Sultan Hasanuddin (11 Januari 1631 - 1 Juni 1670), Raja Gowa ke-16, terlahir dengan nama I
Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.
Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri
Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya,
ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua
Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Makassar.
Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973,
tanggal 6 November 1973.
Sejarah
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja
Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili
Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan
besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak,
setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan
kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya
Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia
mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan
Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke
Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan
sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya
Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12
Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada
tanggal 12 Juni 1670
PANGERAN ANTASARI
Biografi
Kapitan Pattimura - Pahlawan Nasional dari Maluku
Nama Lengkap : Kapitan Pattimura
Nama Asli: Thomas Matulessy
Tanggal Lahir: Negeri Haria, Pulau Saparua-Maluku, tahun
1783
Meninggal: Benteng Victoria, Ambon, 16 Desember 1817
Karir Militer: Mantan Sersan Militer Inggris
Kapitan Pattimura yang bernama asli Thomas Matulessy, ini lahir di Negeri Haria, Saparua,
Maluku tahun 1783. Perlawanannya terhadap penjajahan Belanda pada tahun 1817 sempat
merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga bulan setelah sebelumnya melumpuhkan semua
tentara Belanda di benteng tersebut. Namun beliau akhirnya tertangkap. Pengadilan kolonial
Belanda menjatuhkan hukuman gantung padanya. Eksekusi yang dilakukan pada tanggal 16
Desember 1817 akhirnya merenggut jiwanya.
Perlawanan sejati ditunjukkan oleh pahlawan ini dengan keteguhannya yang tidak mau
kompromi dengan Belanda. Beberapa kali bujukan pemerintah Belanda agar beliau bersedia
bekerjasama sebagai syarat untuk melepaskannya dari hukuman gantung tidak pernah
menggodanya. Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra Kesuma Bangsa daripada
hidup bebas sebagai penghianat yang sepanjang hayat akan disesali rahim ibu yang
melahirkannya.
Dalam sejarah pendudukan bangsa-bangsa eropa di Nusantara, banyak wilayah Indonesia
yang pernah dikuasai oleh dua negara kolonial secara bergantian. Terkadang perpindahtanganan
penguasaan dari satu negara ke negara lainnya itu malah kadang secara resmi dilakukan, tanpa
perebutan. Demikianlah wilayah Maluku, daerah ini pernah dikuasai oleh bangsa Belanda
kemudian berganti dikuasai oleh bangsa Inggris dan kembali lagi oleh Belanda.
Thomas Matulessy sendiri pernah mengalami pergantian penguasaan itu. Pada tahun
1798, wilayah Maluku yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda berganti dikuasai oleh pasukan
Inggris. Ketika pemerintahan Inggris berlangsung, Thomas Matulessy sempat masuk dinas
militer Inggris dan terakhir berpangkat Sersan.
Namun setelah 18 tahun pemerintahan Inggris di Maluku, tepatnya pada tahun 1816,
Belanda kembali lagi berkuasa. Begitu pemerintahan Belanda kembali berkuasa, rakyat Maluku
langsung mengalami penderitaan. Berbagai bentuk tekanan sering terjadi, seperti bekerja rodi,
pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan lain sebagainya. Tidak tahan menerima tekanan-
tekanan tersebut, akhirnya rakyat pun sepakat untuk mengadakan perlawanan untuk
membebaskan diri. Perlawanan yang awalnya terjadi di Saparua itu kemudian dengan cepat
merembet ke daerah lainnya diseluruh Maluku.
Di Saparua, Thomas Matulessy dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk
itu, ia pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 mei 1817, suatu pertempuran
yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut
berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya
tewas, termasuk Residen Van den Berg.
Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga
dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil
dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja benteng
itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan yang
lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya
kewalahan dan terpukul mundur.
Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda.
Bersama beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk
agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya.
Akhirnya dia diadili di Pengadilan kolonial Belanda dan hukuman gantung pun
dijatuhkan kepadanya. Walaupun begitu, Belanda masih berharap Pattimura masih mau berobah
sikap dengan bersedia bekerjasama dengan Belanda. Satu hari sebelum eksekusi hukuman
gantung dilaksanakan, Pattimura masih terus dibujuk. Tapi Pattimura menunjukkan kesejatian
perjuangannya dengan tetap menolak bujukan itu. Di depan benteng Victoria, Ambon pada
tanggal 16 Desember 1817, eksekusi pun dilakukan.
Kapitan Pattimura gugur sebagai Pahlawan Nasional. Dari perjuangannya dia
meninggalkan pesan tersirat kepada pewaris bangsa ini agar sekali-kali jangan pernah menjual
kehormatan diri, keluarga, terutama bangsa dan negara ini.
TUANKU IMAM BONJOL
Riwayat Perjuangan
Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis
dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang
berbunuhan adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan
Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah
Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena "diundang"
kaum Adat.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman
Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi
kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Perjanjian itu dihadiri juga oleh
sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari
pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu
Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan
perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Gubernur Jendral Johannes van
den Bosch pernah mengajak Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan maklumat "Perjanjian
Masang", karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan
lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh
Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum
Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang
semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri . Bersatunya kaum Adat dan kaum Paderi ini dimulai dengan adanya kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak,
Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-
Qur'an)).
Dalam MTIB, terefleksi ada rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum
Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. Tuanku Imam Bonjol sadar, perjuangannya
sudah melenceng dari ajaran agama. "Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah
kito juo. Baa dek kalian?" (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita.
Bagaimana pikiran kalian?), ungkap Tuanku Imam Bonjol seperti tertulis dalam MTIB (hal 39).
Penyesalan dan perjuangan heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya melawan
Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17
Agustus 1837) juga dapat menjadi apresiasinya akan kepahlawanannya menentang penjajahan[3].
— seperti rinci dilaporkan G. Teitler yang berjudul Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan
Perampasan Bonjol 1834-1837.
Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh
jenderal dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti
Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda adalah
Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van
der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche (pribumi)
seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro
Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara
pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias
Madura). Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian
depan menyerang pertahanan Paderi.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837
tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1
sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika
yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka disebut Sepoys dan
berdinas dalam tentara Belanda.