Anda di halaman 1dari 5

Nama : Jumadi

Kelas : VIII c
B.Studi : ppkn
Nama pahlawan Uraian
Agama : Islam

Tempat Lahir : Banten

Tanggal Lahir : Sabtu, 0 -1 1631

Warga Negara : Indonesia

Sultan Ageng Tirtayasaadalah pahlawan yang berasal dari provinsi


Banten. Beliau berjuang menentang belanda dan VOC, selain itu
terkenal juga karena kepiawaiannya dalam mengurus kerajaan
beserta rakyatnya seperti dalam urusan kepemerintahan,
keagamaan, pengairan, dan hubungan keluar kerajaan.

Sultan Ageng Tirtayasa lahir di Banten tahun 1631, beliau adalah


putra Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan Ratu Martakusuma yang
menjadi Sultan Banten periode 1640-1650.

Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia


diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau
Pangeran Dipati.

Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan


Sultan ageng tirtayasa dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng
Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun
Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang)

Perjuangan beliau salah satunya adalah menentang Belanda


karena VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang
merugikan kesultanan dan rakyat Banten.

Peran Sultan Ageng dalam perkembangan Islam di Banten sangat


berpengaruh. Dia menginginkan Banten mempunyai kerajaan Islam.

Langkah yang beliau tempuh pertama dalam sektor ekonomi.


Kesejahteraan rakyat ditingkatkan melalui pencetakan sawah-
sawah baru serta irigasi yang sekaligus berfungsi sebagai sarana
perhubungan.

Sultan Ageng tidak hanya mendobrak perekonomian rakyat menjadi


lebih baik tetapi juga berperan besar di bidang keagamaan. Dia
mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama asal Makassar, menjadi
mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan keagamaan
dan penasehat sultan dalam bidang pemerintahan.

Dia juga menggalakkan pendidikan agama, baik di lingkungan


kesultanan maupun di masyarakat melalui pondok pesantren.
Nama pahlawan Uraian
Ketika menjadi raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal cerdas
dan menghargai pendidikan. Perkembangan pendidikan agama
Islam maju dengan pesat.

Nilai-nilai yang dimunculkan dari Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai


seorang pemimpin, ia adalah pemimpin yang sangat amanah dan
memiliki visi ke depan membangun bangsanya.

Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang pemimpin yang sangat


visioner, ahli perencanaan wilayah dan tata kelola air, egaliter dan
terbuka serta berwawasan internasional.

Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama


dengan berbagai pihak di sekitarnya atau di tempat yang jauh
sekalipun.

Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan


Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram. Tidak
hanya itu, Banten juga menjalin hubungan baik dengan Makasar,
Bangka, Cirebon dan Indrapur.

Karakter Sultan Ageng Tirtayasa mewakili karakter kepemimpinan


dan intelektual. Bagi dia, kepentingan rakyat adalah segala-
galanya. Ketegasan pemimpin juga tidak kalah penting.

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan


Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan
Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat
Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten),
Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang
dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.

Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di


Jakarta. Ia meninggal dunia dalam penjara dan dimakamkan di
komplek pemakaman raja-raja Banten di sebelah utara Masjid
Agung Banten. Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan Ageng
Tirtayasa diberi gelar Pahlawan Nasional pada 1 Agustus 1970
dengan dikeluarkannya Keppres No. 45/TK/1970.
Sultan Hasanuddin (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 12 Januari
1631 – meninggal di Gowa, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada
umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional
Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad
Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape sebagai nama
pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid
Jalaludin bin Muhammad Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat
Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan sekaligus guru tarekat dari
Syeikh Yusuf dan Sultan Hasanuddin. Setelah menaiki Tahta
Sultan hasanuddin sebagai Sultan, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin
Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan
Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De
Haantjes van Het Osten oleh Belanda yang artinya Ayam
Jantan/Jago dari Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten
Gowa. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat
Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November
1973.[1] Nominal seratus repes

2
Nama pahlawan Uraian
Sultan Hasanuddin lahir di Gowa, merupakan putera I Manuntungi
Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikulsaid, Raja Gowa
ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika
Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai
perdagangan rempah-rempah. Kerajaan Gowa|GOWA merupakan
kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur
perdagangan.
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat,
Indonesia, 1772 – wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di
Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864) adalah salah seorang
ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda
dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada
tahun 1803-1838.[1] Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor
087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]Nama asli dari
Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di
Bonjol pada 1 Januari 1772. Dia merupakan putra dari pasangan
Bayanuddin Shahab (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib
Tuanku imam bonjol Bayanuddin Shahab, merupakan seorang alim ulama yang berasal
dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai ulama
dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab
memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan
Tuanku Imam.[4] Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai
salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang
menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol.
Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Salah satu Naskah aslinya ada di Dinas Kearsipan dan
Perpustakaan Provinsi Sumatra Barat Jalan Diponegoro No.4
Padang Sumatra Barat. Naskah tersebut dapat dibaca dan dipelajari
di Dinas Kearsipan dan Perpustakàan Provinsi Sumatra Barat.
Pangeran Diponegoro adalah pejuang ang memimpin perang
melawan Belanda pada tahun 1825-1830 di Jawa.

Pembahasan

Pangeran Diponegoro lahir sebagai putera pertama Sultan


Hamengkubuwana III dari Yogyakarta pada tahun 11 November
1785. Pada saat Hamengkubuwono II meninggal, Sultan
Diponegoro tidak menggantikannya, namun adik tirinya yang dipilih
oleh Belanda yang bergelar Hamengkubuwono IV. Begitupun saat
Hamengkubuwono IV meninggal, Belanda lebih memiliki
Hamengkubuwono V yang masih bayi dan mudah diatur.

Pangeran diponegoro
Dominasi Belanda terhadap kerajaan di Jawa dan kebijakan-
kebijakan Belanda yang merugikan rakyat akhirnya menjadikan
Pangeran Diponegoro untuk memberontak pada tahun 1825.

Selain itu sebab pemberontakan adalah perampasan tanah milik


bangsawan termasuk milik Pangeran Diponegoro oleh Belanda,
pembangunan jalan oleh Belanda di tanah makam leluluhur
Pangeran Diponegoro dan paksaan pada penduduk Jawa untuk
menanam tanaman untuk dieksport oleh Belanda.

Awalnya Pangeran Diponegoro memperoleh keberhasilan dalam


perang ini, karena dukungan dari rakyat yang menentang Belanda.

3
Nama pahlawan Uraian
Namun perlahan Belanda berhasil membalik keadaan. Belanda
mendatangkan pasukan kolonial Hindia Belanda (KNIL) dari pulau
lain dan dari Belanda sendiri. Belanda kemudian menekan pasukan
Diponegoro dengan sistem benteng atau yang biasa disebut
“benteng-stelsel” yang membatasi gerakan pasukan Diponegoro.

Wabah kolera dan disentri merebak dalam kondisi perang ini dan
membunuh banyak rakyat dan pasukan Diponegoro. Penyakit dan
strategi Belanda ini melemahkan perjuangan Pangeran
Diponegoro. Kemudian, satu persatu pendukung Pangeran
Diponegoro tertangkap atau menyerah, seperti Kyai Mojo pada
tahun 1828 dan Pangeran Mangkubumi serta Sentot Alibasyah
pada tahun 1829.

Karena terdesak Pangeran Diponegoro setuju untuk berunding


dengan Belanda pada tahun 1830, tetapi oleh Belanda, Pangeran
Diponegoro dikhianati dan ditawan, lalu dibuang ke pulau
Sulawesi. Pangeran Diponegoro meninggal dalam tawanan
Belanda pada 8 Januari 1855 di Makassar.
Pattimura (Thomas Matulessy) lahir di Haria, pulau Saparua,
Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember
1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan
Pattimura adalah Pahlawan nasional Indonesia dari Maluku.Menurut
buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M
Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan
bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram)". Ayahnya yang
Kapitan patimura bernama Antoni Matulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura
Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau
merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk
di Seram.

Namanya kini diabadikan untuk Universitas Pattimura, Kodam


XVI/Pattimura dan Bandar Udara Pattimura di Ambon.
I Gusti Ketut Jelantik adalah perdana menteri Kerajaan Buleleng di
pulau Bali, yang melawan upaya Belanda menaklukkan pulau Bali.
Sebagai pemimpin rakyat Bali, Jelantik melakukan perlawanan
terhadap ekspedisi Belanda di Bali yang diadakan pada tahun 1846,
1848 dan 1849.

Saat itu Belanda sedang giat berupaya menguasai seluruh wilayah


di Indonesia, karena sumberdaya yang kaya dan juga untuk
mencegah negara Eropa lain menjadi pesaingnya.
I gusti ketut jelantik

Sebagai alasan penyerangan terhadap Bali, Belanda menggunakan


alasan praktik Tawan karang, yaitu adat Bali di mana kapal yang
karam di Bali menjadi hak raja setempat. Belanda juga menuntut
raja-raja Bali, termasuk Buleleng, untuk tunduk kepada
pemerintahan Hindia Belanda, namun tuntutan ini ditolak.

4
Nama pahlawan Uraian
Pada tahun 1846, Ketut Jelantik melawan pasukan Belanda yang
menyerang di Benteng Jagaraga. Pada pertempuran ini, Belanda
gagal mengalahkan pasukan Bali.

Perlawanannya berakhir setelah dia kalah perang, akibat serangan


Belanda pada tahun 1849 yang dibantu oleh tembakan meriam dari
kapal Belanda. Ketut Jelantik akhirnya tewas saat diserang saat
mengungsi ke Kintamani di Gunung Batur, di wilayah Kerajaan
Karangasem pada tahun 1849.

Atas jasanya melawan penjajah belanda, I Gusti Ketut


Jelantik diberikan penghargaan oleh pemerintah Indonesia dengan
gelar Pahlawan Nasional menurut SK Presiden RI No.
077/TK/Tahun 1993, oleh Presiden Suharto.

Anda mungkin juga menyukai