Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH PPKN

SULTAN AGENG TIRTAYASA

KELOMPOK IV

DINDA MUTIARA QOLBI


JEFRI
IDAN RESTU HIDAYAT
ICA ARIANI
KRISA NURRIA SYAFI’AH

Dia adalah Tirtayasa dari Banten atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Di
tangan dirinyalah Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya. Ketika berkuasa,
perannya tidak hanya sebatas memajukan kesultanan. Dia dikenal gigih menentang
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Hal itulah yang menyebabkan dirinya dicap
sebagai musuh bebuyutan Belanda.

Dia merupakan Sultan Banten Keenam yang naik takhta pada usia 20 tahun menggantikan
kakeknya, Sultan Abdul Mafakhir, yang wafat pada 10 Maret 1651. Sebelumnya, dia telah
diangkat menjadi Sultan Muda dengan gelar Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati,
menggantikan ayahnya yang wafat terlebih dahulu pada 1650.

Riwayat Keluarga Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa merupakan julukan terkenal yang diberikan kepada Sultan Abdul
Fattah. Ayah dari Sultan Ageng Tirtayasa adalah Sultan Banten Kelima yang bernama Sultan
Abdul Ma’ali Ahmad bin Sultan Abdul Mufakhir bin Sultan Maulana Muhammad Nashrudin
bin Sultan Maulana Yusuf bin Sultan Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah (lebih dikenal
dengan nama Sunan Gunung Jati Cirebon).
Ayah dari Sultan Ageng Tirtayasa dikenal dengan sebutan Sultan Faqih, Sultan Kulon,
Pangeran Anom atau Pangeran Ratu. Adapun gelar Sultan Ma’ali Ahmad yang dimiliki oleh
ayahnya itu didapatkan ketika Sultan Makkah berkunjung ke Banten pada 1638.

Saat itu, kakek Sultan Ageng Tirtayasa yang bernama Sultan Abdul Mufakhir Mahmud
Abdul Khadir sedang memerintah Banten (1596– 1651). Jadi, Sultan Ageng Tirtayasa adalah
cucu dari Sultan Fakhir Mahmud Abdul Khadir.

Ibu dari Sultan Ageng Tirtayasa bernama Ratu Marta Kusuma, salah seorang putri dari
Pangeran Jayakarta. Saudara-saudara Sultan Ageng Tirtayasa yang seibu kandung dengannya
adalah Ratu Kulon, Pangeran Kilen, Pangeran Lor, dan Pangeran Radja, sedangkan saudara-
saudaranya yang berbeda ibu (dari Ratu Wetan) adalah Pangeran Wetan, Pangeran Kidul,
Ratu Inten, dan Ratu Tinumpuk.

Tirtayasa lahir pada 1637 ketika dengan nama Pangeran Surya. Nama tersebut diambil dari
bahasa Sanskerta yang artinya “matahari terbit”. Selain mempunyai wajah yang tampan,
dirinya sejak kecil merupakan seorang anak yang cerdas, lincah pergaulannya, dan sopan
melebihi saudara-saudaranya yang lain.

Kedua orang tuanya beranggapan bahwa dia merupakan satu-satunya tumpuan calon yang
cocok menjadi pewaris takhta Kesultanan Banten.

Menurut hukum waris Kesultanan Banten, pengganti Sultan Abdul Mufakhir adalah Sultan
Abu Al-Mu’ali. Namun, karena dia meninggal mendahului ayahnya pada 1650, pemangku
jabatan Kesultanan Banten secara otomatis beralih kepada Sultan Ageng Tirtayasa.

Tirtayasa lantas diangkat sebagai pemimpin Kesultanan Banten dengan gelar Sultan Abdul
Fattah Muhammad Syifa Zainal Arifin atau Pangeran Ratu Ing Banten, sebagai sultan
keenam.

Istri dan Anak-Anak Sultan Ageng Tirtayasa

Menurut cerita yang berkembang di daerah Banten, Tirtayasa memiliki banyak istri.
Beberapa di antaranya adalah Nyai Gede dan Ratu Nengah.

Nyai Ratu Gede adalah seorang putri penggawa yang kecantikannya telah menarik perhatian
Tirtayasa. Sultan jatuh hati kepada Nyai Ratu Gede ketika dia membawa alat perhiasan
kerajaan dalam upacara perayaan kerajaan.

Adapun istrinya yang bernama Ratu Nengah merupakan putri Pangeran Kasunyatan.
Perkawinan dengan istri keduanya itu dilakukan setelah istri pertamanya meninggal dunia.

Sultan Ageng Tirtayasa memiliki 30 orang anak, yaitu:

1. Sultan Abu Nashar Abdulqahar atau Sultan Haji;


2. Pangeran Arya Purbaya;
3. Pangeran Arya Tubagus Abdul Alim;
4. Pangeran Arya Tubagus Ingayadadipura;
5. Raden Sugiri;
6. Tubagus Rajasuta;
7. Tubagus Rajaputra;
8. Tubagus Husen;
9. Raden Mandaraka;
10. Raden Saleh;
11. Raden Rum;
12. Raden Mesir;
13. Raden Muhammad;
14. Raden Muhsin;
15. Tubagus Wetan;
16. Tubagus Muhammad Athif;
17. Tubagus Abdul;
18. Tubagus Kulon;
19. Arya Abdulalim;
20. Ratu Raja Mirah;
21. Ratu Ayu;
22. Ratu Kidul;
23. Ratu Marta;
24. Ratu Adi;
25. Ratu Umu;
26. Ratu Hadijah;
27. Ratu Habibah;
28. Ratu Fatimah;
29. Ratu Asyqoh;
30. Ratu Nasibah.

Beberapa anak-anak dari Sultan Ageng Tirtayasa yang mencapai usia dewasa adalah Sultan
Abu Nashar Abdulqahar dan Pangeran Arya Purbaya.

Masa Kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa

Tirtayasa dilantik menjadi sultan pada 1651. Dia menggantikan kakeknya yang meninggal
pada tahun itu juga. Sosok yang seharusnya menjadi penggantinya adalah ayahnya. Namun,
kekuasaan secara otomatis beralih kepadanya karena ayahnya lebih dulu meninggal daripada
kakeknya.

Untuk memudahkan pengawasan terhadap daerah-daerah Banten yang tersebar luas, seperti
Lampung, Solebar, Bengkulu, dan lainnya, diangkatlah penggawa-penggawa dan dalam
waktu tertentu diharuskan datang ke Banten.

Mereka diperintahkan untuk berkumpul di Kediaman Mangkubumi di Kemuning yang berada


di seberang sungai agar melaporkan keadaan daerah masing-masing.

Biasanya, setelah itu para pejabat istana juga dibawa menghadap sultan di Istana Surosowan
untuk menerima petunjuk dan pesan-pesan agar disampaikan kepada rakyat daerah masing-
masing.

Demikian pula pengaturan dan pelatihan angkatan perang juga diserahkan kepada
Mangkubumi dan Pangeran Madura yang diserahi tugas mengatur dan mengawasi prajurit
Banten.

Adapun senjata perang seperti senapan, meriam, keris, dan tombak sudah ada yang dapat
dibuat sendiri, sedangkan senjata jenis lainnya dibeli dari Batavia dan wilayah lain.

Rumah senopati dan penggawa ditempatkan sedemikian rupa, supaya mereka dapat lebih
cepat mengontrol keadaan prajuritnya. Hal inilah yang menyebabkan letaknya tidak terlalu
jauh dari istana untuk mempermudah penyampaian instruksi dari sultan, apabila negara dalam
keadaan
darurat.

Kebijakan tersebut menunjukkan bahwa Tirtayasa adalah seorang ahli strategi perang yang
dapat diandalkan. Ini sudah dibuktikan sewaktu masih menjabat sebagai putra mahkota. Dia
yang mengatur gerilya terhadap kedudukan Belanda di Batavia.

Seperti juga kakeknya, Tirtayasa tidak melupakan hubungan diplomatik dengan Muttasharifat
Hejaz yang mewakili Kekhalifahan Islam Turki Usmani.

Hubungan diplomatik itu merupakan sebuah keharusan untuk memperkokoh kekuatan umat
Islam dalam menentang segala macam ekspansi dunia Barat ke Timur Jauh.

Tirtayasa di sinilah mengadakan musyawarah antara beberapa pembesar kerajaan, seperti


Pangeran Madura, Pangeran Mangunjaya, dan Mas Dipaningrat untuk menentukan sosok
yang akan mewakili Banten pergi ke Timur Tengah.

Santri Betot akhirnya ditunjuk untuk pergi ke ibu kota Muttasharifat Hejaz, dengan
rombongan sebanyak tujuh orang. Delegasi tersebut akan melaporkan pergantian sultan di
Banten dan menceritakan mengenai kondisi kepulauan Nusantara, khususnya hubungan
antara Kesultanan Banten dengan kekuasaan VOC.

Untuk memperdalam pengetahuan rakyat Banten tentang agama Islam, diminta pula Sharif
Makkah agar mengirim guru agama ke Banten.
Utusan Kesultanan Banten itu kembali dari Makkah dengan membawa sepucuk surat dan tiga
orang utusan Sharif Makkah yang bernama Sayid Ali, Abdunnabi, dan Haji Salim. Melalui
Sharif Makkah itulah, Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar Abdul Fattah.

Adapun Santri Betot yang membawa sejumlah besar hadiah dari Makkah kemudian diberi
nama Haji Fattah, demikian juga tujuh orang yang mengiringinya turut diberikan
penghargaan.

Untuk lebih memantapkan pemerintahannya, Tirtayasa mengadakan pembaruan, antara lain


mengurangi kekuasaan Dewan Agung, yang merupakan penasihat dari para sultan
sebelumnya.

Semua keputusan pemerintah dilakukannya sendiri dan dibantu oleh para penasihat dekatnya
saja. Pada 1674, untuk meningkatkan keamanan, dia memerintahkan agar para anggota
Dewan Agung dipindahkan ke Istana Surasowan yang berada di dekat pantai yang berada di
Teluk Banten.

Jika dipandang dari sudut politik, upaya tersebut menunjukkan kesiapan dan kematangannya
untuk tidak bergantung kepada siapa pun, termasuk kepada para petinggi negara.
Tindakannya yang dilaksanakannya memperlihatkan pula bahwa Kesultanan Banten sudah
mampu mandiri, yang tentunya karena ditunjang oleh masalah ekonomi.

Hubungan erat dengan wilayah lain juga dilakukannya, antara lain dengan Lampung, Selebar,
Bengkulu, Cirebon, Karawang, Sumedang, dan Mataram. Selain untuk mempererat
persahabatan juga menggalang pertahanan dan kekuatan dalam menghadapi Belanda,
setidaknya mempersempit ruang gerak musuh jika terjadi peperangan.

Usaha lain yang dilaksanakan untuk kemakmuran negerinya adalah membuat saluran antara
Pontang dan Tanahara agar dapat dilayari kapal dan dapat mengairi daerah sekitarnya hingga
tumbuh menjadi daerah penghasil pangan bagi Banten.

Hasil panen berlimpah dan disimpan di dalam rumah maupun gudang-gudang umum sebagai
persediaan bahan perbekalan. Pada masa ini, Banten mampu mengeluarkan mata uang emas
yang mengindikasikan menjadi negara yang makmur.

Pembangunan fisik di dalam kota tidak dilupakannya. Istana Surasowan diperkuat dengan
menara pengawas di keempat sisinya, serta dilengkapi dengan 66 buah meriam yang
diarahkan ke segenap penjuru.

Selain itu, dia juga membangun perkampungan dan perluasan lahan pertanian di kawasan
perbatasan Banten dan Jayakarta. Selain sebagai pertahanan, tujuannya agar tersedia
persediaan tenaga tempur jika terjadi peperangan dengan Belanda.
Keadaan Banten semenjak diperintah oleh Tirtayasa menjadi lebih baik, baik di bidang
politik, sosial-budaya, terutama perekonomiannya. Dalam bidang perdagangan, Banten juga
mengalami perkembangan yang pesat dan cukup mengancam kedudukan VOC yang
bermarkas di Batavia.

Ketika menjadi raja, Sultan Ageng Tirtayasa telah melakukan beberapa strategi untuk
memulihkan kembali Banten sebagai bandar perdagangan internasional. Beberapa strategi
tersebut antara lain:

1. Mengundang para pedagang dari Inggris, Prancis, Denmark, dan Portugis berdagang
di Banten;
2. Meluaskan interaksi dagang dengan bangsa Tiongkok, India, dan Persia;
3. Mengirim beberapa kapal dengan maksud mengganggu pasukan VOC;
4. Membuat saluran irigasi sepanjang sungai di ujung Jawa sampai Pontang yang
ditujukan sebagai persiapan suplai perang dan pengairan sawah.
Sebagai seorang yang taat beragama, dia sangat antipati terhadap Belanda. Penyerangan
secara gerilya yang dilancarkannya melalui darat dan laut untuk mematahkan kubu
pertahanan Belanda yang bermarkas di Batavia. Aksi penyerangan diarahkan kepada kapal-
kapal dagang kompeni merupakan kendala yang sangat membahayakan bagi pihak Belanda.

Menjelang masa tuanya, Tirtayasa yang semula berkedudukan di Surasowan mendirikan


istana di daerah Pontang dekat Tirtayasa, yang dimaksudkan sebagai tempat peristirahatan,
serta sebagai benteng pengintaian terhadap kawasan Tangerang dan Batavia.

Semenjak itulah, dia dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan juga membangun
istana yang terbuat dari bata, bahan baku yang tahan lama dan aman dari risiko kebakaran
dan gangguan lainnya.

Disebutkan pula bahwa Sultan Ageng Tirtayasa memiliki banyak barang-barang dari berbagai
penjuru dunia, antara lain lemari kaca dari Jepang, cermin dan jam buatan Eropa. Barang
mewah ini sudah menjadi bagian dari hidupnya, yang dimungkinkan karena pesatnya
perdagangan yang berlangsung di Banten saat itu.

Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Pada masa itu,
VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten.
Tirtayasa kemudian menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan
terbuka. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam
terbesar di Nusantara.

Ketika situasi konflik semakin memanas, Sultan Ageng Tirtayasa menitahkan Sultan Haji
menjadi orang yang mengurus masalah dalam negeri Banten pada 1671. Namun, terkait
masalah dengan luar negeri menjadi urusan Sultan Ageng Tirtayasa sendiri.

Pengangkatan Sultan Haji ini membawa keuntungan bagi Belanda. Pihak Belanda kemudian
ikut campur dengan cara bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng
Tirtayasa. Berkat dukungan dari Belanda, Sultan Haji justru merebut kekuasaan Banten dan
menjadi raja di Istana Surosowan pada 1681.

Namun, sebagai imbal balik atas dukungan yang diberikan oleh Belanda, Sultan Haji harus
menandatangani perjanjian. Isi dari perjanjian tersebut antara lain:

1. Kesultanan Banten harus memberikan daerah Cirebon kepada VOC;


2. VOC mengambil alih monopoli lada di Banten;
3. Pasukan Kesultanan Banten yang ada di Pantai Priangan harus ditarik mundur;
4. VOC meminta 600.000 ringgit jika Banten nantinya mengingkari perjanjian yang
telah disebutkan.
Kelakuan Sultan Haji ini membuat rakyat Banten tidak mengakuinya sebagai pemimpin,
bahkan mereka saat itu selalu ingin melakukan perlawanan terhadap Sultan Haji dan VOC.

Sultan Ageng Tirtayasa beserta rakyat yang mengikuti jalurnya berniat mengambil kembali
Kesultanan Banten. Pada 1682, Sultan Haji mulai terdesak oleh serangan pasukan Sultan
Ageng Tirtayasa dan Istana Surasowan pun dikepung.

Namun, VOC ternyata datang memberikan bantuan kepada Sultan Haji dengan mengirim
pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin. Pasukan Sultan Ageng pun
dipukul mundur saat itu dan mereka dijadikan sebagai buronan.

Dia dan para pengikutnya kemudian melarikan diri ke Rangkasbitung dan melakukan
perlawanan selama kurang lebih setahun lamanya.

Kematian dan Penghargaan

Pada 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dipenjarakan di Batavia oleh pihak
Belanda. Dia meninggal dunia dalam penjara dan dimakamkan di Kompleks Permakaman
Raja-Raja Banten yang berada di sebelah utara Masjid Agung Banten, Banten Lama.

Atas jasa-jasanya yang diberikan kepada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar
pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970,
tanggal 1 Agustus 1970.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga kemudian diabadikan menjadi nama salah satu perguruan
tinggi negeri di Banten, yaitu Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Anda mungkin juga menyukai