Anda di halaman 1dari 9

Penyebaran Islam Di Nusa Tenggara

NAMA KELOMPOK

1. Thadeus Michael Chandler


2. M.Nurardiansyah
3. Rama Mulyana
4. M.Rian Maulana
5. M.Mulkan Aziem
6. M.Fabian Rasya
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas yang berjudul “Sejarah Penyebaran agama
Islam di Nusa Tenggara” ini tepat pada waktunya

Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi


tugas pada mata pelajaran sejarah. Selain itu, laporan ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang sejarah.

Terlebih dahulu kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Helmi


Basumbul S.Pd., selaku guru mata pelajaran sejarah yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan tentang sejarah penyebaran agama Islam di Nusa
Tenggara.
PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA

1. NUSA TENGGARA BARAT

Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni sunan


Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Para wali
tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang
masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam
dengan budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut
memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam.
Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno.
Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat
dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan
peribadatan adalah para pemangku adat saja.
Ketika Kerajaan Lombok dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen
datang mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan
bahwa pengislaman ini merupakan upaya Sunan Ratu Giri dari Gresik yang
memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam
ke berbagai wilayah di Nusantara. Proses pengislaman oleh Sunan Prapen
berjalan dengan lancar, sehingga beberapa tahun kemudian seluruh pulau
Lombok memeluk agama Islam, kecuali beberapa tempat yang masih
mempertahankan adat istiadat lama.
Sunan Ratu Giri memerintahkan keyakinan baru disebarkan ke seluruh pelosok.
Dilembu Manku Rat dikirim bersama bala tentara ke Banjarmasin, Datu bandan
di kirim ke Makasar, Tidore, Seram dan Galeier dan Putra Susuhunan, Pangeran
Prapen ke Bali, Lombok dan Sumbawa. Prapen pertama kali berlayar ke
Lombok, dimana dengan kekuatan senjata ia memaksa orang untuk memeluk
agama Islam. Setelah menyelesaikan tugasnya, Prapen berlayar ke Sumbawa
dan Bima. Namun selama ketiadaannya, karena kaum perempuan tetap
menganut keyakinan Pagan, masyarakat Lombok kembali kepada faham pagan.
Setelah kemenangannya di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali dan dengan
dibantu oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut, ia mengatur gerakan dakwah
baru yang kali ini mencapai kesuksesan. Sebagian masyarakat berlari ke
gunung-gunung, sebagian lainnya ditaklukkan lalu masuk Islam dan sebagian
lainnya hanya ditaklukkan. Prapen meninggalkan Raden Sumuliya dan Raden
Salut untuk memelihara agama Islam dan ia sendiri bergerak ke Bali, dimana ia
memulai negosiasi (tanpa hasil) dengan Dewa Agung Klungkung.
Di bawah pimpinan Prabu Rangkesari, Kerajaan Selaparang berkembang
menjadi kerajaan yang maju di berbagai bidang. Salah satunya adalah
perkembangan kebudayaan yang kemudian banyak melahirkan manusia-
manusia sebagai khazanah warisan tradisional masyarakat Lombok hari ini. L. C.
Van den Berg menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat
memengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum
intelektual dalam rekayasa sosial politik di Nusantara, Fathurrahman Zakaria
(1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang dan
Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat
menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen. Dengan modal
Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para
pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi atau menyalin
manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak. Lontar-lontar dimaksud, antara
lain Kotamgama, Lapel Adam, Menak Berji, Rengganis dan lain-lain. Bahkan
para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para
walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan
Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan
diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah
2. NUSA TENGGARA TIMUR

Masuknya Islam di NTT Agama Islam pertama kali dibawa ke wilayah Nusa Tenggara
Timur (NTT), tepatnya di Pulau Solor, oleh Syahbudin bin Salman Al-Faris pada abad
ke-15. Syahbudin bin Salman Al-Faris merupakan seorang ulama dan pedagang yang
membawa Islam ke NTT. Solor menjadi tempat di NTT yang pertama kali terpengaruh
Islam karena letaknya yang strategis. Di Solor terdapat bandar penting di Pamakayo,
Lohayong, Menanga, dan Labala. Bandar tersebut sangat penting sebagai tempat
persinggahan para pedagang. Syahbudin bin Salman Al-Faris juga dikenal sebagai
Sultan Menanga. Ia berhasil menyebarkan Islam. yang dibuktikan dengan mengawini
putri Raja Sangaji Dasi dari Kerajaan Lamakera di Solor.
Perkembangan Islam di NTT Raja Sangaji Dasi adalah salah satu orang Nusa Tenggara
Timur (NTT) yang pertama kali memeluk Islam. Masuknya Raja Sangaji Dasi ke agama
Islam juga diikuti oleh anggota keluarganya. Selain itu, perkembangan Islam di NTT juga
bisa dibuktikan dengan adanya kampung Muslim pertama di Menanga. Dari Menanga,
Islam kemudian berkembang ke wilayah Alor, Flores, Timor, dan Sumba. Kemudian,
pada abad ke-16, Islam semakin berkembang, dibuktikan adanya berbagai lembaga
yang didirikan. Beberapa lembaga yang didirikan adalah lembaga sosial, lembaga
keagamaan, dan lembaga pendidikan Islam. Berbagai lembaga yang didirikan tersebut
bertujuan untuk menunjang penyebaran agama Islam.
KERAJAAN ISLAM DI NUSA TENGGARA

1. KESULTANAN BIMA
Kesultanan Bima (‫ )كسلطانن بيما‬adalah kerajaan Islam yang didirikan pada tanggal 7
Februari 1621 Masehi. Sultan pertamanya adalah raja ke-27 dari Kerajaan
Mbojo yang bernama La Kai. Wilayah Kesultanan Bima meliputi Pulau
Sumbawa dan Pulau Flores Bagian Barat yaitu Wilayah Manggarai yang sekarang
menjadi 3 Kabupaten yakni Kab. Manggarai, Kab. Manggarai Barat dan Kab.
Manggarai Timur. Kesultanan ini telah dipimpin oleh 14 sultan. Sultan terakhirnya
adalah Sultan Muhammad Salahuddin.[1]
Pada awalnya Kesultanan Bima merupakan sebuah kelompok masyarakat Suku
Mbojo yang menganut paham animisme dan dinamisme. Masyarakat ini kemudian
disatukan bersama suku-suku lain di sekitarnya. Penyatuan ini dilakukan oleh Sang
Bima yang mengajarkan agama Hindu dari Jawa. Setelah itu, ia mendirikan
Kerajaan Bima dengan gelar Sangaji.[2]
Kerajaan Bima didirikanpada abad ke-11 Masehi dengan dua nama, yaitu Kerajaan
Mbojo dan Kerajaan Bima. Kerajaan Mbojo merupakan nama yang diberikan oleh
para pemangku adat yang disebut Ncuhi, sedangkan Kerajaan Bima merupakan
nama yang diberikan oleh masyarakat. Setelah membentuk kerajaan, Sang Bima
pergi ke Kerajaan Medang. Ia kemudian mengirim kedua putranya yang bernama
Indra Zamrud dan Indra Kumala ke Kerajaan Bima. Indra Zamrud diangkat
menjadi Sangaji di Bima, sedangkan Indra Kumala menjadi Sangaji di Dompu.[3]
Pada tahun 1540 Masehi, para mubalig dan pedagang dari Kesultanan
Demak datang ke Kerajaan Bima untuk menyiarkan Islam. Penyebaran Islam
dilakukan oleh Sunan Prapen, tetapi tidak dilanjutkan setelah Sultan
Trenggono wafat pada tahun yang sama. Pada tahun 1580, penyebaran Islam
dilanjutkan oleh para mubalig dan pedagang dari Kesultanan Ternate yang diutus
oleh Sultan Baabullah. Selanjutnya, penyebaran Islam di Kerajaan Bima diteruskan
oleh Sultan Alauddin pada tahun 1619. Ia mengirim para mubalig dari Kesultanan
Luwu, Kerajaan Tallo dan Kerajaan Bone. Kerajaan Bima akhirnya menjadi
kesultanan setelah rajanya yang bernama La Kai menjadi muslim pada tanggal
15 Rabiul Awal tahun 1030 Hijriyah. Agama Islam kemudian menjadi agama resmi
dari para bangsawan dan masyarakat Kerajaan Bima. [4]
RAJA RAJA KESULTANAN BIMA

 Abdul Kahir I atau Ruma-ta Ma Bata Wadu (1620-1640 M)

 I Ambela Abdul Kahir Sirajuddin atau Mantau Uma Jati (1640-1682 M)

 Nuruddin Abu Bakar All Syah atau Mawa’a Paju (1682-1687 M)

 Jamaluddin Ali Syah atau Mawa’a Romo (1687-1696 M)

 Hasanuddin Muhammad Syah atau Mabata Bo’u (1696-1731 M)

 Alauddin Muhammad Syah atau Manuru Daha (1731-1748 M)


 Kamalat Syah atau Rante Patola Sitti Rabi’ah (1748-1751 M)

 Abdul Kadim Muhammad Syah atau Mawa’a Taho (1751-1773 M)

 Abdul Hamid Muhammad Syah atau Mantau Asi Saninu (1773-1817 M)

 Ismail Muhammad Syah atau Mantau Dana Sigi (1817-1854 M)

 Abdullah atau Mawa’a Adil (1854-1868 M)

 Abdul Aziz atau Mawa’a Sampela (1868-1881 M)

 Ibrahim atau Ma Tahi Parange (1881-1915 M)

 Muhammad Salahuddin (1915-1951 M)

2. KESULTANAN SUMBAWA

Kesultanan Sumbawa atau juga dikenal dengan Kerajaan Samawa[1] adalah salah


satu dari tiga kerajaan Islam besar di Pulau Sumbawa. Wilayah kekuasaannya
meliputi hampir 2/3 dari luas pulau Sumbawa.[2] Keberadaan Tana Samawa atau
wilayah Sumbawa, mulai dicatat oleh sejarah sejak zaman Dinasti Dewa Awan
Kuning, tetapi tidak banyak sumber tertulis yang bisa dijadikan bahan acuan untuk
mengungkapkan situasi dan kondisi pada waktu itu. Sebagaimana masyarakat di
daerah lain, sebagian rakyat Sumbawa masih menganut animisme dan sebagian
sudah menganut agama Hindu. Baru pada kekuasaan raja terakhir dari Dinasti Awan
Kuning, yaitu Dewa Maja Purwa, ditemukan catatan tentang kegiatan pemerintahan
kerajaan, antara lain bahwa Dewa Maja Purwa telah menandatangani perjanjian
dengan Kerajaan Gowa di Sulawesi. Perjanjian itu baru sebatas perdagangan antara
kedua kerajaan kemudian ditingkatkan lagi dengan perjanjian saling menjaga
keamanan dan ketertiban. Kerajaan Gowa yang pengaruhnya lebih besar saat itu
menjadi pelindung Kerajaan Samawa.
Diperkirakan agama Hindu-Budha telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan
kecil di Pulau Sumbawa sekitar 200 tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke
wilayah ini. Beberapa kerajaan itu antara lain Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek
(Ropang), Kerajaan Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di Sampar
Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia (Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja
Paruwa (Utan), Kerajaan Seran (Seteluk), Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan
Jereweh.
Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke Pulau Sumbawa lebih dahulu
daripada Pulau Lombok antara tahun 1450–1540 yang dibawa oleh para pedagang
Islam dari Jawa dan Sumatra, khususnya Palembang. Selanjutnya
runtuhnya Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan kerajaan-kerajaan kecil di
wilayah Sumbawa menjadi kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kondisi ini justru
memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh tersebut,
kemudian pada tahun-tahun awal pada abad ke-16, Sunan Prapen yang merupakan
keturunan Sunan Giri dari Jawa datang untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-
kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang
dari Kerajaan Gowa tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai
kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah: “Adat
dan rapang Samawa (contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat
sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam”.
RAJA RAJA KESULTANAN SUMBAWA
 Dewa Maja Paruwa (Dinasti Dewa Awan Kuning) - Sebelum 1618 – 1632
 Dewa Mas Pamayan/Raden Untalan
 Dewa Mas Gowa / mantan Raja Utan
 Dewa Mas Bantan Datu Loka alias Dewa Masmawa Sultan Harunnurrasyid I
 Mas Madura[25][26]/Kalimullah/Amas Madina /Dewa Mas Madina Datu Taliwang
 Riwa Batang: Raja Tua Datu Bala Sawo Dewa Loka Ling Sampar / Datu
Seran 
 Datu Gunung Setia / Jalaluddin Datu Taliwang (1725-1732)
 Dewa Maswawa Sultan Muhammad Kaharuddin I 
 Karaëng-Bontowa 02/ Dewa Maswawa Sultanah Siti Aisyah Datu Bini (I
Sugiratu Karaeng Bonto Parang) binti Sultan Jalaluddin Muhammad Syah I
(1758-1761) ibunda Siti Hadijah Datu Bonto Paja.
 Dewa Maswawa Sultan Lalu Onye Datu Ungkap Sermin (Dewa Lengit Ling
Dima) bin Datu Sepe
 Dewa Maswawa Sultan Jalaluddin Muhammad Syah II
 Dewa Maswawa Sultan Mahmud (Pangeran Mahmuddin

Riwa Batang: Dewa Mappaconga Mustafa (Mappa Tjo-nga)/ Datu


Taliwang - Pemangku Sultan (1765-1775)- Kontrak 18 Mei 1766 [37]
[38][39][40][41]

Riwa Batang: Datu Busing Lalu Komak (1775-1777)


 Dewa Maswawa Sultan Harunnurasyid II (Lalu Mahmud/Hasan Rasyid Datu
Budi/Datu Seran) (1777-1791)
 Dewa Maswawa Sultanah Shafiyatuddin (Daeng Massiki)
 Dewa Maswawa Sultan Muhammad Kaharuddin II (Lalu Muhammad) bin
Sultan Mahmud dengan Ratu Laija binti Raja Banjar - (m. 1795-1816

Riwa Batang: Nene Ranga Mele Manyurang (1816-1825) -


Pemangku Kerajaan

Riwa Batang: Nene Ranga Lalu Manyurang Mele Abdullah (1825-


1836) - Pemangku Kerajaan

 Dewa Maswawa Sultan Lalu Mesir bin Sultan Muhammad Kaharuddin II


 Dewa Maswawa Sultan Lalu Muhammad Amrullah (Amaroe'llah) bin Sultan
Muhammad Kaharuddin II (1843-1882) 2 Agustus 1857.
 Dewa Maswawa Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III (Dewa Marhum) bin
Mas Kuncir Datu Lolo Daeng Manassa (Datu Raja Muda) bin
Sultan Amaroe'llah - (m. 1882-1931).
 Dewa Maswawa Sultan Muhammad Kaharuddin III bin Sultan Muhammad
Jalaluddin Syah III dengan Siti Maryam Daeng Risompa Datu Ritimu - (m.
1931-1975)
 Dewa Maswawa Sultan Muhammad Kaharuddin IV (Daeng Ewan) bin
Sultan Muhammad Kaharuddin III dengan Siti Khodijah Daeng Ante Ruma
Pa'duka binti Sultan Salahuddin Makakidi Agama Raja Bima XIII - (m. 2011-
Sekarang)[44]

Anda mungkin juga menyukai