Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan meluas,
bukan hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke bidang-bidang
lainnya seperti kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang semakin besar dan
meluas terhadap kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa
perlawanan dan perang melawan penindasan dan penjajahan bangsa Eropa. Tindakan
sewenang-wenang dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah
menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan
penindasan itu, rakyat Indonesia memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan
mula-mula ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC.
Perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua periode,
yaitu perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun 1800. Pembagian waktu
tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman mengenai sejarah perlawanan bangsa
Indonesia terhadap Bangsa-Bangsa Barat tersebut. Perlawanan sebelum tahun 1800, yaitu :
Perlawanan Rakyat Mataram, Perlawanan Rakyat Banten, Perlawanan Rakyat Makasar,
Pemberontakan Untung Surapati. Sedangkan perlawanan sesudah tahun 1800, yaitu :
Perlawanan Sultan Nuku(Tidore), Perlawanan Patimura, Perang Diponegoro,Perang Paderi,
Perang Aceh, Perang Bali, Perang Banjarmasin.
Proses penjajahan di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan cukup
tergambarkan dalam satu atau dua buku. Berbagai pristiwa yang pernah dialami maupun
berbagai peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi yang masih banyak menyimpan
rahasiah yang mungkin belum mampu terungkap. 

1
BAB II
ISI

2.1. Asal - Usul


Pattimura (atau Thomas Matulessy) (lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni
1783 - meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal
dengan nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Maluku dan merupakan Pahlawan
nasional Indonesia.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija
menulis: "Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram).
Ayahnya yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura
Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di
negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan.”
Namun sejarawan Mansyur Suryanegara berbeda pendapat. Dia mengatakan dalam
bukunya "Api Sejarah" bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy,
lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi
pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah
Sultan Abdurrahman. Raja itu dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim
Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Pada 20 Mei 1960 ditandatangani sebuah daftar silsilah dari Itawaka tentang Thomas
Matulessy oleh Kapten Infantri F.L. Siahainenia dan Wattimena dengan judul Turun
Temurun Kapitan Matulessy. Silsilah kemudian baru ditandatangani wakil pemerintah negeri
Itawaka, A. Syaranamual, pada 26 Mei 1967. Kemudian disahkan di Jakarta dan
ditandatangani Frans Hitipeuw atas nama Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
Ditjenbud, Depdikbud.
Pada 28 Mei 1967, F.D. Manuhutu atas nama Ketua Saniri Negeri Haria,
menandatangani sebuah daftar silsilah Thomas Matulessy berjudul Silsilah Pattimura,namun
berbeda di nama ayah Thomas Matulessy. Versi Itawaka menyebut nama ayah Thomas
dengan Frans Matulessy, sedangkan versi Haria menyebut nama ayah Thomas dengan Frans
Pattimura.

Daftar silsilah Thomas versi Haria ini juga ditandatangani Frans Hitipeuw atas nama
Pemerintah pada 5 Oktober 1987. Jadi pada hari yang sama, Frans Hitipeuw atas nama
Pemerintah mengesahkan dua daftar silsilah Thomas Matulessy.
Setelah itu pada September 1976, I.O. Nanulaita menyusun lagi sebuah daftar silsilah
Thomas Matulessy yang diberi judul Silsilah Pattimura versi Ulath. Kesamaan dari ketiga
versi silsilah itu adalah Thomas Matulessy tidak kawin.
Secara akademik juga sudah pernah ditempuh. Pada 5-7 Nopember 1993, para ahli
sejarah, analis, dan pemerhati sejarah bersama pemerintah berkumpul dalam sebuah forum
ilmiah seminar tentang sejarah perjuangan Pahlawam Nasional Pattimura di Kodam XV

2
Pattimura, yang diselenggarakan Kanwil Depdikbud Provinsi Maluku di Ambon. Tetapi
“Hingga berakhirnya Seminar, belum bisa dipastikan siapa tokoh Kapitan Pattimura yang
sesungguhnya”.
Menariknya seminar sejarah perjuangan Pattimura itu justru merekomendasikan
dalam satu itemnya: Demi kepastian penulisan historiografi perjuangan Pattimura, maka
peran marga Pattimura di Negeri Latu dan Silsilah Thomas Matulessy di Saparua dan
Haruku, perlu diteliti secara lebih serius.

2.2. Latar Belakang Perlawanan


Latar belakang terjadinya perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Thomas
Matulessi yang lebih dikenal dengan nama Kapiten Pattimura, adalah sebagai berikut :
1. Kembalinya pemerintahan kolonial Belanda di Maluku  dari tangan Inggris.
Perubahan penguasa dengan sendirinya membawa perubahan kebijaksanaan dan
peraturan. Apabila perubahan itu menimbulkan banyak kerugian atau penghargaan
yang kurang, sudah tentu akan menimbulkan rasa tidak puas dan kegelisahan.
2. Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja
wajib. Pada zaman pemerintahan Inggris penyerahan wajib dan kerja wajib (verplichte
leverantien, herendiensten) dihapus, tetapi pemerintah Belanda mengharuskannya
lagi. Tambahan pula tarif berbagai barang yang disetor diturunkan, sedang
pembayarannya ditunda-tunda.
Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan uang kertas sebagai pengganti uang logam yang
sudah berlaku di Maluku, sehingga menambah kegelisahan rakyat.
3. Belanda juga mulai menggerakkan tenaga dari kepulauan Maluku untuk menjadi
Serdadu (Tentara) Belanda.

            Berdasarkan Convention of London (1814), daerah Maluku diserahkan kembali oleh


Inggris kepada Belanda. Kedatangan Belanda kembali ke Maluku disambut dengan banyak
perlawanan rakyat. Rakyat Maluku banyak yang merasa trauma dengan penindasan dan
penghisapan pada masa VOC antara lain seperti pelayaran Hongi, ektirpasa dan lain-lain,
rakyat Maluku takut hal-hal di atas kembali terulang.
            Pada tanggal 8 Maret 1817, masuklah 4 kapal perang Belanda ke Teluk Ambon.
Empat kapal itu salah satunya mengangkut 2 orang penting Belanda. Mereka adalah
Komisaris Van Middlekoop dan Engelhard. Sambutan penduduk Maluku sangat suram dan
tidak meriah karena seperti disebutkan di atas, rakyat masih trauma dengan orang-orang
Belanda.
Ketika Maluku dikuasai Inggris, seolah-olah rakyat Maluku ada pada masa yang
menyenangkan. Inggris melarang semua pelanggaran atas hak mereka, kerja paksa dihapus,
Inggris juga membeli hasil bumi Maluku dengan harga yang pantas. Ketika Belanda kembali,
rakyat Maluku seperti kecewa dan tidak senang karena mereka punya dendam dengan orang-
orang Belanda. Perasaan trauma itu sepertinya akan terulang pada saat Residen gubernur
Maluku menginstruksikan diberlakukan kembali kerja paksa (rodi) yang telah dihapuskan

3
oleh pemerintah Inggris sebelumnya dan kewajiban kepada nelayan Maluku untuk
menyediakan perahu (orambai) untuk keperluan administrasi dan militer Belanda. Selain itu
yang paling berat adalah kerja paksa untuk keperluan penebangan kayu.
            Sikap Belanda yang sewenang-wenang ini menimbulkan jiwa kritis rakyat Maluku
timbul, rakyat Maluku mulai membandingkan pemerintahan Inggris dengan Belanda. Orang-
orang Kristen yang dulunya kebanyakan bekerja untuk pemerintahan Inggris kini bergabung
dengan golongan Muslim Maluku untuk merencanakan perlawanan terhadap Belanda.

2.3. Jalannya Perlawanan


Perlawanan dimulai ketika rakyat melakukan protes di Kantor Residen Saparua di
dalam Benteng Duurstedee. Mereka menuntut agar pemerintah bersedia membayar perahu
Orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda dengan harga yang pantas karena selama ini
perahu orambai yang diserahkan kepada pemerintah Belanda tidak pernah dibayar. Residen
Saparua Van den Berg menolak tuntutan rakyat itu. Kejadian itu menyebabkan kebencian
rakyat Maluku semakin menjadi-jadi.
Akhirnya perlawanan dengan kekerasan senjata terhadap Belanda pun direncanakan.
Dalam pertemuan antara para pemimpin rakyat Saparua (berjumlah 100 orang) dibicarakan
mengenai rencana perlawanan dan juga dibicarakan mengenai siapa yang akan memimpin,
selain itu di dalam rapat tersebut muncul desas-desus bahwa Belanda akan mengenakan wajib
militer pada rakyat Maluku untuk ditugaskan ke Jawa, yang mana desas-desus ini
menimbulkan perasaan was-was dan semakin menambah kebencian pada Belanda. Dalam
rapat itu seorang pria bernama Matulessy tampak mendominasi
pertemuan. Mattulessy memiliki nama lengkap ketika lahir adalah Achmat Lussy dan biasa
dipanggil Mat Lussy, ketika Maluku dikuasai Inggris Mat Lussy bekerja sebagai anggota
tentara kolonial Inggris dan memperoleh pangkat kapten (kapitan). Waktu itu Inggris
membentuk Barisan Maluku di mana ada 400 orang Maluku yang bekerja untuk tentara
Inggris. Karena begitu akrab dengan orang Inggris dan sangat menyukai kebudayaannya Mat
Lussy bahkan berpindah agama menjadi Kristen Protestan Anglikan dan merubah namanya
menjadi Thomas Matulessy. Pengalaman di kemiliteran Inggris membuat Mattulessy cukup
disegani karena keahliannya menyusun strategi perlawanan terhadap Belanda, maka para
pemimpin adat sepakat untuk mengangkat Mattulessy sebagai pemimpin dengan
gelar Pattimura.
            Pattimura menetapkan sasaran adalah Benteng Duurstede. Benteng di tepi pantai itu
akan diserang oleh pasukan yang didaratkan dari pantai. Untuk mengangkut
pasukan Pattimura merencanakan akan memakai orambai yang sedianya akan dipesan oleh
Belanda.
            Benteng Duurstede adalah tempat tinggal residen Saparua Johannes Rudolph Van den
Berg yang baru berusia 29 tahun yang sejak 15 Maret 1817 menetap di sana. Ia tinggal
bersama istri dan 4 anaknya. Selain keluarga residen, benteng ini juga dijaga oleh ratusan
tentara dan pegawai administrasi.

4
Pada tanggal 15 Mei 1817 terjadi kerusuhan di Porto di mana sebuah perahu pos
Belanda dirampas oleh rakyat yang marah, rakyat mengancam jika Pemerintah Belanda tidak
bersedia membayar orambai maka perahu pos itu tidak akan dikembalikan berikut isinya.
Residen Van den Berg dengan ditemani 7 pasukan pengawal berangkat ke Porto untuk
melakukan dialog dengan rakyat. Tetapi residen dan pengawalnya tidak tahu bahwa rakyat itu
adalah pengikut Pattimura. Ketika sampai di daerah Haria, residen dan pengawalnya disergap
dan semuanya berhasil ditangkap, beberapa pengawalnya bahkan ada yang terbunuh. Kuda
residen dibunuh. Mengetahui residen ditawan oleh rakyat Saparua, maka
dari Benteng Duurstede dikirimkan sekelompok pasukan senapan berjumlah 20 orang dan 12
orang Jawa bersenjatakan tombak. Di tengah jalan 32 orang serdadu itu dihujani dengan
panah.
Pattimura kemudian membebaskan Van den Berg setelah residen ini mengancam bahwa jika
seorang residen ditahan maka pemerintah Belanda di Batavia tidak akan tinggal diam dan
pasti akan menghukum seluruh rakyat Maluku. Akhirnya residen dibebaskan dengan jaminan
bahwa residen telah menganggap insiden penyanderaan itu selesai dan tidak akan
memperpanjangnya selain itu residen berjanji akan melunasi orambai yang dibeli Belanda.
            Sementara itu, setelah membebaskan residen dan pengawalnya Pattimura dan
pasukannya segera menuju Benteng Duurstede dengan menaiki orambai-orambai yang
berjumlah puluhan.
Pagi hari sebelum matahari terbit orambai-orambai itu sudah sampai di pantai dan ribuan
orang segera turun ke darat dan langsung melakukan serangan sporadis ke
Benteng Duurstede. Pihak Belanda sangat kaget dengan serangan ini dan berusaha bertahan
mati-matian. Tetapi tanpa dinyana dari hutan di belakang benteng juga terjadi serangan dari
rakyat. Akhirnya Benteng Duurstede berhasil direbut tanggal 16 Mei 1817, seluruh isi
benteng dibunuh termasuk residen dan keluarganya termasuk 4 anaknya yang masih kecil
juga jadi korban sabetan kelewang yang tak bermata. Rakyat Maluku yang bekerja untuk
Belanda juga menjadi korban. Namun, kemudian diketahui bahwa anak tertua Van den Berg
tidak mati karena dia bersembunyi di bawah tumpukan mayat. Dengan jatuhnya
Benteng Duurstede maka senjata-senjata yang ada di dalamnya juga ikut dirampas dan
semakin menguatkan kedudukan Pattimura. Setelah menduduki benteng, Pattimura
menurunkan bendera merah putih biru Belanda dan mengibarkan bendera Union Jack Inggris.
            Sore harinya anak tertua Van den Berg ditemukan oleh salah seorang pemberontak
bernama Samuel Pattiwael. Semua pasukan pemberontak ingin membunuhnya tetapi
Pattimura mencegahnya dan bahkan mengangkat anak itu sebagai anak tirinya. Anak Van den
Berg itu bernama Jean Lubbert.
            Berita jatuhnya Benteng Duurstede dan terbunuhnya Residen Van den Berg sampai ke
Batavia. Pemerintah Hindia-Belanda segera memerintahkan Mayor Beetjes untuk memimpin
242 pasukan dan 2 meriam untuk merebut kembali benteng itu. Pasukan itu akan dikirim
dengan perahu tanpa perlindungan kapal perang. Hal ini dilakukan karena Pemerintah
Belanda di Ambon memandang kedudukan Belanda di Ambon masih labil sehingga kapal-
kapal perang harus tetap berada di Ambon. Tanpa perlindungan kapal perang Beetjes berhasil

5
mendarat di Pantai Wae Sisil. Usaha Beetjes menemui kegagalan, setelah mendarat
pasukannya disergap oleh ribuan rakyat Saparua dihancurkan di pantai Wae Sisil depan
Benteng Duurstede dan bahkan ia sendiri terbunuh.
            Kemudian dikirim pasukan lagi yang lebih besar (950 orang) yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Groot. Tetapi setelah pertempuran yang besar dan habis-habisan pasukan
ini pun bisa dihancurkan. Lagi-lagi pasukan Belanda ini tidak dilindungi oleh kapal perang.
            Keberhasilan Pattimura ini menghilhami para pemimpin Maluku di lain daerah dan
merekapun mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Di Hitu perlawanan dipimpin oleh
raja Ulupaha yang berusia 80 tahun. Selain itu seorang raja bernama Paulus Tiahahu juga
membantu perlwanan Pattimura dengan dukungan ekonomi dan bahkan penyediaan logistik
dan pasukan. Bahkan salah seorang putri raja bernama Christina Martha Tiahahu memimpin
perlawanan Maluku dari laut dan darat dengan cara membajak kapal Belanda di perairan
Maluku.
            Politik Devide et Impera dijalankan, Belanda mulai mendekati beberapa tokoh
Maluku yang berpengaruh seperti raja, kepala suku, pendeta Kristen dan tokoh berpengaruh
lainnya untuk ikut membantu mengalahkan Pattimura dan pengikutnya yang masih bercokol
di Benteng Duurstede.
            Akhirnya pasukan besar berjumlah 2000 orang dibawah pimpinan Brigadir Jenderal
Buijskes didaratkan di Saparua pada tanggal 30 September 1817 dan mengepung
Benteng Duurstede. Kali ini serangan Belanda didukung oleh sebuah kapal perang
penjelajah Maria Van Reigersbergen. Pattimura saat itu tidak sedang berada di benteng
sehingga tidak berhasil ditangkap. Akhirnya benteng itu pun jatuh pada tanggal 3 Oktober
1817 dan beberapa tokoh pemimpin perlawanan ditangkap.
            Brigadir Jenderal Buijskes kemudian memecat Residen Van Middelkoop dan
Komisaris Engelhard. Buijskes mengangkat dirinya sebagai residen militer dan bertanggung
jawab atas Maluku. Buijskes kemudian mengirim surat kepada Raja Ternate dan Tidore. Dia
meminta kepada kedua raja itu untuk mengirim pasukan membantu Belanda. Dalam suratnya
itu Buijskes membawa-bawa sentimen agama untuk memecah belah. Kedua raja itu pun
terpengaruh. Pada awal November 1817, sebanyak 1500 pasukan Ternate dan Tidore dari
Suku Alfuru berikut perahu kora-kora nya bergabung dengan Belanda.
Bergabungnya 1500 pasukan Ternate-Tidore dari suku Alfuru ini membikin moral
pasukan Pattimura sedikit kendor. Mereka merasa ngeri dengan kebengisan orang-orang
Alfuru yang suka memenggal kepala jika membunuh musuhnya.
Pattimura membangun pertahanannya yang terdiri dari batu-batu karang. Bahkan
peluru meriam Belanda tak mampu menghancurkannya. Pattimura membangun benteng
karang ini di tempat-tempat strategis. Pertahanan ala Pattimura ini menimbulkan rasa salut
Belanda pada Pattimura.
Pada tanggal 9 November Kapal-kapal perang Belanda menghujani sebuah benteng
karang milik pasukan Maluku. Setelah dibombardir dengan berat akhirnya kapal-kapal itu
mendaratkan 3 kompi pasukan dan mengambil posisi mengepung serta menutup tiap-tiap
celah, sementara kapal-kapal perang tetap menembaki, karena terus dikepung dan ditembaki

6
akhirnya orang-orang Maluku tidak tahan lagi dan menyerah. Akhirnya dengan taktik ini
Belanda mampu merebut benteng-benteng yang lain.

2.4. Akhir Perlawanan


Kini Belanda di atas angin, dan Pattimura makin terdesak dan terpaksa harus melawan
secara gerilya. Usaha pembersihan kemudian dilakukan Belanda untuk meredam terulangnya
kembali pemberontakan dan yang paling utama adalah menangkap Pattimura.
            Usaha Belanda menangkap Pattimura terus menerus mengalami kegagalan dan
akhirnya Pattimura ditangkap di sebuah rumah di daerah SiriSori.Pattimura dapat ditangkap
karena pengkhianatan salah satu anak buahnya. Karena Pattimura bukanlah raja maka dia
diperlakukan seperti tawanan perang rendahan. Tertangkapnya Pattimura ini tidak membuat
surut perlawanan Maluku. Raja Manusama Paulus Tiahahu dari Abobu, Nusa Laut terus
melakukan pemberontakan dengan cara membajak kapal-kapal Belanda.
            Untuk menumpas pemberontakan Belanda bertindak sangat kejam dalam menghukum
daerah yang dicurigai sebagai sarang pemberontak. Rumah-rumah dibakar. Orang-orang
Ternate dan Tidore yang membantu Belanda diijinkan untuk merampok dan merampas desa-
desa di Saparua.
            Raja Abobu Manusama Paulus Tiahahu akhirnya berhasil ditangkap beserta putrinya
Christina Martha Tiahahu yang masih kecil (kurang lebih 17 tahun). Komodor VarHuell
diperintahkan memimpin kapal perang Evertzen ke Nusa Laut. Sesampainya di Nusa Laut
Evertzen mendapat penumpang istimewa yaitu Paulus Tiahahu dan anaknya Christina Martha
Di pantai telah berkumpul rakyat Nusa Laut. Kemudian raja digiring ke geladak kapal dan
ditembak di depan anaknya dan disaksikan oleh rakyatnya dari pantai. Akhirnya karena
masih kecil, Christina Martha dibebaskan. Tetapi Christina malah meneruskan perlawanan
bapaknya. Sampai akhirnya ia kembali tertangkap bersama 39 orang sisa pengikutnya.
Akhirnya 40 orang tahanan itu dibawa ke Batavia dengan kapal Evertzen-kapal tempat ayah
Christina dihukum mati-. Di tengah perjalanan Christina tidak mau makan, sampai akhirnya
ia mati kelaparan. Pada tanggal 1 Januari 1818 jenasah Christina dibuang ke laut.
            Pada tanggal 16 Desember 1817, para pemimpin perlawanan Maluku dihukum
gantung di Benteng Nieuw Victoria di tepi pantai Ambon. Mereka adalah Pattimura, Anthoni
Ribok, Philip Latumahina, dan Said Parintah. Anak Residen Van den Berg yang telah
dikembalikan kepada Belanda diharuskan menyaksikan hukuman ini. Upacara eksekusi ini
cukup megah karena dimeriahkan dengan formasi kapal perang Belanda dan kora-kora
Ternate dan Tidore, salvo meriam dan marching band. Kemudian paduan suara gereja
menyanyikan lagu-lagu rohani. Kemudian seorang tentara berpangkat kapten membacakan
keslaahan-kesalahan Pattimura dan kawan-kawan untuk kemudian membacakan keputusan
vonis mati dengan digantung. Sebelum digantung Pattimura mengucapkan sebuah kata-kata
yang terkenal. ”Pattimura-Pattimura tua boleh mati tetapi Pattimura-Pattimura muda akan
bangkit kembali dan melawan.” Akhirnya matilah Pattimura dan kawan-kawan. Jenasah-
jenasah para pemberontak ini dibiarkan bergantung di muka umum sampai membusuk.

7
            Jean Lubbert-anak Van den Berg-, memohon kepada Pemerintah Belanda
agar ia diizinkan melengkapi namanya menjadi Van den Berg Van Saparua untuk mengenang
Pattimura. Perlawanan rakyat Maluku berhenti setelah banyak pemimpin yang tertangkap
atau terbunuh.

8
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
            Akhirnya pada tahun 1821 perlawanan Maluku dapat dikatakan berakhir. Perlawanan
Maluku terjadi lagi pada tahun 1858, 1860, 1864, dan 1866 walaupun tidak seheroik
pertempuran 1817. Meskipun Pattimura telah gugur, namun semangat dalam
memperjuangkan kemerdekaan yang beliau miliki masih melekat pada Rakyat Maluku.
Semangat tersebut terus mereka bawa dan tidak akan pernah padam untuk menembus segala
rintangan demi satu tujuan yang mulia yaitu merdeka. Tepat seperti kata – kata terakhir
beliau yang mengatakan ”Pattimura-Pattimura tua boleh mati tetapi Pattimura-Pattimura
muda akan bangkit kembali dan melawan.” Hingga akhirnya seluruh perjuangan mereka
terbayarkan dengan terusirnya penjajah dari tanah Indonesia pada tahun 1945.
            Namanya kini diabadikan untuk Universitas Pattimura dan Bandar Udara Pattimura di
Ambon.
3.2. Saran
            Semoga dengan dibuatnya makalah ini, kita bisa mengetahui bagaimana susahnya
pejuang Indonesia zaman dahulu merebut NKRI, dari bertaruh harta maupun nyawa.
Janganlah melupakan jasa pahlawan yang telah gugur dalam membela Indonesia. Hargailah
jasa – jasa mereka karena berkat mereka, kita bisa menikmati kebebasan yang telah direbut
oleh penjajah. Setidaknya, apabila tidak bisa membuat negara Indonesia menjadi baik maka
jangan merusaknya. Selain itu, semoga kita bisa mengambil nilai-nilai luhur dari mereka.

Anda mungkin juga menyukai