PENGANTAR
Sejarah Sumenep jaman dahulu diperintah oleh seorang Raja. Ada 35 Raja yang telah memimpin
kerajaan Sumenep. Dan, sekarang ini telah dipimpin oleh seorang Bupati. Ada 14 Bupati yang
memerintah Kabupaten Sumenep.
Mengingat sangat keringnya informasi/data yang otentik seperti prasati, pararaton, dan sebagainya
mengenai Raja Sumenep maka tidak seluruh Raja-Raja tersebut kami ekspose satu persatu, kecuali
hanya Raja-Raja yang menonjol saja popularitasnya.
Pendekatan yang kami gunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan historis dan kultural, selain itu
kami gunakan juga pendekatan ekonomis, psikologis dan edukatif.
PANEMBAHAN SOMALA
Bandara Saod dengan isterinya yang pertama di Batu Ampar mempunyai 2 orang anak. Pada saat kedua
anak Bindara Saod itu datang ke keraton memenuhi panggilan Ratu Tirtonegoro, anak yang kedua yang
bernama Somala terlebih dahulu dalam menyungkem kepada Ratu sedangkan kakaknya mendahulukan
menyungkem kepada ayahnya (Bindara Saod). Saat itu pula keluar wasiat Sang Ratu yang dicatat oleh
sektretaris kerajaan. Isi wasiat menyatakan bahwa di kelak kemudian hari apabila Bindara Saod
meninggal maka yang diperkenankan untuk mengganti menjadi Raja Sumenep adalah Somala. Setelah
Bindara Saod meninggal 8 hari kemudian Ratu Tirtonegoro ikut meninggal tahun 1762, sesuai dengan
wasiat Ratu yang menjadi Raja Sumenep adalah Somala dengan gelar Panembahan Notokusumo I.
Beberapa peristiwa penting pada zaman pemerintahan Somala antara lain menyerang negeri
Blambangan dan berhasil menang sehingga Blambangan dan Panarukan menjadi wilayah kekuasaan
Panembangan Notokusumo I. Kemudian beliau membangun keraton Sumenep yang sekarang berfungsi
sebagai Pendopo Kabupaten. Selanjutnya beliau membangun Masjid Jamik pada tahuhn 1763, Asta
Tinggi (tempat pemakaman Raja-Raja Sumenep dan keluarganya) juga dibangun oleh beliau.
MASJIDKU SURGAKU
Masjid yang bagi masyarakat madura ini sangat membikan nilai monomintal terhadap kondisi sepanjang
zaman ini Menghadap ke Taman Kota, yang berada di sebelah Timurnya. Dengan gerbang besar, pintu
kayu kuno, yang berdiri kokoh menghadap matahari terbit. Masjid Agung Sumenep, yang dulu dikenal
dengan nama Masjid Jami’, terletak ditengah-tengah Kota Sumenep.
Masjid ini dibangun setelah pembangunan Kraton Sumenep, sebagai inisiatif dari Adipati Sumenep,
Pangeran Natakusuma I alias Panembahan Somala (1762-1811 M). Adipati yang memiliki nama asli
Aria Asirudin Natakusuma ini, sengaja mendirikan masjid yang lebih besar. Setelah sebelumnya
dibangun masjid, yang dikenal dengan nama Masjid Laju, oleh Pangeran Anggadipa (Adipati Sumenep,
1626-1644 M). Dalam perkembangannya, masjid laju tidak mampu lagi menampung jemaah yang kian
banyak.
Setelah keraton selesai pembangunannya, Pangeran Natakusuma I memerintahkan arsitek yang juga
membangun keraton, Lauw Piango, untuk membangun Masjid Jami’. Berdasar catatan di buku Sejarah
Sumenep (2003) diketahui, Lauw Piango adalah cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan satu dari
enam orang China yang mula-mula datang dan menetap di Sumenep. Ia diperkirakan pelarian dari
Semarang akibat adanya perang yang disebut ’Huru-hara Tionghwa’ (1740 M).
Masjid Jami’ dimulai pembangunannya tahun 1198 H (1779 M) dan selesai pada tahun 1206 H (1787
M). Terhadap masjid ini Pangeran Natakusuma berwasiat yang ditulis pada tahun 1806 M, bunyinya
sebagai berikut;
”Masjid ini adalah Baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa di negeri/keraton Sumenep.
Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan.
Jika terdapat Masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya Masjid ini
wakaf, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.”
Dari tinjauan arsitektural, memang banyak hal yang khas pada bangunan yang menjadi pusat kegiatan
masyarakat Islam di kabupaten paling timur Pulau Garam ini. Memperhatikan fisik bangunan, layaknya
menganut eklektisme kultur desain.
Masjid Jami’ Sumenep dari bentuk bangunannya bisa dikata merupakan penggabungan berbagai unsur
budaya. Mungkin pula sebagai bentuk akomodasi dari budaya yang berkembang di masyarakatnya. Pada
masa pembangunannya hidup berbaur berbagai etnis masyarakat yang saling memberikan pengaruh.
Yang menarik lagi, bukan hanya kolaborasi gaya arsitektur lokal. Tetapi lebih luas, yaitu antara
arsitektur Arab, Persia, Jawa, India, dan Cina menjadi satu di bangunan yang istimewa ini. Mungkin
pula berbagai etnis yang tinggal dan hidup di Madura lebih banyak lagi, sehingga membentuk struktur
bangunan lengkap dengan ornamen yang menghias bangunan ini secara keseluruhan.
Kubah kecil di puncak bangunan yang ada di sudut kanan-kiri halaman masjid, sangat mungkin
mewakili arsitektur Arab-Persia. Penerapannya tidak semata-mata, terdapat sejumlah modifikasi yang
berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Ornamen yang kemudian dipertegas dengan warna-warna menyala, menggambarkan corak bangunan
dari Gujarat-Cina. Semakin kental atmosfirnya ketika berada di bagian dalam bangunan utama.
Memperhatikan mihrab masjid yang berusia 799 tahun ini, pada mimbar khotbah, hingga ornamen
seperti keramik yang menghiasi dindingnya.
Bangunan bersusun dengan puncak bagian atas menjulang tinggi mengingatkan bentuk-bentuk candi
yang menjadi warisan masyarakat Jawa. Kubah berbentuk tajuk juga merupakan kekayaan alami pada
desain masyarakat Jawa.
Struktur bangunan secara keseluruhan menggambarkan tatanan kehidupan masyarakat yang rumit di
saat itu. Jalinan hubungan antaretnik yang hidup di Madura dapat disaksikan dari bangunan utuh dari
sosok masjid Agung Sumenep ini.
Pada bagian depan, dengan pintu gerbang yang seperti gapura besar, beberapa orang berpendapat juga
menampakkan adanya corak kebudayaan Portugis. Konon, masjid Agung Sumenep merupakan salah
satu dari sepuluh masjid tertua di Indonesia dengan corak arsitektur yang khas.
Perkembangan Islam di tanah Jawa, pula menjadi bagian dinamika kehidupan masyarakat Madura.
Perkembangan ajaran Islam di Pulau Madura, tak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pergumulan
masyarakat Jawa yang secara gegrafis terpisah dengan Selat Madura. Perkembangan Islam di Ampel
dan Giri menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Madura. Pada jamannya, tugas dakwah yang
diemban para wali meliputi seluruh daerah, termasuk Jawa dan Madura.
Dalam perkembangan Islam di Madura tak lepas dari para pedagang yang datang dari Gujarat (India)
serta para perantau yang berasal dari jazirah Arab. Mereka yang berhasil mendarat di Madura juga
memberi kontribusi akibat interaksi, baik budaya maupun tata kehidupan.
Model akulturasi budaya yang ada di masa silam, secara jelas masih bisa dinikmati sekarang. Yaitu
dengan melihat kekayaan detil arsitektural yang ada di masjid Jami’ Sumenep. Walaupun pada sekitar
tahun 90-an masjid ini mengalami pengembangan, dengan renovasi pada pelataran depan, kanan dan
kirinya. Namun demikian tidak mengurangi eksotismenya hingga sekarang
LABANG MESEM
Labang Mesem merupakan sebutan untuk gerbang keraton yang letaknya tidak jauh dari Taman Sare.
Dalam Bahasa Indonesia, Labang berarti pintu, dan Mesem berarti senyum. Dari sekian versi tentang
asal usul nama Labang Mesem, akhirnya disimpulkan, bahwa nama Labang Mesem merupakan symbol.
Perlambang atas sikap keramah-tamahan dan penuh senyum dari para raja dan seluruh orang keraton
dalam menerima tamu.
Setidaknya ada tiga versi yang melatari pemberian nama Labang Mesem. Pertama, pada jaman dahulu
pintu gerbang menuju keraton itu dijaga oleh dua orang cebol. Hal ini bisa dilihat dari dua ruangan
dengan pintu rendah di kanan dan kiri gerbang itu. Menguatkan bukti itu, di makam Asta Tinggi
terdapat kuburan-kuburan cebol. Karena yang menjaga orang dengan bentuk kecil, maka tak heran bila
sering menghadirkan senyum orang-orang yang melintas di gerbang tersebut.
Versi kedua menyebutkan, ruang terbuka yang berada di atas pintu gerbang tersebut merupakan tempat
raja untuk mengawasi sekitar keraton. Juga mengawasi putri-putri dan para istrinya yang sedang mandi
di Taman Sare. Konon ketika sedang memperhatikan putri dan atau istrinya yang sedang mandi itu, raja
tampak mesam-mesem. Sebab itulah kemudian gerbang itu disebut Labang Mesem.
Sedang versi yang lain, menyebutkan suatu ketika Keraton Sumenep berhasil memukul mundur pasukan
dari kerajaan Bali. Menyisakan dendam, Raja Bali bermaksud menuntut balas. Maka mereka pun datang
ke Sumenep beserta bala tentaranya. Namun siapa sangka, ketika mereka sudah sampai di depan
gerbang keraton amarah yang diselimuti dendam berubah. Menjadi senyum ramah dan penuh
persahabatan. Kabarnya, hal itu merupakan akibat terkabulnya doa raja kepada Tuhan yang Maha Esa.
Merubah api dendam menjadi air persaudaraan.
Masih banyak kekayaan sejarah yang bisa dinikmati di keraton ini. Tak cukup tulisan dan foto untuk
mengungkap semuanya. Cara paling tepat untuk memuaskan penasaran hati, hanya dengan datang dan
menikmati setiap keping mozaik warisan sejarah negeri ini dengan mata kepala sendiri.
Bagaimana Mencapai Keraton?
Sangat mudah mencapai Keraton Sumenep, karena letaknya sekitar 200 meter arah Timur dari Taman
Bunga di pusat kota Sumenep. Demikian halnya untuk sampai ke pusat kota kabupaten paling timur di
Pulau Madura ini. Bila berangkat dari Surabaya, pusat propinsi Jatim, dengan kendaraan pribadi butuh
waktu sekitar 4 jam perjalanan.Nama Sumenep, salah satu versinya berasal dari kata Songenep. Dalam
bahasa Madura, Songenep merupakan gabungan dari kata Lesso dan Nginep. Dalam Bahasa Indonesia,
Lesso berarti capek atau lelah, dan nginep berarti bermalam. Jadi, setelah kita melakukan perjalanan
menuju kita ini dianjurkan bermalam. Setidaknya demikian agar keesokan harinya Anda bisa menikmati
kekayaan dan keindahan potensi wisata di daerah ini dengan lebih leluasa. Obyek-obyek seperti Pantai
Slopeng, Pantai Lombang, makam raja Asta Tinggi, dan yang lainnya bisa menjadi jujukan wisata Anda