Anda di halaman 1dari 11

Biografi (Riawayat Hidup) dan Profil Lengkap Sultan Iskandar Muda –

Pahlawan Nasional Indonesia Dari Aceh

Profil Singkat Sultan Iskandar Muda

Nama : Sultan Iskandar Muda

Lahir : Banda Aceh, 1593

Meninggal : Banda Aceh, 27 Desember 1636

Orang Tua : Puteri Raja Inderabangsa, Mansur Syah

Anak : Safiatuddin dari Aceh, Merah Pupok

Asal Usul Keluarga dan Masa Kecil Sultan Iskandar Muda

Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda merupakan keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari
pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan
Makota Alam dikatakan dahulunya adalah dua tempat permukiman bertetangga yang terpisah
oleh sungai dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda
seorang diri mewakili kedua cabang tersebut yang berhak sepenuhnya menuntut takhta.

Ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa yang juga dinamai Paduka Syah Alam adalah anak
dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; di mana sultan tersebut merupakan
putra dari Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut
Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.

Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah,
yaitu putra dari Sultan Abdul-Jalil, di mana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin
Riayat Syah al-Kahhar yang juga Sultan Aceh ke-3.
Sultan Iskandar Muda besar dalam lingkungan istana. Setelah cukup umur Iskandar Muda
dikirim ayahnya untuk belajar pada Teungku Di Bitai, yaitu salah seorang ulama dari Baitul
Mukadis pakar ilmu falak dan ilmu firasat. Iskandar muda mempelajari ilmu nahu dari beliau.

Selanjutnya, ayah Iskandar Muda mulai menerima banyak ulama terkenal dari Mekah dan
Gujarat. Diantaranya tiga orang yang sangat berpengaruh dalam intelektual Iskandar Muda,
yaitu Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar, Sekh Muhammad Jamani dari Mekah dan Sekh
Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry dari Gujarat.

Pernikahan Sultan Iskandar Muda

Sri Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang. Putri
tersebut dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan pada
istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali atau
Taman Istana sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam
rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Untuk itu Sultan
membangun Gunongan untuk mengobati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan
tersebut masih bisa disaksikan dan dikunjungi.

Masa Kekuasaan Sultan Iskandar Muda

Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda dimulai pada tahun 1607 hingga tahun 1636. Pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan aceh mencapai puncak kejayaannya.
Meskipun pada sisi lain kontrol ketat yang dilakukan oleh Iskandar Muda menyebabkan
banyak pemberontakan dikemudian hari setelah mangkatnya Sultan.

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut
seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman Sultan
Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat
Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.

Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi
angkatan laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut
Indonesia. Kendali kerajaan berjalan dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai
barat Sumatra dan di pantai timur, hingga ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya
dilancarkan hingga jauh ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang
asing dipaksa untuk tunduk kepadanya. Kerajaannya kaya raya dan menjadi pusat ilmu
pengetahuan.

Kontrol Di Dalam Negeri

Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi
yang dinamakan ulèëbalang dan mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah
Perancis bernama Beauliu, bahwa “Iskandar Muda membabat habis hampir semua
bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru.” Mukim pada awalnya adalah himpunan
beberapa desa untuk mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Aceh:
Imeum). Ulèëbalang (Melayu: Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan-utama Sultan,
yang dianugerahi Sultan beberapa mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik feodal. Pola
tersebut dijumpai di Aceh Besar dan di negeri taklukan Aceh yang penting.
Balaputradewa

Asal-Usul

Menurut prasasti Nalanda, Balaputradewa adalah cucu seorang raja Jawa yang dijuluki
Wirawairimathana (penumpas musuh perwira). Julukan kakeknya ini mirip dengan
Wairiwarawimardana alias Dharanindra dalam prasasti Kelurak. Dengan kata lain,
Balaputradewa merupakan cucu Dharanindra.

Ayah Balaputradewa bernama Samaragrawira, sedangkan ibunya bernama Dewi Tara putri
Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Prasasti Nalanda sendiri menunjukkan adanya
persahabatan antara Balaputradewa dengan Dewapaladewa raja dari India, yaitu dengan
ditandai pembangunan wihara yang diprakarsai oleh Balaputradewa di wilayah Benggala.

Menyingkir dari Jawa

Teori yang sangat populer, yang dikembangkan oleh De Casparis, menyebutkan bahwa
Samaragrawira identik dengan Samaratungga raja Jawa. Sepeninggal Samaratungga terjadi
perebutan takhta di antara kedua anaknya, yaitu Balaputradewa melawan Pramodawardhani.
Pada tahun 856 Balaputradewa dikalahkan oleh Rakai Pikatan suami Pramodawardhani
sehingga menyingkir ke pulau Sumatra.

Teori ini dibantah oleh Slamet Muljana karena menurut prasasti malang, Samaratungga hanya
memiliki seorang anak perempuan bernama Pramodawardhani. Menurutnya, Balaputradewa
lebih tepat disebut sebagai adik Samaratungga. Dengan kata lain, Samaratungga adalah putra
sulung Samaragrawira, sedangkan Balaputradewa adalah putra bungsunya.

Pengusiran Balaputradewa umumnya didasarkan pada prasasti Wantil bahwa telah terjadi
perang antara Rakai Mamrati Sang Jatiningrat (alias Rakai Pikatan) melawan seorang musuh
yang membangun benteng pertahanan berupa timbunan batu. Dalam prasasti itu ditemukan
istilah Walaputra yang dianggap identik dengan Balaputradewa.

Teori populer ini dibantah oleh Pusponegoro dan Notosutanto bahwa, istilah Walaputra
bukan identik dengan Balaputradewa. Justru istilah Walaputra bermakna “putra bungsu”,
yaitu Rakai Kayuwangi yang dipuji berhasil mengalahkan musuh kerajaan. Adapun Rakai
Kayuwangi adalah putra bungsu Rakai Pikatan yang berhasil mengalahkan musuh ayahnya.

Benteng timbunan batu yang diduga sebagai markas pemberontakan Balaputradewa identik
dengan bukit Ratu Baka. Namun prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah itu ternyata tidak
ada yang menyebut nama Balaputradewa, melainkan menyebut Rakai Walaing Mpu
Kumbhayoni. Jadi, musuh Rakai Pikatan yang berhasil dikalahkan oleh Rakai Kayuwangi
sang Walaputra ternyata bernama Mpu Kumbhayoni, bukan Balaputradewa.

Menurut prasasti-prasasti itu, tokoh Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni mengaku sebagai
keturunan pendiri Kerajaan Medang (yaitu Sanjaya). Jadi sangat mungkin apabila ia
memberontak terhadap Rakai Pikatan sebagai sesama keturunan Sanjaya.

Kiranya teori populer bahwa Balaputradewa menyingkir ke pulau Sumatra karena didesak
oleh Rakai Pikatan adalah keliru. Mungkin ia meninggalkan pulau Jawa bukan karena kalah
perang, melainkan karena sejak awal ia memang tidak memiliki hak atas takhta Jawa,
mengingat ia hanyalah adik Maharaja Samaratungga, bukan putranya.

Menjadi Raja Sriwijaya

Prasasti Nalanda menyebut Balaputradewa sebagai raja Suwarnadwipa, yaitu nama kuno
untuk pulau Sumatra. Karena pada zaman itu pulau Sumatra identik dengan Kerajaan
Sriwijaya, maka para sejarawan sepakat bahwa Balaputradewa adalah raja Sriwijaya.

Pendapat yang paling populer menyebutkan Balaputradewa mewarisi takhta Kerajaan


Sriwijaya dari kakeknya (pihak ibu), yaitu Sri Dharmasetu. Namun, ternyata nama Sri
Dharmasetu terdapat dalam prasasti Kelurak sebagai bawahan Dharanindra yang ditugasi
menjaga bangunan Candi Kelurak.

Jadi, Dharanindra berbesan dengan pegawai bawahannya, bernama Sri Dharmasetu melalui
perkawinan antara Samaragrawira dengan Dewi Tara. Dharmasetu menurut prasasti Kelurak
adalah orang Jawa. Jadi, teori populer bahwa ia merupakan raja Kerajaan Sriwijaya adalah
keliru.

Balaputradewa berhasil menjadi raja Kerajaan Sriwijaya bukan karena mewarisi takhta Sri
Dharmasetu, tetapi karena pada saat itu pulau Sumatra telah menjadi daerah kekuasaan
Wangsa Sailendra, sama halnya dengan pulau Jawa.

Berdasarkan analisis prasasti Ligor, Kerajaan Sriwijaya dikuasai Wangsa Sailendra sejak
zaman Maharaja Wisnu. Sebagai anggota Wangsa Sailendra, Balaputradewa berhasil menjadi
raja di Sumatra, sedangkan kakaknya, yaitu Samaratungga menjadi raja di Jawa.
Biografi Sultan Hasanuddin – Ayam Jantan Dari Timur

Biodata Sultan Hasanuddin

Nama : Sultan Hasanuddin


Nama Lain : I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe
Julukan : Ayam Jantan Dari Timur
Lahir : Makassar, 12 Januari 1631
Wafat : Makassar, 12 Juni 1670
Orang Tua : Sultan Malikussaid (ayah), I Sabbe To’mo Lakuntu (ibu)
Saudara : Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne, Karaeng Bonto Majanang,
Karaeng Tololo
Istri : I Bate Daeng Tommi, I Mami Daeng Sangnging, I Daeng Talele dan I Hatijah I Lo’mo
Tobo
Anak : Karaeng Galesong, Sultan Amir Hamzah, Sultan Muhammad Ali.

Biografi Sultan Hasanuddin

Beliau lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di Makassar,
Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan
nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.

Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga
Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Oleh Belanda ia
di juluki sebagai Ayam Jantan Dari Timur atau dalam bahasa Belanda disebut de Haav van
de Oesten karena keberaniannya melawan penjajah Belanda. Beliau diangkat menjadi Sultan
ke 6 Kerajaan Gowa dalam usia 24 tahun (tahun 1655). Menggantikan ayahnya Sultan
Malikussaid yang wafat.
Selain bimbingan dari ayahnya, Sultan Hasanuddin mendapat bimbingan mengenai
pemerintahan melalui Karaeng Pattingaloang, seorang Mangkubumi kerajaan Gowa. Beliau
juga merupakan guru dari Arung Palakka, yang merupakan raja Bone.

Perjuangan Sultan Hasanuddin

Dibawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya.


Beliau merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan
Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili VOC sedang
berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah.

Dalam Biografi Sultan Hasanuddin, VOC Belanda sedang berusahan melakukan monopoli
perdagangan rempah-rempah melihat Sultan Hasanuddin dan kerajaan Gowa sebagai
penghalang mereka. Orang Makassar dapat dengan leluasa ke Maluku untuk membeli
rempah-rempah. Hal inilah yang menyebabkan Belanda tidak suka.

Sejak pemerintahan Sultan Alauddin hingga Sultan Hasanuddin, Kerajaaan Gowa tetap
berpendirian sama, menolak keras monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC Belanda.
Saat itu Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur
perdagangan.

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa yang
dikenal memiliki armada laut yang tangguh. dan juga pertahanan yang kuat melalui benteng
Somba Opu.

Tak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh Belanda selain menghancurkan kerajaan Gowa
yang dianggap mengganggu mereka. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia
berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk
melawan Kompeni Belanda. Peperangan antara VOC dan Kerajaan Gowa (Sultan
Hasanuddin) dimulai pada tahun 1660.

Sejarah Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka

Saat itu Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone dibawah pimpinan Arung Palakka yang
merupakan kerajaan taklukan dari Kerajaan Gowa. Namun armada kerajaan Gowa yang
masih sangat kuat membuat Kerajaan Gowa tidak dapat ditaklukkan.

Pada peperangan tersebut, Panglima Bone, Tobala akhirnya tewas tetapi Arung Palakka
berhasil meloloskan diri bahkan kerajaan Gowa mencarinya hingga ke Buton. Perang tersebut
berakhir dengan perdamaian. Berbagai peperangan kemudian perdamaian dilakukan.

Akan tetapi, perjanjian damai tersebut tidak berlangsung lama karena Sultan Hasanuddin
yang merasa dirugikan kemudian menyerang dan merompak dua kapal Belanda , yaitu de
Walvis dan Leeuwin. Belanda pun marah besar.

Arung Palakka yang dari tahun 1663 berlayar dan menetap di Batavia menghindari kejaran
kerajaan Gowa kemudian membantu VOC dalam mengalahkan kerajaaan Gowa yang ketika
itu dipimpin oleh Sang Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin.
VOC Belanda mengirimkan armada perangnya yang besar yang dipimpin oleh Cornelis
Speelman. Ia dibantu oleh Kapiten Jonker dan pasukan bersenjatanya dari Maluku serta
Arung Palakka, penguasa Kerajaan Bone yang ketika itu mengirimkan 400 orang sehingga
total pasukan berjumlah 1000 orang yang diangkut 21 kapal perang bertolak dari Batavia
menuju kerajaan Gowa pada bulan November 1966.

Pecahnya Perang Makassar

Dalam Biografi Sultan Hasanuddin, Perang besar kemudian terjadi antara Kerajaan Gowa
melawan Belanda yang dibantu oleh Arung Palakka dari Bone yang kemudian dikenal
dengan Perang Makassar. Sultan Hasanuddin akhirnya terdesak dan akhirnya sepakat untuk
menandatangani perjanjian paling terkenal yaitu Perjanjian Bongaya pada tanggal 18
November 1667.

Pada tanggal 12 April 1668, Sultan Hasanuddin kembali melakukan serangan terhadap
Belanda. Namun karena Belanda sudah kuat maka Benteng Sombaopu yang merupakan
pertahanan terakhir Kerajaan Gowa berhasil dikuasai Belanda. Yang akhirnya membuat
Sultan Hasanuddin mengakui kekuasaan Belanda.

Sultan Hasanuddin Wafat

Walaupun begitu, Hingga akhir hidupnya, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau bekerjasama
dengan Belanda. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan Gowa
dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670. Dan dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja
Gowa di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

I Bate Daeng Tommi, I Mami Daeng Sangnging, I Daeng Talele dan I Hatijah I Lo’mo Tobo
merupakan nama-nama dari Istri Sultan Hasanuddin. Ketika beliau wafat, beliau digantikan
oleh I Mappasomba Daeng Nguraga atau dikenal dengan Sultan Amir Hamzah yang
merupakan anak dari Sultan Hasanuddin, selain anak bernama Sultan Muhammad Ali dan
karaeng Galesong.

Perjuangan melawan Belanda selanjutnya dilaukan oleh Karaeng Galesong yang berlayar
hingga ke Jawa membantu perlawanan dari Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten
melawan Belanda.

Untuk Menghormati jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia kemudian menganugerahkan


gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Hasanuddin dengan SK Presiden Ri No
087/TK/1973.

Nama Sultan Hasanuddin juga diabadikan sebagai nama Bandar Udara di Makassar yakni
Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, selain itu namanya juga dipakai sebagai
nama Universitas Negeri di Makassar yakni Universitas Hasanuddin dan menjadi nama jalan
di berbagai daerah.
Biografi Gajah Mada & Prabu Hayam Wuruk

Biografi Gajah Mada. Nama tokoh kerajaan majapahit ini sangat terkenal di Indonesia
dengan Sumpah Palapa nya. namanya juga di abadikan sebagai nama salah satu universitas
terbaik di Indonesia. Gajah Mada ialah salah satu Patih kemudian menjadi Mahapatih
Majapahit yang mengantarkan kerajaan Majapahit ke puncak kejayaannya. Tidak diketahui
sumber sejarah mengenai kapan dan di mana Gajah Mada lahir. Ia memulai karirnya di
Majapahit sebagai bekel. Karena berhasil menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) dan
mengatasi Pemberontakan Ra Kuti yang paling berbahaya dalam sejarah kerajaan Majapahit,
ia diangkat sebagai Patih Kahuripan pada 1319. Dua tahun kemudian ia diangkat sebagai
Patih Kediri.

Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri
dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih
Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui. Ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit
dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang melakukan pemberotakan
terhadap Majapahit. Keta & Sadeng pun akhirnya takluk. Patih Gajah Mada kemudian
diangkat secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi sebagai patih di Majapahit (1334).

Sumpah Palapa Yang Terkenal

Pada waktu pengangkatannya ia mengucapkan Sumpah Palapa, yakni ia baru akan menikmati
palapa atau rempah-rempah yang diartikan kenikmatan duniawi jika telah berhasil
menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton berikut :

..Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun
huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram,
Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
samana ingsun amukti palapa.

Yang artinya (Gajah Mada sang Maha Patih tak akan menikmati palapa, berkata Gajah Mada
“Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa. Sebelum aku
menaklukkan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pulau Pahang, Dompo,
Pulau Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku takkan mencicipi palapa.)
Walaupun ada sejumlah (atau bahkan banyak) orang yang meragukan sumpahnya, Patih
Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Bedahulu (Bali) dan Lombok
(1343), Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri
lain di Swarnadwipa (Sumatra) telah ditaklukkan. Lalu Pulau Bintan, Tumasik (Singapura),
Semenanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit,
Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang,
Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung,
Tanjungkutei, dan Malano.

Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan


Tribhuwanatunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan penaklukan ke wilayah
timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali,
Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar
(Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Perang Bubat Yang Terkenal

Dalam Kidung Sunda diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam
Wuruk hendak menikahi Dyah Pitaloka putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu
Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang
ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan
Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan
kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah
pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang
saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah
ayahanda dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu, Patih
Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya.

Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam
Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana,
serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh “Madakaripura” yang
berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang
menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia
memerintah dari Madakaripura.

Akhir hidup Gadjah Mada

Disebutkan dalam Negarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara


keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah gering (sakit). Gajah Mada
disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi namun tidak diketahui
secara pasti dimana Gajah Mada dimakamkan. Hayam Wuruk kemudian memilih enam
Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan
negara.
Prasasti Ciaruteun

Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan di tepi sungai Ciaruteun, tidak jauh
dari sungai Ci Sadane, Bogor. Prasasti tersebut merupakan peninggalan kerajaan
Tarumanagara.

Lokasi

Prasasti Ciaruteun terletak di Desa Ciaruteun Ilir, kecamatan Cibungbulang, Kabupaten


Bogor; tepatnya pada koordinat 6°31’23,6” LS dan 106°41’28,2” BT. Lokasi ini terletak
sekitar 19 kilometer sebelah Barat Laut dari pusat kota Bogor.

Tempat ditemukannya prasasti ini merupakan bukit (bahasa Sunda: pasir) yang diapit oleh
tiga sungai: Ci Sadane, Ci Anten dan Ci Aruteun. Sampai abad ke-19, tempat ini masih
dilaporkan sebagai Pasir Muara, yang termasuk dalam tanah swasta Tjampéa (= Ciampea,
namun sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang). Tak jauh dari prasasti ini,
masih dalam kawasan Ciaruteun terdapat Prasasti Kebonkopi I.

Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa 2, sarga 3, halaman 161 disebutkan
bahwa Tarumanagara mempunya rajamandala (wilayah bawahan) yang dinamai "Pasir
Muhara".

Penemuan

Pada tahun 1863 di Hindia Belanda, sebuah batu besar dengan ukiran aksara purba dilaporkan
ditemukan di dekat Tjampea (Ciampea), tak jauh dari Buitenzorg (kini Bogor). Batu berukir
itu ditemukan di Kampung Muara, di aliran sungai Ciaruteun, salah satu anak sungai
Cisadane.[1]:15 Segera pada tahun yang sama, Prasasti Ciaruteun dilaporkan oleh pemimpin
Bataaviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) di
Batavia. Akibat banjir besar pada tahun 1893 batu prasasti ini terhanyutkan beberapa meter
ke hilir dan bagian batu yang bertulisan menjadi terbalik posisinya ke bawah. Kemudian pada
tahun 1903 prasasti ini dipindahkan ke tempat semula.
Pada tahun 1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat dan memindahkan prasasti batu ini
agar tidak terulang terseret banjir bandang. Selain itu prasasti ini kini dilindungi bangunan
pendopo, untuk melindungi prasasti ini dari curah hujan dan cuaca, serta melindunginya dari
tangan jahil. Replika berupa cetakan resin dari prasasti ini kini disimpan di tiga museum,
yaitu Museum Nasional Indonesia dan Museum Sejarah Jakarta di Jakarta dan Museum Sri
Baduga di Bandung.

Bahan

Prasasti Ciaruteun dibuat dari batu kali atau batu alam. Batu ini berbobot delapan ton dan
berukuran 200 cm kali 150 cm.

Isi

Prasasti Ciaruteun bergoreskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa
Sanskerta dengan metrum Anustubh yang terdiri dari empat baris dan pada bagian atas tulisan
terdapat pahatan sepasang telapak kaki, gambar umbi dan sulur-suluran (pilin) dan laba-laba.

Anda mungkin juga menyukai