Anda di halaman 1dari 17

Sejarah Sampang madura

diposting oleh hoirul-umam-fib12 pada 25 September 2013


di Umum - 0 komentar

Jauh sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan ke daratan Madura, sekitar abad ke 7 M atau


tepatnya pada tahun 835 M, di wilayah Kabupaten Sampang sudah ditemukan adanya
komunitas masyarakat. Komunitas ini masih belum berstruktur dan masih berupa padepokan
agama Budha dengan seorang resi sebagai titik sentralnya.
Menurut Drs Ali Daud Bey, salah seorang ahli sejarah di Sampang, hal ini dapat diketahui
lewat temuan Candra Sangkala di situs sumur Daksan, Kelurahan Dalpenang, Sampang
oleh para pakar sejarah dan arkeologi dari Mojokerto dan UGM Yogyakarta, yang dibantu
oleh para pini sepuh dan ahli sejarah dari Sampang sendiri.
Tetapi sayangnya, menurut Daud, keberadaan Candra Sangkala yang menjadi pride
(kebanggaan) masyarakat Sampang tersebut, tidak didukung oleh adanya temuan prasasti
yang menggambarkan aktivitas masyarakat saat itu, sehingga tidak banyak memberikan
informasi yang cukup berarti mengenai kondisi dan situasi yang terjadi pada waktu itu.
Namun, berdasarkan tulisan-tulisan para ahli sejarah dan kepurbakalaan Belanda, yang
sampai saat ini masih dijadikan referensi oleh para pakar sejarah dan arkeologi Indonesia,
terungkap beberapa aktivitas masyarakat pada masa kurun waktu yang terdapat pada Candra
Sangkala tersebut.
Candra Sangkala yang ditemukan di situs sumur Daksan Kelurahan Dalpenang tersebut
berbunyi: Kudok Alih Ngrangsang Ing Buto, artinya Kudok = 7 Alih = 5 Ngrangsang = 7 Ing
= tahun dan Buto = tahun Caka. Berarti, 757 tahun Caka atau sama dengan 835 M.
Menurut para pakar sejarah, komunitas masyarakat seperti ini terjadi pada masa pemerintahan
Dinasti Cailendra abad ke 7 M. Waktu itu komunitas masyarakatnya tidak berstruktur,

berkelompok menjadi satu padu, dan biasanya dipimpin oleh seorang resi yang dijadikan
sebagai titik sentral dalam mengajarkan agama Budha kepada anggota kelompoknya. Candra
Sangkala yang lain, ternyata juga ditemukan di situs bujuk Nandi, Desa Kemuning,
Kecamatan Kedundung, Sampang. Situs itu berbunyi: Nagara Gata Bhuwana Agong, artinya
Nagara = 1 Gata = 3 Bhuwana = 0 Agong = 1. Berarti, 1301 tahun Caka atau sama dengan
1379 M.
Candra Sangkala yang ditemukan di situs bujuk Nandi ini menunjukkan paduan kelompok
masyarakat yang menganut agama Syiwa. Mereka biasanya membangun pusat
peribadatannya berbentuk candi, dengan lambang nandi atau lembu sebagai kendaraan raja
Syiwa yang diagungkan. Sedangkan resinya, bernama Durga Mahesasura Mardhini, jelas Ali
Daud Bey.
Komunitas masyarakat seperti ini, menurut para pakar sejarah, terjadi pada masa
pemerintahan Daha dan Kediri abad 12 M. Pada waktu itu, komunitas masyarakatnya sudah
berstruktur namun tidak jelas, karena tidak ditemukan referensi pendukung secara tertulis
seperti prasasti. Tetapi, yang berhasil ditemukan hanya Sangkala Memet yang
menunjukkan adanya padepokan agama Syiwa dan Budha, sekitar tahun 1379 M sampai
1383 M.
Kejayaan Mojopahit Sampai Masa Kekuasaan Mataram
Pada saat Kerajaan Mojopahit sedang mengalami masa kejayaannya, pengaruh keberadaan
kerajaan yang terletak di Kabupaten Mojokerto itu terekam di Sampang. Ini bisa dilihat dari
ditemukannya Candra Sangkala di situs Pangeran Bangsacara Takobuh, Kelurahan Polagan
Sampang. Candra Sangkala tersebut, berupa angka 1305 tahun Caka yang tertoreh di sebuah
batu berukir, yang berarti sama dengan tahun 1383 M. Angka tersebut menandakan tahun
berdirinya sebuah candi Budha dengan relief rangkaian cerita Pangeran Bangsacara
Ragapadmi. Isinya sarat dengan pesan-pesan pendidikan moral dan agama.
Menurut para pakar sejarah, komunitas masyarakat seperti ini sudah mulai berstruktur
walaupun statusnya mudah sekali berubah-ubah. Biasanya diawali dengan Kamituwo, lalu
menjadi Kademangan, setelah itu berubah menjadi Padukuhan, dan akhirnya berubah menjadi
sebuah Kerajaan.
Sedangkan referensinya masih berupa pitutur lisan, tetapi sudah ada yang sebagian sempat
menulis pada generasi kelima setelah komunitas tersebut atau sekitar 300 tahun setelahnya.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah, raja Madura pertama yang sempat memerintah saat itu
adalah Ario Lembu Peteng sekitar abad 14 M. Dia adalah putra dari Prabu Brawijaya V
(Stamboom Van Het Geslachi Tjakra Adi Ningrat, hal 79). Lalu, berturut-turut kerajaan
Madura diperintah oleh Ario Menger, Ario Patikal, Nyai Ageng Boedo dan yang terakhir
adalah Kiai Demong sekitar tahun 1531 M.
Saat pemerintahan dipegang oleh Kiai Demong, sekitar tahun 1531-1623 M, istana kerajaan
Madura yang awalnya berada di Madegan Polagan Sampang, dipindah ke Pelakaran
Arosbaya Bangkalan. Tetapi, sekitar tahun 1623 M ketika Madura berhasil ditaklukkan oleh
kerajaan Mataram, istana kerajaan dipindahkan kembali ke Madegan Polagan Sampang.

Menurut bukti-bukti sejarah, kiai Demong merupakan salah satu raja-raja keturunan
Majapahit yang sudah memeluk agama Islam. Ia adalah kakek dari Panembahan Lemah
Duwur (1531-1592), yang kemudian dikenal sebagai pendiri masjid Madegan Polagan
Sampang, yang sampai saat ini masih dikramatkan oleh sebagian besar masyarakat, sehingga
sering dijadikan tempat melakukan sumpah pocong oleh hampir semua kalangan.
Panembahan Lemah Duwur dikenal sebagai seorang raja yang berjasa meletakkan dasardasar kepemimpinan Islam di Madura, khususnya di Kabupaten Sampang. Ia adalah ayah dari
Pangeran Tengah (1592-1621) yang beristerikan Ratu Ibu I, yang sampai saat ini makamnya
berada di makam raja-raja Madegan Polagan Sampang.
Sedangkan Pangeran Tengah adalah ayah dari Raden Praseno yang dikenal sebagai Pangeran
Cakraningrat I (1624-1648), yang juga menantu kesayangan dari Sultan Agung. Sebab, selain
beristrikan Ratu Ibu II, salah satu puteri Sultan Agung, ia merupakan salah seorang panglima
perang Mataram yang sangat handal, sehingga ia dimakamkan di makam raja-raja Imogiri
Yogyakarta.
Sementara itu, Candra Sangkala lain juga ditemukan di situs Pangeran Santomerto. Candra
Sangkala itu menunjukkan tahun Caka wafatnya Pangeran Santomerto yang juga dikenal
sebagai paman Raden Praseno, yang mengasuhnya sejak kecil setelah Pangeran Tengah
(ayahanda R. Praseno) gugur dalam pertempuran. Candra Sangkala ini berupa kayu berukir
angka dengan memakai hurup Arab yang menunjukkan tahun Caka 1496 atau sama dengan
tahun 1574 M.
Raden Praseno Jadi Pijakan Hari Jadi Kota Sampang
Candra Sangkala kelima adalah Candra Sangkala yang terukir di daun pintu sebelah kiri pada
Gapura Agung makam Ratu Ibu I yang ada di Madegan Kelurahan Polagan, Sampang.
Candra Sangkala ini berupa relief berbentuk ulang naga yang terpanah tembus dari kepala
sampai ekor. Pakar sejarah membaca Naga Kapanah Titis Ing Midi sebagai angka 1546 Caka
atau sama dengan 1624 M.
Ratu Ibu I adalah istri Pangeran Tengah. Dia juga ibu kandung Raden Praseno. Sedangkan
angka tahun 1624 M menandakan tahun diangkatnya Raden Praseno oleh Sultan Agung
menjadi Raja Mataram pertama yang berkuasa di wilayah Madura Barat dengan gelar
Cakraningrat I yang memerintah dari tahun 1624 M sampai 1648 M. Berdasarkan bukti-bukti
sejarah, pengangkatan Raden Praseno menjadi raja Madura Barat dinobatkan langsung oleh
Sultan Agung pada tanggal 12 Robiul Awal 1045 H atau bertepatan dengan tanggal 23
Desember 1624 M. Prosesi penobatannya, dilakukan bertepatan dengan acara Grebek
Maulid sebagai acara sakral keagamaan setiap tahun yang selalu diadakan di lingkungan
Keraton Surakarta. Biasanya dalam acara ini, dilakukan kirab pusaka kerajaan dan pejabatpejabat keraton yang akan dipromosikan menjadi penguasa di suatu daerah.
Menurut salah seorang ahli sejarah di Sampang Drs. Ali Daud Bey, di dalam beberapa
literatur karya para sejarawan Belanda, di antaranya P. Cakraningrat Vorstenhuis van Madura
maupun Madura en Zyn Vorstenhuis, memang banyak disebutkan peristiwa-peristiwa
kesejarahan kerajaan Madura Barat yang ada di kota Sampang.
Berdasarkan literatur itu, akhirnya kita bisa mengetahui bahwa momentum pengangkatan
Raden Praseno menjadi raja Mataram di wilayah Madura Barat, merupakan tonggak sejarah

berdirinya sebuah pemerintahan pertama yang sah secara yuridis dan de fakto menurut
hukum ketatanegaraan. Sehingga, sampai saat ini tanggal 23 Desember tersebut ditetapkan
sebagai hari jadi kota Sampang, jelas Daud.
Selain menjadi raja di Madura Barat, ternyata Cakraningrat I juga diangkat oleh Sultan
Agung menjadi panglima perang Kerajaan Mataram, serta diambil menantu dikawinkan
dengan seorang putrinya yang bernama Ratu Ibu II. Dalam menjalankan tugas-tugasnya
menjadi seorang panglima perang, Cakraningrat I dibantu oleh salah seorang putranya dari
selir, yaitu Raden Maluyo yang dikenal sebagai ayah dari Pangeran Tronojoyo.
Ketika Cakraningrat I yang dibantu R. Maluyo sedang melaksanakan tugas dari Sultan Agung
guna memerangi pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh Pangeran Alit, kedua
panglima perang Mataram ini akhirnya gugur di medan pertempuran dan dimakamkan di
makam raja-raja Mataram di Imogiri Surakarta.
Sebagai cucu dari Cakraningrat I atau putra dari Raden Maluyo, menurut urutan garis
keturunan kerajaan Madura Barat, sebenarnya Pangeran Tronojoyo paling berhak meneruskan
dinasti kerajaan Pangeran Cakraningrat I (kakeknya). Namun, karena ambisi dari Raden
Undagan (Cakraningrat II) yang dibantu penuh oleh pihak Belanda saat itu, akhirnya tatanan
dinasti Cakraningrat hancur dan Pangeran Tronojoyo tersingkir dari singgasana kerajaan.
Tronojoyo Memberontak, Kerajaan Dipindah ke Bangkalan
Naiknya Raden Undagan menjadi Raja Madura Barat dengan gelar Pangeran Cakraningrat II
(1648-1707 M), ternyata tidak lepas dari campur tangan dan politik devide et impera penjajah
Belanda. Intervensi Belanda dalam masalah intern pemerintahan Kerajaan Mataram terjadi
setelah kekuasaan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Setelah Sultan Agung mangkat sekitar
abad 16 M, tampuk kekuasaan Kerajaan Mataram ternyata tidak diserahkan kepada menantu
kesayangan Sultan yaitu Pangeran Cakraningrat I, tetapi justru diserahkan kepada Sunan
Amangkurat I, adik ipar Sultan Agung sendiri. Sedangkan berdasarkan bukti-bukti sejarah,
Sunan Amangkurat I ini dikenal sebagai Raja Mataram yang mau bersekutu dengan penjajah
Belanda.
Sehingga, ketika Pangeran Cakraningrat I dan Raden Maluyo, ayahanda Pangeran Tronojoyo,
gugur di medan pertempuran membela kedaulatan Mataram saat terjadi pemberontakan oleh
Pangeran Alit, ternyata Sunan Amangkurat I memilih mengangkat Raden Undagan yang juga
paman Pangeran Tronojoyo sebagai raja di Madura Barat dengan gelar Cakraningrat II.
Padahal, bardasarkan garis keturunan kerajaan Madura Barat, sebenarnya Pangeran
Tronojoyo paling berhak meneruskan dinasti kerajaan kakeknya Pangeran Cakraningrat I.
Namun, karena ambisi kedua kakek dan pamannya ini serta politik devede et impera yang
dilakukan Belanda, akhirnya Pangeran Tronojoyo tersingkir dari kursi singgasana Kerajaan
Madura Barat.
Akhirnya, Pangeran Tronojoyo pun melakukan pemberontakan. Ini terjadi sekitar tahun 1648
M. Pangeran Cakraningrat II lalu memindahkan kembali istana Kerajaan Madura Barat dari
Madegan, Kelurahan Polagan, Sampang ke Desa Pelakaran, Arosbaya, Bangkalan. Karena
pada saat itu, pasukan Pangeran Tronojoyo yang tidak mau bekerja sama dengan penjajah
Belanda berhasil membumihanguskan istana kerajaan di Madegan.
Sejak saat itulah, sejarah keberadaan dinasti Kerajaan Madura Barat yang pernah mengalami
masa kejayaannya di Madegan, Polagan, Sampang mulai memudar, bahkan menghilang.

Ditambah lagi, setelah Pangeran Tronojoyo gugur dalam medan pertempuran melawan
kebatilan yang dilakukan kedua kakek dan pamannya serta mengusir penjajah Belanda dari
bumi pertiwi.
Menurut ahli sejarah Sampang Drs Ali Daud Bey, sampai saat ini silsilah keturunan Pangeran
Tronojoyo yang dilahirkan di Kampung Pebabaran Rongtengah, Sampang ini, belum
ditemukan. Karena dari buku-buku literatur para pakar sejarawan Belanda, tidak ada satu pun
yang menulis tentang perjuangan Pangeran Tronojoyo dalam melakukan pemberontakan
mengusir penjajah Belanda dari daerah kekuasaan Mataram.
Setelah abad 17 M, status Kabupaten Sampang menjadi sebuah daerah Kadipaten, dengan
Adipatinya masing-masing, R. Temenggung Purbonegoro, R. Ario Meloyokoesuma (Reight
Besfuurder Gebheid). Dan sejak 15 Januari 1885 dipimpin oleh Adipati R. Temenggung Ario
Koesuma Adiningrat (Zelfstending).
Lalu, berturut-turut dipimpin oleh R. Temenggung Ario Candranegoro, R. Adipati Ario
Secodiningrat, R. Ario Suryowinoto, dan R. Temenggung Kartoamiprojo. Sedangkan pada
tahun 1929- 1931 M dipimpin oleh R. Ario Sosrowinoto. Sebelum akhirnya pada sekitar
tahun 1931-1949 M, Kadipaten Sampang menjadi sebuah daerah Kawedanan di wilayah
Kabupaten Pamekasan.
sumber : http://www.sampangkab.go.id/sites/page/dokumen/39
SEJARAH PAMEKASAN-MADURA (PANEMBAHAN
RONGGOSUKOWATI)
A. Sejarah Awal Munculnya Kerajaan di Madura
Pada zaman dahulu, konon Raja Majapahit mengangkat salah seorang putranya
menjadi Kammi Tuwo di pesisir Madura, yakni di Kabupaten sampang yang di kenal dengan
nama Ki Ario Lembu Peteng.
Dalam Babad Madura disebutkan bahwa Ki Ario Lembu Peteng inilah yang
menurunkan Raja-raja di madura bagian Barat, Ki Aio Lembu Peteng yang beragama budha
kemudian masuk islam dan wafat di Ampel sebelum mengislamkan putra-putranya.
Sebagai gantinya di angkatlah putranya yang bernana Ario Menger menjadi Kami
Tuwo, dan semasa hidup ayahnya, adiknya yang bernama Ario Mengo diperintah untuk
membabat hutan di sebelah timur Madegan. Oleh karena itu, ia bersama pengikutnya

menyusuri selat madura bagian selatan karena jalan itulah yang mereka aggap paling aman
dari binatang buas.
Di suatu tempat, rombongan Ki Ario Mengo beristirahat, karena tempat yang di
singgahi cukup bagus, pepohonan rindang, sejuk, dan terdapat mata air. Timbullah keinginan
untuk menetap di situ, kemudian Ki Ario Mengo memeritahkan pengikutnya untuk membabat
hutan adan menyuruh pengikutnya untuk membangun rumah dan pagar, yang pintunya
terletak di sebelah utara (daja bahasa madura). Demikianlah berdiri keraton kecil yang di beri
nama keraton lawangan daya.
Keraton itu semakin lama semakin maju, akhirnya melebihi tempat kelahirannya
sendiri, karena Ki Ario Mengo dapat memimpin rakyatnya dengan adi dan bijaksana,
sehingga rakyat makmur dan tertur. Masyarakat yang bertempat tinggal di dekat keraton pun
berduyun-menghadap untuk mengabdi kepadanya, demikian pula di antara keluarganya yang
tinggal di madegan berdatangan dan menetap di Keraton Lawangan Daya.
B. Asal Nama Kota Pamekasan.
Ki Ario Mengo memiliki seorang putri tunggal yang bernama Nyi Banu. Mia tumbuh
menjadi putri yang cerdas dan rupawan, setelah ayahnya wafat, Nyi Banu naik tahta dengan
gelar Ratu Pawelingan atau Ratu Pawekasan, karena ia merupakan satu-satunya putri yang
menggantikan ayahhandanya, sehingga membuat nama dan keratonya menjadi mashur, dan
akhirnya keraton tersebut di kenal dengan nama keraton pamekasan.
Syahdan menceritakan bahwa penggantian nama pawelingan menjadi pamekasan
berasalo dari cerita Kek Lesap, sebenarnya ia adalah putra selir Pangeran Cakraningrat V,
yaitu Raja Bangkalan. Akan tetapi ia tidak di akui sebagai anak kandungnya, akan tetapi dia
tetap memaksakan dirinya untuk mengabdi kepada ayahnya menjadi tukang kuda keraton
yang setiap hari harus menyiapkan kuda untuk kompeni belanda.

Akan tetapi Kek Lesap tidak menyukai kerja sama yang di lakukan oleh ayahandanya
dengan belanda sehingga dia pergi meninggalkan keraton untuk mengaji, oleh karena ia anak
yang cerdas, maka dia di jadikan pembantu oleh kiainya. Pengalam pahitnya ketika di keraton
dan kebenciannya terhadap belanda, akhirnya ia bertapa ke gunung Geger di daerah
Arosbaya, setelah lama di sana ia pindah ke gunung Payudan di daerah Guluk-guluk
Sumenep. Di tempat baru inilah berbulan-bulan ia tidak keluar, ia menyatukan diri dengan
Yang Maha Pencipta dengan jalan melupakan makan, minum dan tidur.
Kek Lesap kemudian memiliki kekuatan batin dan memperoleh senjata ampuh berupa
celurit kecil yang di beri nama Kodhi Crangcang. Yang dengan senjata itu dia tidak takut
untuk melawan belanda yangtelah menguasai bupati di daerah madura, dan dia tidak merasa
hawatir untuk melawan senjata milik ayahnya.
Setelah Kek Lesap turun dari pertapaanya, ia mempengaruhi pendduk Gulu-guluk dan
sekitarnya untuk melawan kompeni belanda dan keraton sumenep, mendebgan maksud Kek
Lesap itu, Raden Alza yang bergelar Pangeran Cokro ningrat III, yakni Raja Sumenep hawatir
untuk melawanyan, dia lari meloloskan diri untuk meminta bantuan kepada kompeni belanda
di surabaya.
Di sumenep tidak ada perlawan, sehingga Kek Lesap dapat menguasai keraton sumenep
dengan mudah, peristiwa itu terjadi pada tahun 1750. Dari laporan Raden Alza tersebut,
kemudia Kompeni belanda mempersiapkan pasukannya di madura barat.
Dari sumenep Kek Lesap pergi ke arah barat, kebetulan bupatinya (Adikoro IV)sedang
pergi melaporkan ke semarang dan dalam perjalanan pulang dia singgah di rumah mertuanya
(Cakraningrat V). ia hanya memberi pesan kepada patihnya untuk diberitahukan bahwa
daerah kekuasaan Radel Alza telah di tahlukkan. Dari pesan inilah agaknya kata Pawekasan
menjadi Pamekasan.

C. Keraton Mandilaras
Setelah pangeran Lendhu wafat, hampir seluruh rakyat pamekasan sudah memeluk
islam, kemudian Pangeran Ronggosukowati naik tahta pada tahun 1530. Untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, beliau merekontruksi kota pamekasan hingga setaraf dengan kotakota yang lain, hasil karyanya yaitu:
1.

Keraton

Mandilaras

dan

gedung

Pemerintahan,

sejak

pemerintahan

Pangeran

Ronggosukowati inilah terbentuknya suatu pemerintahan yang terorganisir, tertib dan teratur.
2. Masjid jamik sebagai tempat peribadatan.
3. Tangsi (asrama) Prajurit di sebelah timur keraton, sebagai tempat pendidikan para pemuda
dan calon prajurit yang tangguh.
4. Rumah Penjara yang tempatnya agak jauh dari keraton.
5. Jalan silang di tengah-tengah kota Pamekasan, dan di sebelah timurnya ada kebun Raja.
6. Makam umum yang berada sebelah utara agak jauh di belakang keraton.
7. Kolam ikan yang diberi nama Si Kool.
Dengan adanya keraton Mandilaras tersebut Pamekasan menjadi semakin mashur,
banyak masyarakat yang mengagung-agungkan keindahan ndan kemegahannya,
Selain itu Pangeran Ronggosukowati memiliki keris yang sangat ampuh, yang konon
menurut salah satu sumber lisan menyebutkan bahwa keris tersebut merupakan pemberian
dari mahluk ghaib (sebangsa jin), dalam sebuah riwayat bahwa Pangeran Ronggosukowati
selama tujuh hari kedatangan pemuda yang membawa bagian-bagian keris, pemuda tersebut
tidak mau menyebutkan nama dan tempat asalnya, setelah pemuda tersebut selesai
memberikian bagian keris kepada Pangeran, pemuda tersebut langsung menghilang.

Setelah bagian keris tersebut terkumpul, Pangeran Ronggo sukowati memanggil


seorang empu keris yang tersohor untuk merakit bagian-bagian keris itu, setelah selesai
terbentuklah sebilah keris yang berpamor tunggal kukus yang di beri nama keris Joko
Piturun.
Menurut keteran salah seorang juru kunci pemakaman ronggosukowati, bapak H. Tahir
menyebutkan, bahwa keris itu terbang mendatangi makam panembahan Ronggosukowati
pada malam hari tiap waktu tertentu kembali ketika henda fajar. Menurutnya, bahwa dahulu
keraton dari bangkalan berniat untuk menjajah kota pamekasan, dalam artian keraton
bangkalan ingin mengambil keris Joko Piturun yang merupakan paku bumi Pamekasan, Akan
tetapi tidak berhasil. Sehingga menyebabkan pangeran Lemah Duwur meninggal.
Menurut keterangan lain, wafatnya pangeran Lemah Duwur dikarenakan kesalah
fahaman dengan Pangeran Ronggosukowati.
ketika Pangeran Lemah Duwur pergi berkunjung ke keraton mandilaras, di sana beliau
dan pengikutnya di sambut dengan sangat baik, Pangeran Lemah Duwur yang masih
memiliki hubungan kekeluargaan dengan Pangeran Ronggosukowati. Pergi berkeliling
keraton untuk melihat kemegahan keraton mandilaras.
Setelah agak lama berada di Pamekasan, karena perjalan kembali cukup jauh, maka
keluarga Keraton mempersilahkan rombongan Pangeran Lemah Duwur untuk bermalam di
pamekasan, Pangeran Ronggosukowati mempersilahkan rombongan tersebut beristirahat di
pesanggrahan yang letaknya tidak jauh dari kolam si Kool.
Karena hanya kolam itu yang belum di lihat oleh Pangeran Lemah Duwur, kemudian ia
mengajak rombongannya untuk melihat kolam itu tanpa sepengetahuan Pangeran
Ronggosukowati karena beliau masih ada dalam keraton,

Sesampainya di kolam tersebut beliau meminta izin kepada penjaganya untuk masuk
melihat-lihat, akan tetapi penjaganya tidak memperbolehkan masuk tanpa izin dari Pangeran
Ronggosukowati.
Kemudian penjaganya tersebut pergi menemui Pangeran Ronggosukowati yang ada di
keraton untuk meminta izin, tapi Pangeran masih tertidur, sehingga penjaganya merasa
sungkan untuk membangunkannya, karena menunggu sangat lama, Pangeran Lemah Duwur
merasa bahwa Pangeran Ronggosukowati tidak mengizunkannya untuk masuk ke kolanm itu,
akhirnya rombongan tersebut pulang tanpa sepengatuhan Pangeran Ronggosukowati.
Pangeran Ronggosukowati marah dan kecewa langsung menghunuskan kerisnya karena
merasa hal itu merupakan suatu penghinaan, kemudian Pangeran Ronggosukowati segera
bergegas menyusulnya, di tengah perjalan Pangeran Ronggosukowati bertemu dengan
adiknya yang menjadi adipati sampang. beliau memberitahukan maksudnya kepada adipati
Madegan, kemudian adipati tersebut menyarankan agar Pangeran Ronggosukowati
mengurungkan niatnya dan beristihahat di Madegan.
Karena ia menuruti nasehat adiknya, Beliau hanya menusukkan kerisnya pada pohon
waru seraya mengatakan, wahai pohon waru, sebenarnya aku tidak bermaksud
membunuhmu, akan tepapi dengan keris sakti Joko Piturun ini kubunuh Pangeran Lemah
Duwur.
Pada malam itu juga Pangeran Lemah Duwur bermimpi kejatuhan keris
Ronggosukowati yang menancap di punggungnya, ajaib sekali ketia bangun, badannya terasa
panas yang di sebabkan oleh bisul kecil di punggungnya, bisul itu semakin lama semakin
memerah dan membesar, keesokan harinya di seluruh madura tersia bahwa Pangeran Lemah
Duwur telah wafat.

Mendengar hal itu Pangeran Ronggosukowati merasa mesnyesal dan membuang keris
saktinya ke kolam Si Kool, setelah keris itu menyentuh air, terdengar suara ghaib Pangeran
Ronggosukowati, sayang engkau membuangku, kalau tidak, pasti pulau jawa akan berada di
bawa kekuasaanmu,
Kemudian pangeran menyuruh semua orang untuk mencari keris itu, akan tetapi keris
itu hingga sekarang belum di temukan.
D. Pemakaman Panembahan Ronggosukowati
Jika kita mengunjungi pemakaman Pangeran Ronggosukowati yang terletak di jalan
Ronggosukowati tepat di sebelah baratnya pasar kolpajung (yang dulunya merupakan lokasi
kolam sekool). Maka di lihat dari gerbangnya saja sudah di ketahui bahwa lokasi itu
merupakan tempat keramat, dari corak arsitekturnya terdapat ornamen cina seperti ukiran
buka teratai emas yang terletak di pintu gerbang luarnya, dan atap nya lebih condong kepada
corak hindu.
Setelah masuk lebih dalam sedikit, maka terdapat banyak sekali makam, akan tetapi itu
semua merukan areal pemakan umum, kecuali memang ada beberapa kuburan kuno, salah
satunya yakni kuburan yang berada di pojok sebelah timur, yang merupakan kuburan Kyai
Pamorogen, Belia merupakan guru ngaji Putra Pangeran Ronggosukowati, selanjutnya lebih
kedalam lagi, akan ada gapura yang berdiri kokoh, bentuk gapura di bagian dalam hampir
mirip dengan gapura peninggalan majapahit, hal itu tidak mengherankan karena keraton
Mandilaras merupakan kerajaan islam bernuansa Majapahit. nah di lokasi itulah para putra
Pangeran Ronggosukowat di makamkan, yakni di sebelah barat adalah makam Raden Jimat,
kemudia di tengah merupakan makam Raden Pacar, kemudia agak ketimur sedikit, adalah
makam Pangeran Purboyo.

Pangeran Agung Zimat dan Raden Ayu Pacar adalah Putra Pangeran Ronggosukowati
dengan Ratu Inten atau Raden Ayu Kumala Intan yang merupakan keturunan Raden Paku
atau Sunan Giri, akan tetapi Raden Ayu Pacar wafat di usia muda, sehingga tidak dapat
meneruskan perjuangan Ayahandanya.

Gambar 1.1
Makam Pangeran Agung Zimat

Jika kita perhatikan makam Pangeran Agung Zimat dan Raden Ayu Pacar, akan nampak
jelas peninggalan prasasti Majapahit yang merupakan kerajaan bercorak Hindu-Budha, dari
ukiran badan makam yang menyerupai ornamen candi. tapi, bentuk nisannya sudah bercorak
islam, begitupun dengan makam Raden Ayu Pacar, meski sudah ada bagian yang rusak karena
di makan usia, tapi peninggalan sisa-sisa majapahitnya masih nampak jelas.
Dari kedua makam putra Pangeran Ronggosukowati tersebut memiliki corak hindu dan
islam, kecuali makam Raden Purbaya, yang sudah bernuansa islam.
Menurut keterangan Juru Kunci pemakaman, H. Tahir; Pangeran Purboyo merupakan
keturunan Pangeran Ronggosukowati dengan seorang Selir yaitu Rato Ebu Bangkalan. Akan
tetapi keterangan ini sangat lemah, dan ada kemungkinan keliru. Karena menurut sumber
sejarah lain, salah satunya Babad Sampang, di dalamnya terdapat keterangan bahwa Ratu Ebu
atau yang kita kenal dengan sebutan Syarifah Ambami merupakan Istri Pangeran
Cakraningrat I, berikut akan kami paparkan skema silsilah Panembahan Ranggasukowati.
SKEMA SILSILAH PANEMBAHAN RONGGOSUKOWATI

Gambar 1.2
Skema silsilah Panembahan Ronggosukowati

Dari skema diatas menyebutkan bahwa Pangeran Ronggosukowati memiliki hubunagn


darah dengan Ken Arok (1222-1247) Raja Singosari dengan gelar Rajasa Sang Amuwabumi
dan merupakan keturunan Raja Majapahit pertama, yakni Raden Wijaya (1328-1350) yang
bergelar Kertarajasa Jayawadhana. Jadi sangat wajar ketika Mataram berhasil menguasai
Majapahit, dan hendak meperluas daerah kekuasaannya. seluruh kerajaan di Madura
termasuk salah satunya adalah Pamekasan tidak mau tunduk dan tetap mempertahankan
kekuasaan dan budaya Majapahit sebagai budaya warisan, bersatunya seluruh kerajaan di
Madura dilatar belakangi karena semua Raja tersebut masih memiliki hubungan
kekeluargaan, yakni sama-sama keturunan Majapahit
Selanjutnya akan kita temui gapura ketiga, yaitu tempat raja Ronggosukowat berserta
Istrinya Ratu Inten dimakamkan, letak makam Raja terletak di tengah, bentuk arsutektur
kuburannya pun berbeda dengan kuburan yang lain, hal ini dimaksudkan untuk membedakan
kuburan Raja dengan kuburan yang lain dan sebagai bentuk penghormatan kepada sang Raja.
kuburan Panembahan Ronggo sukowati terletak lebih tinggi dan berada dalam bagunan yang
dihias oleh ukiran kayu. bentuk makamnya terlihat amat besar dan megah seperti tiga buah
makam yang di satukan secara bertingkat, bentuk arsiteknya bercorak hindu dan islam, corak
hindu terpat pada bentuk badan makam, dan corak keislamannya di ketahui dengan melihat
batu nisannya.

Gambar 1.5
Makam Panembahan Ronggosukowati

Di sebelah kanan makam Panembahan Ronggosukowati terdapat makam istrinya, yakni


Ratu Inten. Yang sudah bercorak islam.

Gambar 1.3
Makam Raden Ayu Kumala Intan (Ratu Inten)

Penempatan makam tersebut bukan tanpa alasan. Jika kita lihat secara keseluruhan,
maka dapat diketahui bahwa penempatan letak maka-makam tersebut seperti barisan perang
atau posisi catur, dimana prajurit diletakkan di bagian depan, selanjutnya merupakan barisan
para panglima, patih atau Putra Mahkora, selanjutnya di bagian akhir merupakan posisi Sang
Raja.

DAFTAR PUSTAKA
R.P. Ghazali Al Farouk, Pangeran Ronggosukowati Pendiri Kota Pamekasan Pada Tahun 1530,
Surabaya: Karunia, Tth.
Hosnanijatun, Babad Sampang, t.t: Naskah t.p, tt.
Taher, Juru Kunci Pemakaman Ronggosukowati Pamekasan, Wawancara Langsung, (24 Oktober
2011).
Pangeran Ronggosukowati dikenal sebagai pendiri kota Pamekasan yang membangun tata
kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Pangeran Ronggosukowati adalah pemimpin yang
bijak, memahami kebutuhan masyarakat dan taat kepada ajaran agama. Oleh karena itu, kota
Pamekasan berkembang dengan sangat pesat pada masa pemerintahannya.
Hasil karya Pangeran Ronggosukowati dapat dinikmati baik oleh masyarakat masa silam
maupun masyarakat Pamekasan sekarang. Sejumlah obyek wisata sejarah yang berada di

pulau Madura berasal dari peninggalan Keraton Pamekasan. Tempat wisata di Madura
tersebut masih dirawat hingga sekarang. Lokasi wisata di Madura peninggalan Pangeran
Ronggosukowati antara lain:
1. Keraton Mandiraras di Pamekasan.
Keraton baru di tengah-tengah kota Pamekasan sekarang, yaitu Keraton Mandiraras dan
gedung-gedung yang digunakan untuk mengatur jalannya pemerintahan adalah peninggalan
Pangeran Ronggosukowati. Sejak Pangeran Ronggosukowati berkuasa, apa yang dinamakan
Pemerintah memang benar-benar ada, berjalan tertib dan teratur. Hal ini dibuktikan dengan
dibangunnya Keraton Mandiraras dan kompleks gedung pemerintahan lainnya. Inilah tempat
wisata di Madura yang menarik untuk dikunjungi.
2. Masjid Jami Pamekasan.
Masjid Jami Pamekasan berfungsi sebagai tempat ibadah sekaligus tempat membangun
mental dan menanamkan keimanan rakyatnya. Masjid Jami Pamekasan dibangun pada masa
pemerintahan Pangeran Ronggosukowati. Hal ini disebabkan karena Pangeran
Ronggosukowati merupakan seorang muslim yang taat sehingga perkembangan kehidupan
agama sangat diperhatikan. Masjid Jami Pamekasan merupakan tempat wisata di Madura
untuk agama Islam.
3. Tangsi prajurit Pamekasan.
Tangsi atau asrama prajurit terletak di sebelah timur keraton Pamekasan yang berfungsi
sebagai tempat pendidikan para pemuda dan calon prajurit yang tangguh. Pendidikan
keprajuritan berguna untuk menanggulangi segala hal yang tidak diinginkan, terutama dari
serangan pasukan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung. Pendidikan tentara di keraton
Pamekasan dilaksanakan setiap sore dengan mengadakan latihan perang di alun-alun kota.
4. Rumah penjara Pamekasan.
Rumah penjara terletak di sebelah timur agak jauh dari keraton Mandiraras. Tempat tersebut
berfungsi sebagai tempat hukuman bagi orang-orang yang menentang hukum agama dan
pemerintah. Rumah penjara juga berfungsi sebagai tempat pengasingan orang-orang tertentu
yang dianggap membahayakan masyarakat. Karena nilai historisnya yang tinggi, tempat
wisata di Madura ini banyak dikunjungi wisatawan dalam negeri.

Desain Ornamen Bunga Merah Muda


5. Jalan silang di tengah kota Pamekasan.
Jalan silang peninggalan Pangeran Ronggosukowati berada di tengah-tengah kota Pamekasan
sekarang. Di sebelah timur jalan silang terdapat taman Kebun Raja (Kebon Rojo). Dengan
dibangunnya Kebun Raja ini oleh Pangeran Ronggosukowati, maka diharapkan rakyat
Pamekasan mencintai lingkungan sehat dan hidup bersih. Taman kota Pamekasan adalah
salah satu pemandangan asri tempat wisata di Madura.
6. Kolam Si Kool di Pamekasan.
Kolam Si Kool adalah kolam ikan yang berada di lingkungan keraton Pamekasan yang berisi
ikan dan siput sawah (kool). Konon kolam ini menimbulkan cerita rakyat yang aneh. Kata
masyarakat sekitar, karena kolam inilah Pangeran Lemah Dhuwur (Raja Arosbaya) wafat.
Tempat wisata di Madura ini dipercaya memiliki keangkeran sehingga dikeramatkan oleh
masyarakat sekitar.
7. Pemakaman umum Pamekasan.
Pemakaman umum Pamekasan terletak jauh di belakang Keraton Mandiraras di sebelah utara.
Dengan disediakannya pemakaman ini diharapkan rakyat Pamekasan selalu ingat bahwa
hidup di dunia hanya sementara. Semua yang hidup di dunia pasti mengalami kematian.
Pemakaman umum keraton Pamekasan juga berguna untuk mengingatkan agar rakyat
Pamekasan lebih banyak berbuat baik dan diridhoi oleh Tuhan.
Tempat wisata di Madura yang berupa peninggalan Pangeran Ronggo Sukowati adalah
salah satu kekayaan budaya bangsa. Kita harus melestarikan keberadaan tempat wisata di

Madura agar identitas masyarakat setempat tetap berpegang pada nilai-nilai luhur budaya
lokal. Semoga artikel yang membahas tempat wisata di Madura ini bisa berguna untuk Anda.

Anda mungkin juga menyukai