Anda di halaman 1dari 13

Minggu, 06 Maret 2011 Sejarah Ratu Bangkalan

Sebelum Menuju makam Syarifah Ambami Kita harus menaiki anak tangga Bangkalan,Media Online Indonesia Dalam literatur perkembangan Islam di Madura, sosok Raden Abdul Kadirun memang tidak banyak disebut. Sultan Bangkalan II ini memang lebih dikenal sebagai tokoh pemerintahan yang ulung. Mewarisi Pemerintahan Sultan Bangkalan I (Sultan Abdul Kadirun / Panembahan Adipati Tjakraadiningat I), Raden Abdul Kadirun berjasa memajukan wilayah di ujung Barat Madura ini. Tapi itu tidak serta merta menghapuskan perannya dalam penyebaran Islam. Raden Abdul Kadirun dikenal menjalankan pemerintahannya dengan prinsip-prinsip islami. Saat memerintah pada 1815-1847 Islam berkembang dan menjadi warna yang dominan di masyarakat Bangkalan. Tak heran, Rato (pemimpin/pemerintah) ini begitu dihormati sosoknya. Tanda bahwa Sultan Abdul Kadirun begitu berjasa terhadap penyebaran Islam juga terlihat dari nisannya yang dibangun sedemikian megahnya, bak istana. Terletak di sisi barat komplek Masjid Agung Bangkalan, makam Raden Abdul Kadirun ini selalu dipenuhi para peziarah, terutama saat Ramadan seperti sekarang ini. Siang, bahkan hingga larut malam alunan ayat suci Alquran berkumandang

tanpa henti. Nyaris tidak ada tempat kosong di setiap sudut ruang komplek makam maupun masjid. Nuansa bangunan kuno begitu kental dengan ukiran motif bunga dan lambang-lambang perjuangan saat mengusir penjajah. Salah satu nisan makam ada yang berbentuk mahkota kerajaan. Ini merupakan sebagai simbol seseorang yang masih keturunan pemimpin. Juru kunci makam Achmad Yahya mengatakan Raden Abdul Kadirun merupakan tokoh penting dalam sejarah Bangkalan, bahkan merupakan seorang pemimpin atau Bupati pertama yang berjuang melawan penjajah belanda. Raden Abdul Kadirun merupakan keturan Ratu Ibu, yang terletak di Arosbaya. Yahya menambahkan, Raden Abdul Kadirun yang bergelar Sultan Cakra Adiningrat II ini juga masih mempunyai garis keturunan dengan Brawijaya. "Beliau mempunyai 16 orang anak, saat ini masih ada keturunannya dan sering nyekar ke komplek makam ini," terang pria sepuh ini. Komplek makam tersebut, bisa dikatakan merupakan komplek makam keluarga. Hampir seluruh kerabat Sultan disemayamkan di sini. Bahkan, istri tercinta Sultan yakni R. Ayu Masturah atau Ratu Ajunan, beserta beberapa orang putranya disemayamkan secara bersebelahan dan berada dalam satu cungkup. Komplek makam bagian dalam yang dibangun sejak 1848 tertera jelas didominasi kultur Jawa. "Berdasarkan pengakuan para ahli warisnya, Sultan masih keturunan Jawa dan senang wayang kulit," ungkap Yahya. Sementara itu, Muadzin Masjid Agung Bangkalan, Supardi mengatakan, jumlah pengunjung masjid dan komplek makam terus meningkat. Kebanyakan ingin beritikaf atau mengkhatamkan Alquran. Sehingga, ketika Pangeran Cakraningrat I dan Raden Maluyo, ayahanda Pangeran Tronojoyo, gugur di medan pertempuran membela kedaulatan Mataram saat terjadi pemberontakan oleh Pangeran Alit, ternyata Sunan Amangkurat I memilih mengangkat Raden Undagan yang juga paman Pangeran Tronojoyo sebagai raja di Madura Barat dengan gelar Cakraningrat II. Padahal, bardasarkan garis keturunan kerajaan Madura Barat, sebenarnya Pangeran Tronojoyo paling berhak meneruskan dinasti kerajaan kakeknya Pangeran Cakraningrat I. Namun, karena

ambisi kedua kakek dan pamannya ini serta politik devede et impera yang dilakukan Belanda, akhirnya Pangeran Tronojoyo tersingkir dari kursi singgasana Kerajaan Madura Barat. Akhirnya, Pangeran Tronojoyo pun melakukan pemberontakan. Ini terjadi sekitar tahun 1648 M. Pangeran Cakraningrat II lalu memindahkan kembali istana Kerajaan Madura Barat dari Madegan, Kelurahan Polagan, Sampang ke Desa Pelakaran, Arosbaya, Bangkalan. Karena pada saat itu, pasukan Pangeran Tronojoyo yang tidak mau bekerja sama dengan penjajah Belanda berhasil membumihanguskan istana kerajaan di Madegan. Sejak saat itulah, sejarah keberadaan dinasti Kerajaan Madura Barat yang pernah mengalami masa kejayaannya di Madegan, Polagan, Sampang mulai memudar, bahkan menghilang. Ditambah lagi, setelah Pangeran Tronojoyo gugur dalam medan pertempuran melawan kebatilan yang dilakukan kedua kakek dan pamannya serta mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi. Menurut ahli sejarah Sampang Drs. Ali Daud Bey, sampai saat ini silsilah keturunan Pangeran Tronojoyo yang dilahirkan di Kampung Pebabaran Rongtengah, Sampang ini, belum ditemukan. Karena dari buku-buku literatur para pakar sejarawan Belanda, tidak ada satu pun yang menulis tentang perjuangan Pangeran Tronojoyo dalam melakukan pemberontakan mengusir penjajah Belanda dari daerah kekuasaan Mataram. Setelah abad 17 M, status Kabupaten Sampang menjadi sebuah daerah Kadipaten, dengan Adipatinya masing-masing, R. Temenggung Purbonegoro, R. Ario Meloyokoesuma (Reight Besfuurder Gebheid). Dan sejak 15 Januari 1885 dipimpin oleh Adipati R. Temenggung Ario Koesuma Adiningrat (Zelfstending). Lalu, berturut-turut dipimpin oleh R. Temenggung Ario Candranegoro, R. Adipati Ario Secodiningrat, R. Ario Suryowinoto, dan R. Temenggung Kartoamiprojo. Sedangkan pada tahun 1929 - 1931 M dipimpin oleh R. Ario Sosrowinoto. Sebelum akhirnya pada sekitar tahun 1931-1949 M, Kadipaten Sampang menjadi sebuah daerah Kawedanan di wilayah Kabupaten Pamekasan Warga Kabupaten Bangkalan tentunya boleh berbangga hati, lantaran disana menyimpan beribu macam potensi wisata yang tidak ada duanyadi kota lain di wilayah Pulau Madura. Karena disana

terdapat sebuah makam seorang ibu, menurut ceritanya yang melahirkan raja-raja Madura. Bangunan berusia ratusan tahun tersebut, hingga kini masih berdiri kokoh. Obyek wisata ziarah itu merupakan salah satu asset Kabupaten Bangkalan, yeng ternyata tetap terawat baik

Makam Ratu Ibu/ Syarifah Ambami Makam Rato Ebu terletak didalam kompleks Paserean "Aer Mata", terletak 25 km arah Utara kota Bangkalan, tepatnya di desa Buduran Kecamatan Arosbaya Kabupaten Bangkalan. Makam Rato Ebu adalah makam seorang wanita mulia bernama Syarifah Ambami. Menurut dokumen sejarah, menyebutkan bahwa Syarifah Ambami adalah keturunan Sunan Giri Gresik ke 5. Ia dipersunting oleh Pangeran Tjakraningrat I yang juga anak angkat Sultan Agung Mataram. Dikisahkan bahwa sejak terjadinya Perang Mataram tahun 1624, Madura dikuasai oleh Sultan Agung. Lalu ia menginginkan agar Pangeran Tjakraningrat I memerintah Madura secara keseluruhan. Titah raja pun dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Meskipun Madura menjadi daerah kekuasaannya, namun Pangeran Tjakraningrat justru jarang sekali tinggal di Sampang. Apalagi Raja Mataram, Sultan Agung, masih membutuhkan tenaganya untuk memimpin kerajaannya di tanah Jawa sehingga Pangeran Tjakraningrat I sering tinggal di kerajaan tanah Jawa. Wajar apabila Ratu Syarifah lebih banyak tinggal di Kraton Sampang sendirian tanpa didampingi suami tercintanya. Namun Ratu Syarifah adalah seorang figur wanita yang taat dan patuh pada semua perintah suaminya. Maka untuk mengisi waktu kosongnya, Ratu Syarifah yang lebih populer dengan sebutan Ratu Ibu tersebut lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bertapa di

seatu bukit di Desa Buduran Kecamatan Arosbaya. Didalam legenda sejarah Babat Madura dikisahkan, bahwa selama dalam pertapaannya, Ratu Ibu Syarifah senantiasa memohon kepada Allah SWT. agar keturunannya yang laki-laki kelak bisa menjadi pucuk pimpinan pemerinytahan di Madura. Ia berharap agar pimpinan Pemerintahan tersebut dijabat hingga tujuh turunan. Anehnya dalam legenda tadi juga dikisahkan bahwa suatu hari didalam pertapaannya, Ratu Ibu Syarifah berjumpa dengan Nabi Khidlir AS. Dalam pertemuannya yang Cuma sesaat itu, sepertinya semua permohonan Ratu Ibu akan dikabulkan. Merasa pertapaannya sudah cukup, maka Ratu Ibu Syarifah pun kembali ke Kraton Sampang. Tidak selang beberapa lama, suaminya yakni Pangeran Tjakraningrat I datang dari bertugas di Kerajaan Mataram.sebagai istri yang setia, tentu saja Ratu Syarifah menyambut kedatangan suaminya dengan senang hati. Beliau bahkan menceritakan apa yang dialaminya selama bertapa, termasuk adanya petunjuk bahwa permohonannya agar turunannya kelak memimpin Pemerintahan di Madura dikabulkan juga diceritakannya dengan runtun. Mendengar penuturan Ratu Syarifah tersebut, Pangeran Tjakraningrat I marah, ia sangat kecewa dengan pernyataan istrinya. Sebaliknya Pangeran Tjakraningrat I bertanya dengan marah,"Mengapa kamu Cuma memohon untuk tujuh turunan, sebaiknya kan tutunan kita selamanya harus memerintah di Madura !", tegur Pangeran Tjakraningrat I kepada Ratu Syarifah. Wanita itupun Cuma menundukkan kepala. Sepeninggal suaminya yang bertugas ke Mataram, Ratu Syarifah kembali ke Desa Buduran untuk bertapa. Dalam pertapaannya itulah Ratu Ibu memohon agar keinginan seaminya untuk menjadikan seluruh keturunannya bisa menjadi pemimpin Pemerintahan di Madura.siang malam Ratu Ibu memohon kepada Allah SWT. agar harapan suaminya bisa dikabulkan, ia memohon sambil terus menangis. Ini dilakukannya hingga meninggal di pertapaan, dalam keadaan menangis. Ditempat pertapannya itulah Ratu Ibu dimakamkan. Itulah sebabnya, maka makam tersebut dikenal dengan sebutan Makam Ratu Ibu atau Aer Mata. Dikompleks Pasarean Aer Mata tadi juga dimakamkan raj-raja Madura, ternyata bangunan kuno dengan corak arsitekur bernilai tinggi itu menarik perhatian para

wisatawan asing dan domestik. Tidak kalah menariknya dibandingkan kemegahan arsitektur Candi Borobudur atau lain di Jawa. Konon menurut cerita legenda sejarah menyebut, bahwa konstruksi bangunan itu berdiri pada abad ke 15 atau ke 16 yang tersusun rapi, tanpa alat perekat dari semen. Mulai dari nisan, kerangka kuburannya, semuanya terukir indah yang terbuat dari batu putih mirip pualam yang diambil dari lokasi sekitar makam. Salah satu juru kunci makam, mengatakan bahwa peziarah yang datang dari tahun ke tahun ada peningkatan. Anehnya, meskipun banyak peziarah yang hilir mudik datang, namun kompleks pasarean itu tetap tampak bersih dan terkesan terawat baik. Keindahan yang menonjol dan bernilai seni tinggi tersebut terletak pada tiga "Cungkup" utama makam yang berukuran 40 x 20, yakni makam Ratu Ibu Syarifah Ambami, Panembahan Tjakraningrat II dan Tjakraningrat III. Begitu juga "Cungkup" pada makam Panembahan Tjakraningrat V, VI dan VII yang disebut-sebut bergelar Tjakradiningrat I. Maka wajar apabila kelangkaan dan keindahan nilai seni dan arsitektur pada Pasarean Aer Mata menjadi perhatian Pemerintah, selanjutnya pada tahun 1975 kompleks Pasarean Aer Mata diikut sertakan dalam lomba dan pameran seni arsitektur peninggalan Purbakala se Asia mewakili Indonesia. Hasilnya mendapat nilai tertinggi. Sejak itulah Pasarean Aer Mata di Kabupaten Bangkalan tidak saja dikenal wisatawan domestik, namun wisatawan asing berdatangan, selain wisatawan, juga para disiplin ilmu pengetahuan seperti arkeologi, antropologi dan sejarah, mereka datang dari dalam dan luar negeri, menjadikan kompleks Pasarean Aer mata sebagai riset ilmiahnya. Yang menarik untuk dijadikan bahan penelitian, lantaran gaya arsitektur dan seni ukir di Aer Mata mempunyai ciri khas perpaduan Hindu, Budha dan Islam. Pasarean Aer Mata tadi pada tahun 1970 lalu terancam hancur. Diantara tiga Cungkup utama sebagai penyangga rapuh, beberapa "Kemuncak" (hiasan pagar) banyak berjatuhan disekitar kompleks, karena tidak terawat. Maka pada tahun 1978, Kasi Depdikbud Bangkalan yang saat itu dijabat oleh Ny. Hari Siyanto melaporkan tentang kondisi tempat bersejarah di Bangkalan kepada pemerintah Pusat. Rupanya laporan tadi mendapat

perhatian besar sehingga dilakukan pemugaran pada tahun 1979 lalu dan 1987 diresmikan oleh mendikbud Prof. Dr. Fuad Hasan. Ada lima cungkup yang dipugar, antara lain : CUNGKUP I Terdapat 20 makam termasuk makam Ratu Ibu Syarifah Ambami. CUNGKUP II Terdapat 46 makam, diantaranya makam Pangeran Tjakraningrat II dan IV. CUNGKUP III Terdapat 24 makam diantaranya terdapat makam Panembahan Tjakra Adingrat I, PPA Tjakraningrat (Wali Negoro), dan RA. Moh. Roslan Tjakraningrat yang meninggal pada tanggal 23 Desember 1976. CUNGKUP IV Terdapat 11 makamdiantaranya kuburan Tumenggung Mloyo. CUNGKUP V Terdapat 10 makam dan dua antaranya terdapat makam Kolonel Suryo Adiningrat dan Mas Ayu Aminah. Prasena, putera Pangeran Tengah dari Arosbaya disertai Pangeran Sentomerto, saudara dari ibunya yang berasal dari Sampang, dibawa oleh Panembahan Juru Kitting beserta 1000 orang Sampang lainnya ke Mataram. Di Mataram Prasena diterima dengan senang hati oleh Sultan Agung, yang sekanjutnya diangkat sebagai anak. Bahkan, kemudian Prasena dinobatkan sebagai penguasa Madura yang bergelar Cakraningrat I. Dia dianugerahi hadiah uang sebesar 20 ribu gulden dan berhak memakai payung kebesaran berwarna emas. Sebaliknya, Cakraningrat I diwajibkan hadir di Mataram setahun sekali. Karena selain menjadi penguasa Madura, dia juga punya tugas-tugas penting di Mataram. Sementara pemerintahan di Sampang dipercayakan kepada Pangeran Santomerto. Cakraningrat I kemudian menikah dengan adik Sultan Agung, namun hingga istrinya, meninggal dia tidak mendapat keturunan. Kemudian Cakraningrat I menikah dengan Ratu Ibu, yang masih keturunan Sunan Giri. Dari perkawinannya kali ini dia menmpunyai tiga orang anak, yaitu RA Atmojonegoro, R Undagan dan Ratu Mertoparti. Sementara dari para selirnya dia mendapatkan sembilan orang anak, salah satu di antaranya adalah Demang Melaya.

Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645 yang kemudian diganti oleh Amangkurat I, Cakraningrat harus menghadapai pemberontakan Pangeran Alit, adik raja. Tusukan keris Setan Kober milik Pangeran Alit menyebabkan Cakraningrat I tewas seketika. Demikian pula dengan puteranya RA Atmojonegoro, begitu melihat ayahnya tewas dia segera menyerang Pangeran Alit, tapi dia bernasib sama seperti ayahnya. Cakraningrat I diganti oleh Undagan. seperti halnya Cakraningrat I, Undagan yang bergelar Cakraningrat II ini juga lebih banyak menghabiskan waktunya di Mataram. Di masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan putra Demang Melaya yang bernama Trunojoyo terhadap Mataram. Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II dan kemudian mengasingkannya ke Lodaya Kediri. Pemberontakan Trunojoyuo ini mendapat dukungan dari rakyat Madura. Karena Cakraningrat II dinilai rakyat Madura telah mengabaikan pemerintahan Madura. Kekuatan yang dimiliki kubu Trunojoyo cukup besar dan kuat, karena dia berhasil bekerja sama dengan Pangeran Kejoran dan Kraeng Galesong dari Mataram. Bahkan, Trunojoyo mengawinkan putrinya dengan putra Kraeng Galesong, unutk mempererat hubungan. Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai Raja Merdeka Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram. Berbagai kemenangan terus diraihnya, misalnya, kemenangannya atas pasukan Makassar (mei 1676 ) dan Oktober 1676 Trunojoyo menang atas pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Anom. Selanjutnya Trunojoyo memakai gelar baru yaitu Panembahan Maduretna. Tekanan-tekanan terhadap Trunojoyo dan pasukannya semakin berat sejak Mataram menandatangani perjanjian kerjasama dengan VOC, tanggal 20 maret 1677. Namun tanpa diduga Trunojoyo berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered. Sehingga Amangkurat harus menyingkir ke ke barat, dan meninggal sebelum dia sampai di Batavia. Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679. Dengan padamnya pemberonrtakan

Trunojoyo. VOC kembali mengangkat Cakraningrat II sebagai penguasa di Madura, karena VOC merasa Cakraningrat telah berjasa membantu pangeran Puger saat melawan Amangkurat III, sehingga Pangeran Puger berhasil naik tahta bergelar Paku Buwono I. Kekuasaan Cakraningrat di Madura hanya terbatas pada Bangkalan, Blega dan Sampang. Pemerintahan Madura yang mulanya ada di Sampang, oleh Cakraningrat II dipindahkan ke Tonjung Bangkalan. Dan terkenal dengan nama Panembahan Sidhing Kamal, yaitu ketika dia meninggal di Kamal tahun 1707, saat dia pulang dari Mataram ke Madura dalam usia 80 tahun. Raden Tumenggung Sosrodiningrat menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Madura barat dengan gelar Cakraningrat III. Suatau saat terjadi perselisihan antara Cakraningrat dengan menantunya, Bupati Pamekasan yang bernama Arya Adikara. Untuk menghadapi pasukan dari Pamekasan, Cakraningrat III meminta bantuan dari pasukan Bali. Dimasa Cakraningrat inilah Madura betul-betul bergolak, terjadi banyak peperangan dan pemberontakan di Madura. Tumenggung Surahadiningrat yang diutus Cakraningrat untuk menghadapi pasukan Pamekasan ternyata menyerang pasukan Cakraningrat sendiri dengan bantuan pasukan Sumenep. Sekalipun Cakraningrat meninggal, pergolakan di Madura masih terus terjadi. Cakraningrat III digantikan oleh Timenggung Surahadiningrat dengan gelar Cakraningrat IV. Awal pemerintahan Cakraningrat IV diwarnai banyak kekacauan. Pasukan Bali dibawah kepemimpinan Dewa Ketut yang sebelumnya diminta datang oleh Cakaraningrat III, datang dengan membawa 1000 prajurit. Tahu yang meminta bantuan sudah meninggal dan situasi telah berubah, pasukan Bali menyerang Tonjung. Cakraningrat yang sedang berada di Surabaya memerintahkan adiknya Arya Cakranegara untuk mengusir pasukan Bali. Tetapi Dewa Ketut berhasil membujuk Cakranegara untuk berbalik menyerang Cakraningrat IV. Tetapi dengan bantuan VOC, Cakranoingrat IV berhasil mengusir pasukan Arya Cakranegara dan Bali. Kemudian dia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sambilangan. Suatau peristiwa yang terkenal dengan Geger Pacina

(pemberontakan masyarakat Cina) juga menjalar ke Mataram. Cakraningrat IV bekerjasama dengan VOC memerangi koalisi Mataram dan Cina ini. Namun hubungan erat antar Madura denga VOC tidak langgeng. Cakraningrat menyatakan perang dengan VOC karena VOC telah berkali-kali melanggar janji yang disepakati. Dengan bekerja sama dengan pasukan Mengui Bali, Cakraningrat berhasil mengalahkan VOC dan menduduki Sedayu, Lamongan, Jipang dan Tuban. Cakranoingrat juga berhasil mengajak Bupati Surabaya, Pamekasan dan Sumenep untuk bersekutu melawan VOC. Tapi Cakraningrat tampaknya harus menerima kekalahan, setelah VOC mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Cakraningrat dan dua orang putrinya berhasil melarikan diri ke Banjarmasin, namun oleh Raja Bajarmasin dia ditangkap dan diserahkan pada VOC. Cakraningrat diasingkan ke Kaap De Goede Hoop (Tanjung Penghargaan). dan meninggal di tempat pembuangannya, sehingga dia juga dikenal dengan nama Panembahan Sidengkap. Seperti yang di kemukakan di atas bahwa Sunan Giri jang menyebarkan Agama Islam di Pulau Madura, akan tetapi sebelum itu sudah banyak pedagang-pedagang Islam misalnya dari Gujarat yang singgah dipelabuhan-pelabuhan pantai madura, terutama dipelabuhan kalianget. Antar aksi yang berpuluh-puluh tahun antara penduduk asli dengan para pedagang sebagai pendatang tentu membawa pengaruh terhadap kebudayaan dan kepercayaan mereka, diceritakan disuatu daerah didekat desa Persanga di Sumenep datang seorang penyiar Agama Islam. Ia memberi pelajaran Agama Islam di Pulau Sumenep, diceritakan pula bahwa seorang santri telah dianggap dapat melakukan rukun agam Islam maka ia lalu dimandikan dengan air dengan dicampuri macam-macam bunga yang baunya sangat harum, dimandikan secara demikian disebut dengan "e dusdus", karena itu tempat dimana dilakukan upacara dinamakan desa "Padusan". Kampung Padusan ini termasuk desa Pamolokan kota Sumenep, guru yang memberi pelajaran agama itu disebut "Sunan Padusan" menurut riwayat hidupnya ia keturunan dari Arab ayahnya bernama Usman Hadji, anak dari Raja Pandita saudara dari Sunan Ampel. Pada waktu itu rakyat sangat suka mempelajari Agama Islam sehingga mempengaruhi

kepada Rajanya ialah pangeran jokotole yang lalu masuk Islam. Sunan Padusan itu lalu dipungut menjadi anak menantu Jokotole tempat tinggal Sunan padusan itu mula-mula di desa Padusan lalu pindah kekeraton Batuputih. Penyebaran agama Islam ini terus meluas tidak hanya di pantai-pantai Pulau Madura, tetapi juga sampai kepelosok-pelosok desa, karena itu penduduk Madura hingga sekarang boleh dikatakan 99% beragama Islam. Demikian pula kebudayaan Arab masuk ke Madura bersama meluasnya Agama Islam. Karena itu kesenian Hadrah, gambus, zamrah terdapat sampai kepelosok-pelosok desa dan kampung sehingga boleh dikatakan sudah menjadi kebudayaan Madura. Sewaktu Sultan Agung memimpin menjalankan politik pemerintahan untuk mempersatukan Jawa dan Madura bahkan ingin mempersatukan seluruh Nusantara agar kompeni sukar dapat melebarkan sayapnya. Karena itu Sultan Agung kadang-kadang terpaksa menjalankan politik kekerasan, dalam tahun 1614 Surabaya ditaklukkan demikian pula dengan Pasuruan dan Tuban. Akhirnya dalam tahun 1424 Madura mendapat giliran, tentara Madura yang berjumlah 2000 orang menghadap pasujan Mataram yang berjumlah 50.000 orang, perjuangan orang madura menunjukan keberanian, laki2 didepan wanita dibelakang kalau ada laki-laki yang mengundurkan diri dari medan perangtrus ditusuk dari belakang tentara mataram dapat ditewaskan sebanyak 6000 orang, tetapi Sultan Agung tidak putus asa orang2 nya yang gugur dimedan perang segara diganti, ahirnya Madura dapat ditaklukan pula, satu satunya keturunan Raja Madura yang hidup ialah Raden Praseno, ia lalu dibawa ke Mataram. Sesudah Raden Praseno dewasa ia lalu dikawinkan dengan adik Sultan Agung, kemudian pulau madura dipercayakan kepada Raden Praseno dengan gelar Pangeran Cakraningrat I. Ia lebih banyak ada di Mataram dari pada di Madura. Tetapi keadaan di Madura tetap berjalan dengan lancar, Di madura keratonnya ada di Sampang dan ia memmunyai isteri salah seorang keturunan Giri, yang terkenal dengan Ratu Ibu yang meninggal dnia dan dikuburkan di Air Mata Bangkalan. Sampai sekarang kuburan Ratu Ibu dianggap keramat oleh rakyat. Pangeran Cakraningrat I dengan ratu Ibu

mempunyai Anak2 : 1. Raden Undakan, kemudian bergelar Cakraningrat II (disebut Siding Kamal). 2. Raden Ario Atmojodiningrat, yang setelah meninggal dunia dikuburkan di Imogiri bersama sama ayahnya ialah Pangeran Cakraningrat I, ketika pemberontakan Pangeran Alit 3. Ratu Maospati. Dengan isteri-isteri yang lain Pangeran Cakradiningrat I masih mempunyai putera-putera diantaranya pangeran Malujoayah dari Raden Trunojoyo bergelar juga Panembahan Maduratno, setelah Sultan Agung diganti oleh puteranya Amangkurat I keadaan mataram berubah, dahulu Mataram ditakuti oleh kompeni setelah Amangkurat I berkuasa Mataram mengadakan hubungan yang sangat akrab dengan kompeni, didalam pemerintahan Amangkurat I kelihatannya tidak mempunyai kewibawaan, keretakan timbul dimanamana dan makin lama kerajaan itu suram. Dalam tahun 1646 Mataram mengadakan perjanjian dengan Kompeni yang pada umumnya merugikan pada Mataram, mereka saling berjanji hendak tukar menukar tawanan perang dan tidak akan membantu musuh salah satu pihak, saban tahun kompeni akan mengirim utusan ke Mataram dan mengijinkan orang Jawa berdagang dimana saja kecuali dimaluku. Dalam tahun 1652 perjanjian itu diperkuat dan ditetapkan bahwa perbatasan antara Mataram dan daera kompeni ialah kali Citarum, terhadap kompeni Amangkurat I menunjukan jiwa yang lemah terhadap rakyatnya bersikap kersa dan mendendam. Pangeran Alit adiknya sendiri dicurigai dan di perintahkan untuk ditangkap dan dibunuh, Raden Malujo ayah dari Trunojoyo juga mendapat perilaku yang demikian pula pada ahirnya Cakraningrat I, prnasehat utama dan amangkurat menjadi pemersihan yang dilakukan oleh sang Raja, suaratidak senang terhadap amangkurat I makin lama makinterdengar semakin kuat sehingga menjadi cukup matang untuk timbulnya revolusi. Adipati Anom Putera Amangkurat I ingin menumbangkan pemerintahan ayahnya tetapi ia tidak berani untu memulai, ia meminta bantuan Raden Kayoran tetapi ditolak karena Raden Kajoran sudah berusia lanjut meskipun pada ahirnya ia

setuju untuk mengobarkan apai revolusi, setelah Pangeran Cakraningrat I meninggal dunia lalu digantikan dengan puteranya yang bergelar Cakraningrat II, kalau semasa Cakraningrat I memimpin disegani dan dicintai oleh rakyat, tetapi Cakraningrat II sebaliknya ia tidak mendapat simpati dari rakyat karena tindakannya tidak bijaksana.(*)berbagai sumber

Anda mungkin juga menyukai