Pembahasan
Pada tanggal 8 November 2020, kami menemui juru kunci lama Keraton
Kesultanan kota Sintang di kediamannya yang terletak di Menyumbung Sintang.
Beliau bernama bapak Tamrin Hasan, atau orang-orang biasa memanggilnya
dengan sebutan ayi. Beliau merupakan juru kunci Keraton Kesultanan kota
Sintang sejak tahun 2005.
Setelah lamaran tersebut Petung Kumpat menderita penyakit kulit, dan hal
inilah yang menyebabkan dia dihanyutkan menggunakan lanting yang terbuat dari
batang pisang oleh ayahnya. Petung Kumpat pun hanyut sampai ke Sepauk dan
tanpa sengaja bertemu dengan Aji Melayu kembali. Petung Kumpat menjelaskan
bahwa siapa saja yang bisa menyembuhkan penyakit yang dideritanya akan
dijadikan suami bila laki-laki dan akan dianggap seorang bapak bila itu orang tua.
Mendengar hal ini, Aji Melayu mengajukan diri untuk mengobati penyakit
tersebut. Beliau pun bersemedi selama seminggu dan akhirnya mengobati Petung
Kumpat. Akhirnya penyakit tersebut pun hilang dan Petung Kumpat menerima
Aji Melayu sebagai suaminya. Namanya pun berubah menjadi Putri Junjung Buih
dan menikah. Pada abad ke-7 Aji Melayu meletakkan batu Kundur atau batu
prasasti pertama kali daratan sungai Senentang (Kapuas).
Pada pertengahan abad ke – XVII, Kerajaan Sintang di perintah oleh seorang raja
yang bernama Abang Pencin bergelar “ Pangeran Agung ”, Baginda Pangeran
Agung adalah turunan ke – 17 dari Raja di Kerajaan Sintang yang pertama. Pusat
Pemerintahan Kerajaan pada waktu itu terletak di wilayah yang disebut Pulau
Perigi, yaitu ditengah kota Sintang dan pada saat sekarang perbatasan antara
Kelurahan Kapuas Kiri Hilir dan Kelurahan Kapuas Kiri Hulu.
Belum begitu lama Baginda Pangeran Agung memangku jabatan sebagai Raja di
Kerajaan Sintang, datanglah dua orang perantau dari luar kerajaan Sintang yang
kemudian diketahui ternyata para mubaligh Islam. Mereka adalah Mohammad
Saman dari Banjarmasin dan Enci’ Shomad dari Serawak.
Sikap pemberani Putri Dara Juanti itu membuat seorang Patih dari
kerajaan Majapahit terkagum-kagum. Tetapi apa yang dikatakan oleh
Patih Lohgender pada saat itu, “Wahai Tuan Putri..ketahuilah
jangankan untuk membawa abangmu pulang ke negeri asalmu, satu
genggam tanah di majapahit pun tidak aku ijinkan untuk dibawa.