anak - anaknya. 
Perjalanan Akhir Perang Banjarmasin :

  Setelah berjuang di tengah - tengah rakyat, Pangeran Antasari akhirnya wafat di tengah - tengah
pasukannya tanpa menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 10
Oktober 1862 di tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia kurun lebih dari 75 tahun.
Menjelang wafatnya dia terkena sakit paru - paru dan cacar yang di deritannya selama masa
peperangan berlangsung di Bawah Kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Perjuangan dilanjutkan oleh
putranya yang bernama Muhamad Semam.
  Setelah terkubur selama kurang lebih dari 91 tahub di daerah hulu sungai Barito. Atas keinginan
rakyat Banjar dan keluargannya lalu pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan
jenazah pengangkatan kerangka Pangeran Antasari yang masih utuh adalah Tulang tengkoraknya,
tempurung, lutut, dan beberapa helai rambutnya. Kemudiaan kerangka ini dimakamkan kembali di
Taman Makam Perang Banjar, Keluarahan Surgi Mufti, Banjarmasin.

  Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagi Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh
pemerintah Indonesia berdasarkan SK NO. 06/ TK/ 1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968. Nama
Antasari diabadikan pada Korem 101 / Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi
ANtasari. Kemudiaan untuk lebih mengenalkan Pangeran Antasari kepada masyarakat nasional,
Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar
Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp2.000

3.   KAPITAN PATMURA

  Pattimura (Thomas Matulessy) lahir di Haria, pulau Saparua,


Maluku 8 juni 1783 dan meninggal di Ambon 16 Desember 1817 pada
umur 34 tahun. Ia dikenal dengan nama Kapiten Pattimura adalah
Pahlawan Nasional Indonesia dari Maluku. Sebelum melakukan
perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan militer sersan
Inggris.
   Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasannya kepada pihak Belanda dan Kemudiaan
Belanda menetapkan kebijakan poitik Monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemidahan penduduk
serta pelayaran Hongi (Hongitochen), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11
memuat ketentuan bahwa presiden Inggris di Ambon harus merundingkan terlebih dahulu
pemindahan Koprs Ambon dengan gubernur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan
jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu - serdadu di Ambon
harus di bebaskan dalam artian berhak untuk memasuki kawasan dinas militer pemerintahan baru
atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam prakteknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan.
Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini
disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua
abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura.
Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, raja - raja Patih, Para Para
Kapitan, tua - tua adat mengangkatnya sebagai pemimpin panglima perang karena berpengalaman
dan memiliki sifat kesatria (kabaressi).

  Sebagai Panglima Perang, Kapitan Patimura mengatur startegi perang bersama pembantunya.
sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja - raja Patih dalam melaksanakan kegiatan
pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan, dan membangun
benteng - benteng pertahanan. Kewibaanya dalam kepemimpinannya diakui secara luas oleh para
Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menetang Belanda ia juga menggalang
persatuan dengan Kerajaan Ternate dan Tidore, raja - raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang
Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi oleh Belanda dengan kekutan militer yang besar dan
kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jendral untuk
menghadapi Pattimura.

   Pertempuran - pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut
dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para panglimannya antara lain Melchior Kesaulya,
Anthoni Rebook, Philip Latuhamina dan Ulupaha. Pertempuaran yang menghancurkan Belanda
tercatat seperti perebutan Benteng Belanda Duurstede di Saparua, pertemuan di pantai Waisisil dan
Jasirah Hatawano, muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat
ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota
Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai pahlawan
perjuangan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Indonesia.

4.PANGERAN DIPONEGORO

 Perang  Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan


sebutan (Perang Jawa)  merupakan suatu perang besar yang
terjadi selama kurun waktu 5 tahun lamanya. Di pulau Jawa
Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan
salah satu pertempuran terbesar yang pernah terjadi dialami
oleh Belanda selama masa kependudukannya di Nusantara,
melibatkan pasukan Belanda di bawah pemimpinan Jendral
Hendrik Merkus de Kock yang berusaha meredam perlawanan
penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Akibatnya perang ini, penduduk Jawa tewas hingga mencapai
200.000 jiwa, sementara korban tewas pihak Belanda
berjumlah sekitar 8.0000 jiwa tentara Belanda dan 7000
serdadu pribumi. Akhir perang ini menegaskan penguasaan
Belanda atas Pulau Jawa.
Jalannya Perang Diponegoro :

   Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan -pasukan infantri, kavaleri, artileri (yang sejak
perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam frontal ) di kedua belah pihak berlangsung dengan
sengit. Front pertempuran terjadi pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa.
Pertemuan berlangsung sedemikan sengitnya sehingga bila suatu wilayah dikuasai pasukan Belanda
pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu
pula sebaliknya. Jalur - jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong
keperluan perang. Berpuluh - puluh kilang mesiu dibangun di hutan - hutan dan di dasar jurang.
Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus menerus sementara peperangan sedang berkecamuk.
Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk
menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak waktu, kondisi medan perang,
curah hujan menjadi menjadi berita utama karena taktik dan strategi yang jitu dapat dibangun melalui
penguasaan informasi.

  Serangan -serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan - bulan penghujan ; para
senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila
musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha - usaha untuk melakukan gencatan
senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka
terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak nampak"
melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan
senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan pasukan dan menyebarkan mata -
mata dan provokator mereka bergerak di desan dan kota ; menghasut, memecah belah dan bahkan
menekan anggota keluarga para pangeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah
komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang
melawan Belanda.

  Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan mengguanakan
sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin
spritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudiaan Pangeran Mangkubumi dan panglima
utamannya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 maret
1830, Jendral De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran
Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya
dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditanggkap dan diasingkan ke Manado, Kemudiaan
dipindahlan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

   Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsa Jawa. Karena bagi sebagiaan
orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, konon keturunana Diponegoro tidak
diperbolehkan lagi masuk ke Kraton hingga Sri Sultan Hamengkubowono IX memberi amnesti bagi
keturunana Diponegoro dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai
Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk
mengurus silsilah bagi mereka tanpa rasa takut akan diusir

5.SULTAN AGUNG
Sultan Agung dari
Mataram (Jawa: ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦒꦸꦁꦲꦢꦶꦥꦿꦧꦸꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ, 
translit. Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma; lahir
di Kutagede, Mataram, 1593–meninggal di Karta, Mataram, 1645)
adalah sultan Mataram ketiga yang memerintah dari tahun 1613-
1645. Seorang sultan sekaligus senapati ing ngalaga (panglima
perang) yang terampil ia membangun negerinya dan
mengkonsolidasikan kesultanannya menjadi kekuatan teritorial
dan militer yang besar.
Sultan Agung atau Susuhunan Agung (secara harfiah, "Sultan
Besar" atau "Yang Dipertuan Agung") adalah sebutan gelar dari
sejumlah besar literatur yang meriwayatkan karena warisannya
sebagai raja Jawa, pejuang, budayawan dan filsuf peletak pondasi Kajawen. Keberadaannya
mempengaruhi dalam kerangka budaya Jawa dan menjadi pengetahuan kolektif bersama.
Sastra Belanda menulis namanya sebagai Agoeng de Grote (secara harfiah, "Agoeng yang
Besar").

6.SISINGAMANGRAJA
i Singamangaraja XII dengan nama lengkap Patuan Bosar
Sinambela ginoar Ompu Pulo Batu (18 Februari 1845 – 17
Juni 1907) adalah seorang raja di Negeri Toba dan pejuang
yang berperang melawan Belanda. Ia diangkat oleh
pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia pada tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK
Presiden RI No 590/1961.
Semula, ia dimakamkan di Tarutung, Tapanuli Utara, lalu
dipindahkan ke Soposurung, Balige, Toba pada tahun 1953.[1]

Si Singamangaraja XII adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh


raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling di kawasan utara
Sumatera untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.[2] Dalam sepucuk surat kepada Marsden
bertahun 1820, Thomas Stamford Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan
kepadanya mengenai Si Singamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa
di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa
dari Pagaruyung.[3]
Sampai awal abad ke-20, Si Singamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada
pemimpin Pagaruyung melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya
kepada pemimpin Pagaruyung.[4]
Sementara itu, sumber dari Pemerintah Daerah setempat menyebutkan bahwa dinasti
Singamangaraja bermula dari salah satu keturunan Si Raja Oloan. Si Raja Oloan memiliki enam
orang putra yakni Naibaho, Sihotang, Bakkara, Sinambela, Sihite, dan Simanullang.
Kemudian, Sinambela memiliki tiga orang putra, salah satunya adalah Raja Bona Ni Onan. Raja
Bona Ni Onan menikah dengan seorang boru Pasaribu. Anak dari Raja Bona Ni Onan adalah
Raja Manghuntal yang kemu
7.Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung, 1772 – wafat
dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6
November 1864) adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang
berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang
Padri pada tahun 1803–1838.[1] Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973,
tanggal 6 November 1973.[2]
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Syahab, yang lahir
di Bonjol pada 1 Januari 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin
Syahab (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin Syahab,
merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima
Puluh Kota.[3] Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad
Syahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku
Imam.[4] Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin
dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin)
bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam
Bonjol. Salah satu naskah aslinya ada di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan
Provinsi Sumatra Barat Jalan Diponegoro No.4 Padang Sumatra Barat. 

8.SULTAN AGENG TIRTAYASA


Tirtayasa dari Banten (lahir di Kesultanan Banten, 1631 – meninggal di Batavia, Hindia
Belanda, 1692 pada umur 60–61 tahun)[1] adalah sultan Banten ke-6. Ia naik takhta pada usia 20
tahun menggantikan kakeknya, Sultan Abdul Mafakhir yang wafat pada tanggal 10 Maret 1651,
setelah sebelumnya ia diangkat menjadi Sultan Muda dengan gelar Pangeran
Adipati atau Pangeran Dipati, menggantikan ayahnya[2] yang wafat lebih dulu pada tahun 1650.
[3]
 Pada tahun 2017 sutradara Darwin Mahesa mengangkat film Tirtayasa The Sultan of
Banten bergenre dokudrama yang diproduksi oleh Kremov Pictures.[4]
Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (Sultan Banten
periode 1640–1650) dan Ratu Martakusuma. Sejak kecil ia bergelar Pangeran Surya, kemudian
ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Dipati. Setelah
kakeknya meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651, ia diangkat sebagai Sultan Banten ke-6
dengan gelar Sulthan 'Abdul-Fattah al-Mafaqih.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di
dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang).
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651–1683. Dia memimpin
banyak perlawanan terhadap Belanda. Pada masa itu, VOC menerapkan perjanjian
monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak
perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng
Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia (Nusantara).
Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka
sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. [butuh rujukan]
Di bidang keagamaan, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat Syekh
Yusuf sebagai mufti sekaligus penasehat kesultanan. Ia juga memberikan kepercayaan kepada
Syekh Yusuf untuk mendidik anak-anaknya tentang agama. Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa
juga menikahkan putrinya yang bernama Siti Syarifah dengan Syaikh Yusuf. [5]
Ketika terjadi sengketa dengan putra mahkota, Sultan Haji dan ( pangeran purbaya ), Belanda
ikut campur dengan cara bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng
Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda
membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-
Martin

Anda mungkin juga menyukai