Anda di halaman 1dari 11

Nama : Qurrota A’yun

Kelas : IX C
No. Absen : 33
Sejarah Raden Patah

Meski tidak sampai 100 tahun berdiri, Kesultanan Demak tetap memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia.
Demak merupakan kerajaan pertama yang jadi pelopor penyebaran Islam di Jawa dan juga nusantara. Kesultanan
Demak berhasil meruntuhkan Kerajaan Majapahit sekaligus mengawali perjalanan sejarah Islam di Indonesia.
Raden Patah adalah tokoh dibalik keberhasilan Demak meraih kekuasan atas tanah Jawa kala itu. Raden Patah
yang kemudian menjadi raja pertama Kesultanan Demak disebut sejumlah sumber sejarah merupakan putra dari
Prabu Brawijaya, seorang raja Majapahit. Menurut cerita Raden Patah dibuang ayahnya ke Palembang.

Masa kecil dari Raden Patah dihabiskan bersama ibunya yang bernama Siu Ban Ci. Memiliki darah
keturunan Tionghoa membuat Raden Patah kecil sering dipanggil Jin Bun. Jin Bun sendiri memiliki arti orang
kuat, sementara Fatah atau Patah dalam nama Arab berati kemenangan. Nama Jin Bun tidak memiliki marga depan
karena keturunan ayahnya merupakan orang Jawa. Ibunda dari Raden Patah yang merupakan selir dari Raja
Majapahit konon diusir oleh ratu asal Campa. Sang ratu merasa cemburu dan meminta raja untuk membuangnya
dari kerajaan. Pindah ke Palembang, ibu dari Raden Patah dinikahi oleh Aryo Damar yang kala itu jadi penguasa
Palembang. Bersama Aryo Damar, Siu Ban Ci memiliki anak yang bernama Raden Kusen.

Raden Kusen kemudian menemani Raden Patah merantau ke Pulau Jawa untuk menghindar dari ayahnya. Saat itu
Raden Patah diminta ayahnya menjadi bupati Palembang namun menolak. Tinggal di Pulau Jawa kemampuan dari
Raden Patah terus berkembang hingga membuat Majapahit kuatir. Dirinya membuka hutan Glagahwangi untuk
dijadikan sebuah pesantren. Tidak hanya itu, Raden Patah juga sempat belajar agama Islam dari Sunan Ampel di
Surabaya. Ilmu agama yang didapatnya itu kemudian digunakan oleh Raden Patah untuk mengajar pesantren.

Waktu berlalu Raden Patah banyak mengalami perkembangan termasuk dengan menjadi pemimpin Kadipaten
Demak. Hingga akhirnya dirinya memimpin Demak untuk melawan Majapahit. Berdirinya Kesultanan Demak
sebagai peletak dasar dari kerajaan Islam di bumi nusantara. Salah satu peninggalan Raden Patah yang hingga kini
masih berdiri tegak adalah Mesjid Demak. Mesjid Demak pula yang menjadi tempat Raden Patah dimakamkan
setelah meninggal pada usia 63 tahun. Makam yang hingga kini masih ramai dikunjungi oleh banyak peziarah.
Akulturasi budaya yang panjang memang sudah dialami oleh bangsa Indonesia sejak era kerajaan. Semua berbaur
satu sama lain hingga terciptanya sejarah yang menghadirkan Indonesia. Bersama kita terus jaga bumi pertiwi,
tanpa melupakan sejarah yang sudah ada. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan
sejarahnya seperti diucapkan Bung Karno
Raden Patah Wafat
Raden Patah meninggal pada usia 63 tahun. Penyebab kematian Raden Patah adalah karena sakit yang beliau
derita yang tak kunjung sembuh. Raden Patah meninggal di Demak dan dimakamkan di Masjid Demak yang
sampai saat ini makam beliau ramai dikunjungi para peziarah.
Nama :
Kelas :
No. Absen :

Biografi Singkat Sultan Ageng Tirtayasa

Siapa nama asli Sultan Ageng Tirtayasa? Beliau diketahui lahir di Banten pada tahun 1631. Sejak kecil beliau
memiliki banyak nama namun nama kecil Sultan Ageng Tirtayasa adalah Abdul Fatah atau Abu al-Fath
Abdulfattah. Ayahnya bernama Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang merupakan sultan Banten dan ibunya bernama
Ratu Martakusuma.
Sultan Ageng Tirtayasa masih memiliki darah keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon melalui anaknya Sultan
Maulana Hasanuddin. Diketahi bahwa Sunan Gunung Jati merupakan pendiri dari Kesultanan Banten. Sejak kecil
sebelum diberi gelar Sultan Ageng Tirtayasa, Abdul Fatah diberi gelar Pangeran Surya.
Beliau diangkat sebagai Sultan Muda dengan gelar Pangeran Dipati ketika ayahnya Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad
wafat. Abdul Fatah atau pangeran Dipati merupakan pewaris tahta kesultanan Banten. Namun saat ayahnya wafat
belum belum menjadi sultan sebab kesultanan Banten ketika itu kembali dipimpin oleh kakeknya Sultan Abul
Mufakhir Mahmud Abdul Qadir.
Sultan Ageng Tirtayasa dan Kejayaan Kesultanan Banten
Ketika kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir wafat di tahun 1651, Abdul Fatah atau pangeran
Dipati kemudian naik tahta sebagai Sultan Banten ke 6 dengan nama Sultan Abul Fath Abdul Fattah atau Sultan
Ageng Tirtayasa. Sewaktu naik tahta menjadi Sultan Banten, beliau masih sangat muda.

Sultan Ageng Tirtayasa Tertangkap dan Wafat

Perang antar keluarga yang berlarut-larut membuat Kesultanan Banten melemah. Akhirnya di tahun 1683, Sultan
Ageng Tirtayasa ditangkap dan kemudian dibawa ke Batavia dan dipenjara disana. Di tahun 1692, Sultan Ageng
Tirtayasa akhirnya wafat. Beliau kemudian dimakamkan di Kompleks Pemakaman raja-raja Banten di Provinsi
Banten.

Pemerintah Indonesia kemudian memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Ageng Tirtayasa pada
tanggal 1 agustus 1970 melalui SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970. Nama Sultan Ageng
Tirtayasa juga diabadikan sebagai nama salah satu universitas di Banten bernama Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.

Biodata Sultan Ageng Tirtayasa

Nama lengkap : Sultan Ageng Tirtayasa (Abu al-Fath Abdulfattah)


Lahir: 1631, Banten
Meninggal: 1695, Jakarta
Masa Pemerintahan : 1651–1683
Anak Sultan Ageng Tirtayasa : Haji dari Banten, Arya Purbaya, Raden Muhsin, LAINNYA
Orang Tua: Ratu Martakusuma (ibu), Abdul Ma’ali Ahmad (ayah).
Nama :
Kelas :
No. Absen :

Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa merupakan sultan Banten ke-6. Sultan Ageng Tirtayasa lahir di Kesultanan Banten pada
tahun 1631. Sultan Ageng Tirtayasa dikenal gigih melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Perjuangan
Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda di Serang, Banten sehingga beliau diberi gelar Pahlawan Nasional oleh
pemerintah Indonesia. Sultan Ageng Tirtayasa meninggal di Batavia, Hindia Belanda tahun 1692 pada sekitar
umur 60-61 tahun.Peristiwa Penting Masa Pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa
Profil Singkat Sultan Ageng Tirtayasa
Nama: Sultan Ageng Tirtayasa
Lahir: Banten, 1631
Meninggal: Jakarta, 1695
Memerintah: 1651–1683
Orang Tua:
Ratu Martakusuma (Ibu)
Abdul Ma’ali Ahmad (Ayah)
Anak:
Sultan Abu Nashar Abdulqahar (Haji dari Banten)
Pangeran Purbaya
Tubagus Abdul
Tubagus Rajaputra
Tubagus Husaen
Tubagus Ingayudadipura
Raden Mandaraka
Raden Saleh
Raden Rum
Raden Sugiri
Raden Muhammad
Tubagus Rajasuta
Raden Muhsin
Arya Abdulalim
Tubagus Muhammad Athif
Tubagus Wetan
Tubagus Kulon
Raden Mesir
Biografi Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa merupakan putra dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yaitu Sultan Banten periode 1640-
1650 dan Ratu Martakusuma. Sultan Ageng Tirtayasa lahir di Kesultanan Banten pada tahun 1631.
Nama kecil Sultan Ageng Tirtayasa adalah Abdul Fatah atau Abu al-Fath Abdulfattah. Sejak kecil sebelum diberi
gelar Sultan Ageng Tirtayasa, Abdul Fatah diberi gelar Pangeran Surya. Saat ayahnya yaitu Sultan Abu al-Ma’ali
Ahmad wafat, Sultan Ageng Tirtayasa diangkat sebagai Sultan Muda dengan gelar Pangeran Dipati. Abdul Fatah
atau pangeran Dipati merupakan pewaris tahta kesultanan Banten. Tapi saat ayahnya wafat, Beliau belum menjadi
sultan karena kesultanan Banten saat itu kembali dipimpin oleh kakeknya yaitu Sultan Abul Mufakhir Mahmud
Abdul Qadir.
Menjadi Sultan dan Kesultanan Banten Mengalami Kejayaan
Pada tahun 1651, kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir wafat. Abdul Fatah atau pangeran Dipati
lalu naik tahta sebagai Sultan Banten ke 6 dengan nama Sultan Abul Fath Abdul Fattah atau Sultan Ageng
Tirtayasa. Sewaktu naik tahta menjadi Sultan Banten, beliau masih sangat muda yaitu pada usia 20 tahun.
Sultanb Ageng Tirtayasa sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan agama Islam di daerahnya. Ia
mendatangkan banyak guru agama dari Arab, Aceh dan daerah lain untuk membina mental para pasukan
Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa juga dikenal sebagai ahli strategi dalam perang.
Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, kesultanan Banten mencapai puncak kejayaan dan
kemegahannya. Ia memajukan sistem pertanian dan irigasi baik dan berhasil menyusun armada perangnya. Selain
itu, kesultanan Banten juga menjadi memiliki hubungan diplomatik yang kuat antara kesultanan Banten dengan
kerajaan lainnya di Indonesia seperti Makassar, Cirebon, Indrapura dan Bangka.
Sultan Ageng Tirtayasa juga menjalin hubungan baik dibidang perdagangan, pelayaran dan juga diplomatik
dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Turki, Denmark dan Perancis. Hubungan tersebut membuat
pelabuhan Banten sangat ramai dikunjungi para pedagang dari Persia, Arab, India, china, melayu serta philipina.
Sultan Ageng Tirtayasa sempat membantu Trunojoyo dalam pemberontakan di Mataram. Beliau bahkan
membebaskan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang saat itu ditahan di Mataram karena
hubungan baiknya dengan Cirebon.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, konflik antara Kesultanan Banten dan Belanda semakin
meruncing. Hal tersebut disebabkan karena ikut campurnya Belanda dalam internal kesultanan Banten yang saat
itu sedang melakukan pemisahan pemerintahan. Belanda melalui politik adu dombanya (Devide et Impera)
menghasut Sultan Haji (Abu Nasr Abdul Kahar) melawan Pangeran Arya Purbaya yang merupakan saudaranya
sendiri.
Sultan Haji mengira bahwa pembagian tugas pemerintahan oleh Sultan Ageng Tirtayasa kepadanya dan
saudaranya tersebut merupakan upaya menyingkirkan dirinya dari pewaris tahta kesultanan Banten dan diberikan
kepada adiknya, Pangeran Arya Purbaya. Sultan Haji yang didukung oleh VOC Belanda lalu berusaha
menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.
Akhirnya, perang keluarga pun pecah. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa saat itu mengepung pasukan Sultan Haji di
daerah Sorosowan (Banten). Namun pasukan pimpinan Kapten Tack dan Saint-Martin yang dikirim Belanda
datang membantu Sultan Haji.
Wafatnya Sultan Ageng Tirtayasa
Perang antar keluarga yang berlarut-larut membuat Kesultanan Banten melemah. Akhirnya pada tahun 1683,
Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dibawa ke Batavia dan dipenjara. Pada tahun 1692, Sultan Ageng Tirtayasa
akhirnya wafat. Sultan Ageng Tirtayasa dimakamkan di Kompleks Pemakaman raja-raja Banten di Provinsi
Banten.
Menjadi Pahlawan Nasional Indonesia
Pada tanggal 1 agustus 1970, melalui SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970 Pemerintah
Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Ageng Tirtayasa. Selain itu, untuk menghargai
jasanya, nama Sultan Ageng Tirtayasa diabadikan sebagai nama salah satu universitas di Banten bernama
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Nama : Diva Maulani
Kelas : IX B
No. Absen : 28

Raden Patah

Raden Patah adalah bahwa Raden Patah adalah seorang keturunan yang memiliki darah campuran Cina dan Jawa.
Raden Patah dilahirkan di Palembang pada tahun 1455. Raden Patah merupakan pendiri dan raja pertama dari
Kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Raden Patah ini menurut catatan sejarah
Kerajaan Demak, memiliki banyak nama dan gelar. Beberapa nama lain Raden Patah yang populer adalah Jin
Bun, Pate Rodim, Tan Eng Hwa, dan Aryo Timur.

Perjalanan hidup Raden Patah ini begitu menarik untuk dipelajari. Yang paling menonjol dari sifat Raden Patah
adalah perjuangan, kerja keras dan tentu saja adalah sikap toleransi Raden Patah yang cukup tinggi pada masa itu.
Selain mendirikan Kerajaan Demak, masa pemerintahan Raden Patah juga menjadi lokomotif pendirian Masjid
Demak yang masih ada sampai saat ini.

Selain asal usul Raden Patah yang ternyata memiliki darah campuran antara Jawa dan China, silsilah Raden Patah
pun juga sangat menarik. Raden Patah ternyata juga masih keturunan dari Raja Majapahit terakhir yaitu Raja
Brawijaya. Raden Patah adalah anak dari Raja Brawijaya dengan seorang selir China yang bernama Siu Ban Ci.
Perlu juga diketahui bahwa Raja Brawijaya adalah raja terakhir yang memerintah kerajaan Majapahit yaitu mulai
dari 1408 sampai dengan 1501. Hubungan Raja Brawijaya dengan istri selirnya dari Cina ini kemudian membuat
istri nya menjadi cemburu. Kemudian istri Raja Brawijaya meminta agar selir dari Cina tersebut diasingkan ke
Palembang.

Ketika Raja Brawijaya mengungsikan selirnya ke Palembang, keadaan Siu Ban Ci tengah dalam keadaan hamil
tua. Siu Ban Ci di Palembang tinggal bersama anak Brawijaya yang menjadi bupati Palembang masa itu yang
bernama Arya Damar. Kemudian setelah lama tinggal di Palembang, Siu Ban Ci pun melahirkan seorang putera
dari Raja Brawijaya yang diberi nama Raden Patah. Siu Ban Ci pun pada akhirnya menikah dengan anak tirinya
sendiri yaitu Aryo Damar dan dikaruniai seorang anak yang bernama Raden Kusen.

Perjalanan Hidup Raden Patah

Perjalanan hidup Raden Patah ini cukup panjang hingga mencapai posisinya sebagai Raja Demak. Seiring
berlalunya waktu, Raden Patah kemudian tumbuh menjadi seorang pemuda yang berbakat dan memiliki
kecerdasan otak yang luar biasa. Melihat kemampuan dan bakatnya tersebut, lantas ayah tirinya yaitu Aryo Damar
meminta Raden Patah untuk menggantikan posisinya sebagai Adipati Palembang. Namun demikian Raden Patah
menolak permintaan ayah tirinya tersebut dengan berbagai alasan yang ia sampaikan. Raden Patah lebih memilih
meninggalkan Palembang dan menuju Pulau Jawa. Kepergian Raden Patah kemudian disusul adik tirinya yang
bernama Raden Kusen. Bukan saja Raden Patah yang menolak menjadi bupati Palembang, Raden Kusen ternyata
juga menolak menjadi bupati Palembang.

Alasan keduanya menolak jabatan bupati Palembang adalah karena mereka berdua ingin menuntut ilmu agama
Islam di tanah Jawa. Pada masa-masa itu, Islam berkembang begitu pesat di Indonesia termasuk di tanah Jawa.
Pada akhirnya mereka berdua sampai di padepokan Sunan Ampel di Surabaya. Setelah dirasa cukup belajar agama
pada Sunan Ampel, Raden Kusen memilih kembali ke kerajaan kakeknya Brawijaya di Majapahit sedangkan
Raden Patah berkelana ke Jawa Tengah untuk membuka hutan Glagah Wangi dan menjadikan tempat tersebut
sebagai pusat penyebaran Islam dan mendirikan pesantren.

Raden Patah Wafat


Raden Patah meninggal pada usia 63 tahun. Penyebab kematian Raden Patah adalah karena sakit yang beliau
derita yang tak kunjung sembuh. Raden Patah meninggal di Demak dan dimakamkan di Masjid Demak yang
sampai saat ini makam beliau ramai dikunjungi para peziarah.
Sultan Baabullah

Dilahirkan tanggal 10 Februari 1528, kaicil (pangeran) Baab adalah putera Sultan Khairun (1535-1570). Sejak
kecil ia bersama saudara-saudaranya telah digembleng oleh para mubalig dan panglima dimana ia memperoleh
pemahaman tentang ilmu agama dan ilmu perang sekaligus.

Ketika pecah perang Ternate–Portugis yang pertama (1559-1567), Sultan Khairun menjadikannya panglima untuk
menghantam kedudukan Portugis di Maluku dan Sulawesi sehingga berhasil memperoleh kemenangan bagi
Ternate.

Ia jugalah yang berhasil mengusir Portugis dari bumi Maluku dan membawa Kesultanan Ternate menuju masa
jaya.

Berikut ini adalah laporan Francis Drake :

“Sementara orang-orang kami menunggu kedatangan sultan yang akan datang kira-kira setengah jam lagi, mereka
mendapat kesempatan lebih baik untuk mengamati semua itu; juga sebelum kedatangan sultan sudah ada tiga baris
tokoh bangsawan tua, yang konon semuanya adalah penasihat pribadi raja; di ujung rumah ditempatkan
sekelompok orang muda, berpakaian dan berpenampilan anggun. Di luar rumah, di sebelah kanan, berdiri empat
orang dengan rambut ubanan, semuanya berpakaian jubah merah panjang sampai ke tanah, tetapi penutup
kepalanya tidak jauh berbeda dari orang Turki; mereka ini disebut orang Rum (Romawi/Eropa), atau orang asing,
yang ada disana sebagai perantara untuk tetap memelihara perdagangan dengan bangsa ini: mereka adalah dua
orang Turki, satu orang Italia sebagai perantara dan yang terakhir seorang Spanyol, yang dibebaskan oleh sultan
dari tangan orang Portugis dalam perebutan kembali pulau itu, dan berhenti sebagai serdadu untuk mengabdi
kepada sultan.

Sultan akhirnya datang dari benteng, dengan 8 atau 10 senator yang mengikuti dia, dinaungi payung yang sangat
mewah (dengan hiasan emas timbul di tengahnya), dan dijaga dengan 12 tombak yang matanya diarahkan ke
bawah: orang kami (disertai saudara sultan), bangun untuk menemui dia, dan ia dengan sangat ramah menyambut
dan berbasa – basi dengan mereka. Seperti telah kami gambarkan sebelumnya, ia bersuara lirih, bicaranya halus,
dengan keanggunan sikap seorang sultan, dan seorang dari bangsanya. Pakaiannya menurut mode penduduk lain
dari negerinya, tetapi jauh lebih mewah, sebagaimana dituntut oleh keberadaan dan statusnya; dari pinggang ke
tanah ia mengenakan kain bersulam emas, sepatu dari beludru berwarna merah; hiasan kepalanya bertatahkan
berbagai cincin berlapis emas, selebar satu atau satu setengah inci, yang membuatnya indah dan agung dipandang,
mirip seperti mahkota; di lehernya ia mengenakan kalung rantai dari emas murni yang mata rantainya besar sekali
dan satu rangkaian rangkap; di tangan kirinya terdapat Intan, batu Zamrud, batu Merah Delima dan batu Pirus, 4
batu permata yang sangat indah dan sempurna; di tangan kanannya; pada satu cincin terdapat satu batu Pirus besar
dan sempurna, dan pada cincin lain terdapat banyak Intan berukuran lebih kecil, yang ditatahkan dengan sangat
indah.

Demikianlah ia duduk di atas tahta kerajaannya, dan di sebelah kanan berdiri seorang pelayan dengan sebuah kipas
sangat mahal (tersulam dengan kaya dan terhias dengan batu nilam). Ia mengipas dan mengumpulkan udara untuk
menyejukkan sultan, karena tempatnya panas sekali, baik oleh sinar matahari maupun kumpulan begitu banyak
orang. Sesudah beberapa waktu, setelah para tuan menyampaikan pesan mereka, dan memperoleh jawaban,
mereka diizinkan untuk pamit, dan dengan selamat di antara kembali oleh salah satu ketua Dewan Sultan, yang
ditugaskan oleh sultan sendiri untuk melakukan hal itu.”

Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan. Wilayah dan pengaruhnya membentang
dari Sulawesi Utara, tengah dan timur di bagian barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari Filipina
(Selatan) di bagian utara hingga sejauh kepulauan Kai dan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan Baabullah
dijuluki “penguasa 72 negeri” hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia
timur.
PANEMBAHAN SENOPATI

Nama aslinya ialah Danang Sutowijoyo yang juga dikenal sebagai Sutawijaya. Ia adalah putra Ki Gede Pemanahan
yang berjasa membantu Jaka Tingkir membunuh Aryo Penangsang, adipati Jipangpanolan dalam krisis politik di
Kesultanan Demak Bintoro pada masa akhir pemerintahan Sultan Trenggana.Setelah Jaka Tingkir menjadi Raja
bergelar Sultan Hadiwijaya yang akhirnya mendirikan Kesultanan Pajang, beliau kemudian dianugerahi tanah
Mentaok (di Kotagedhe, Yogyakarta sekarang). Bersama-sama ayahnya ia memerintah daerah itu. Karena keraton
Sutawijaya berada di sebelah utara pasar maka dia bergelar Ngabehi Loring Pasar (Yang dipertuan di Sebelah
Utara Pasar)

Setelah Ki Gede Pemanahan meninggal tahun 1575 M. Sutawijaya memberontak kepada Pajang tahun 1582 M dan
membuat Mataram merdeka dari Pajang. Di Pajang sendiri, setelah mangkatnya Sultan Hadiwijaya, tahta
berpindah pada putranya Pangeran Benowo, namun ia dikudeta Aryo Pangiri, adipati Demak dan dijadikan adipati
di Jipangpanolan. Pangeran Benowo kalah, lalu ia minta bantuan Sutawijaya untuk membantunya melawan Aryo
Pangiri. Setelah mengalahkan Aryo Pangiri, Pangeran Benowo menyerahkan pusaka Pajang pada Sutawijaya.

Tahun 1586 M, Sutawijaya akhirnya mengangkat dirinya jadi sultan dengan gelar Panembahan Senopati,
Khalifatullah Sayyidin Penatagama (Khalifah/penguasa dan penata agama). Gelar Khalifatullah Sayyidin
Penatagama ini juga diberikan pada raja-raja Mataram sesudahnya bahkan pada kerajaan-kerajaan di Surakarta dan
Yogyakarta seperti Sultan Hamengkubuwono dari Yogyakarta. Beliau juga mendirikan Kesultanan Mataram yang
berpusat di Kotagedhe. Gelar Panembahan Senopati digunakannya karena dia menghormati Pangeran Benowo
yang merupakan penerus yang sah Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang sehingga dia tidak memakai gelar
Sultan.

Selama pemerintahannya ia banyak menaklukkan daerah seperti Ponorogo, Pasuruan, Kediri, Surabaya, Madiun
dan lain sebagainya, dimana beberapa daerah tersebut merupakan daerah wilayah Pajang dan merasa tidak perlu
takluk dengan Mataram sebagai kesultanan yang baru.

Sutawijaya wafat tahun 1601 M dan dimakamkan di Kotagedhe, dan diganti putranya Mas Jolang yang bergelar
Panembahan Hanyokrowati.
SULTAN ISKANDAR MUDA

Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun
1607 hingga 1636. Iskandar Muda lahir di Aceh, Banda Aceh pada tahun 1593 atau 1590 dan wafat di Banda
Aceh, Aceh pada 27 September 1636. Pada masa kepemimpinann Iskandar Muda, Kesultanan atau Kerajaan
Aceh mencapai kejayaannya, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai
pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam. Nama Sultan Iskandar Muda diabadikan sebagai nama
bandar udara yaitu Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda di Aceh.

Profil Singkat Sultan Iskandar Muda

Nama: Sultan Iskandar Muda


Lahir: Banda Aceh, 1593
Meninggal: Banda Aceh, 27 Desember 1636
Orang Tua: Puteri Raja Inderabangsa, Mansur Syah
Anak: Safiatuddin dari Aceh, Merah Pupok

Asal Usul Keluarga dan Masa Kecil Sultan Iskandar Muda

Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda merupakan keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak leluhur ayah
merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan Makota Alam dikatakan dahulunya
adalah dua tempat permukiman bertetangga yang terpisah oleh sungai dan yang gabungannya merupakan asal
mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang tersebut yang berhak sepenuhnya
menuntut takhta.

Ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa yang juga dinamai Paduka Syah Alam adalah anak dari Sultan Alauddin
Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; di mana sultan tersebut merupakan putra dari Sultan Firman Syah, dan Sultan
Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.

Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah, yaitu putra dari
Sultan Abdul-Jalil, di mana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar yang juga Sultan
Aceh ke-3.

Sultan Iskandar Muda besar dalam lingkungan istana. Setelah cukup umur Iskandar Muda dikirim ayahnya untuk
belajar pada Teungku Di Bitai, yaitu salah seorang ulama dari Baitul Mukadis pakar ilmu falak dan ilmu firasat.
Iskandar muda mempelajari ilmu nahu dari beliau.

Selanjutnya, ayah Iskandar Muda mulai menerima banyak ulama terkenal dari Mekah dan Gujarat. Diantaranya
tiga orang yang sangat berpengaruh dalam intelektual Iskandar Muda, yaitu Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar, Sekh
Muhammad Jamani dari Mekah dan Sekh Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry dari Gujarat.

Pernikahan Sultan Iskandar Muda

Sri Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang. Putri tersebut dikenal dengan
nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan pada istrinya, Sultan memerintahkan
pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali atau Taman Istana sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang
puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit.
Untuk itu Sultan membangun Gunongan untuk mengobati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan tersebut
masih bisa disaksikan dan dikunjungi.
Muawiyah bin Yazid bin Muawiyah (bahasa Arab: ‫د بن معاوية‬TTT‫ة بن يزي‬TTT‫ )معاوي‬yang terkenal
dengan Muawiyah Kedua (W. 64 H/684) adalah khalifah ketiga Umawi yang menjabat sebagai
khalifah setelah kematian Yazid, ayahnya pada tahun 64 H/684. Ia menjabat khalifah dalam waktu
pendek lalu mengundurkan diri dan meninggal dunia. Terkait pengunduran dirinya dari
kekhilafahan terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sejarawan, namun manyoritas mereka
berpendapat bahwa kecenderungannya kepada keluarga Imam Ali as yang menjadi dasar dan
alasannya. Pasca pengunduran Muawiyah Kedua dari kekhilafahan, Marwan bin Hakam naik
menjadi khalifah dan hingga akhir kekuasaan kaum Umawi, anak-anak keturunan Marwan yang
memegang tampuk kekhilafahan. Muawiyah bin Yazid tatkala meninggal menurut satu pendapat
berumur 18 tahun dan dikuburkan di Damaskus.

Periode Kekhilafahan
Pada masa perang pasukan militer Umawi dengan Abdullah bin Zubair yang mengaku khalifah
di Mekah, Yazid bin Muawiyah meninggal dunia di Syam dan setelah beberapa waktu, dengan
terdengarnya berita kematian Yazid, para pasukan Umawi pulang dari Mekah ke Syam. Bani
Umayyah memilih Muawiyah bin Yazid sebagai khalifah. Atas dasar ini, Muwaiyah dibaiat di
Syam dan Abdullah bin Zubair dibaiat di Mekah.
Pengunduran diri dari Kekhilafahan
Periode kekhilafahan Muawiyah bin Yazid sangat singkat sekali dan sebagian sumber meyakini
40 hari. Semua riwayat-riwayat historis sepakat bahwa ia tidak senang memegang tampuk
kekhilafahan dan benci terhadapnya. Mengenai alasannya terjadi perbedaan laporan dan catatan
sejarah.
Dalam sebagain laporan diyakini bahwa kebenciannya kepada sepak terjang ayah-ayahnya;
Muawiyah, Yazid dan seluruh kaum Umawi adalah sebab utama dari pengunduran dirinya dari
kursi kekhilafahan, dan kecenderungannya kepada Ahlulbait as diterangkan secara tegas sebagai
sebab lainnya. Menurut catatan Tarikh Ya'qubi, ia menyampaikan suatu khotbah dan menjelaskan
di dalamnya soal ketidaksukaannya kepada kursi kehilafahan dan mengkritik ayah dan kakeknya.
Dalam khotbah ini, ia menegaskan bahwa perang Muawiyah bin Abi Sufyan dengan Imam Ali
as dan juga sikap tak sopan ayahnya Yazid dan khususnya pembantaian Imam Husain
as dan keluarga Nabi saw hingga gugur sebagai syahid merupakan kesalahan dan dosa besar.
[1]
 Diusulkan kepadanya supaya seperti Umar bin Khattab membentuk suatu syura untuk memilih
khalifah, namun dia berkata, 'orang-orang seperti para anggota syura itu tidak ditemukan di zaman
sekarang.[2]
Laporan lain menceritakan bahwa dia dalam beberapa pidatonya mengatakan tidak memiliki
kemampuan untuk memegang tampuk kekhilafahan dan mengisyaratkan bahwa di antara kalian
terdapat orang-orang yang lebih layak dari saya tentang kekhilafahan, seraya mengatakan kepada
kaum Umawi,: "Biarkan saya yang memilih seseorang sebagai khalifah atau kalian sendiri yang
memilihnya". Sejumlah orang dari [Bani Umayyah]] datang kepadanya dan meminta supaya
diberikan kesempatan untuk beberapa waktu, dan tak lama setelah itu mereka melukainya dan
membunuhnya.[3]
Sebagian laporan tanpa menyinggung masalah protesnya kepada para sesepuhnya menganggap dia
tengah jatuh sakit dan meyakini hal inilah yang menjadi sebab ketidakmampuannya dalam
mengemban urusan khilafah.[4] Menurut laporan Mas'udi, julukan Muawiyah pada mulanya adalah
Abu Yazid, namun setelah menjadi khalifah dipanggil Abu Laila; sebuah julukan yang
dikhususkan kepada masyarakat Arab yang lemah.[5]

Kesyiahan Muawiyah
Beberapa sumber sejarah dan rijal mutaakhir Syiah memperkenalkan Muawiyah bin Yazid sebagai
seorang Syiah. Terdapat sebuah laporan dalam kitab Habib al-Sair (termasuk sumber sejarah
Persia abad ke-10 H) bahwa Muawiyah menegaskan kelayakan Imam Ali Zainal Abidin bin
Husain as untuk menjabat khalifah dan memesan kepada masyarakat untuk mengundangnya.
[6]
 Sebagian sumber biografi dan rijal Syiah dengan bersandar kepada laporan ini memasukkan
Muawiyah bin Yazid ke dalam kelompok orang-orang Syiah.[7]

Wafat
Muawiyah bin Yazid wafat tahun 64 H/684 dan dikebumikan di Damaskus. Sebab kematiannya
tidak jelas. Sebagain penulis sejarah melontarkan kemungkinan ia terbunuh dan melaporkan
bahwa ia diberi minum racun. Sebagian lagi meyakini bahwa ia terbunuh karena dipukul.
[8]
 Sebagaimana telah disebutkan di atas, sebagian riwayat historis meyakini ia meninggal secara
normal dan dikarenakan sakit.[9] Mengenai usia Muawiyah tatkala meninggal terjadi kontroversi.
Ibnu Qutaibah meyakini ia berumur 18 tahun tatkala meninggal dunia. [10] Dinukilkan pula ia
meninggal dunia pada usia 19, 20 dan 21 tahun.[11] Dan ia dikuburkan di Damaskus.
Nama : Danu Irawan
Kelas : IX C
No. Absen : 05

Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa
dari tahun 1607 hingga 1636. Iskandar Muda lahir di Aceh, Banda Aceh pada tahun 1593 atau 1590 dan
wafat di Banda Aceh, Aceh pada 27 September 1636.
Pada masa kepemimpinann Iskandar Muda, Kesultanan atau Kerajaan Aceh mencapai kejayaannya,
dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari
perdagangan dan pembelajaran tentang Islam. Nama Sultan Iskandar Muda diabadikan sebagai nama
bandar udara yaitu Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda di Aceh.
Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak leluhur
ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan Makota Alam dikatakan
dahulunya merupakan dua tempat permukiman bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang
gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua
cabang itu, yang berhak sepenuhnya menuntut takhta.
Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah anak dari Sultan
Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; di mana sultan ini adalah putra dari Sultan Firman Syah, dan
Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-
Kamal.
Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah, putra dari
Sultan Abdul-Jalil, di mana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan
Aceh ke-3

Profil Singkat Sultan Iskandar Muda


 Nama: Sultan Iskandar Muda
 Lahir: Banda Aceh, 1593
 Meninggal: Banda Aceh, 27 Desember 1636
 Orang Tua: Puteri Raja Inderabangsa, Mansur Syah
 Anak: Safiatuddin dari Aceh, Merah Pupok

Wafat
Sultan Iskandar Muda lahir tahun 1593, di Banda Aceh. Dan tutup usia pada tahun 1636 diusianya yang
ke 42 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di Gp. Peuniti, Baiturrahman, Peuniti, Baiturrahman, Kota
Banda Aceh, Aceh 23116.
Sekian biografi singkat mengenai Sultan Iskandar Muda. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Terima kasih dan jangan lupa, baca juga rubrik kami lainnya untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan Anda.

Anda mungkin juga menyukai