Anda di halaman 1dari 10

KRONOLOGIS SEJARAH KERAJAAN SUMENEP DAN SELAYANG PANDANG

PENGANTAR
Sejarah Sumenep jaman dahulu diperintah oleh seorang Raja. Ada 35 Raja yang telah memimpin
kerajaan Sumenep. Dan, sekarang ini telah dipimpin oleh seorang Bupati. Ada 14 Bupati yang
memerintah Kabupaten Sumenep.
Mengingat sangat keringnya informasi/data yang otentik seperti prasati, pararaton, dan sebagainya
mengenai Raja Sumenep maka tidak seluruh Raja-Raja tersebut kami ekspose satu persatu, kecuali
hanya Raja-Raja yang menonjol saja popularitasnya.
Pendekatan yang kami gunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan historis dan kultural, selain itu
kami gunakan juga pendekatan ekonomis, psikologis dan edukatif.

JAMAN PEMERINTAH KERAJAANARYA WIRARAJA


Arya Wiraja dilatik sebagai Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus
bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Selama dipimpin oleh Arya Wiraja, banyak kemajuan
yang dialami kerajaan Sumenep. Pria yang berasal dari desa Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi
dan kecakapan/kemampuan yang baik. Arya Wiraja secara umum dikenal sebagai seorang pakar dalam
ilmu penasehat/pengatur strategi, analisanya cukup tajam dan terarah sehingga banyak yang mengira
Arya Wiraja adalah seorang dukun.
Adapun jasa-jasa Arya Wiraja :
- Mendirikan Majapahit b ersama dengan Raden Wijaya.
- Menghancurkan tentara Cina/tartar serta mengusirnya dari tanah Jawa.
Dalam usia 35 Tahun, karier Arya Wiraja cepat menanjak. Mulai jabatan Demang Kerajaan Singosari
kemudian dipromosikan oleh Kartanegara Raja Singosari menjadi Adipati Kerajaan Sumenep,
kemudian dipromosikan oleh Raden Wijaya menjadi Rakyan Menteri di Kerajaan Majapahit dan
bertugas di Lumajang. Setelah Arya Wiraja meninggalkan Sumenep, kerajaan di ujung timur Madura itu
mengalami kemunduran. kekuasaan diserahkan kepada saudaranya Arya Bangah dan keratonnya pindah
dari Batuputih ke Banasare di wilayah Sumenep juga. Selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama
Arya Danurwendo, yang keratonnya pindah ke Desa Tanjung. Dan selanjutnya diganti oleh anaknya,
yang bernama Arya asparati. Diganti pula oleh anaknya bernama Panembahan Djoharsari. Selanjutnya
kekuasaan dipindahkan kepada anaknya bernama Panembahan Mandaraja, yang mempunyai 2 anak
bernama Pangeran Bukabu yang kemudian menganti ayahnya dan pindah ke Keratonnya di Bukabu
(Kecamatan Ambunten). Selanjutnya diganti oleh adiknya bernama Pangeran Baragung yang kemudian
pindah ke Desa Baragung (Kecamatan Guluk-guluk).

PANGERAN JOKOTOLE (PANGERAN SECODININGRAT III)


Pangeran Jokotole menjadi raja Sumenep yang ke 13 selama 45 tahun (1415-1460). Jokotole da adiknya
bernama Jokowedi lahir dari Raden Ayu Potre Koneng, cicit dari Pangeran Bukabu sebagai hasil dari
perkawinan bathin (melalui mimpi) dengan Adipoday (Raja Sumenep ke 12). Karena hasil dari
perkawinan Bathin itulah, maka banyak orang yang tidak percaya. Dan akhirnya, seolah-olah terkesan
sebagai kehamilan diluar nikah. Akhirnya menimbulkan kemarahan kedua orang tuanya, sampai akan
dihukum mati. Sejak kehamilannya, banyak terjadi hal-hal yang aneh dan diluar dugaan. Karena takut
kepada orang tuanya maka kelahiran bayi RA Potre Koneng langsung diletakkan di hutan oleh
dayangya. Dan, ditemukan oleh Empu Kelleng yang kemudian disusui oleh kerbau miliknya.
Peristiwa kelahiran Jokotole, terulang lagi oleh adiknya yaitu Jokowedi. Kesaktian Jokotole mulai
terlihat pada usia 6 tahun lebih, seperti membuat alat-alat perkakas dengan tanpa bantuan dari alat
apapun hanya dari badanya sendiri, yang hasilnya lebih bagus ketimbang ayah angkatnya sendiri. Lewat
kesaktiannya itulah maka ia membantu para pekerja pandai besi yang kelelahan dan sakit akibat
kepanasan termasuk ayah angkatnya dalam pengelasan membuat pintu gerbang raksasa atas pehendak
Brawijaya VII. Dengan cara membakar dirinya dan kemudian menjadi arang itulah kemudian lewat
pusarnya keluar cairan putih. Cairan putih tersebut untuk keperluan pengelasan pintu raksasa. Dan,
akhirnya ia diberi hadiah emas dan uang logam seberat badannya. Akhirnya ia mengabdi di kerajaan
Majapahit untuk beberapa lama.
Banyak kesuksessan yang ia raih selama mengadi di kerajaan Majapahit tersebut yang sekaligus
menjadi mantu dari Patih Muda Majapahit. Setibanya dari Sumenep ia bersama istrinya bernama Dewi
Ratnadi bersua ke Keraton yang akhirnya bertemu dengan ibunya RA Potre Koneng dan kemudian
dilantik menjadi Raja Sumenep dengan Gelar Pangeran Secodiningrat III. Saat menjadi raja ia terlibat
pertempuran besar melawan raja dari Bali yaitu Dampo Awang, yang akhirnya dimenangkan oleh Raja
Jokotole dengan kesaktiannya menghancurkan kesaktiannya Dampo Awang. Dan kemudian
kekuasaannya berakhir pada tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh Arya Wigananda putra pertama
dari Jokotole.

RADEN AYU TIRTONEGORO DAN BINDARA SAOD


Raden Ayu Tirtonegoro merupakan satu-satunya pemimpin wanita dalam sejarah kerajaan Sumenep
sebagai Kepala Pemerintahan yang ke 30. Menurut hikayat RA Tirtonegoro pada suatu malam
bermimipi supaya Ratu kawin dengan Bindara Saod. Setelah Bindara Saod dipanggil, diceritakanlah
mimpi itu. Setelah ada kata sepakat perkawinan dilaksanakan, Bindara Saodmenjadi suami Ratu dengan
gelar Tumenggung Tirtonegoro.
Terjadi peristiwa tragis pama masa pemerintahan Ratu Tirtonegoro. Raden Purwonegoro Patih Kerajaan
Sumenep waktu mencintai Ratu Tirtonegoro, sehingga sangat membenci Bindara Saod, bahkan
merencanakan membunuhnya. Raden Purwonegoro datang ke keraton lalu mengayunkan pedang namun
tidak mengenai sasaran dan pedang tertancap dalam ke tiang pendopo. Malah sebaliknya Raden
Purwonegoro tewas di tangan Manteri Sawunggaling dan Kyai Sanggatarona. Seperti diketahui bahwa
Ratu Tirtonegoro dan Purwonegoro sama-sama keturunan Tumenggung Yudonegoro Raja Sumenep ke
23. Akibatnya keluarga kerajaan Sumenep menjadi dua golongan yang berpihak pada Ratu Tirtonegoro
diperbolehkan tetap tinggal di Sumenep dan diwajibkan merubah gelarnya dengan sebutan Kyai serta
berjanji untuk tidak akan menentang Bindara Saod sampai tujuh turunan. Sedang golongan yang tidak
setuju pada ketentuan tersebut dianjurkan meninggalkan kerajaan Sumenep dan kembali ke Pamekasan,
Sampang atau Bangkalan.

PANEMBAHAN SOMALA
Bandara Saod dengan isterinya yang pertama di Batu Ampar mempunyai 2 orang anak. Pada saat kedua
anak Bindara Saod itu datang ke keraton memenuhi panggilan Ratu Tirtonegoro, anak yang kedua yang
bernama Somala terlebih dahulu dalam menyungkem kepada Ratu sedangkan kakaknya mendahulukan
menyungkem kepada ayahnya (Bindara Saod). Saat itu pula keluar wasiat Sang Ratu yang dicatat oleh
sektretaris kerajaan. Isi wasiat menyatakan bahwa di kelak kemudian hari apabila Bindara Saod
meninggal maka yang diperkenankan untuk mengganti menjadi Raja Sumenep adalah Somala. Setelah
Bindara Saod meninggal 8 hari kemudian Ratu Tirtonegoro ikut meninggal tahun 1762, sesuai dengan
wasiat Ratu yang menjadi Raja Sumenep adalah Somala dengan gelar Panembahan Notokusumo I.
Beberapa peristiwa penting pada zaman pemerintahan Somala antara lain menyerang negeri
Blambangan dan berhasil menang sehingga Blambangan dan Panarukan menjadi wilayah kekuasaan
Panembangan Notokusumo I. Kemudian beliau membangun keraton Sumenep yang sekarang berfungsi
sebagai Pendopo Kabupaten. Selanjutnya beliau membangun Masjid Jamik pada tahuhn 1763, Asta
Tinggi (tempat pemakaman Raja-Raja Sumenep dan keluarganya) juga dibangun oleh beliau.

SULTAN ABDURRACHMAN PAKUNATANINGRAT


Sultan Abdurrachman Pakunataningrat bernama asli Notonegoro putra dari Raja Sumenep yaitu
Panembahan Notokusumo I. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat mendapat gelar Doktor
Kesusastraan dari pemerintah Inggris, karena beliau pernah membantu Letnan Gubernur Jendral Raffles
untuk menterjemahkan tulisan-tulisan kuno di batu kedalam bahasa Melayu. Beliau memang meguasai
berbagai bahasa, seperti bahasa Sansekerta, Bahasa Kawi, dan sebagainya. Dan, juga ilmu pengetahuan
dan Agama. Disamping itu pandai membuat senjata Keris. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat
dikenal sangat bijaksana dan memperhatikan rakyat Sumenep, oleh karena itu ia sangat disegani dan
dijunjung tinggi oleh rakyat Sumenep sampai sekarang.

MASJIDKU SURGAKU
Masjid yang bagi masyarakat madura ini sangat membikan nilai monomintal terhadap kondisi sepanjang
zaman ini Menghadap ke Taman Kota, yang berada di sebelah Timurnya. Dengan gerbang besar, pintu
kayu kuno, yang berdiri kokoh menghadap matahari terbit. Masjid Agung Sumenep, yang dulu dikenal
dengan nama Masjid Jami’, terletak ditengah-tengah Kota Sumenep.
Masjid ini dibangun setelah pembangunan Kraton Sumenep, sebagai inisiatif dari Adipati Sumenep,
Pangeran Natakusuma I alias Panembahan Somala (1762-1811 M). Adipati yang memiliki nama asli
Aria Asirudin Natakusuma ini, sengaja mendirikan masjid yang lebih besar. Setelah sebelumnya
dibangun masjid, yang dikenal dengan nama Masjid Laju, oleh Pangeran Anggadipa (Adipati Sumenep,
1626-1644 M). Dalam perkembangannya, masjid laju tidak mampu lagi menampung jemaah yang kian
banyak.
Setelah keraton selesai pembangunannya, Pangeran Natakusuma I memerintahkan arsitek yang juga
membangun keraton, Lauw Piango, untuk membangun Masjid Jami’. Berdasar catatan di buku Sejarah
Sumenep (2003) diketahui, Lauw Piango adalah cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan satu dari
enam orang China yang mula-mula datang dan menetap di Sumenep. Ia diperkirakan pelarian dari
Semarang akibat adanya perang yang disebut ’Huru-hara Tionghwa’ (1740 M).
Masjid Jami’ dimulai pembangunannya tahun 1198 H (1779 M) dan selesai pada tahun 1206 H (1787
M). Terhadap masjid ini Pangeran Natakusuma berwasiat yang ditulis pada tahun 1806 M, bunyinya
sebagai berikut;
”Masjid ini adalah Baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa di negeri/keraton Sumenep.
Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan.
Jika terdapat Masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya Masjid ini
wakaf, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.”
Dari tinjauan arsitektural, memang banyak hal yang khas pada bangunan yang menjadi pusat kegiatan
masyarakat Islam di kabupaten paling timur Pulau Garam ini. Memperhatikan fisik bangunan, layaknya
menganut eklektisme kultur desain.
Masjid Jami’ Sumenep dari bentuk bangunannya bisa dikata merupakan penggabungan berbagai unsur
budaya. Mungkin pula sebagai bentuk akomodasi dari budaya yang berkembang di masyarakatnya. Pada
masa pembangunannya hidup berbaur berbagai etnis masyarakat yang saling memberikan pengaruh.
Yang menarik lagi, bukan hanya kolaborasi gaya arsitektur lokal. Tetapi lebih luas, yaitu antara
arsitektur Arab, Persia, Jawa, India, dan Cina menjadi satu di bangunan yang istimewa ini. Mungkin
pula berbagai etnis yang tinggal dan hidup di Madura lebih banyak lagi, sehingga membentuk struktur
bangunan lengkap dengan ornamen yang menghias bangunan ini secara keseluruhan.
Kubah kecil di puncak bangunan yang ada di sudut kanan-kiri halaman masjid, sangat mungkin
mewakili arsitektur Arab-Persia. Penerapannya tidak semata-mata, terdapat sejumlah modifikasi yang
berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Ornamen yang kemudian dipertegas dengan warna-warna menyala, menggambarkan corak bangunan
dari Gujarat-Cina. Semakin kental atmosfirnya ketika berada di bagian dalam bangunan utama.
Memperhatikan mihrab masjid yang berusia 799 tahun ini, pada mimbar khotbah, hingga ornamen
seperti keramik yang menghiasi dindingnya.
Bangunan bersusun dengan puncak bagian atas menjulang tinggi mengingatkan bentuk-bentuk candi
yang menjadi warisan masyarakat Jawa. Kubah berbentuk tajuk juga merupakan kekayaan alami pada
desain masyarakat Jawa.
Struktur bangunan secara keseluruhan menggambarkan tatanan kehidupan masyarakat yang rumit di
saat itu. Jalinan hubungan antaretnik yang hidup di Madura dapat disaksikan dari bangunan utuh dari
sosok masjid Agung Sumenep ini.
Pada bagian depan, dengan pintu gerbang yang seperti gapura besar, beberapa orang berpendapat juga
menampakkan adanya corak kebudayaan Portugis. Konon, masjid Agung Sumenep merupakan salah
satu dari sepuluh masjid tertua di Indonesia dengan corak arsitektur yang khas.
Perkembangan Islam di tanah Jawa, pula menjadi bagian dinamika kehidupan masyarakat Madura.
Perkembangan ajaran Islam di Pulau Madura, tak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pergumulan
masyarakat Jawa yang secara gegrafis terpisah dengan Selat Madura. Perkembangan Islam di Ampel
dan Giri menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Madura. Pada jamannya, tugas dakwah yang
diemban para wali meliputi seluruh daerah, termasuk Jawa dan Madura.
Dalam perkembangan Islam di Madura tak lepas dari para pedagang yang datang dari Gujarat (India)
serta para perantau yang berasal dari jazirah Arab. Mereka yang berhasil mendarat di Madura juga
memberi kontribusi akibat interaksi, baik budaya maupun tata kehidupan.
Model akulturasi budaya yang ada di masa silam, secara jelas masih bisa dinikmati sekarang. Yaitu
dengan melihat kekayaan detil arsitektural yang ada di masjid Jami’ Sumenep. Walaupun pada sekitar
tahun 90-an masjid ini mengalami pengembangan, dengan renovasi pada pelataran depan, kanan dan
kirinya. Namun demikian tidak mengurangi eksotismenya hingga sekarang

SEJARAH SUMENEP SEBAGAI IKON JERAJAAN ISLAM DI MADURA


bak potret raksasa dalam sebuah bingkai histori. Bangunan megah berdiri dengan nuansa yang khas
menyiratkan peninggalan masa silam. Berdiri di kawasan seluas 12 hektar, di tengahnya terdapat
Pendopo Agung dengan ornamen khas berlatar bangunan tua yang tak kalah gagah memancarkan
kharisma. Sebatang pohon Beringin besar berdiri di samping kirinya, menambah kokoh dan sakral
nuansa yang terpancar dari warisan para raja yang dulu pernah berkuasa.
Walau kini Keraton Sumenep tidak lagi dihuni seorang raja beserta keluarga dan para abdinya. Namun
bangunan yang berumur lebih dari 200 tahun itu tetap terjaga. Sumenep setelah berubah secara birokrasi
dan mulai dipimpin oleh seorang bupati setelah masa raja Panembahan Notokusumo II (1854-1879)
menganggap warisan sisa masa keemasan itu sebagai sebuah kekayaan sejarah yang tak ternilai
harganya.
Bangunan-bangunan di kawasan keraton sudah tidak ditempati lagi. Kecuali pada bagian belakang,
menghadap ke Utara, yang kemudian dibangun rumah dinas bupati, berlawanan dengan keraton.
Sementara pendopo kini kerap difungsikan untuk acara rapat-rapat para aparat pemerintahan, hingga
pagelaran seni dan budaya setempat.
Bangunan fisik Keraton Sumenep terbilang masih asli. Hanya bagian lantai yang telah dirubah karena
rusak. Semula berlantai marmer kini keramik. Terhadap bangunan keraton sendiri yang usianya lebih
dari dua abad pernah dilakukan perbaikan namun hanya pada bagian gentingnya. Selain itu pengecatan
tetap dilakukan pada bagian dinding agar tetap kelihatan cerah.
Bangunan utama keraton terdiri dari dua lantai. “Lantai atas merupakan tempat para putri raja yang
dipingit selama 40 hari sebelum datangnya hari pernikahan,” papar Moh. Romli, penanggung jawab
Museum Keraton Sumenep. Menurut pria 40 tahun ini, bangunan kediaman raja yang terletak di lantai
bawah terdapat empat kamar yang masing-masing diperuntukkan untuk kamar pribadi raja, kamar
permaisuri, kamar orang tua pria dan orang tua perempuan raja.
Secara umum gaya arsitektural Keraton Sumenep merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Eropa,
Arab, dan China. Gaya Eropa tampak pada pilar-pilar dan lekuk ornamennya. Sedangkan gaya China
bisa dilihat pada ukiran-ukiran yang menghiasi. Detil ukiran bergambar Burung Hong, yang konon
merupakan lambang kemegahan yang disakralkan oleh bangsa China. Ada pula Naga yang
melambangkan keperkasaan, beberapa bergambar bunga Delima yang melambangkan kesuburan.
Demikian pula pada pilihan warna Merah dan Hijau.
Salah seorang arsitek pembangunan keraton bernama Lauw Piango, yang setelah meninggal di
kebumikan di sekitar Asta Tinggi (komplek makam raja Sumenep dan keturunannya) adalah pria
berkebangsaan China. Bahkan konon yang mengepalai tukang saat pembangunan keraton adalah orang
China, bernama Ka Seng An. Nama itu kemudian dijadikan nama desa dimana dia dulunya tinggal,
menjadi desa Kasengan.
Dalam sejarah Sumenep disebutkan keraton tempat kediaman raja sempat berpindah-pindah. Konon
pada masa awal yang dipimpin oleh Raja Aria Wiraraja, yang berasal dari Singosari, keraton Sumenep
berada di Desa Banasare, Kecamatan Rubaru. lalu keraton juga pernah pindah ke daerah Dungkek pada
masa raja Jokotole (1415-1460).
Beberapa daerah lain juga diindikasi sebagai keraton Sumenep, seperti Tanjung, Keles, Bukabu,
Baragung, Kepanjin dan daerah lain sebelum akhirnya menempati lokasi keraton yang masih tersisa
sekarang. Di Desa Pajagalan yang merupakan warisan sejak raja, yaitu Panembahan Somala dan enam
raja berikutnya.
Panembahan Somala berinisiatif membangun katemenggungan atau kadipaten ini setelah selesai perang
dengan Blambangan, pada tahun 1198 hijriyah. Keraton itu selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780
masehi.
Batas-batas keraton pada jaman dahulu meliputi, sisi Timur adalah Taman Lake’, ini menurut Romli,
masih merupakan anak sumber air dari Taman Sare yang berada di sekitar keraton. Sayang, tempat ini
sekarang sudah ditutup karena difungsikan sebagai sumber air PDAM Sumenep. Sebelah Utara hingga
monumen tembok keraton yang ada di jalan Panglima Sudirman sekarang. Dan sisi Barat hingga bagian
belakang Masjid Agung (Jami’) Sumenep sekarang.
Menurut cerita, sebelum dibangun Masjid Jami’, sudah ada masjid yang dibangun oleh raja Pangeran
Anggadipa (1626-1644 M). Letaknya di sebelah Utara keraton. Namanya Masjid Laju, laju dalam
bahasa Indonesia berarti Lama. Masjid Jami’ sebelumnya merupakan masjid keraton yang eksklusif
untuk raja dan kalangan kerajaan. Tepat di depan masjid terdapat Alun-alun keraton. Sekarang sudah di-
redesign menjadi Taman Bunga Kota Sumenep. Sementara batas Selatan hingga di belakang museum.
Pagar keraton yang ada sekarang adalah peninggalan masa R. Tumenggung Aria Prabuwinata. Sebelum
diganti dengan bilah besi yang berujung mata tombak itu, pagar keraton berupa tembok tebal setinggi
lebih dari dua meter. Hal ini terbukti dari sisa pagar yang hingga kini masih ada di belakang keraton,
tepat di depan rumah dinas Bupati sekarang. Sisa pagar itu kini dijaga sebagai Monumen bukti sejarah
Keraton Sumenep.
Bangunan yang dipakai kantor Dinas pariwisata dan Kebudayaan itu sebenarnya bukan bagian dari
keraton, dulu dikenal dengan sebutan Gedong Negeri, walau ada di lingkungan Keraton Sumenep.
Bangunan bergaya Eropa ini didirikan sekitar tahun 1931, pada jaman pendudukan Belanda di tanah air.
Kehadiran gedung tepat di depan keraton itu memang mengganggu kharisma keraton secara
keseluruhan. Pandangan kearah Keraton Sumenep menjadi terhalang.-az.alim
Taman Sare dan Labang Mesem
Saat ini di sekitar keraton terdapat tiga bangunan yang difungsikan sebagai museum. Satu di depan
keraton atau yang berseberangan dengan kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Sumenep.
Bangunan museum yang berdiri di bagian selatan keraton itu, sebelumnya merupakan garasi kereta
kencana kerajaan.
Sekarang menjadi tempat koleksi kereta kencana dan beberapa benda bersejarah lain seperti kursi
pertemuan, tempat tidur raja, kursi pengadilan pada jaman raja, serta beberapa foto raja. Kereta kencana
yang dipajang di sana kabarnya merupakan hadiah dari kerajaan Inggris, sebagai balas jasa.
Konon bantuan yang diberikan raja Sultan Abdurrahman adalah mengalihbahasakan sebuah prasasti
dengan tulisan Sansekerta kuno, yang ditemukan pada masa Raffles. “Kereta kencana itu bernama My
Lord, namun karena lidah orang Madura saat itu kurang bisa melafalkan. Maka, kereta raja itu kemudian
lebih dikenal dengan nama Melor,” urai Moh. Romli, sumber yang dijumpai Eartjava Traveler.
Satu lagi di sisi Barat keraton, dulu bekas kantor Raja atau yang biasa disebut dengan Kantor Koneng.
Dahulu bangunan ini dipakai oleh raja dan para bawahannya melakukan pertemuan. Belanda kemudian
menduga gedung itu sebagai pusat rencana gerakan perlawanan.
Belanda menganggap Sumenep, kala itu, tidak tepat memiliki kantor raja karena statusnya hanya
Kadipaten. Namun raja Sumenep tidak kalah akal, beliau menolak sebutan kantor raja. Sang Adipati
berkelit, bahwa itu adalah Kantor Koneng (koneng dalam bahasa Madura berarti Kuning), karena
seluruh temboknya diwarnai kuning. Museum yang satu lagi di sebelah Utara kantor koneng ini,
bangunan berbentuk rumah tinggal. Konon rumah ini dipakai raja untuk menyepi, karenanya rumah itu
disebut dengan Romah Panyepen.
Tepat di depan sisi kiri museum selatan terdapat bangunan kecil, semacam pos penjaga. Orang-orang
dulu menyebutnya Loji. Memang benar, bangunan kecil ini merupakan pos penjaga keraton, karena itu
dilengkapi dengan lonceng. Loji juga ada di sebelah Timur keraton, tak jauh dari pintu masuk ke Taman
Sare. Dulu, bila raja kedatangan tamu, penjaga di loji depan akan memberi isyarat dengan
membunyikan lonceng. Bila pihak kerajaan sudah siap menerima, maka penjaga di loji dalam akan ganti
membunyikan lonceng dengan isyarat tertentu.
Di sebelah Timur lingkungan keraton terdapat kolam pemandian yang dikenal dengan nama Taman
Sare. Nama Taman Sare berasal dari kata dalam bahasa Madura, taman dalam Bahasa Indonesia berarti
kolam, dan sare/asreh yang berarti asri, indah atau menyenangkan. Menurut cerita beberapa orang, air di
Taman Sare ini juga mempunyai khasiat menjadikan orang awet muda.

LABANG MESEM
Labang Mesem merupakan sebutan untuk gerbang keraton yang letaknya tidak jauh dari Taman Sare.
Dalam Bahasa Indonesia, Labang berarti pintu, dan Mesem berarti senyum. Dari sekian versi tentang
asal usul nama Labang Mesem, akhirnya disimpulkan, bahwa nama Labang Mesem merupakan symbol.
Perlambang atas sikap keramah-tamahan dan penuh senyum dari para raja dan seluruh orang keraton
dalam menerima tamu.
Setidaknya ada tiga versi yang melatari pemberian nama Labang Mesem. Pertama, pada jaman dahulu
pintu gerbang menuju keraton itu dijaga oleh dua orang cebol. Hal ini bisa dilihat dari dua ruangan
dengan pintu rendah di kanan dan kiri gerbang itu. Menguatkan bukti itu, di makam Asta Tinggi
terdapat kuburan-kuburan cebol. Karena yang menjaga orang dengan bentuk kecil, maka tak heran bila
sering menghadirkan senyum orang-orang yang melintas di gerbang tersebut.
Versi kedua menyebutkan, ruang terbuka yang berada di atas pintu gerbang tersebut merupakan tempat
raja untuk mengawasi sekitar keraton. Juga mengawasi putri-putri dan para istrinya yang sedang mandi
di Taman Sare. Konon ketika sedang memperhatikan putri dan atau istrinya yang sedang mandi itu, raja
tampak mesam-mesem. Sebab itulah kemudian gerbang itu disebut Labang Mesem.
Sedang versi yang lain, menyebutkan suatu ketika Keraton Sumenep berhasil memukul mundur pasukan
dari kerajaan Bali. Menyisakan dendam, Raja Bali bermaksud menuntut balas. Maka mereka pun datang
ke Sumenep beserta bala tentaranya. Namun siapa sangka, ketika mereka sudah sampai di depan
gerbang keraton amarah yang diselimuti dendam berubah. Menjadi senyum ramah dan penuh
persahabatan. Kabarnya, hal itu merupakan akibat terkabulnya doa raja kepada Tuhan yang Maha Esa.
Merubah api dendam menjadi air persaudaraan.
Masih banyak kekayaan sejarah yang bisa dinikmati di keraton ini. Tak cukup tulisan dan foto untuk
mengungkap semuanya. Cara paling tepat untuk memuaskan penasaran hati, hanya dengan datang dan
menikmati setiap keping mozaik warisan sejarah negeri ini dengan mata kepala sendiri.
Bagaimana Mencapai Keraton?

Sangat mudah mencapai Keraton Sumenep, karena letaknya sekitar 200 meter arah Timur dari Taman
Bunga di pusat kota Sumenep. Demikian halnya untuk sampai ke pusat kota kabupaten paling timur di
Pulau Madura ini. Bila berangkat dari Surabaya, pusat propinsi Jatim, dengan kendaraan pribadi butuh
waktu sekitar 4 jam perjalanan.Nama Sumenep, salah satu versinya berasal dari kata Songenep. Dalam
bahasa Madura, Songenep merupakan gabungan dari kata Lesso dan Nginep. Dalam Bahasa Indonesia,
Lesso berarti capek atau lelah, dan nginep berarti bermalam. Jadi, setelah kita melakukan perjalanan
menuju kita ini dianjurkan bermalam. Setidaknya demikian agar keesokan harinya Anda bisa menikmati
kekayaan dan keindahan potensi wisata di daerah ini dengan lebih leluasa. Obyek-obyek seperti Pantai
Slopeng, Pantai Lombang, makam raja Asta Tinggi, dan yang lainnya bisa menjadi jujukan wisata Anda

SEJARAH SUMENEP SEBAGAI IKON KERAJAAN ISLAM DI MADURA


Bak potret raksasa dalam sebuah bingkai histori. Bangunan megah berdiri dengan nuansa yang khas
menyiratkan peninggalan masa silam. Berdiri di kawasan seluas 12 hektar, di tengahnya terdapat
Pendopo Agung dengan ornamen khas berlatar bangunan tua yang tak kalah gagah memancarkan
kharisma. Sebatang pohon Beringin besar berdiri di samping kirinya, menambah kokoh dan sakral
nuansa yang terpancar dari warisan para raja yang dulu pernah berkuasa.
Walau kini Keraton Sumenep tidak lagi dihuni seorang raja beserta keluarga dan para abdinya. Namun
bangunan yang berumur lebih dari 200 tahun itu tetap terjaga. Sumenep setelah berubah secara birokrasi
dan mulai dipimpin oleh seorang bupati setelah masa raja Panembahan Notokusumo II (1854-1879)
menganggap warisan sisa masa keemasan itu sebagai sebuah kekayaan sejarah yang tak ternilai
harganya.
Bangunan-bangunan di kawasan keraton sudah tidak ditempati lagi. Kecuali pada bagian belakang,
menghadap ke Utara, yang kemudian dibangun rumah dinas bupati, berlawanan dengan keraton.
Sementara pendopo kini kerap difungsikan untuk acara rapat-rapat para aparat pemerintahan, hingga
pagelaran seni dan budaya setempat.
Bangunan fisik Keraton Sumenep terbilang masih asli. Hanya bagian lantai yang telah dirubah karena
rusak. Semula berlantai marmer kini keramik. Terhadap bangunan keraton sendiri yang usianya lebih
dari dua abad pernah dilakukan perbaikan namun hanya pada bagian gentingnya. Selain itu pengecatan
tetap dilakukan pada bagian dinding agar tetap kelihatan cerah.
Bangunan utama keraton terdiri dari dua lantai. “Lantai atas merupakan tempat para putri raja yang
dipingit selama 40 hari sebelum datangnya hari pernikahan,” papar Moh. Romli, penanggung jawab
Museum Keraton Sumenep. Menurut pria 40 tahun ini, bangunan kediaman raja yang terletak di lantai
bawah terdapat empat kamar yang masing-masing diperuntukkan untuk kamar pribadi raja, kamar
permaisuri, kamar orang tua pria dan orang tua perempuan raja.
Secara umum gaya arsitektural Keraton Sumenep merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Eropa,
Arab, dan China. Gaya Eropa tampak pada pilar-pilar dan lekuk ornamennya. Sedangkan gaya China
bisa dilihat pada ukiran-ukiran yang menghiasi. Detil ukiran bergambar Burung Hong, yang konon
merupakan lambang kemegahan yang disakralkan oleh bangsa China. Ada pula Naga yang
melambangkan keperkasaan, beberapa bergambar bunga Delima yang melambangkan kesuburan.
Demikian pula pada pilihan warna Merah dan Hijau.
Salah seorang arsitek pembangunan keraton bernama Lauw Piango, yang setelah meninggal di
kebumikan di sekitar Asta Tinggi (komplek makam raja Sumenep dan keturunannya) adalah pria
berkebangsaan China. Bahkan konon yang mengepalai tukang saat pembangunan keraton adalah orang
China, bernama Ka Seng An. Nama itu kemudian dijadikan nama desa dimana dia dulunya tinggal,
menjadi desa Kasengan.
Dalam sejarah Sumenep disebutkan keraton tempat kediaman raja sempat berpindah-pindah. Konon
pada masa awal yang dipimpin oleh Raja Aria Wiraraja, yang berasal dari Singosari, keraton Sumenep
berada di Desa Banasare, Kecamatan Rubaru. lalu keraton juga pernah pindah ke daerah Dungkek pada
masa raja Jokotole (1415-1460).
Beberapa daerah lain juga diindikasi sebagai keraton Sumenep, seperti Tanjung, Keles, Bukabu,
Baragung, Kepanjin dan daerah lain sebelum akhirnya menempati lokasi keraton yang masih tersisa
sekarang. Di Desa Pajagalan yang merupakan warisan sejak raja, yaitu Panembahan Somala dan enam
raja berikutnya.
Panembahan Somala berinisiatif membangun katemenggungan atau kadipaten ini setelah selesai perang
dengan Blambangan, pada tahun 1198 hijriyah. Keraton itu selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780
masehi.
Batas-batas keraton pada jaman dahulu meliputi, sisi Timur adalah Taman Lake’, ini menurut Romli,
masih merupakan anak sumber air dari Taman Sare yang berada di sekitar keraton. Sayang, tempat ini
sekarang sudah ditutup karena difungsikan sebagai sumber air PDAM Sumenep. Sebelah Utara hingga
monumen tembok keraton yang ada di jalan Panglima Sudirman sekarang. Dan sisi Barat hingga bagian
belakang Masjid Agung (Jami’) Sumenep sekarang.
Menurut cerita, sebelum dibangun Masjid Jami’, sudah ada masjid yang dibangun oleh raja Pangeran
Anggadipa (1626-1644 M). Letaknya di sebelah Utara keraton. Namanya Masjid Laju, laju dalam
bahasa Indonesia berarti Lama. Masjid Jami’ sebelumnya merupakan masjid keraton yang eksklusif
untuk raja dan kalangan kerajaan. Tepat di depan masjid terdapat Alun-alun keraton. Sekarang sudah di-
redesign menjadi Taman Bunga Kota Sumenep. Sementara batas Selatan hingga di belakang museum.
Pagar keraton yang ada sekarang adalah peninggalan masa R. Tumenggung Aria Prabuwinata. Sebelum
diganti dengan bilah besi yang berujung mata tombak itu, pagar keraton berupa tembok tebal setinggi
lebih dari dua meter. Hal ini terbukti dari sisa pagar yang hingga kini masih ada di belakang keraton,
tepat di depan rumah dinas Bupati sekarang. Sisa pagar itu kini dijaga sebagai Monumen bukti sejarah
Keraton Sumenep.
Bangunan yang dipakai kantor Dinas pariwisata dan Kebudayaan itu sebenarnya bukan bagian dari
keraton, dulu dikenal dengan sebutan Gedong Negeri, walau ada di lingkungan Keraton Sumenep.
Bangunan bergaya Eropa ini didirikan sekitar tahun 1931, pada jaman pendudukan Belanda di tanah air.
Kehadiran gedung tepat di depan keraton itu memang mengganggu kharisma keraton secara
keseluruhan. Pandangan kearah Keraton Sumenep menjadi terhalang

TAMAN SARE DAN LABANG MESEM


Saat ini di sekitar keraton terdapat tiga bangunan yang difungsikan sebagai museum. Satu di depan
keraton atau yang berseberangan dengan kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Sumenep.
Bangunan museum yang berdiri di bagian selatan keraton itu, sebelumnya merupakan garasi kereta
kencana kerajaan.
Sekarang menjadi tempat koleksi kereta kencana dan beberapa benda bersejarah lain seperti kursi
pertemuan, tempat tidur raja, kursi pengadilan pada jaman raja, serta beberapa foto raja. Kereta kencana
yang dipajang di sana kabarnya merupakan hadiah dari kerajaan Inggris, sebagai balas jasa.
Konon bantuan yang diberikan raja Sultan Abdurrahman adalah mengalihbahasakan sebuah prasasti
dengan tulisan Sansekerta kuno, yang ditemukan pada masa Raffles. “Kereta kencana itu bernama My
Lord, namun karena lidah orang Madura saat itu kurang bisa melafalkan. Maka, kereta raja itu kemudian
lebih dikenal dengan nama Melor,” urai Moh. Romli, sumber yang dijumpai Eartjava Traveler.
Satu lagi di sisi Barat keraton, dulu bekas kantor Raja atau yang biasa disebut dengan Kantor Koneng.
Dahulu bangunan ini dipakai oleh raja dan para bawahannya melakukan pertemuan. Belanda kemudian
menduga gedung itu sebagai pusat rencana gerakan perlawanan.
Belanda menganggap Sumenep, kala itu, tidak tepat memiliki kantor raja karena statusnya hanya
Kadipaten. Namun raja Sumenep tidak kalah akal, beliau menolak sebutan kantor raja. Sang Adipati
berkelit, bahwa itu adalah Kantor Koneng (koneng dalam bahasa Madura berarti Kuning), karena
seluruh temboknya diwarnai kuning. Museum yang satu lagi di sebelah Utara kantor koneng ini,
bangunan berbentuk rumah tinggal. Konon rumah ini dipakai raja untuk menyepi, karenanya rumah itu
disebut dengan Romah Panyepen.
Tepat di depan sisi kiri museum selatan terdapat bangunan kecil, semacam pos penjaga. Orang-orang
dulu menyebutnya Loji. Memang benar, bangunan kecil ini merupakan pos penjaga keraton, karena itu
dilengkapi dengan lonceng. Loji juga ada di sebelah Timur keraton, tak jauh dari pintu masuk ke Taman
Sare. Dulu, bila raja kedatangan tamu, penjaga di loji depan akan memberi isyarat dengan
membunyikan lonceng. Bila pihak kerajaan sudah siap menerima, maka penjaga di loji dalam akan ganti
membunyikan lonceng dengan isyarat tertentu.
Di sebelah Timur lingkungan keraton terdapat kolam pemandian yang dikenal dengan nama Taman
Sare. Nama Taman Sare berasal dari kata dalam bahasa Madura, taman dalam Bahasa Indonesia berarti
kolam, dan sare/asreh yang berarti asri, indah atau menyenangkan. Menurut cerita beberapa orang, air di
Taman Sare ini juga mempunyai khasiat menjadikan orang awet muda.

Anda mungkin juga menyukai