Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH SULTAN HASANUDDIN

Sultan Hasanuddin (11 Januari 1631 - 1 Juni 1670), Raja Gowa ke-16, terlahir dengan nama I
Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.
Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri
Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya,
ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua
Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Makassar.
Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973,
tanggal 6 November 1973.

Sejarah
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja
Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili
Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan
besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak,
setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan
kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya
Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia
mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan
Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke
Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan
sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya
Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12
Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada
tanggal 12 Juni 1670
PANGERAN ANTASARI

Pangeran Antasari Lahir di Banjarmasin di tahun 1809. Sebagai seorang pangeran, ia


merasa prihatin menyaksikan kesultanan Banjar yang ricuh karena campur tangan Belanda pada
kesultanan semakin besar. Gerakan-gerakan rakyat timbul di pedalaman Banjar. Pangeran
Antasari diutus menyelidiki gerakan-gerakan rakyat yang sedang bergolak. Dengan adanya tugas
tersebut makan terbukalah kesempatan untuk dapat berhubungan dengan pemimpin-pemimpin
gerakan rakyat yang siap memberontak. Ia bahkan berhasil memperoleh kepercayaan rakyat dan
dipilih sebagai pimpinan pemberontakan.
Pangeran Antasari berhasil mempersatukan dan memimpin gerakan rakyat menjadi satu
Front menentang Sultan Tamjidilah dan Belanda pengaruhnya menjadi semakin lebih luas,
termasuk pula di kalangan alim ulama Banjar yang sebagian besar bersedian ikut menempuh
jalan kekerasn. Ia berhasil mengumpulkan 6000 orang menjadi laskar.
Tanggal 28 April 1859 Laskar Antasari menyerbu benteng Pengaron sehingga keadaan di
sekitar benteng dikuasanya. Dalam penyerbuan ini, Komandan Beeckman diperintahkan untuk
menyerah
Di bulan Ramadhan 1278 H (Maret 1862 M) ia dinobatkan menjadi Panembahan Amirudin
Kalifatul Mukminin, pemimpin tertinggi agama. Dengan demikian kedaulatan Banjarmasin yang
sekarang dipegang oleh keturunan syah dari Sultan Aminullah telah dikuasai kembali.
Pihak Belanda berusaha berdamai dengan Panegran Antsari namun maksud tersbut
ditolaknya karena dianggapnya hanya sebagai tipu muslihat belaka. Namun demikian ia hanya
memberi satu jaman untuk perdamaian, yaitu diserahkannya kerajaan Banjarmasin sedangkan
Belanda hanya diijinkan untuk menarik pajak. Kalau syarat itu tidak dipenuuhi, ia memilih terus
berperang. Ternyata ia benar-benar menunjukkan jiwa kepahlawanannya dan selalu berkata
"Haram menyerah" kepada musuh.
Dengan penuh kesadaran dan keyakinan, Antasari memimpin gerakan melawan
Pemerintah Belanda di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Antasari mempunyai
kekuatan pribadi dan keluhuran budi yang menjadi motor pendorong mengapa ia tetap
mempertahankan pendiriannya tanpa pernah mundur setapakpun untuk berkompromi dengan
lawan sampai akhir hayatnya.
Pangeran Antasari juga memiliki keahlian dalam siasat perang gerilya serta mampu
memimpin pasukan di daerah-daerah yang luas lagi pula sukar didiami manusia. Ia adalah
pemimpin yang ulet, tabah dan berwibawa serta memiliki kekuatan batin untuk mengikat para
pengikutnya kepada tujuan yang mulia. Ia pun juga seorang pemimpin yang tidak mementingkan
diri sendiri.
Pangeran Antasari meninggal 11 Oktober 1862. Pemerintahpun menghargai jasa-jasa dan
perjuangannya dengan gelar Pahlawan Kemerdekaan.
Jika Pangeran Antasari selalu menekankan bahwa "Haram Menyerah" kepada musuh,
maka semestinya ini bisa kita jadikan pencerahan untuk diri kita. Bisa saja kita menyemangati
diri kita dengan semangat "Haram Menyerah" kepada kemiskinan, ketidak adilan atau apa saja
yang hendak kita capai! Terkadang dengan kata semangat dan keingin dari diri sendiri, bukan
mustahil ini bisa menjadi penambah kekuatan untuk diri kita dalam menggapai apa yang kita
inginkan-dalam arti tujuan yang mulia tentunya!!!
PANGERAN DIPONEGORO

Pangeran Diponegoro Lahir 11 Nopember 1785 dari ayah Sultan Hamengkubuwono


III. Sejak kecil diasuh oleh neneknya Ratu Ageng, Permaisuri Hamengkubuwono I, pendiri
kerajaan Yogyakarta yang menetap. Berkat wanita bijaksana tersebut, ia tumbuh menjadi orang
alim, sederhana dan dekat dengan rakyat.
Sementara Diponegoro tumbuh dewasa, di keraton Yogyakarta terjadi kericuhan yang
disebabkan campur tangan pemerintah Belanda. Pengangkatan dan pemberhentian raja atau patih
ditentukan oleh Belanda. Di samping itu penindasan terhadap rakyat meningkat pula. Hasil
tersebut menimbulkan sikap antipati Diponegoro terhadap Belanda.
Tanggal 20 Juni 1825, seorang utusan Belanda mengantar surat ke Tegalrejo untuk
menanyakan maksud Diponegoro. Saat itu paman dari Diponegoro (Mangkubumi) dan Dewan
Perwalian Kerajaan Yogyakarta sedang di Tegalrejo. Baru beberapa kalimat disusun, sudah
terdengar tembakan meriam. Penduduk memberi perlawanan, namun kekuatan tidak seimbang.
Mereka terpaksa mengundurkan diri. Tegalrejo diduduki Belanda. Tempat tinggal Diponegoro,
masjid dan bangunan lain dibakar oleh Belanda
Ia memerintahkan rakyat menyingkir ke Selarong dan bersama Pangeran Mangkubumi,
ia menuju Kali Saka sambil menghunus pedang. Ia berkata pada Mangkubumi "lihatlah paman,
rumah dan mesjid sudah terbakar, saya tidak mempunyai apa-apa lagi di dunia ini"
Dari kali Saka, ia bersama Mangkubumi, menuju ke Selarong. Ia diangkat menjadi
pimpinan tertinggi. Mangkubumi sebagai penasehat dan Pangeran Angabei penasehat khusus saat
perang. Kemudian muncul Sentot Prawirodirjo yang berusia 16 tahun dan Kyai Mojo yang
memberikan corak Islam kepada perjuangan.
Maklumat perang dilakukan di berbagai tempat, Jawa Barat, Jawa Timur, Rembang,
Tuban, Bojonegoro, Madiun dan Pacitan. Seruan ini disambut rakyat karena merasa sudah lama
tertindas penjajahan Belanda.
. Di sebelah Barat Laut Yogyakarta ia dekat Pisang desa Tempet, pasukan ini disergap
pasukan Diponegoro. Sebanyak 27 orang Belanda dibunuh, senjata, pakaian dan uang 50.000
gulden jatuh di tangan pasukan Diponegoro. Pasukan Diponegoro mengepung Yogyakarta dari
berbagai penjuru, bahkan makanan di blokir, tidak boleh masuk kota.
Kolonel Van Jett, mengirim pasukan untuk menyerang Selarong namun gagal. Tiga
bulan kemudian Diponegoro memindahkan markasnya ke Dekso. Di tempat ini ia dinobatkan
sebagai Sultan dengan gelar Sultan Ngabdulkamid Herucokro Mukmini Panoto Gomo Jowo.
Selama tahun 1825 dan 1826 pasukan Diponegoro banyak memperoleh kemenangan.
Bulan Agustus 1826 Sentot berhasil menyergap pasukan Belanda, semua tewas kecuali
Komandan Van Green. Dalam pertempuran di Lenkong pasukan Diponegoro dapat membunuh
seorang letnan dan Pangeran Murdaningrat serta Pangeran Ponular. Kedua pangeran ini
pengganti Diponegoro dan Mangkubumi di Dewan Perwalian. Di Sadegan pasukan Diponegoro
dapat membunuuh beberapa perwira Belanda dan seorang Bupati.
Tahun 1827 Belanda mulai melipat gandakan kekuatan dengan cara membuat "Benteng
Stelsel" dan usaha perundingan seperti perundingan di Sombiroto, di Miangi, yang diwakili Kyai
Mojo, namun gagal.
Saat Kyai Mojo bersama 600 prajurit "Bukilyo, Kyai Mojo diikuti Belanda dan
ditangkap serta diasingkan ke Menado hingga wafat.
Perundingan dengan Sentot gagal, kemudian Belanda menggunakan Bupati Madiun
yang masih kerabat Sentot, untuk membujuk. Tanggal 24 Oktober 1829, Sentot menyerah dengan
syarat, boleh memeluk agama Islam dan memimpin pasukannya. Belanda mengirim ke Sumatra
Barat agar memerangi pasukan Padri, tapi Sentot berbalik menyerang Belanda. Ia ditangkap dan
dibuang ke Cianjur, kemudian ke Bengkulu dan wafat tahun 1855 dan dimakamkan di sana.
Meskipun ditinggalkan pembantu-pembantu dekatnya, Diponegoro tidak mau
menyerah. Dalam perjalanan dari Manoreh ia dikepung Belanda, Diponegoro terjun ke jurang
berhasil meloloskan diri. Setelah kejadian ini, ia diiringi oleh Roso dan Banteng Wareng
meneruskan pembaharuan perangnya.
Karena Belanda sulit menangkap Diponegoro, maka Belanda mengumumkan bagi siapa
yang dapat menangkap akan diberi hadiah 50.000 gulden, tanah dan kedudukan.
Tanggal 16 Februari 1830 ia bersedia menerima utusan Belanda, Kolonel Cleerens. Waktu itu
menjelang bulan puasa, ia tidak bersedia berunding di bulan suci.
Tanggal 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal De Kock di Magelang,
didampingi Basah Martonegoro, Kyai Badarudin dan puteranya Diponegoro Anom. Di sini ia
ditangkap, dibawa ke Semarang, kemudian ke Jakarta dan di buang ke Menado. Tahun 1834, ia
dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Ujung Pandang. Selama 25 tahun ia dikurung. Kisah
perjuangannya, ditulis dalam "Babad Diponegoro" dalam Bahasa Jawa setebal 700 halaman.

Tanggal 8 Juni 1855 ia meninggal dan dimakamkan di Ujung Pandang. Pemerintah


memberinya gelar Pangeran Diponegoro sebagai Pahlawan Nasional.
BIOGRAFI KAPITAN PATTIMURA - PAHLAWAN NASIONAL DARI MALUKU

Biografi
Kapitan Pattimura - Pahlawan Nasional dari Maluku
Nama Lengkap : Kapitan Pattimura
Nama Asli: Thomas Matulessy
Tanggal Lahir: Negeri Haria, Pulau Saparua-Maluku, tahun
1783
Meninggal: Benteng Victoria, Ambon, 16 Desember 1817
Karir Militer: Mantan Sersan Militer Inggris

Kapitan Pattimura yang bernama asli Thomas Matulessy, ini lahir di Negeri Haria, Saparua,
Maluku tahun 1783. Perlawanannya terhadap penjajahan Belanda pada tahun 1817 sempat
merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga bulan setelah sebelumnya melumpuhkan semua
tentara Belanda di benteng tersebut. Namun beliau akhirnya tertangkap. Pengadilan kolonial
Belanda menjatuhkan hukuman gantung padanya. Eksekusi yang dilakukan pada tanggal 16
Desember 1817 akhirnya merenggut jiwanya.
Perlawanan sejati ditunjukkan oleh pahlawan ini dengan keteguhannya yang tidak mau
kompromi dengan Belanda. Beberapa kali bujukan pemerintah Belanda agar beliau bersedia
bekerjasama sebagai syarat untuk melepaskannya dari hukuman gantung tidak pernah
menggodanya. Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra Kesuma Bangsa daripada
hidup bebas sebagai penghianat yang sepanjang hayat akan disesali rahim ibu yang
melahirkannya.
Dalam sejarah pendudukan bangsa-bangsa eropa di Nusantara, banyak wilayah Indonesia
yang pernah dikuasai oleh dua negara kolonial secara bergantian. Terkadang perpindahtanganan
penguasaan dari satu negara ke negara lainnya itu malah kadang secara resmi dilakukan, tanpa
perebutan. Demikianlah wilayah Maluku, daerah ini pernah dikuasai oleh bangsa Belanda
kemudian berganti dikuasai oleh bangsa Inggris dan kembali lagi oleh Belanda.
Thomas Matulessy sendiri pernah mengalami pergantian penguasaan itu. Pada tahun
1798, wilayah Maluku yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda berganti dikuasai oleh pasukan
Inggris. Ketika pemerintahan Inggris berlangsung, Thomas Matulessy sempat masuk dinas
militer Inggris dan terakhir berpangkat Sersan.
Namun setelah 18 tahun pemerintahan Inggris di Maluku, tepatnya pada tahun 1816,
Belanda kembali lagi berkuasa. Begitu pemerintahan Belanda kembali berkuasa, rakyat Maluku
langsung mengalami penderitaan. Berbagai bentuk tekanan sering terjadi, seperti bekerja rodi,
pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan lain sebagainya. Tidak tahan menerima tekanan-
tekanan tersebut, akhirnya rakyat pun sepakat untuk mengadakan perlawanan untuk
membebaskan diri. Perlawanan yang awalnya terjadi di Saparua itu kemudian dengan cepat
merembet ke daerah lainnya diseluruh Maluku.
Di Saparua, Thomas Matulessy dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk
itu, ia pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 mei 1817, suatu pertempuran
yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut
berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya
tewas, termasuk Residen Van den Berg.
Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga
dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil
dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja benteng
itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan yang
lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya
kewalahan dan terpukul mundur.
Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda.
Bersama beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk
agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya.
Akhirnya dia diadili di Pengadilan kolonial Belanda dan hukuman gantung pun
dijatuhkan kepadanya. Walaupun begitu, Belanda masih berharap Pattimura masih mau berobah
sikap dengan bersedia bekerjasama dengan Belanda. Satu hari sebelum eksekusi hukuman
gantung dilaksanakan, Pattimura masih terus dibujuk. Tapi Pattimura menunjukkan kesejatian
perjuangannya dengan tetap menolak bujukan itu. Di depan benteng Victoria, Ambon pada
tanggal 16 Desember 1817, eksekusi pun dilakukan.
Kapitan Pattimura gugur sebagai Pahlawan Nasional. Dari perjuangannya dia
meninggalkan pesan tersirat kepada pewaris bangsa ini agar sekali-kali jangan pernah menjual
kehormatan diri, keluarga, terutama bangsa dan negara ini.
TUANKU IMAM BONJOL

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat


1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak,
Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), bernama asli
Muhammad Shahab atau Petto Syarif, adalah salah seorang
ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan
Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di
tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI
Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973 .
Tuanku Imam Bonjol dilahirkan di Bonjol, Pasaman, Indonesia pada tahun 1772.Beliau
kemudiannya meninggal dunia di Manado, Sulawesi pada 6 November 1864 dalam usia 92 tahun
dan dimakamkan di Khusus Lotak, Minahasa.
Tuanku Imam Bonjol bukanlah seorang Minahasa. Dia berasal dari Sumatera Barat.
"Tuanku Imam Bonjol" adalah sebuah gelaran yang diberikan kepada guru-guru agama di
Sumatra. Nama asli Imam Bonjol adalah Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin.
Dia adalah pemimpin yang paling terkenal dalam gerakan dakwah di Sumatera, yang pada
mulanya menentang perjudian, laga ayam, penyalahggunaan dadah, minuman keras, dan
tembakau, tetapi kemudian mengadakan penentangan terhadap penjajahan Belandayang memiliki
semboyan Gold, Glory, Gospel sehingga mengakibatkan perang Padri (1821-1837).
Mula-mula ia belajar agama dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian dari beberapa orang
ulama lainya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol adalah pengasas negeri Bonjol.
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam
Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak
diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.
Golongan adat yang merasa terancam kedudukanya, mendapat bantuan dari Belanda.
Namun gerakan pasukan Imam Bonjol yang cukup tangguh sangat membahayakan kedudukan
Belanda. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam
Bonjol pada tahun 1824. Perjanjian itu disebut "Perjanjian Masang". Tetapi perjanjian itu
dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.
Pertempuran-pertempuran berikutnya tidak banyak bererti, kerena Belanda harus
mengumpul kekuatanya terhadap Perang Diponogoro. Tetapi setelah Perang Diponogoro selesai,
maka Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menaklukan seluruh Sumatra
Barat.
Imam Bonjol dan pasukanya tak mahu menyerah dan dengan gigih membendung
kekuatan musuh. Namun Kekuatan Belanda sangat besar, sehingga satu demi satu daerah Imam
Bonjol dapat direbut Belanda. Tapi tiga bulan kemudian Bonjol dapat direbut kembali. Ini terjadi
pada tahun 1832.
Belanda kembali mengerahkan kekuatan pasukanya yang besar. Tak ketinggalan
Gabernor Jeneral Van den Bosch ikut memimpin serangan ke atas Bonjol. Namun ia gagal. Ia
mengajak Imam Bonjol berdamai dengan maklumat "Palakat Panjang", Tapi Tuanku Imam
curiga.
Untuk waktu-wakyu selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit,
namun ia tak mahukan untuk berdamai dengan Belanda.Tiga kali Belanda mengganti panglima
perangnya untuk merebut Bonjol, sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat. Setelah tiga
tahun dikepung, barulah Bonjol dapat dikuasai, iaitu pada tanggal 16 Ogos 1837.
Pada tahun 1837, desa Imam Bonjol berjaya diambil alih oleh Belanda, dan Imam Bonjol
akhirnya menyerah kalah. Dia kemudian diasingkan di beberapa tempat, dan pada akhirnya
dibawa ke Minahasa. Dia diakui sebagai pahlawan nasional.
Sebuah bangunan berciri khas Sumatera melindungi makam Imam Bonjol. Sebuah relief
menggambarkan Imam Bonjol dalam perang Padri menghiasi salah satu dinding. Di samping
bangunan ini adalah rumah asli tempat Imam Bonjol tinggal selama pengasingannya

Riwayat Perjuangan
Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis
dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang
berbunuhan adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan
Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah
Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena "diundang"
kaum Adat.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman
Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi
kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Perjanjian itu dihadiri juga oleh
sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari
pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu
Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan
perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Gubernur Jendral Johannes van
den Bosch pernah mengajak Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan maklumat "Perjanjian
Masang", karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan
lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh
Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum
Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang
semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri . Bersatunya kaum Adat dan kaum Paderi ini dimulai dengan adanya kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak,
Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-
Qur'an)).
Dalam MTIB, terefleksi ada rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum
Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. Tuanku Imam Bonjol sadar, perjuangannya
sudah melenceng dari ajaran agama. "Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah
kito juo. Baa dek kalian?" (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita.
Bagaimana pikiran kalian?), ungkap Tuanku Imam Bonjol seperti tertulis dalam MTIB (hal 39).
Penyesalan dan perjuangan heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya melawan
Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17
Agustus 1837) juga dapat menjadi apresiasinya akan kepahlawanannya menentang penjajahan[3].
— seperti rinci dilaporkan G. Teitler yang berjudul Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan
Perampasan Bonjol 1834-1837.
Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh
jenderal dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti
Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda adalah
Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van
der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche (pribumi)
seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro
Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara
pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias
Madura). Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian
depan menyerang pertahanan Paderi.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837
tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1
sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika
yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka disebut Sepoys dan
berdinas dalam tentara Belanda.

Anda mungkin juga menyukai