Anda di halaman 1dari 8

Asal Usul Bangkalan

Jan6

Bangkalan berasal dari kata “bangkah” dan ”la’an” yang artinya “mati sudah”. Istilah ini diambil
dari cerita legenda tewasnya pemberontak sakti Ki Lesap yang tewas di Madura Barat. Menurut
beberapa sumber, disebutkan bahwa Raja Majapahit yaitu Brawijaya ke V telah masuk Islam
(data kekunoan di Makam Putri Cempa di Trowulan, Mojokerto). Namun demikian siapa
sebenarnya yang dianggap Brawijaya ke V ini ?. Didalam buku Madura en Zijin Vorstenhuis
dimuat antara lain Stamboon van het Geslacht Tjakradiningrat.
Dari Stamboon tersebut tercatat bahwa Prabu Brawijaya ke V memerintah tahun 1468–1478.
Dengan demikian, maka yang disebut dengan gelar Brawijaya ke V (Madura en Zijin
Vorstenhuis hal 79) adalah Bhre Krtabhumi dan mempunyai 2 (dua) orang anak dari dua istri
selir. Dari yang bernama Endang Sasmito Wati melahirkan Ario Damar dan dari istri yang
bernama Ratu Dworo Wati atau dikenal dengan sebutan Putri Cina melahirkan Lembu Peteng.
Selanjutnya Ario Damar (Adipati Palembang) mempunyai anak bernama Menak Senojo.
Menak Senojo tiba di Proppo Pamekasan dengan menaiki bulus putih dari Palembang kemudian
meneruskan perjalannya ke Barat (Bangkalan). Saat dalam perjalanan di taman mandi Sara Sido
di Sampang pada tengah malam Menak Senojo mendapati banyak bidadari mandi di taman itu,
oleh Menak Senojo pakaian salah satu bidadari itu diambil yang mana bidadari itu tidak bisa
kembali ke kayangan dan akhirnya jadi istri Menak Senojo.
Bidadari tersebut bernama Nyai Peri Tunjung Biru Bulan atau disebut juga Putri Tunjung Biru
Sari. Menak Senojo dan Nyai Peri Tunjung Biru Bulan mempunyai anak Ario Timbul. Ario
Timbul mempunyai anak Ario Kudut. Ario Kudut mempunyai anak Ario Pojok. Sedangkan di
pihak Lembu Peteng yang bermula tinggal di Madegan Sampang kemudian pindah ke Ampel
(Surabaya) sampai meninggal dan dimakamkan di Ampel, Lembu Peteng mempunyai anak
bernama Ario Manger yang menggantikan ayahnya di Madegan Sampang. Ario Manger
mempunyai anak Ario Pratikel yang semasa hidupnya tinggal di Gili Mandangin (Pulau
Kambing). Dan Ario Pratikel mempunyai anak Nyai Ageng Budo.
Nyai Ageng Budo inilah yang kemudian kawin dengan Ario Pojok. Dengan demikian keturunan
Lembu Peteng menjadi satu dengan keturunan Ario Damar. Dari perkawinan tersebut lahirlah
Kiai Demang yang selanjutnya merupakan cikal bakal Kota Baru dan kemudian disebut
Plakaran. Jadi Kiai Demang bertahta di Plakaran Arosbaya dan ibukotanya Kota Baru (Kota
Anyar) yang terletak disebelah Timurdaya Arosbaya. Dari perkawinannya dengan Nyai Sumekar
mempunyai 5 (lima) orang anak yaitu :
•    Kiai Adipati Pramono di Madegan Sampang.
•    Kiai Pratolo disebut juga Pangeran Parambusan.
•    Kiai Pratali atau disebut juga Pangeran Pesapen .
•    Pangeran Paningkan disebut juga dengan nama Pangeran Suka Sudo .
•    Kiai Pragalbo yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Plakaran karena bertahta di
Plakaran, setelah meninggal dikenal sebagai Pangeran Islam Onggu’ .
Namun perkembangan Bangkalan bukan berasal dari legenda ini, melainkan diawali dari sejarah
perkembangan Islam di daerah itu pada masa pemerintahan Panembahan Pratanu yang bergelar
Lemah Dhuwur.
Beliau adalah anak Raja Pragalba, pendiri kerajaan kecil yang berpusat di Arosbaya, sekitar 20
km dari kota Bangkalan ke arah utara. Panembahan Pratanu diangkat sebagai raja pada 24
Oktober 1531 setelah ayahnya, Raja Pragalba wafat. Jauh sebelum pengangkatan itu, ketika
Pratanu masih dipersiapkan sebagai pangeran, dia bermimpi didatangi orang yang menganjurkan
dia memeluk agama Islam. Mimpi ini diceritakan kepada ayahnya yang kemudian
memerintahkan patih Empu Bageno untuk mempelajari Islam di Kudus.
Perintah ini dilaksanakan sebaik-baiknya, bahkan Bageno bersedia masuk Islam sesuai saran
Sunan Kudus sebelum menjadi santrinya selama beberapa waktu lamanya. Ia kembali ke
Arosbaya dengan ilmu keislamannya dan memperkenalkannya kepada Pangeran Pratanu.
Pangeran ini sempat marah setelah tahu Bageno masuk Islam mendahuluinya. Tapi setelah
dijelaskan bahwa Sunan Kudus mewajibkannya masuk Islam sebelum mempelajari agama itu,
Pangeran Pratanu menjadi maklum.
Setelah ia sendiri masuk Islam dan mempelajari agama itu dari Empu Bageno, ia kemudian
menyebarkan agama itu ke seluruh warga Arosbaya. Namun ayahnya, Raja Pragalba, belum
tertarik untuk masuk Islam sampai ia wafat dan digantikan oleh Pangeran Pratanu.
Perkembangan Islam itulah yang dianut oleh pimpinan di Kabupaten Bangkalan ketika akan
menentukan hari jadi kota Bangkalan, bukan perkembangan kekuasan kerajaan di daerah itu.
Jauh sebelum Pangeran Pratanu dan Empu Bageno menyebarkan Islam, sejumlah kerajaan kecil
di Bangkalan.
Diawali dari Kerajaan Plakaran yang didirikan oleh Kyai Demang dari Sampang. Yang
diperkirakan merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit yang sangat berpengaruh pada saat itu.
Kyai Demang menikah dengan Nyi Sumekar, yang diantaranya melahirkan Raden Pragalba.
Pragalba menikahi tiga wanita. Pratanu adalah anak Pragalba dari istri ketiga yang dipersiapkan
sebagai putera mahkota dan kemudian dikenal sebagai raja Islam pertama di Madura. Pratanu
menikah dengan putri dari Pajang yang memperoleh keturunan lima orang :
•    Pangeran Sidhing Gili yang memerintah di Sampang.
•    Raden Koro yang bergelar Pangeran Tengah di Arosbaya, Raden Koro menggantikan
ayahnya
•    ketika Pratanu  wafat.
•    Pangeran Blega yang diberi kekuasaan di Blega.
•    Ratu Mas di Pasuruan dan Ratu Ayu.
Kerajaan Arosbaya runtuh diserang oleh Mataram pada masa pemerintahan Pangeran Mas pada
tahun 1624. Pada pertempuran ini Mataram kehilangan panglima perangnya, Tumenggung
Demak, beberapa pejabat tinggi kerajaan dan sebanyak 6.000 prajurit gugur.
Korban yang besar ini terjadi pada pertempuran mendadak pada hari Minggu, 15 September
1624, yang merupakan perang besar. Laki-laki dan perempuan kemedan laga. Beberapa pejuang
laki-laki sebenarnya masih bisa tertolong jiwanya. Namun ketika para wanita akan menolong
mereka melihat luka laki-laki itu berada pada punggung, mereka justru malah membunuhnya.
Luka di punggung itu menandakan bahwa mereka melarikan diri, yang dianggap menyalahi jiwa
ksatria. Saat keruntuhan kerajaan itu, Pangeran Mas melarikan diri ke Giri. Sedangkan Prasena
(putera ketiga Pangeran Tengah) dibawa oleh Juru Kitting ke Mataram, yang kemudian diakui
sebagai anak angkat oleh Sultan Agung dan dilantik menjadi penguasa seluruh Madura yang
berkedudukan di Sampang dan bergelar Tjakraningrat I. Keturunan Tjakraningrat inilah yang
kemudian mengembangkan pemerintahan kerajaan baru di Madura, termasuk Bangkalan.
Tjakraningrat I menikah dengan adik Sultan Agung. Selama pemerintahannya ia tidak banyak
berada di Sampang, sebab ia diwajibkan melapor ke Mataram sekali setahun ditambah beberapa
tugas lainnya. Sementara kekuasaan di Madura diserahkan kepada Sontomerto.
Dari perkawinannya dengan adik Sultan Agung, Tjakraningrat tidak mempunyai keturunan
sampai istrinya wafat. Baru dari pernikahannya dengan Ratu Ibu ( Syarifah Ambani, keturunan
Sunan Giri ), ia memperoleh tiga orang anak dan beberapa orang anak lainnya diperoleh dari
selirnya (Tertera pada Silsilah yang ada di Asta Aer Mata Ibu. Bangkalan berkembang mulai
tahun 1891 sebagai pusat kerajaan dari seluruh kekuasaan di Madura, pada masa pemerintahan
Pangeran Tjakraningrat II yang bergelar Sultan Bangkalan II. Raja ini banyak berjasa kepada
Belanda dengan membantu mengembalikan kekuasaan Belanda di beberapa daerah di Nusantara
bersama tentara Inggris.
Karena jasa-jasa Tjakraningrat II itu, Belanda memberikan izin kepadanya untuk mendirikan
militer yang disebut ‘Corps Barisan’ dengan berbagai persenjataan resmi modern saat itu. Bisa
dikatakan Bangkalan pada waktu itu merupakan gudang senjata, termasuk gudang bahan
peledak. Namun perkembangan kerajaan di Bangkalan justru mengkhawatirkan Belanda setelah
kerajaan itu semakin kuat, meskipun kekuatan itu merupakan hasil pemberian Belanda atas jasa-
jasa Tjakraningrat II membantu memadamkan pemberontakan di beberapa daerah.
Belanda ingin menghapus kerajaan itu. Ketika Tjakraningrat II wafat, kemudian digantikan oleh
Pangeran Adipati Setjoadiningrat IV yang bergelar Panembahan Tjokroningrat VIII, Belanda
belum berhasil menghapus kerajaan itu. Baru setelah Panembahan Tjokroadiningrat wafat,
sementara tidak ada putera mahkota yang menggantikannya, Belanda memiliki kesempatan
menghapus kerajaan yang kekuasaannya meliputi wilayah Madura itu.
Raja Bangkalan Dari Tahun 1531 – 1882
•    Tahun 1531 – 1592 : Kiai Pratanu (Panembahan Lemah Duwur)
•    Tahun 1592 – 1620 : Raden Koro (Pangeran Tengah)
•    Tahun 1621 – 1624 : Pangeran Mas
•    Tahun 1624 – 1648 : Raden Prasmo (Pangeran Cakraningrat I)
•    Tahun 1648 – 1707 : Raden Undakan (Pangeran Cakraningrat II)
•    Tahun 1707 – 1718 : Raden Tumenggung Suroadiningrat
•    •  (Pangeran Cakraningrat III)
•    •  Tahun 1718 – 1745 : Pangeran Sidingkap (Pangeran Cakraningrat IV)
•    Tahun 1745 – 1770 : Pangeran Sidomukti (Pangeran Cakraningrat V)
•    Tahun 1770 – 1780 : Raden Tumenggung Mangkudiningrat
•    (Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VI)
•    Tahun 1780 – 1815 : Sultan Abdu/Sultan Bangkalan I
•    •  (Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VII)
•    •  Tahun 1815 – 1847 : Sultan Abdul Kadirun (Sultan Bangkalan II)
•    Tahun 1847 – 1862 : Raden Yusuf (Panembahan Cakraadiningrat VII)
•    Tahun 1862 – 1882 : Raden Ismael (Panembahan Cakraadiningrat VIII)
* * * Asal Usul Kota Surabaya ***

Dahulu, hiduplah seekor baya atau buaya dan seekor sura (hiu) yang saling bermusuhan.
Kedua hewan yang sama-sama ganas, kuat, dan tangkas tersebut hampir setiap waktu
berkelahi, tetapi tidak ada yang kalah maupun menang. Meskipun perilaku kedua binatang buas
sebenarnya mengganggu ketenteraman, namun tak satu pun hewan yang berani menghentikan
pertikaian mereka. Pada suatu hari, si Baya dan si Sura (julukan buaya dan hiu) merasa bosan
karena mereka terus-terusan berkelahi. Dan akhirnya mereka bersepakat untuk berdamai.

Setelah keduanya berdamai, Lalu mereka mengambil keputusan untuk membagi


kekuasaan. “Aku sepenuhnya berkuasa di dalam air. Semua mangsa yang ada di dalam air
menjadi bagianku. Sementara kamu sepenuhnya berkuasa di daratan. Jadi, mangsamu hanya
yang berada di daratan,” usul Sura. Mendengar usul Si Sura, Si Baya pun setuju.

Sejak itulah, si Baya dan si Sura tidak pernah lagi berkelahi. Binatang-binatang lain yang
ada di sekitar mereka pun hidup tenteram dan damai. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung
lama. Gara-garanya adalah Si Sura beberapa kali mencari mangsa di sungai, bukan di laut. Suatu
hari, ketika si Sura mencari mangsa di sungai, si Baya akhirnya memergokinya. Tentu saja si
Baya marah sekali melihat perilaku Si Sura.

“Siapa yang melanggar perjanjian? Hai, Baya, apakah kamu ingat isi perjanjian kita dulu bahwa
akulah yang berkuasa di wilayah air? Bukankah sungai ini juga ada airnya?” kata si Sura.

Mendengar pernyataan si Sura, si Baya menjadi kesal dan bersikeras untuk mempertahankan
wilayah kekuasaannya.

Karena merasa tertipu, si Baya membatalkan perjanjian tersebut dan menantang si Sura
untuk saling mengadu kekuatan. Akhirnya, pertarungan sengit pun terjadi kembali antara kedua
binatang itu. Mereka bertarung mati-matian untuk mempertahankan wilayah mereka.
Terkaman dan gigitan dalam pertarungan tersebut terus terjadi, luka di antara kedua binatang
itu pun telah keluar. Air sungai yang semula jernih pun langsung berubah menjadi merah akibat
darah yang keluar dari luka mereka. Dan pada detik – detik terakhir si Baya terus berupaya
melakukan perlawanan. Usahanya tidak sia-sia dan ia berhasil menggigit ekor si Sura hingga
hampir terputus. Si Sura pun menjerit kesakitan lalu melarikan diri menuju lautan.

Si Baya merasa bahagia karena berhasil mempertahankan wilayah kekuasaannya. Untuk


mengenang peristiwa tersebut, masyarakat setempat memberi daerah tersebut nama
“Surabaya”, yaitu diambil dari gabungan kata Sura dan Baya. Oleh pemerintah setempat, ikan
Sura dan Buaya dijadikan lambang kota Surabaya dan cerita tersebut menjadi cerita rakyat
Surabaya hingga kini.

Sejarah Terbentuknya Provinsi Jawa Tengah


Provinsi Jawa Tengah dibentuk sejak zaman Hindia Belanda. Hingga tahun 1905, Jawa Tengah
terdiri dari 5 wilayah atau gewesten, yaitu Semarang, Rembang, Kedu, Banyumas, dan
Pekalongan.

Pada saat itu, Surakarta masih merupakan daerah swapraja kerajaan (vorstenland) yang berdiri
sendiri dan terdiri dari dua wilayah, yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran.
Setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit tahun 1905, gewesten diberi hak otonomi dan
dibentuk Dewan Daerah. Selain itu juga dibentuk kotapraja atau gemeente yang otonom, yaitu
Pekalongan, Tegal, Semarang, Salatiga, dan Magelang.

Sejak tahun 1930, Provinsi Jawa Tengah ditetapkan sebagai daerah otonom yang juga memiliki
Dewan Provinsi atau provinciale raad. Provinsi Jawa Tengah terdiri atas beberapa karesidenan,
yang meliputi beberapa kabupaten, dan dibagi lagi dalam beberapa kawedanan. Provinsi Jawa
Tengah terdiri atas 5 karesidenan, yaitu: Pekalongan, Jepara-Rembang, Semarang, Banyumas,
dan Kedu.

Setelah kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1946 pemerintah Indonesia membentuk daerah
swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran, dan dijadikan karesidenan. Pada tahun 1950, melalui
undang-undang ditetapkan pembentukan kabupaten dan kotamadya di Jawa Tengah yang
meliputi 29 kabupaten dan 6 kotamadya. Penetapan undang-undang ini kemudian diperingati
sebagai hari jadi Provinsi Jawa Tengah, yaitu tanggal 15 Agustus 1950.
Sejarah & Asal Usul Jawa Barat
Pada abad ke-5, Jawa Barat merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti
peninggalan Kerajaan Tarumanagara banyak tersebar di Jawa Barat. Setelah runtuhnya
Kerajaan Tarumanagara akibat serangan Kerajaan Sriwijaya, kekuasaan di bagian barat Pulau
Jawa dari Ujung Kulon sampai Kali Ciserayu dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda, yang beribukota di
Pakuan Pajajaran (sekarang Kota Bogor).

Pada abad ke-16, pelabuhan Cirebon lepas dari Kerajaan Sunda dan menjadi Kesultanan
Cirebon. Pun demikian dengan pelabuhan Banten yang menjadi Kesultanan Banten. Dari tahun
1567 sampai 1579, di bawah pimpinan Prabu Surya Kencana, Kerajaan Sunda mengalami
kemunduran besar. Ini juga dikarenakan tekanan Kesultanan Banten. Setelah tahun 1576,
Kerajaan Sunda tidak dapat mempertahankan ibu kota Kerajaan Sunda, Pakuan Pajajaran yang
jatuh ke tangan Kesultanan Banten. Zaman pemerintahan Kesultanan Banten, wilayah Priangan
jatuh ke tangan Kesultanan Mataram.

Nama Jawa Barat mulai digunakan pada tahun 1925, ketika pemerintah Hindia Belanda
membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi ini sebagai pelaksanaan
Bestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan
daerah provinsi. Sebelum tahun 1925 digunakan istilah Soendalanden (Tatar Soenda) atau
Pasoendan.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Jawa Barat bergabung menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Pada tanggal 27 Desember 1949, Jawa Barat menjadi Negara Pasundan yang merupakan salah
satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat sebagai hasil dari Konfererensi Meja Bundar
(KMB). Namun, Jawa Barat kembali bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1950.

Asal Usul Tanah Jawa Dan Aksara Jawa


Dimulai pada masa kerajaan Medang Kamulyan yang saat itu dipimpin oleh seorang raja
bernama Prabu Dewata Cengkar. Pada suatu ketika sang prabu meminta kepada juru masak
kerajaan untuk memasak gulai kambing. Pada saat memakan gulai tersebut, Prabu Dewata
Cengkar terkejut saat mengunyah sebuah tulang kecil dibalut daging. Rasanya sangat enak dan
berbeda dengan tulang lainnya yang terdapat dalam gulai tersebut. 

Kemudian dia memanggil sang juru masak dan menanyakan tulang lezat yang barusan dia
makan. Namun sang juru masak tidak mau mengatakannya, sampai akhirnya Prabu Dewata
Cengkar marah dan mengancam akan membunuh juru masak itu jika tidak mau mengatakan  asal
usul tulang yang dia makan. Karena takut sang juru masak pun menjawab yang ternyata tulang
tersebut adalah jari telunjuknya yang teriris saat memotong tulang kambing.
Dengan tertawa terbahak bahak Prabu Dewata Cengkar memanggil pengawalnya,..
“Pengawal,...tangkap juru masak,...ikat dia,..cincang tubuhnya dan masak dia!” 

Akhirnya tubuh sang juru masak benar benar dimasak sang prabu, karena dia merasakan sensasi
kelezatan luar biasa yang belum pernah dia rasakan pada masakan sebelumnya. Hal tersebut
menjadikan Prabu Dewata Cengkar ketagihan masakan daging manusia. Berita menyebar,..warga
ketakutan dan mulai meninggalkan Medang Kamulyan karena kebiasaan raja mereka yang
mengerikan.

Kejadian ini membuat kahyangan gempar dan mengusik Aji Saka untuk segera turun
memberikan pelajaran pada Prabu Dewata Cengkar. Aji saka menyamar menjadi seorang
pemuda yang gagah dan tampan didampingi dua abdi setianya Dora dan Sembodo. Aji Saka
melepas pakaiannya sebelum berangkat ke Medang Kamulyan dan berpesan kepada Sembodo
agar menjaga pakaian yang menjadi pusaka miliknya dan tidak memberikannya pada siapapun
kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya.

Aji Saka berangkat bersama Dora menuju kekerajaan Medang Kamulyan untuk menemui Prabu
Dewata Cengkar untuk memastikan kabar berita adanya seorang raja yang suka memakan daging
manusia. 

Ternyata benar, begitu sampai didepan istana Aji Saka ditangkap dan Prabu Dewata Cengkar
menyuruh pengawalnya untuk memasak tubuh Aji Saka. Aji Saka bersedia dimasak tapi dia
mengajukan sebuah permintaan. Dia meminta agar raja memberikannya sejengkal tanah sesuai
ukuran badannya untuk mengubur bagian tubuhnya yang tidak dimakan oleh raja . Dengan
sombong raja berkata “Ha,..ha,..ha,.. jangankan sejengkal, kamu minta satu alun alun pasti akan
kuturuti permintaanmu!” Aji Saka lalu merebahkan tubuhnya ditanah dan meminta sang raja
untuk mengukur panjang tubuhnya.

Prabu Dewata Cengkar mulai mengukurnya dari ujung rambut akan tetapi sudah seharian dan
hampir seluas kerajaan belum juga sampai pada ujung kaki Aji Saka karena kesaktiannya.
Sampai akhirnya sang raja sampai di jurang dekat lautan dan karena lengah Prabu Dewata
Cengkar terjatuh dan menemui ajalnya. 
Aji Saka berhasil membunuh raja Medang Kamulyan dan memberitahukan kabar berita ini
keseluruh negri. Rakyat yang mendengar berita tersebut berbondong bondong kembali ke
Medang Kamulyan. Karena raja mereka telah mati akhirnya rakyat mengangkat Aji Saka sebagai
raja mereka. Aji Saka menerimanya dan memberi nama Tanah Jawi (Jawa) untuk kerajaan
barunya.

Aji Saka teringat pusaka yang dititipkan kepada Sembodo abdi setianya sebelum berangkat. Dia
menyuruh Dora untuk mengambil pakaian yang merupakan pusakanya tersebut. Dora berangkat
menemui Sembodo akan tetapi Sembodo tidak mau memberikan pusaka itu karena teringat pesan
Aji Saka tuannya untuk tidak memberikan pada siapapun kecuali Aji Saka sendiri yang
mengambilnya. Terjadilah pertengkaran sengit karena Dora tidak mau pulang dengan tangan
kosong. Sampai akhirnya perkelahian tidak terhindarkan demi menjaga amanat masing masing. 
Aji Saka mulai gelisah karena abdinya tak kunjung datang, dan diapun pergi untuk menyusulnya.
Sesampainya disana, Aji Saka terkejut melihat kedua abdi setianya sudah menjadi mayat. Dia
tersadar telah memberi pesan kepada Sombodo untuk menjaga pakaiannya dan pada Dora untuk
mengambilnya. Sedih dan kalut menyelimuti jiwa Aji Saka sampai akhirnya dia berteriak dengan
suara yang aneh dan terdengar sangat keras keseluruh negeri sampai mengguncang kahyangan.

Rakyat berdatangan menuju lokasi suara dan melihat raja mereka berada disana sambil terus
berteriak aneh. Seorang rakyat bertanya pada raja mereka ada apa dengan Aji Saka hingga dia
begitu kalut dan sedih sampai berteriak seperti itu.

Aji Saka bangkit dan menjelaskan teriakannya yang berbunyi :


“Hana Caraka, Data Sawala, Pada Jayanya, Maga bathanga” yang memiliki arti “Dua utusan
yang saling berselisih sama kuatnya inilah mayatnya” yang sekarang menjadi aksara jawa yang
kita kenal. Dia juga berpesan kepada rakyatnya untuk selalu mengingatnya karena saat itu adalah
saat paling Kalut untuk Tanah Jawa.

Anda mungkin juga menyukai