Anda di halaman 1dari 22

Sejarah Kerajaan Sunda

Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang terletak di bagian Barat pulau Jawa (provinsi
Banten, Jakarta, dan Jawa Barat sekarang), antara tahun 932 dan 1579 Masehi. Berdasarkan
sumber sejarah berupa prasasti dan naskah-naskah berbahasa Sunda Kuno KERAJAAN
SUNDA
dikatakan bahwa pusat kerajaan Sunda telah mengalami beberapa perpindahan.   Kerajaan
Sunda (669–1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri
menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun
591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16,
kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi
Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga
Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di
Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan
Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah
timur adalah Ci Pamali (“Sungai Pamali”, sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci
Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515), menyebutkan
batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut: “Sementara orang
menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya
berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya
lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk.”

Asal Mula Kerajaan Pajajaran (Sunda)


Sejarah menyebutkan bahwa awal berdirinya Kerajaan Pajajaran ini adalah pada tahun 923
dan pendirinya adalah Sri Jayabhupati. Bukti-bukti ini didapat dari Prasasti Sanghyang
berumur 1030 Masehi yang ada di Suka Bumi. Lebih lanjut, rupanya Kerajaan Pajajaran ini
didirikan setelah perpecahan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Rahyang Wastu. Saat
Rahyang Wastu meninggal maka Kerajaan Galuh terpecah menjadi dua.
Satu dipimpin oleh Dewa Niskala dan yang satunya lagi dipimpin oleh Susuktunggal.
Meskipun terpecah menjadi dua namun mereka memiliki derajat kedudukan yang sama.
Asal muasal Kerajaan Pajajaran dimulai dari runtuhnya Kerajaan Majapahit sekitar tahun
1400 masehi. Saat itu Majapahit semakin lemah apalagi ditandai dengan keruntuhan masa
pemerintahan Prabu Kertabumi atau Brawijaya ke lima, sehingga ada beberapa anggota
kerajaan serta rakyat mereka yang mengungsi ke ibu kota Galuh di Kawali, wilayah
Kuningan, di mana masuk provinsi Jawa Barat. Wilayah ini merupakan daerah kekusaaan
dari Raja Dewa Niskala.
Raja Dewa Niskala pun menyambut para pengungsi dengan baik, bahkan kerabat dari Prabu
Kertabumi yaitu Raden Baribin dijodohkan dengan salah seorang putrinya. Tidak sampai di
situ, Raja Dewa Niskala juga mengambil istri dari salah seorang pengungsi anggota kerajaan.
Sayangnya, pernikahan antara Raja Dewa Niskala dengan anggota Kerajaan Majapahit tidak
disetujui oleh Raja Susuktunggal karena ada peraturan bahwa pernikahan antara keturunan
Sunda-Galuh dengan keturunan Kerajaan Majapahit tidak diperbolehkan. Peraturan ini ada
sejak peristiwa Bubat.
Karena ketidaksetujuan dari pihak Raja Susuktunggal terjadilah peperangan antara
Susuktunggal dengan Raja Dewa Niskala. Agar perang tidak terus menerus berlanjut maka
Dewan Penasehat ke dua kerajaan menyarankan jalan perdamaian. Jalan perdamaian tersebut
ditempuh dengan menunjuk penguasa baru sedangkan Raja Dewa Niskala dan Raja
Susuktunggal harus turun tahta.
Kemudian ditunjuklah Jayadewata atau dikenal juga dengan sebutan Prabu Siliwangi yang
merupakan putra dari Dewa Niskala sekaligus menantu dari Raja Susuktunggal. Jayadewata
yang telah menjadi penguasa bergelar Sri Baduga Maharaja memutuskan untuk menyatukan
kembali ke dua kerajaan. Dari persatuan ke dua kerajaan tersebut maka lahirlah Kerajaan
Pajajaran pada tahun 1482. Oleh sebab itu, lahirnya Kerajaan Pajajaran ini dihitung saat Sri
Baduga Maharaha berkuasa.
Wilayah Kekuasaan dan Historiografi
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang
mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16,
(yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun
1627),
Batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali (“Sungai Pamali”, sekarang disebut
sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa
Tengah. Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang
saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan
Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Raja-Raja Kerajaan Sunda
Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah
Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 – 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 – 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 – 739)
4. Rakeyan Banga (739 – 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 – 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 – 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964)
15. Munding Ganawirya (964 – 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
17. Brajawisésa (989 – 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 – 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 – 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 – 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 – 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 – 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 – 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 – 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 – 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 – 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Peninggalan Kerajaan Sunda
1. Prasasti Cikapundung
Prasasti ini ditemukan warga di sekitar sungai Cikapundung, Bandung pada 8 Oktober 2010.
Batu prasasti bertuliskan huruf Sunda kuno tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-14.
Selain huruf Sunda kuno, pada prasasti itu juga terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki,
dan wajah. Hingga kini para peneliti dari Balai Arkeologi masih meneliti batu prasasti
tersebut.
Batu prasasti yang ditemukan tersebut berukuran panjang 178 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 55
cm. Pada prasasti itu terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan dua baris huruf
Sunda kuno bertuliskan “unggal jagat jalmah hendap”, yang artinya semua manusia di dunia
akan mengalami sesuatu. Peneliti utama Balai Arkeologi Bandung, Lutfi Yondri
mengungkapkan, prasasti yang ditemukan tersebut dinamakan Prasasti Cikapundung.
2. Prasasti Pasir Datar
Prasasti Pasir Datar ditemukan di Perkebunan Kopi di Pasir Datar, Cisande, Sukabumi pada
tahun 1872 . Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti yang
terbuat dari batu alah ini hingga kini belum ditranskripsi sehingga belum diketahui isinya.
3. Prasasti Huludayeuh
Prasasti Huludayeuh berada di tengah persawahan di kampung Huludayeuh, Desa
Cikalahang, Kecamatan Sumber dan setelah pemekaran wilayang menjadi Kecamatan
Dukupuntang – Cirebon.
 Penemuan
Prasasti Huludayeuh telah lama diketahui oleh penduduk setempat namun di kalangan
para ahli sejarah dan arkeologi baru diketahui pada bulan September 1991. Prasasti ini
diumumkan dalam media cetak Harian Pikiran Rakyat pada 11 September 1991 dan
Harian Kompas pada 12 September 1991.
 Isi
Prasasti Huludayeuh berisi 11 baris tulisan beraksa dan berbahasa Sunda Kuno, tetapi
sayang batu prasasti ketika ditemukan sudah tidak utuh lagi karena beberapa batunya
pecah sehingga aksaranya turut hilang. Begitupun permukaan batu juga telah sangat
rusak dan tulisannya banyak yang turut aus sehingga sebagian besar isinya tidak dapat
diketahui. Fragmen prasasti tersebut secara garis besar mengemukakan tentang Sri
Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang bertalian dengan usaha-
usaha memakmurkan negrinya.

4. Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis


Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis adalah sebuah prasasti berbentuk tugu batu yang
ditemukan pada tahun 1918 di Jakarta.. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan Sunda–
Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin
Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk “Raja Samian” (maksudnya Sanghyang,
yaitu Sang Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda). Prasasti
ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan
gudang bagi orang Portugis.
Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi
gudang di sudut Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Kali Besar
Timur I), sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat. Prasasti tersebut sekarang disimpan di
Museum Nasional Republik Indonesia, sementara sebuah replikanya dipamerkan di Museum
Sejarah Jakarta
5. Prasasti Ulubelu
Prasasti Ulubelu adalah salah satu dari prasasti yang diperkirakan merupakan peninggalan
Kerajaan Sunda dari abad ke-15 M, yang ditemukan di Ulubelu, Desa Rebangpunggung,
Kotaagung,Lampung pada tahun 1936.
Meskipun ditemukan di daerah lampung (Sumatera bagian selatan), ada sejarawan yang
menganggap aksara yang digunakan dalam prasasti ini adalah aksara Sunda Kuno, sehingga
prasasti ini sering dianggap sebagai peninggalan Kerajaan Sunda. Anggapan sejarawan
tersebut didukung oleh kenyataan bahwa wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga wilayah
Lampung. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas
wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Isi prasasti berupa mantra
permintaan tolong kepada kepada dewa-dewa utama, yaitu Batara Guru (Siwa), Brahma, dan
Wisnu, serta selain itu juga kepada dewa penguasa air, tanah, dan pohon agar menjaga
keselamatan dari semua musuh.
6. Prasasti Kebon Kopi II
Prasasti Kebonkopi II atau Prasasti Pasir Muara peninggalan kerajaan Sunda-Galuh ini
ditemukan tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I yang merupakan peninggalan kerajaan
tarumanegara dan dinamakan demikian untuk dibedakan dari prasasti pertama.
Namun sayang sekali prasasti ini sudah hilang dicuri sekitar tahun 1940-an. Pakar F. D. K.
Bosch, yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu
Kuno, menyatakan seorang “Raja Sunda menduduki kembali tahtanya” dan menafsirkan
angka tahun peristiwa ini bertarikh 932 Masehi. Prasasti Kebonkopi II ditemukan di
Kampung Pasir Muara, desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat, pada abad ke-19 ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi.
Prasasti ini terletak kira-kira 1 km dari batu prasasti Prasasti Kebonkopi I (Prasasti Tapak
Gajah).
Kerajaan Melayu
Peta Ranah Melayu purba berdasarkan teori yang diterima umum. Pusat Kerajaan Malayu
yang juga terkait dengan situs Muaro Jambi adalah muara sungai Batanghari, Jambi, atau di
hulunya yang terletak di pedalaman Minangkabau, Sumatera
(sekarang Dharmasraya dan Solok). Tetapi berbagai negeri (kadatuan) Melayu lainnya pun
bersemi sebelum ditaklukan Sriwijaya pada akhir abad ke-7 Masehi, seperti
Kerajaan Langkasuka, Pan Pan dan Panai.

Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Tionghoa ditulis Ma-La-Yu ( 末 羅 瑜 國 ) merupakan


sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau Sumatera. Dari bukti dan keterangan yang
disimpulkan dari prasasti dan berita dari Cina, keberadaan kerajaan yang mengalami naik
turun ini dapat di diketahui dimulai pada abad ke-7 yang berpusat di Minanga, pada abad ke-
13 yang berpusat di Dharmasraya dan diawal abad ke 15 berpusat di Suruaso

a. Letak

Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Cina ditulis Ma-La-Yu merupakan sebuah nama


kerajaan yang berada di Pulau Sumatera. Dari bukti dan keterangan yang disimpulkan dari
prasasti dan berita dari Cina, keberadaan kerajaan yang mengalami naik turun ini dapat di
diketahui dimulai pada abad ke-7 yang berpusat di Minanga, pada abad ke-13 yang berpusat
di Dharmasraya dan diawal abad ke 15 berpusat di Suruasoatau Pagaruyung.

Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atauSwarnabumi yang oleh para pendatang


disebut sebagai pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya mempunyai
kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum direbut oleh Kerajaan
Sriwijaya.

Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran antara
Sriwijaya dan Kedah. Jadi Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Hampir semua
ahli sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di hulu sungai Batang Hari, sebab pada
alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka
(1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari)
kepada raja Melayu.

 b. Raja-raja Kerajaan Melayu

1. Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1183). Sumber: Prasasti Grahi


tahun 1183 di selatan Thailand, perintah kepada bupati Grahi yang bernama
Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan
nilai emas 10 tamlin. Ibukota: Dharmasraya.
2. Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. (1286). Prasasti Padang Roco tahun 1286
di Siguntur, pengiriman Arca Amonghapasa sebagai hadiah Raja Singhasari kepada
Raja Dharmasraya. Ibukota: Dharmasraya.
3. Akarendrawarman. (1300). Sumber: Prasasti Suruaso. Ibukota: dharmasraya atau
Suruaso.
4. Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.
(1347). Sumber: Arca Amoghapasa. Ibukota: Suruaso atau Pagarruyung.
5. Ananggawarman. (1375). Sumber: Prasasti Pagaruyung. Ibukota: Pagaruyung.
Sejarah Kerajaan Medang Kamulan
Kerajaan Medang Kamulan adalah salah satu kerajaan yang berada di Pulau Jawa. Kerajaan
Medang Kamulan juga sering disebut sebagai kelanjutan dari Kerajaan Mataram karena
Medang Kamulan merupakan ibukota dari Kerajaan Mataram.
Istilah nama kamulan dapat dianggap sebagai perubahan dari kata "kamulyaan" atau
"kemuliaan". Tetapi, sebagian para ahli berpendapat bahwa Medang Kamulan adalah ibukota
Kerajaan Kediri atau Janggala. Selain itu, ada juga yang menyebutnya dengan Kerajaan
Kahuripan.
Pada saat pemerintahan Medang Kamulan inilah terjadi perpindahan kekuasaan politik dari
Jawa Tengan ke Jawa Timur. Hal ini disebabkan oleh hancurnya Kerajaan Mataram akibat
letusan Gunung Merapi.
Dengan adanya pergeseran peta kekuasaan ini, pada perkembangannya sangat menentukan
sejarah pendidikan di Pulau Jawa khsusnya. Medang Kahuripan ini di dirikan oleh keturunan
Raja Mataram yaitu Mpu Sindok, pendiri dinasti Isana.
Letak Kerajaan Medang Kamulan
Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, Kerajaan Medang Kamulan merupakan lanjutan dari
Kerajaan Mataram di Jawa tengah. Letak Kerajaan Medang kamulan berada di Jawa Timur.
Lebih tepatnya berdasarkan prasasti terletak di muara Sungai Brantas, dengan ibukotanya
bernama Watan Mas.
Silsilah Kerajaan Medang Kamulan
Kerajaan Medang Kamulan memiliki 3 raja yang pernah memimpin pemerintah. Berikut ini
penjelasan tentang 3 raja tersebut:
 Raja Mpu Sindok
Mpu Sindok adalah raja pertama yang memerintah Kerajaan Medang Kamulan. Mpu Sindok
memerintah kurang lebih selama 20 tahun. Ia juga dibantu oleh permaisurinya yang
bernama Sri Wardhani Pu Kbih.
Pada saat pemerintahannya, Mpu Sindok mempunyai gelar Sri Maharaja raka I Hino Sri
Isyana Wikrama Dharmatunggadwea. Saat masa pemerintahan Mpu Sindok  sangat
bijaksana, berbagai usaha dilakukan untuk memakmurkan rakyatnya antara lain, membangun
bendungan atau waduk untuk pengairan.
Mpu Sindok melarang semua rakyatnya untuk menangkap ikan di bendungan tersebut.
Larang ini bertujuan untuk melestarkan sumber daya alam tersebut.
Dalam bidang agama. Mpu Sindok walaupun beragama Hindu, tetapi sangat memperhatikan
usaha penggubahan Kitab Buddha Mahayana.  Hasil dari gubahan berupa Kitab Sang Hyang
Kamahayanikan. Hal ini membuktikan antara agama Hindu dan Buddha dapat hidup saling
berdampingan.
 Raja Dharmawangsa Teguh
Setelah pemerintahan Mpu Sindok berakhir, Medang Kamulan diteruskan oleh Raja Dharma
Teguh yang merupakan cucu dari Mpu Sindok. Selama masa pemerintahannya, ia berusaha
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Usaha yang dilakukan antara lain dengan meningkatkan kualitas dalam sistem pertanian, dan
perdagangan. Akan tetapi, usaha dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dalam bidang
perdagangan mengalami kesulitan. Hal ini terjadi karena perdagangan di kawasan perairan
Jawa dan Sumatera masih dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya.
Dalam usaha untuk mengalahkan Kerajaan Sriwijaya, sekitar pada tahun 1003 M, Medang
Kamulan mengirimkan tentaranya untuk merebut pusat perdagangan di Selat Malaka dari
kekuasaan Sriwijaya. Tetapi serangan yang di lakukan ini tidak mendapatkan hasil,
Bahkan Kerajaan Sriwijaya melakukan serangan balasan melalui serangan Kerajaan Wura-
Wuri (Kerajaan bawahan Sriwijaya). Akibat dari serangan tersebut, Medang Kamulan
mengalami kehancuran, penyerangan ini juga mengakibatkan terbunuhnya Raja
Dharmawangsa disebut dengan Pralaya.
 Raja Airlangga (Erlangga)
Raja Airlangga merupakan putera Raja Bali bernama Udaya yang menikah
dengan Mahendradatta saudari dari Raja Dharmawangsa. Pada saat pesta pernikahannya,
secara tiba-tiba terjadi penyerangan dari Kerajaan Wura-Wuri, yang menewaskan Raja
Dharmawangsa serta keluarga.
Saat terjadi penyerangan tersebut, Airlangga lolos dari pembunuhan berkat
bantuan Narattoma, berhasil melarikan diri ke hutan. Selama ia berada
di pengasingan, Airlangga mendapat gemblengan dari para Brahmana dan dinobatkan
menjadi raja.
Dengan diangkatnya Airlangga menjadi raja, ia berusaha sangat keras untuk memulihkan
kewibawaan Medang Kamulan. Secara berkala Airlangga berhasil menaklukan raja-raja
bawahan Kerajaan Sriwijaya. Misalnya, Bisaprabhawa ditakulkan pada tahun 1029
Masehi, Raha wijayawarman dari Wengker tahun 1035.
Setelah berhasil memulihkan kewibawaannya kembali, Raja Airlangga memindahkan ibukota
Kerajaan Medang Kawulan ke Kahuripan.
Usaha-usaha yang dilakukan Raja Airlangga dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya antara lain :
1. Membangun Waduk Waringin Sapta untuk mencegah terjadinya banjir musiman.
2. Membangun jalan-jalan yang menjadi penghubung pasar pesisir ke pusat kerajaan.
3. Melakukan perbaikan pelabuhan hujung Galuh, di muara Kali Brantas.
Masa Kejayaan Kerajaan Medang Kamulan
Medang Kamulan berada di puncak kejayaan dan kemakmuran pada masa pemerintahan Raja
Airlangga. Pengalaman hidup dan juga kebersihan Raja Airlangga di ceritakan di dalam
Kitab Arjunawiwaha yang di tulis oleh Mpu Kanwa.
Setelah Medang Kamulan mencapai puncak kesejahteraan, Raja Airlangga kemudian
memasuki masa kependetyaan. Kemudian tahta diserahkan kepada putri yang lahir dari
permaisuri. Tetapi, putri Raja Airlangga tersebut memilih menjadi seorang petapa dengan
gelar Ratu Giri Putri. Akhirnya tahta Medang Kamulan diserahkan kepada kedua orang
putra yang terlahir dari selir Airlangga.
Selanjutnya, Kerajaan ini di bagi menjadi dua, yaitu Kerajaan Janggala dan Kerajaan Kediri
(Panjalu). Tujuan Airlangga membagi kerajaan ini adalah untuk mencegah terjadinya perang
saudara.
Kerajaan di bagi menjadi dua bagian dengan batasan Gunung Kawi atas banuan dari Mpu
Barada. Kerajaan Janggala dengan ibukotanya Kahuripan dan Kerajaan Panjalu ibukotanya
Daha (Kediri).
Sumber Sejarah Kerajaan Medang Kamulan
Sumber sejarah tentang adanya Kerajaan Medang Kamulan sebagai berikut :
Prasasti
Terdapat berbagai prasasti yang mengisahkan Kerajaan Medang Kamulan, antara lain:
1. Prasasti Mpu Sindhok, menceritakan masa pemerintahan Mpu Sindhok
2. Prasasti Tengaran di buat pada tahun (933 M) menceritakan bahwa Mpu Sindok
memerintah bersama istrinya, Sri Wardani Pu Kbin (Rakryan Bawang).
3. Prasasti Lor di buat pada tahun(939 M) dekat Nganjuk, menceritakan tentang
perintah membuat candi bernama Jayamrata dan Jayastambo di desa Anyok Lodang untuk
memperingati kemenangan Mpu Sindok.
4. Prasasti Bangil, menceritakan tentang pembuatan candi untuk pemakaman ayahanda
Mpu Sindok dan sang permaisuri, Rakryan Bawang.
5. Prasasti Calcutta, menceritakan awal mula silsilah dinasti Isana sampai zaman
pemerintahan Airlangga.
Dalam prasasti Calcutta di ceritakan berbagai hal tentang Raja Airlangga yaitu :
 Menceritakan silsilah Raja Airlangga (Airlangga adalah putra Raja Udayana dari
Bali).
 Kisah peristiwa penyerangan Raja Wurawari dari Wengker (kerajaan bawahan
Sriwijaya).
 Kisah pelarian Raja Airlangga ke Bukit Wonogiri bersama Narottama,
 Pendirian pertapaan di Pucangan.
 Peperangan Raja Airlangga dengan Raja Wurawari.
Kerajaan Singasari
Kerajaan Singasari adalah salah satu kerajaan Hindu yang tumbuh di Jawa bagian Timur.
Singasari berdiri menggantikan Kadiri, ketika Sri Ranggah Rajasa/Ken Angrok menyerbu
Daha dan mengalahkan Krtajaya. Kerajaan ini tumbuh menjadi imperium yang kuat dan
memperluas cakrawala mandala sampai dengan Melayu, Tumasik dan Pahang.
Singasari juga melakukan penyebaran pengaruh hingga ke Sulawesi Selatan dan Maluku
untuk mengontrol perdagangan rempah-rempah dari timur. Eksistensi Singasari yang begitu
besar memunculkan ancaman dari luar (Mongol) dan dari dalam (keturunan penguasa
Kadiri). Pada masa ini, catatan dalam kitab maupun peninggalan arkeologis dapat dibaca
dengan jauh lebih jelas dibandingkan periode-periode sebelumnya.
Letak dan Pendiri Kerajaan Singasari
Kerajaan Singasari terletak di Jawa Timur, berpusat di Kutaraja atau Tumapel. Tumapel
adalah kerajaan daerah milik Ken Angrok yang didapatkannya setelah mengalahkan akuwu
Tunggul Ametung. Setelah mengalahkan Krtajaya di Ganter, ia memasukkan wilayah Kadiri
sebagai bagian dari Kerajaan Tumapel/Singasari.
Pendiri kerajaan ini tidak lain adalah Ken Angrok, menggunakan nama penobatan Sri
Ranggah Rajasa. Ia memulai adanya Wangsa Rajasa yang berkuasa tidak hanya di Singasari
namun sampai dengan akhir masa keemasan kerajaan Majapahit.
Raja-Raja Singasari
1. Ken Angrok (1222-1247)
Ken Angrok adalah raja pertama sekaligus pendiri Singasari bergelar Sri Ranggah Rajasa
setelah mengalahkan Kertajaya dari Kadiri. Beberapa sumber menyatakan bahwa ia berasal
dari rakyat biasa dan bukan kalangan elit. Namun namanya jelas tercatat dalam Prasasti
Balawi, Prasasti Maribong, Prasasti Kusmala, dan Prasasti Mula Manurung. Kitab Pararaton
dan Nagarakrtagama juga mencatatnya dengan jelas sebagai moyang dari raja Hayam Wuruk.
Ken Angrok memperistri Ken Dedes yang kemudian melahirkan antara lain Anusapati dan
Mahisa Wonga Teleng. Sementara dari Ken Umang lahir Panji Tohjaya. Ketiga anak ini
kelak menjadi figure penting dalam sejarah Singasari-Majapahit. Ken Angrok memulai
Wangsa Rajasa yang akan berkuasa sampai dengan akhir masa Majapahit.
2. Anusapati (1247-1248)
Anusapati adalah putra dari Ken Dedes dan akuwu Tunggul Ametung, mengingat Ken
Angrok memperistri Ken Dedes setelah membunuh Tunggul Ametung. Merasa dendam atas
ayahnya, ia kemudian membunuh Ken Angrok melalui perantara seorang pengalasan. Ia naik
tahta sekitar tahun 1247, namun ia berkuasa hanya sekitar satu tahun ketika berita
pembunuhan Ken Angrok didengar oleh anaknya yang lain. Panji Tohjaya, merasa tidak
terima dan membunuh Anusapati. Anusapati didharmakan di Kidal, sekarang peninggalannya
berupa Candi Kidal di Malang.
3. Tohjaya (1248)
Panji Tohjaya naik tahta menggantikan Anusapati, namun ia hanya berkuasa selama kurang
dari satu tahun. Ketika ada pemberontakan yang dilancarkan oleh kalangan Rajasa dan Sinelir
yang menyerbu istana. Tohjaya sempat melarikan diri ke Katanglumbang, namun tewas
karena luka tombak yang didapatkannya. Nama Tohjaya ini tidak disebutkan dalam
Nagarakrtagama. Salah satu alasannya bisa dikarenakan pemberontakan Rajasa tadi, sehingga
ia tidak dianggap sebagai leluhur Hayam Wuruk.
4. Wisnuwarddhana (1248-1268)
Rangga Wuni naik tahta menggantikan Tohjaya dengan gelar Sri Jayawisnuwarddhana. Ia
memerintah bersama Mahisa Campaka, cucu Ken Angrok dan Ken Dedes. Wisnuwarddhana
berkuasa cukup lama dalam masa damai, kurang lebih selama dua puluh tahun. Hanya
Wisnuwardhhana yang mewariskan tahta langsung kepada anaknya, yaitu Kertanagara.
Informasi mengenai Wisnuwarddhana selain dari kitab Pararaton dan Nagarakrtagama
didapat dari prasasti tembaga di Kedu yang dikeluarkan oleh raja Kertanagara.
5. Kertanagara (1268-1292)
Kertanegara merupakan raja terakhir sekaligus terbesar dalam sejarah Singasari. Ia
melakukan perluasan cakrawala mandala Singasari ke barat melalui Ekspedisi Pamalayu
tahun 1275 M. Menaklukkan Melayu, Tumasik, dan Pahang. Dilanjutkan dengan
mengalahkan Bali pada tahun 1284 M. Seluruh pulau Jawa berada di bawah kekuasaan
Singasari meskipun tidak ditaklukkan secara militer. Kertanagara juga menjalin persekutuan
dengan Kerajaan Champa.
Kebesaran kekuasaan ini menarik perhatian Kaisar Mongol yang tengah mencapai masa
kejayaannya, ia mengirimkan perwakilan untuk meminta ketundukan Kertanagara terhadap
Mongol. Kertanagara menolak, memulangkan utusan dalam keadaan cacat sehingga
mengundang invasi Mongol ke Jawa. Namun sebelum pasukan tersebut datang, Kertanagara
diserbu oleh raja Kadiri, Jayakatwang. Serangan ini terjadi ketika Kertanagara memperluas
pengaruhnya ke berbagai tempat untuk menyaingi pengaruh Dinasti Yuan. Jayakatwang
adalah keturunan Kertajaya yang menyimpan dendam terhadap Rajasa, sehingga ia
menyerang ketika Singasari lengah dan menegakkan kembali Kadiri.

Kehidupan Masyarakat
Kehidupan Politik
Kerajaan Singasari dipenuhi dengan intrik perebutan kekuasaan. Sejak Ken Angrok
membunuh raja Kadiri Kertajaya di Ganter, pergantian kekuasaan tidak pernah dilaksanakan
dengan damai. Baru ketika Wisnuwarddhana menggantikan Tohjaya yang tewas, ia
mengalihkan tahta kepada anaknya Kertanagara. Di bawah Kertanagara, panji politik
Singasari dikibarkan hingga ke Semenanjung Malaya, seluruh Jawa, Sumatera timur,
Kalimantan dan Sulawesi Selatan, Bali, serta kerajaan-kerajaan Asia Tenggara. Ambisi
politiknya sangat besar, namun juga sangat menghormati leluhurnya dari Wangsa Rajasa.
Singasari, seperti halnya Kadiri memiliki hubungan tarik ulur dengan raja-raja daerah.
Kehidupan Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, tidak banyak dijelaskan bagaimana masyarakat Singasari bergerak di
bidang ekonomi. Namun posisi ibukota Singasari di Kutharaja/Tumapel yang berada di
pedalaman, memperlihatkan bahwa pusat pemukiman berpindah ke dalam. Dibandingkan
dengan pusat Kadiri di Daha, dan pusat Majapahit di Terik, Tumapel jauh dari aliran sungai
Brantas. Meski begitu aktivitas penjelajahan melalui laut tetap berlangsung, sehingga dapat
diartikan bahwa kegiatan perdagangan melalui laut dapat berlangsung meskipun tidak berada
dekat dengan ibukota. Kebanyakan masyarakat pedalaman dapat dipastikan merupakan petani
atau peternak. sementara penduduk kawasan sungai dan pesisir adalah pedagang. Singasari
menggunakan koin emas dan perak selain sistem barter dalam menggerakkan perekonomian.
Kehidupan Sosial
Masyarakat Singasari, terutama golongan tertinggi menganut agama Hindu dan Buddha
secara sinkretis. Misalnya di Pasuruan terdapat kalangan yang menganut agama Siwa-
Buddha, Kertanegara sendiri penganut Buddha Tantrayana meskipun banyak diantara
leluhurnya penganut Hindu. Hal ini berbeda dengan kerajaan-kerajaan masa sebelumnya
yang lebih kaku dalam urusan keagamaan. Raja-raja Singasari juga beberapa kali
memberikan pemberkatan kepada wilayah tertentu atas hadiah kesetiaannya. Misalnya
wilayah Jipang dan Kedu yang dianugerahi oleh Wisnuwarddhana.
Runtuhnya Kerajaan Singasari
Kerajaan Singasari runtuh akibat serangan Jayakatwang, keturunan raja Kadiri Kertajaya
yang menguasai Gelang-Gelang. Pada tahun 1292, ketika Kertanagara sibuk memperluas
pengaruhnya ke seluruh dwipantara untuk menyaingi pengaruh Dinasti Yuan. Kondisi dalam
negeri melemah, dan Jayakatwang memanfaatkan itu dan menyerbu Singasari serta
membunuh Kertanagara. Jayakatwang menobatkan diri sebagai penguasa Kadiri meneruskan
Kertajaya dan mengakhiri kekuasaan Singasari. Meskipun Wangsa Rajasa akan merebut
kekuasaan kembali melalui Raden Wijaya, namun bukan atas nama Kerajaan Singasari.
Peninggalan Kerajaan Singasari
Peninggalan Kerajaan Singasari lebih banyak ada dalam bentuk candi-candi. Di mana candi
ini berfungsi sebagai tempat pemujaan agama sekaligus tempat pendharmaan figure-figur
penting kerajaan. Candi pada masa kerajaan Singasari memiliki ciri-ciri estetika yang lebih
rumit dibandingkan dengan masa Kadiri.
1. Candi Jawi
Candi Jawi terletak di Pandaan-Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Candi Jawi
dibangun oleh Kertanegara untuk menegaskan kekuasaannya di wilayah Pasuruan yang
dihuni oleh penganut Siwa-Buddha. Sementara Kertanagara adalah penganut Buddha
Tantrayana. Candi Jawi juga diduga tempat pendharmaan abu jenazah Kertanegara, meskipun
hanya Sebagian. Sebagian yang lain diletakkan di Candi Singosari.
2. Candi Singosari
Candi Singosari terletak di Singosari, Malang, Jawa Timur. Candi ini diperkirakan dibangun
pada tahun 1300 M untuk memperingati raja Kertanagara yang wafat akibat serangan
Jayakatwang pada tahun 1292 M. Candi ini juga menjadi situs yang dikunjungi oleh Hayam
Wuruk dalam rangka memperingati leluhurnya Wangsa Rajasa.
3. Candi Kidal
Candi Kidal terletak di Malang, Jawa Timur. Candi ini dibangun pada 1249 sebagai tempat
pendharmaan Anusapati yang terbunuh oleh Panji Tohjaya dalam perebutan kekuasaan.
4. Candi Jago
Candi Jago terletak di Malang, Jawa Timur. Candi ini dibangun sekitar tahun 1268 M atas
perintah Kertanagara untuk memperingati ayahnya Wisnuwarddhana. Candi ini berlatar
budaya agama Buddha Tantrayana yang dianut Kertanagara. Situs ini dikunjungi kemudian
hari oleh Hayam Wuruk dan Adityawarman.
Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri atau Pandjalu adalah salah satu kerajaan Hindu di Jawa, yang tumbuh sekitar
abad ke-11 Masehi. Kerajaan ini berdiri setelah penguasa terakhir Kerajaan Mataram
Kuno/Medang yaitu Dharmawangsa Airlangga membagi kekuasaannya untuk kedua anaknya.
Kerajaan Airlangga dibagi menjadi Janggala di sebelah timur-utara, dan Pandjalu atau Kediri
di sebelah barat-selatan.
Tidak banyak sumber-sumber yang cukup gambling menjelaskan mengenai eksistensi
keduanya, namun Kerajaan Pandjalu kerap kali diidentikkan dengan Kediri berkat beberapa
penemuan arkeologis di wilayah kota Kediri, Jawa Timur. Kediri terlibat banyak sekali
konflik dengan penguasa-penguasa sekitar sampai akhirnya ditaklukkan oleh Sri Ranggah
Rajasa/Ken Angrok dari Tumapel.
Letak dan Pendiri Kerajaan
Kerajaan Kediri diduga berpusat di Daha, sebuah wilayah pemukiman yang diperkirakan ada
di bagian selatan Jawa bagian Timur. Mendekati wilayah Kota Kediri, Jawa Timur saat ini.
Kota Daha, bersama dengan Kahuripan menjadi wilayah penting di kemudian hari bagi
Singhasari dan Majapahit. Sehingga dapat diperkirakan Daha merupakan pusat dari Kediri,
selaku pendahulu Singhasari dan Majapahit.
Raja pertama dari Kerajaan Kediri adalah Sri Samarawijaya, yang merupakan putra
Airlangga. Samarawijaya memperoleh kekuasaan Pandjalu dengan ibukota di Daha,
sementara Mapanji Garasakan memimpin Janggala di Kahuripan. Belum diketahui apakah Sri
Samarawijaya adalah pendiri dari Kediri, namun ia adalah putra mahkota dari Airlangga,
sehingga berhak atas salah satu bagian dari kerajaan yang ditinggalkan Airlangga. Selain itu,
Samarawijaya adalah nama raja yang paling awal ditemui dalam rangkaian penemuan
arkeologis terkait kerajaan Kediri.
Raja-Raja Kediri
1. Sri Samarawijaya
Samarawijaya adalah putra Airlangga yang telah dijadikan putra mahkota Kerajaan
Mataram Kuno. Ia kemudian memperebutkan posisi raja melawan Mapanji Garasakan.
Airlangga terpaksa membagi kerajaan menjadi Pandjalu dan Janggala untuk menghindari
perang saudara. Meski begitu, beberapa bukti menyatakan bahwa keduanya tetap
berperang sepeninggal Airlangga. Masa kekuasaannya disebut sebagai masa kegelapan,
karena tidak meninggalkan bukti prasasti apapun mengenai kerajaan Kediri.
Samarawijaya diperkirakan bertahta di Pandjalu pada 1042, nama raja selanjutnya yaitu
Sri Jayawarsa baru muncul pada 1104.
2. Sri Jayawarsa
Nama Sri Jayawarsa muncul melalui Prasasti Sirah Keting, menyatakan bahwa ia adalah
raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1104. Namun beberapa penelitian lanjutan
oleh L.C. Damais menyatakan bahwa nama ini berada sezaman dengan kekuasaan
Mapanji Kamesywara dan Krtajaya.
3. Sri Bameswara
Sri Bameswara memerintah sekitar tahun 1117-1130, namanya muncul dalam Prasasti
Padlegan. Pada masa kekuasaannya, ia menetapkan wilayah Padlegan dan Panumbangan
sebagai wilayah bebas pajak dalam prasasti batu. Hal ini menunjukkan bahwa di Kediri,
masyarakat dapat mengajukan permohonan tertentu yang boleh jadi dikabulkan oleh raja.
4. Jayabhaya
Nama Jayabhaya muncul sebagai penguasa Kediri pada Prasasti Ngantang, berkuasa pada
tahun 1135. Diperkirakan berkuasa sampai dengan tahun 1157, dan dianggap sebagai raja
terbesar Kediri. Prasasti Ngantang juga menyatakan Pandjalu Jayati atau Pandjalu
menang. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa masyarakat Ngantang yang setia dalam
usahanya mengalahkan Janggala. Ia berhasil menyatukan kembali Janggala dan Pandjalu
di bawah naungan Kediri.
5. Sri Sarwweswara
Sri Sarwweswara ditemukan dalam Prasasti Padlegan II (1159 M) dan Prasasti Kahyunan
(1161 M).
6. Sri Aryeswara
Nama Sri Aryeswara ditemukan dalam Prasasti Angin (1171 M). Prasasti Angin juga
menyantumkan lambing kerajaan Kediri pada masa kekuasaannya adalah Ganesha.
7. Sri Gandra
Nama Sri Gandra muncul dalam Prasasti Jaring (1181 M), yang berisi tentang
permohonan anugerah raja dari masyarakat desa Jaring.
8. Mapanji Kamesywara
Mapanji Kamesywara pertama kali diungkap pada Prasasti Semanding tahun 1182 M.
Dalam kakawin Smaradhana diungkapkan bahwa ikatan antara Pandjalu dan Janggala
menguat ketika Sri Kamesywara memperistri Sri Kirana, seorang putri dari Janggala.
Kisahnya diangkat dalam pementasan drama antara Panji Inu Kertapati dan Galuh
Candrakirana.
9. Krtajaya
Krtajaya merupakan raja terakhir Kediri yang muncul melalui beberapa prasasti dan kitab
Nagarakrtagama. Kitab ini menyatakan bahwa Krtajaya menghendaki disembah oleh
petinggi keagamaan, namun ditolak. Para agamawan ini meminta perlindungan kepada
Ken Angrok raja daerah di Tumapel, sekaligus menyetujuinya menjadi raja Singhasari.
Ken Angrok memanfaatkan ini untuk melepaskan diri dari pengaruh Kediri dan
menyerang Daha. Krtajaya gugur di Ganter pada tahun 1222 M, dan seluruh kekuasaan
Kediri beralih kepada Singhasari dan Ken Angrok sebagai rajanya.
Kehidupan Masyarakat Kerajaan Kediri
Kehidupan Politik
Kerajaan Kediri berdiri kira-kira hanya satu abad, namun ada beberapa perubahan-perubahan
dalam pemerintahan yang terjadi. Sebutan panglima Angkatan Laut (senapati sarwwajala)
muncul dalam keterangan. Sekiranya peran di bidang kemaritiman menjadi lebih penting,
terutama dalam menjaga jalur ke luar kerajaan melalui sungai Brantas. Selain itu, ditemui
pula adanya aspek demokrasi yaitu permohonan yang langsung datang dari masyarakat
melalui pejabat-pejabat setempat kepada Raja. Aspek penting lain di bidang politik adalah
adanya samya haji atau raja daerah dalam struktur kekuasaan Kediri. Raja daerah ini dengan
kekuasaannya masing-masing memiliki peran penting terhadap eksistensi pusat kerajaan
Kediri. Pada akhirnya, kekuasaan-kekuasaan kecil ini yang melemahkan Kediri. Tumapel,
wilayah yang cukup dekat dengan Daha memberikan perlawanan dan berhasil
menumbangkan Sri Krtajaya.
Kehidupan Ekonomi
Tidak banyak penjelasan yang dapat ditemukan terkait dengan penduduk Kerajaan Kediri
berikut dengan kegiatan perekonomiannya. Namun jika merujuk pada zaman dan wilayahnya,
Kerajaan Kediri tentunya memiliki pengelolaan di bidang pertanian yang dilangsungkan di
wilayah pedalaman, dan perdagangan yang dilangsungkan melalui aliran sungai Brantas dan
Kali Lamong menuju ke Pantai Utara Jawa. Umur kerajaan yang sangat singkat ini menjadi
faktor utama tidak adanya informasi yang kredibel mengenai kondisi kerajaan.
Kehidupan Sosial
Kerajaan Kediri menurut peninggalannya menganut agama Hindu Siwa, merujuk pada Candi
Gurah dan Tondowongso. Tidak ditemui adanya bukti-bukti tumbuhnya buddhisme terkait
dengan kerajaan ini. Di sisi lain, nama abhiseka atau penjelmaan Wisnu juga dikenal pada
raja-raja Kediri meskipun menganut agama Siwa. Hal ini dapat didasarkan pada posisi raja
sebagai pelindung masyarakat. Meskipun tidak memberikan peninggalan sebanyak Mataram
misalnya, candi-candi peninggalan Kediri mengawali ciri khas candi masa Singhasari.
Runtuhnya Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri menurut Nagarakrtagama runtuh pada tahun 1222 M, ketika Sri Ranggah
Rajasa/Ken Angrok dari Tumapel menyerang Sri Krtajaya. Sementara menurut kitab
Pararaton, serangan terhadap Kediri ini didasarkan atas permintaan para bhujangga penganut
Siwa yang diminta raja Kediri untuk menyembahnya. Bhujangga ini kemudian melarikan
diri, dan merestui Ken Angrok sebagai raja di Tumapel, mempergunakan nama kerajaan
Singhasari, dan dengan nama penobatan Sri Ranggah Rajasa. Ia kemudian melepaskan diri
dari pengaruh Kediri dan menyerbu Daha. Ken Angrok berhasil mengalahkan Krtajaya di
Ganter. Kekalahan ini tidak hanya membawa Kediri, namun juga Janggala masuk ke dalam
pengaruh Singhasari. Imperium baru tumbuh di sekitar sungai Brantas, Jawa Timur
menggantikan Kediri.
Peninggalan Kerajaan Kediri
1. Candi (Gurah, Tondowongso, & Pertirtaan Kepung)
Kerajaan Kediri memang tidak memiliki peninggalan arkeologi sebanyak kerajaan lainnya.
Hal ini dikarenakan pendeknya usia kerajaan, yang kemudian digantikan oleh imperium
Singhasari yang banyak memberikan peninggalan. Candi-candi Kediri yaitu Candi Gurah,
Candi Tondowongso, dan Pertirtaan Kepung. Candi Gurah memiliki arca Brahma, Surya,
Candra, dan Nandi. Candi ini merupakan lokasi pemujaan Siwa. Sementara Candi
Tondowongso memiliki 14 buah arca yang kurang lebih sama dengan Candi Gurah.
2. Kitab (Bharatayuddha, Hariwangsa, dll)
Masa Kediri dianggap sebagai zaman keemasan Jawa Kuno di bidang kesusastraan, beberapa
kakawin diciptakan pada zaman ini. Kitab yang muncul di kemudian hari seperti
Nagarakrtagama juga mencantumkan beberapa informasi mengenai kerajaan Kediri. Hal ini
dikarenakan Kediri dianggap sebagai pendahulu imperium Singhasari dan Majapahit. Kitab-
kitab sastra yang diciptakan pada masa ini antara lain :
 Bharatayuddha oleh Pu Sedah dan Pu Panuluh
 Hariwangsa oleh Pu Panuluh
 Ghatotkacasraya oleh Pu Panuluh
 Smaradhana oleh Pu Dharmaja
 Sumanasantaka oleh Pu Monaguna
 Krsnayana oleh Pu Triguna

3. Prasasti (Padlegan, Hantang, dll)


Kerajaan Kediri meninggalkan cukup banyak prasasti yang memunculkan nama-nama raja
yang berkuasa. Namun hanya itu informasi yang didapatkan, tidak banyak pengetahuan
mengenai masyarakat umum yang dimunculkan di dalamnya. Beberapa prasasti peninggalan
Kediri adalah :
 Prasasti Padlegan I dan II ( Penjelasan Sri Bameswara dan Sri Sarwweswara)
 Prasasti Hantang (Penjelasan Mapanji Jayabhaya)
Prasasti Hantang (museumnasional.or.id)
 Prasasti Angin (Sri Aryeswara)
 Prasasti Jaring (Sri Gandra)
 Prasasti Semanding (Mapanji Kamesywara)

Anda mungkin juga menyukai