Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN TUGAS PORTOPOLIO

MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA


TAHUN PELAJARAN 2019/2020

Diajukan sebagai salah satu tugas akhir untuk mengikuti ujian sekolah

Kompetensi Keahlian : Analis Kesehatan

Kelompok : 2 (dua)

1. Dia Apriyani NIS 071708


2. Dina Assyifa
3. Dwina Putri Denova
4. Eka Putri Septiani NIS 071709

MAJELIS PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH


PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH KABUPATEN TEGAL
SMK MUHAMMADIYAH LEBAKSIU
TERAKREDITASI “B”
Kompetensi Keahlian : 1.Farmasi . 2. Analis Kesehatan. 3.Akuntansi 4. Administrasi
Perkantoran
Jalan Raya Barat 23, Lebaksiu Kabupaten Tegal, 52461, Telepon (0283) 3466588
WWW.SMKFAMUBA.SCH.ID

HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN SEJARAH INDONESIA

Tahun Pelajaran 2019/2020

Untuk memenuhi tugas akhir sekolah

Menyetujui

Nova Dwi Irmawati, S.pd

MOTTO DAN PERSEMBAHAN


A. MOTTO

1. Semua yang terjadi adalah takdir, namun takdir bisa dirubah dengan cara

berusaha dan berikhtiar semaksimal mungin.

2. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu

telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh

(urusan) yang lain. (Q.S Al-Insyirah 7-8).

B.PERSEMBAHAN

Laporan Ujian Praktik Penjasoerkes ini Dipersembahkan Kepada :

1. Kepala Sekolah SMK Muhammadiyah Lebaksiu dan Bapak/Ibu Guru yang

telah membimbing saya.

2. Guru-guru dan Staf Karyawan SMK Muhammadiyah Lebaksiu

3. Orang tua dan keluarga yang telah mendo’akan, membiayai, mendukung

dan memberikan semangat.

4. Teman-teman seperjuangan.

5.  Adik-adik kelas semuanya yang akan melaksanakan kegiatan Ujian

Praktik Penjaserkes untuk program kegiatan periode selanjutnya.

Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang

telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan

tugas Ujian Praktik Penjasoerkes. Dengan dilaksanakan Tugas Portopolio ini

kami dapat mengetahui Sejarah Perang Padri

Lebaksiu, Febuari 2020

DAFTAR ISI
Sampul Depan......................................................................................................... i
Halaman Judul ....................................................................................................... ii
Lembar Pengesahan................................................................................................iii
Moto dan Persembahan...........................................................................................iv
Kata Pengantar
Daftar Isi..................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
I.2. Tujuan Pembuatan Portopolio
1.3 Tema
1.4. Sistematika
BAB II PERANG PADRI
2.1. Pengertian Perang Padri
2.2. Latar Belakang Perang Padri
2.3. Keterlibatan Belanda Dalam Perang Padri
2.4. Guncatan Senjata
2.5. Peperangan Jilid ke-2

BAB III GAMBAR /FOTO- FOTO PENDUKUNG


BAB IV PENUTUP
4.1. Simpulan
4.2 .Lampiran
DAFTAR PUSTAKA
BIOGRAFI PENYUSUN

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Sejarah adalah mata pelajaran wajib yang perlu dipelajari oleh semua

siswa. Dengan mempelajari sejarah, diharapkan siswa dapat mengetahui

sejarah dan menghargai jasa para pahlawan terdahulu serta menarik subjek

dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Melalui sejarah dapat

dikembangkan nilai-nilai dan kecakapan-kecakapan sosial bagi siswa

berupa nilai demokrasi, nasionalisme, patriotisme, bertanggungjawab,

mandiri dan pentingnya pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa.

Selama ini mata pelajaran sejarah di identikan sebagai pembelajaran

yang membosankan di kelas. Baik strategi, metode maupun teknik

pembelajaran lebih banyak bertumpu pada pendekatan berbasis guru yang

monoton. Guru diposisikan sebagai pokok sumber informasi,

menggunakan kaedah mengajar bercorak hafalan dengan metode buku dan

ceramah. Sebagai akibat dari proses pembelajaran seperti ini, siswa

tampak kurang bersemangat mengikuti pelajaran dan seringkali menjadi

bosan karena mereka tidak dirangsang untuk terlibat secara aktivitas

dengan berbagai varian yang semestinya dilakukan guru agar tercipta

suasana belajar yang kondusif, dimana siswa dapat melibatkan diri secara

aktivitas dan kreativitas. (Isjoni, 2008)

I.2. Tujuan Pembuatan Portopolio


Tujuan dari portopolio ini adalah agar siswa dan siswi Sekolahdapat

mengetahui Sejarah dari Perang Padri

1.3. Tema

“SEJARAH PERANG PADRI”

1.4. Sistematika

BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
I.2. Tujuan Pembuatan Portopolio
1.3 Tema
1.4. Sistematika
BAB II PERANG PADRI
2.1. Pengertian Perang Padri
2.2. Latar Belakang Perang Padri
2.3. Keterlibatan Belanda Dalam Perang Padri
2.4. Guncatan Senjata
2.5. Peperangan Jilid ke-2

BAB III GAMBAR /FOTO- FOTO PENDUKUNG


BAB IV PENUTUP
4.1. Simpulan
4.2 .Lampiran

2.1. Pengertian Perang Padri


Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatra Barat dan

sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari

tahun 1803 hingga 1838.[1] Perang ini merupakan peperangan yang pada

awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah

menjadi peperangan melawan penjajahan. Perang Padri dimulai dengan

munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum

Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh

kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan

Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud

seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman

keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai

warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal

agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal

telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu

kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.

Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang

saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing.Dalam

peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan

Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan

Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah.Kaum Adat yang mulai

terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun

keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun

1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama

Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan


Belanda. Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang

cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini

selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak

merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan

perpindahan masyarakat dari kawasan konflik

2.2. Latar Belakang Perang Padri

Perang Padri dilator belakangi oleh kepulangan tiga

orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji

Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang

belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui

hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung

keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di

Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan. Harimau Nan

Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang

Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat

untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran

agama Islam.Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara

Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam

Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum

Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan

Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini

menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan

melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yang pernah


mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya

mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.

2.3. Keterlibatan Belanda Dalam Perang Padri

Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan

Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan

Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21

Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu

itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan

Kerajaan Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya

sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia

Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar

sebagai Regent Tanah Datar. Keterlibatan Belanda dalam perang karena

diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu

ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan

Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas

perintah Residen James du Puy di Padang. Kemudian pada 8

Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan

Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai

tersebut.

Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan

Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari

Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan

di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum

Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada tanggal 10 Juni


1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum

Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada

tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet

menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September

1822.Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke

Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang

dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.

Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba

kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan

perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa

kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan

Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas

permintaan Letnan Kolonel Raaff, tetapi pada tahun 1825 raja terakhir

Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.

Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang

pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.

Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah

pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa

kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang

Gadang.Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, tetapi

karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin

meninggal dunia di Padang.


2.4. Gencatan senjata

Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga

sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya.Oleh sebab itu

Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri

yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai

dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.

Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda

juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain

di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Selama periode gencatan

senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga

mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul

suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit

Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus

bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang

artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan

agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.


Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul

sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh

Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol. Kemudian menjadi

pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh

meninggal dunia. Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali

beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap

saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau

di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan

cinta tanah air.

2.5 Peperangan Jilid Kedua

Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di

Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan

Kaum Padri.Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan

penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau

(darek).Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah


satu produk andalan Belanda di Eropa.Christine Dobbin menyebutnya

lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan

sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di

pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur.Sementara Belanda

pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli. Selanjutnya untuk

melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah

dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang

merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan

senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda

membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de

Kock.

- Persiapan pasukan Belanda di Fort de Kock

Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan,

menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda.Namun

Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak

Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai

serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh

tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang

panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan

berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda setelah usai perang di Jawa.

Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot

yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru.Beberapa

dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang

telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian


Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga

tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan

Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya

kembali ke Sumatra. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan

ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang

buangan.Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali

menjadi tentara Belanda.Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim

pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan

Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat

penyelesaian peperangan.Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan

Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda

bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian Kaum Padri

terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, tetapi seluruh

kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda

setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum

Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.

Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa

kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri.Pada awal Januari 1833,

pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi,

tetapi sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut

diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang

mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda. Namun dalam

pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao

menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke


atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao

menemui ajalnya.Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh

tentara Belanda.

- Perlawanan Bersama

Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum

Padri. Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari

garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi

kacau; disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara

pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya

ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh

pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar

atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda mengasingkannya

ke Batavia, walau dalam catatan Belanda Sultan Tangkal Alam Bagagar

menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda,

tetapi pemerintah Hindia Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk

menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah

Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh. Menyadari

hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi

secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia

Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut

"Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke

Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut,

mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk

Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak


pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa

untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan

sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi

dan mesti menjualnya kepada Belanda.

- Serangan ke Bonjol

Letnan Kolonel Raaff dan pasukannya, dilukiskan oleh Justus Pieter de

Veer.Raaff meninggal dunia sebelum berakhirnya Perang Padri.

Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri, diilustrasikan oleh Justus

Pieter de Veer.

Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal

Hindia Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833

pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yang


dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan

perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatra, Mayor Jenderal

Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng

Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz dan Elout menerangkan

bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan

umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam

masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan

Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera

menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833,

kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol

diharapkan pada tanggal 16 September 1833.Taktik serangan gerilya yang

diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju

serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan

hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam

beserta perbekalannya dapat dirampas.Pasukan Belanda hanya dapat

membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya.

Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal

Hindia Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch

membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang

diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.Kemudian

selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan

jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga

kerja paksa.Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya

dalam menaklukkan Bonjol.Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha


menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan

kubu pertahanannya.Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan

untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan

Bonjol dan sekitarnya.Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835,

pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah

pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-

masing dari Matur dan Bamban.Pasukan ini mesti

menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk

menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan

menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol. Pada tanggal

23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai

tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di

Batusari.Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah

yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah

pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri.

Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai

banyak korban di kedua belah pihak.Akhirnya dengan kekuatan yang jauh

tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-

hutan rimba sekitarnya.Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan

moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu

pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol. Walau

pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban,

hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati

daerah Lembah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan


Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai

oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda

berhasil menguasai daerah ini. Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835

pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan

Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum

Padri tetap bersiaga di seberangnya.Pasukan Belanda berhasil mendekati

Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam

tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu

pertahanan.Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan

meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol.Namun Kaum

Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit

Tajadi.Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan

Belanda banyak menjadi korban.Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali

datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh

Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan

kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju

sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.

- Benteng Bonjol

Lukisan Bonjol pada tahun 1839.
Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas,

dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini

mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan

aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan.Benteng ini berbentuk

segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua

lapis setinggi kurang lebih 3 meter.Di antara kedua lapis dinding

dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri

dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama

seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri

panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati

bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda. Semak

belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-

kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan

Belanda.Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri

untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi

markas utama Tuanku Imam Bonjol.

- Pengepungan Bonjol

Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.


Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan

blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan

makanan dan senjata pasukan Padri.Blokade yang dilakukan ini ternyata

tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan

bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri

secara gerilya.Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai

berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda,

yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya.Semua bertekad

bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah

penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.Usaha untuk melakukan

serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala

bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada

pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-

kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan

Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu

persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar

Bukit Tajadi. Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda

belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September

1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar

benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat

sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri

segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.Pada tanggal 9 September

1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo

Puluah dan Padang Bubus, tetapi hasilnya gagal, bahkan banyak


menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer,

salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa

dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.

Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan

semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan

menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835

rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang

kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi

perlawanan ini.Namun setelah datang bantuan dari serdadu-

serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini

dapat diatasi.

Kemenangan Belanda dalam Perang Padri, yang diilustrasikan oleh Justus

Pieter de Veer.
Frans David Cochius, komandan penaklukan Benteng Bonjol.

Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836,

pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap

Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol.

Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga

pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa

keluarga Tuanku Imam Bonjol.Tetapi dengan kegigihan dan semangat

juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan

musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng

dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.

Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur

Jenderal Hindia Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang

oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837

mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal

Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng

Bonjol untuk kesekian kalinya. Cochius merupakan seorang perwira tinggi

Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.


Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala

jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)

 dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini


[29]

sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa,

Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36

perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di

dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan

pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira

pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius,

Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean,

Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan

seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti

Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto

Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan

lainnya.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda,

dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang,

sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas

dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1

sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein

Sinninghe.

Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari

pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang

lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus


berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel

Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit

menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837,

Bukit Tajadi jatuh, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol

secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat

mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa

pengikutnya terus menuju daerah Marapak.

- Perundingan

Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus

mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang

telah bercerai-berai dan lemah, tetapi karena telah lebih 3 tahun

bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya

sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.

Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837,

dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini,

Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.

Pada tanggal 23 Januari 1838, Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, dan

pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian

pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali

dipindahkan ke Lotta, Minahasa, dekat Manado, dan di daerah inilah

setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya. Pada

tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia

pada tanggal 8 November 1864.Beliau dimakamkan di tempat


pengasingannya tersebut.Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi

yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi

penyesalannya atas kekejaman Wahabi Paderi. Tulisan tersebut

merupakan karya sastra autobiografi pertama dalam bahasa Melayu

disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925

di Berkley, dan 2004 di Padang.

- Akhir Peperangan

Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia Belanda

Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda,

dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi

peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir

Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah

dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.

 Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur,


[33]

bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri

Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini

dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi

bagian dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse


Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia

Belanda.

- Warisan sejarah

Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme

kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat.Selepas

jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia Belanda membangun

sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini. Kemudian

sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini

ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di

Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah

setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan

dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam

Bonjol.Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong

pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan

Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.


BAB VI

PENUTUP

4.1 Simpulan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Perang Padri termasuk

dalam sejarah Indonesia. Dan pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan

sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang

terlibat.Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia Belanda

membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan

ini. Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi

peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan

wisata di Minangkabau.

4.2 Lampiran

Fort van der Capellen


Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin

Perang Padri, yang diilustrasikan oleh de

Stuers pada tahun 1820.

Sentot Prawirodirdjo, yang diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.


Kaum Adat

Letnan Kolonel Raaff dan pasukannya, dilukiskan oleh Justus Pieter de

Veer.Raaff meninggal dunia sebelum berakhirnya Perang Padri.

Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri, diilustrasikan oleh Justus

Pieter de Veer.
Lukisan Bonjol pada tahun 1839.

Kemenangan Belanda dalam Perang Padri, yang diilustrasikan oleh Justus

Pieter de Veer.

Frans David Cochius, komandan penaklukan Benteng Bonjol.


Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia Belanda
BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Https://id.m.wikipedia.org/wiki/Perang_Padri
BIOGRAFI PENYUSUN

NAMA : DIA APRIYANI

TEMPAT, TANGGAL LAHIR : JAKARTA, 13 APRIL 2003

MOTTO : “JANGAN BERHENTI BERBUAT BAIK DAN JANGAN PERNAH

MERASA SUDAH MENJADI ORANG YANG PALING BAIK”

NAMA : DINA ASSYIFA

TEMPAT, TANGGAL LAHIR : TEGAL, 15 MEI 2002

MOTTO : “HARD WORK!”


NAMA : DWINA PUTRI DENOVA

TEMPAT, TANGGAL LAHIR : JAKARTA

MOTTO : “LOVE UR SELF ”

NAMA : EKA PUTRI SEPTIANI

TEMPAT,TANGGAL LAHIR : TEGAL, 09 SEPTEMBER 2002

MOTTO : “TETAP LAH MENJADI DIRI SENDIRI”

Anda mungkin juga menyukai