Anda di halaman 1dari 29

TOPIK I

SEJARAH ISLAM DI PULAU LOMBOK


MENJELANG TGKH. MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MADJID

A. Masuk Berkembangnya Agama Islam di Pulau Lombok


Agama Islam masuk di bumi Selaparang tidak lama setelah runtuhnya
kerajaan Majapahit. Keruntuhan kerajaan Majapahit sendiri lebih disebabkan, oleh
peberapa faktor, antara lain: tindakan Gadjah Mada yang memborong segala
kekuasaan dan tidak mendidik kader-kadernya, adanya perang Paregreg sehingga
menimbulkan kelemahan dikalangan pemerintahan pusat, penyerangan
Girindrawardana dari Medang Kemulan, serta mulai masuk dan berkembangnya
Islam di Nusantara.
Pada waktu itu sudah ada pedagang-pedagang muslim yang bermukim dan
berniaga di Lombok kemudian mereka menyebarkanagamanya. Bukti yang paling
eksplisit menjelaskan kedatangan Islamdi Lombok adalah babad Lombok yang
menjelaskan bahwa Sunan Ratu Giri memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan
Palembang untuk menyebarkan Islam ke Indonesia bagian utara. Mereka yang
ditugaskan itu antara lain: Lembok Mangkurat dengan pasukannya dikirim ke
Banjar, Datu Bandan dikirim ke Selayar, Makassar,Tidore dan Seram; Pangeran
Perapen (Sunan Prapen) mengirim anak laki-lakinya untuk berlayar menyiarkan
Islam ke Bali, Lombok dan Sumbawa.
Menurut Faille, setelah pasukan Pangeran Prapen mendarat dan turun dari
kapal, dengan sukarela raja Lombok memeluk agama Islam. Tetapi rakyatnya tetap
menolak sehirigga terjadi peperangan yang dimenangkan oleh pihak Islam.
Pendapat lain menyebutkan bahwa awal mulanya raja Lombok menolak kedatangan
Islam,namun setelah pangeran Prapen menjelaskan maksudnya yaitu untuk
menyampaikan misi suci dengan cara damai maka beliaupun diterima dengan baik,
tetapi karena hasutan rakyatnya kemudian raja Lombok ingkar janji dan
mempersiapkan pasukan sehingga terjadilah peperangan. Dalam peperangan itu, raja
Lombok terdesak dan melarikan diri. Tetapi malang, Jayalengkara berhasil
menangkap raja, lalu dibawa menghadap ke Pangeran Prapen. Beliau kemudian
diampuni dan mengucapkan dua kalimah syahadat serta dikhitan.
Masjid pun segera dibangun sedangkan Pura, Meru, Babi, dan Sanggar
dimusnahkan. Seluruh rakyat diislamkan dan dikhitan. Kecuali kaum wanita,
penghitanannya ditunda atas permintaan Syahbandar Lombok. Setelah berhasil
mengislamkan raja Lombok, Sunan Perapendengan pasukannya mengislamkan
kedatuan-kedatuan lainnya seperti Pejanggik, Langko, Parwa, Sarwadadi, Bayan,
Sokong dan Sasak (Lombok Utara).
Hal ini terbukti dengan adanya peninggalan arkeologis seperti, masjid-
masjid tua, makam-makam kuno dan sebagainya. Pada beberapa kedatuan-kedatuan
lainnya, sebagian mereka masuk Islam dengan sukarela, sebagian lagi masuk Islam
dengan cara kekerasan seperti di Parigi dan Sarwadadi.
Setelah itu beberapa tahun kemudian seluruh Lombok memeluk agama
Islam, kecuali Pajarakan dan Pengantap. Perkembangan Islam yang sedemikian
cepat ini disebabkan beberapa faktor:
1. Agama Islam dianggap demokratis,
2. Ajaran Islam bukan merupakan ajaran yang asing lagi karena sudah lebih dahulu
bercampur dengan anasir India,
3. Penyebarannya berjalan secara damai karena melalui perdagangan, kesenian
dan perkawinan,
4. Karena terjadinya kekosongan pegangan rohani rakyat akibat kemunduran
Majapahit.
5. Karena intensitas kegiatan para guru agama, ulama dan wali yang dianggap
memberi manfaat yang nyata bagi kehidupan masyarakat.

B. Sunan Prapen Kembali Ke Lombok


Sesuai dengan misi yang diemban dari Ratu Sunan Giri, maka setelah
mengislamkan kerajaan-kerajaan lainnya di pulau Lombok, Sunan Prapen
melanjutkan' penyebaran Islam ke Sumbawa, Dompu dan Bima. Sepeninggal Sunan
Perapen, keadaan agama Islam di Lombok sangat menyedihkan karena kaum
wanitanya menolak memeluk agama yang baru itu. Hal ini sangatlah beralasan
karena masih kuatnya pengaruh agama sebelumnya dan juga adanya pengaruh
kekuasaan Karangasem di Bali sebagai kerajaan yang kuat dan tangguh. Akibat
timbulnya permasalahan ini kemudian. Sunan Prapen kembali lagi dan mendarat di
Lombok melalui Sugian untuk menyerang penduduk yang masih kafir.
Dalam penyerangan ini penduduk Lombok terpecah menjadi tiga bagian,
yaitu : (1) kelompok yang melarikan diri dan mengungsi ke gunung-gunung lalu
masuk hutan, mereka dikenal sebagai Orang Boda, (2) kelompok yang takluk dan
masuk Islam dikenal sebagai Waktu Lima, (3) kelompok yang hanya takluk di
bawah kekuasaan Sunan Perapen dikenalsebagai penganut Wetu Telu.
Rencana Sunan Perapen untuk mengislamkan pulau Bali terpaksa ditunda
karena mendapat perlawanan dari Dewa Agung Gelgel yaitu Dewa Agung Batu
Renggong yang pada pertengahan abad ke-16 M berusaha membendung penyebaran
agama Islam yang dilakukan oleh orang-orang Jawa dari arah barat maupun orang-
orang Makassar dari arah timur. Oleh sebab itu, pengaruh kerajaan Gelgel di bagian
barat pulau Lombok lebih besar, sehingga SunanPrapen mendarat di pantai timur
(Labuan Lombok).

C. Penyebaran Agama Islam Di Beberapa Tempat


1. Penyebaran Islam di Bayan Sekitar abad ke-16 M,

Penyebaran agama Islam juga masuk melalui pantai utara Bayan dan dari
arah baratsekitar Tanjung. Pembawanyaadalah seorang yeikh dari Arab Saudi
bernama Nurul. Rasyid dengan gelar sufinya Gaoz Abdul Razak. Makamnya
torletak di kampung Kuranji, sebuah desa pantai di barat daya Lombok. Gaoz
Abdul Razak mendarat di Lombok bagian utara, di daerah Bayan. la pun menetap
dan berdakwah Kompleks Masjid Bayan Bleq disana. Beliau mengawini Denda
Wulan yang melahirkan seorang anak bernama Zulkarnaen. Keturunan inilah yang
menjadi cikal bakal raja-raja Selaparang. Kemudian Gaoz Abdul Razak mengawini
lagi Denda Islamiyahyang melahirkan Denda Qomariah yang populer dengan
sebutan Dewi Anjani.
Sunan Pengging, pengikut Sunan Kalijaga dating ke Lombok pada tahun
1640 M untuk menyiarkan agama Islam (sufi). Ia kawin dengan putri dari kerajaan
Parwa sehinggga menimbulkan kekecewaan raja Goa. Selanjutnya, raja Goa
menduduki Lombok pada tahun 1640 M. Sunan Pengging yang dikenal sebagai
Pangeran Mangkubumi lari ke Bayan. Salah satu bukti yang dapat dijadikan
sebagai kajian tentang awal penyebaran agama Islam adalah masjid kuno Bayan
Beleq.
2. Penyebaran Islam di Pujut
Salah satu bukti yang paling konkrit penyebaran Islam di daerah Pujut adalah
masjid kuno Rembitan. Bangunan ini merupakan prototipe masjid-masjid tua.
Secara kronologis diperkirakan dibangun sekitar abad ke-16 M. Tokoh legendaris
penyebar agama Islam di daerah ini adalah Wali Nyatok. Masjid di Rembitan sering
dikaitkan dengan tokoh Wali Nyatok. Dalam tradisi lisan, Wali Nyatok dikenal
sebagai penyebar agama Islamdi Lombok bagian selatan dan sekitarnya.
Nama lain Wali Nyatok adalah Sayid Ali atau Sayid Abdurrahman. Sayang
sekali pada batu nisannya tidak ada inskripsi yang menyebut nama tokoh tersebut,
meskipun dari segi tipologi nisan tersebut tergolong tua. Salah satu tokoh
legendaris lainnya dalam penyebaran agama Islam adalah Pangeran Sangupati.
Beberapa pendapat tentang Pangeran Sangupati sebagai berikut:

a. Pangeran Sangupati adalah putra Selaparang yang dianggap Waliyullah. Ia


mengarang kitab Jatiswara, Prembonan, Lampanan Wayang,Tasawuf dan Fiqh .
b. Pangeran Sangupati berasal dari Jawa yang sengaja berkelanauntuk
menyebarkan agama Islam dan memiliki nama asli diJawa: Aji Datu Semu,
sedangkan di Sumbawa dikenal dengannama Tuan Semeru.
c. Pangeran Sangupati adalah tokoh agama Hindu yang menyebarkan agama Hindu
di kalangan umat Islam karena Islamyang dianut oleh para penduduk masih
sangat lemah, maka beliau menyebarkan agama Islam Waktu Telu (Wetu Telu)
suatu bentuk peralihan dari agama Boda tua ke agama Waktu Lima dan
diadikenal dengan nama Pedanda Wau Rauh.
Selain tokoh-tokoh tersebut ada juga yang disebut-sebut sebagai penyebar
agama Islam di Lombok yaitu Al-Fadal.

D. Islam di Lombok Abad ke-17 Masehi


Islam di Lombok pada dasarnya merupakan hasil kontak perdagangan para
pedagang muslim dengan berbagai kerajaan di Indonesia pada abad ke-13 hingga
abad ke-14. Secara umum, Islam masuk dan berkembang di Lombok dilakukan
oleh dua kelompok Islam yaitu kelompok Islam Esoteris yaitu tokoh Islam dari
dalam Pulau Lombok itu sendiri, sebelum adanya modernisasi dan transportasi
ibadah haji, setelah adanya modernisasi transportasi ibadah haji. Pada saat itu
Islam masuk dan berkembang di Lombok pada abad ke-15 dan ke-16, Islam
disebarkan para tokoh Tuan Guru dari kalangan Islam Esoteris atau orang dari
dalam Lombok sendiri, atau yang dinamakan Islam Sufi. Pada masa itu pada abad
ke-17, mubalig yang menyebarkan agama Islam di Lombok adalah para pedagang
muslim dari luar Lombok yang datang berdagang melalui pelabuhan Lombok,
seperti pedagang dari Pulau Jawa, Palembang, Banten, Gresik, dan Sulawesi
(Ariadi, 2013; Fauzan, 2018)

Periodesasi Penyebaran Islam di Lombok Abad Ke-17 M. Secara historis,


perkembangan Islam di Pulau Lombok menjadi kuat setelah raja Lombok
melakukan kerjasama dengan kerajaan Makasar. Dan penaklukan yang di hasilkan
oleh sultan Makasar (Gowa) atau raja Lombok (Dewa Maharaja Parawa) pada
tahun 1623 menyebabkan kontak antara raja-raja Lombok, dan raja Makasar
(sudah masuk agama Islam tahun 1603). Pada tahun 1650 disebutkan bahwa
seluruh penduduk Pulau Lombok memeluk agama Islam (Manca, 1984).
Pendatang baru yang datang darai luar Pulau Lombok kemudian di kenal sebagai
orang yang benar-benar yang mau menetap di wilayah Pulau Lombok, dan bagi
pendatang ke Lombok di namakan dalam bahasa Sasak yaitu Tetun atau Belu
yang artinya, orang yang diduga telah datang ke timor pada abad ke-14, mula-
mula di dataran rendah Benain (kini daerah kefetoran Wehali).
Hal itu sangat mungkin terjadi sesudah penaklukan Malaka oleh Portugis
(1511). Pada masa itu, wilayah Nusa Tenggara sudah dikenal sebagai penghasil
kayu cendana. Namun, migrasi dari Malaka tetap belum jelas, miskipun orang-
orang di Pulau Lombok percaya apa yang disampaikan lewat tradisinya
(Parimartha, 2002).
Secara eksplisit, dewasa ini belum ada kajian yang mendalam tentang
kedatangan Islam di Lombok pada abad ke-17 M, tetapi, setidaknya ada tiga teori
yang menjelaskan tentang masuknya Islam di Lombok, yaitu: Pertama Islam
masuk ke Lombok pada abad ke-13 M, bersamaan dengan masuknya para
pedagang Gujarat ke Perlak, Samudera Pasai, juga dari Arab, yaitu adanya
seseorang mubaligh Syaihk Nurul Rasyid yang kemudian menikah dengan dende
bulan (Dewi Anjani) dan melahirkan anak bernama Zulkarnain, yaitu cikal bakal
Raja Selaparang. Di Batu Layar, kota Mataram terdapat makam seorang Arab
bernama Syaid Duhri Haddab al Hadami yang mengembangkan Islam pada masa
kerajaan Selaparang di Pulau Lombok juga sudah diketahui sejak abad ke 17. M
(Ariadi, 2013).
Teori kedua menjelaskan bahwa Islam di Lombok dibawa dari Jawa oleh
Sunan Perapen (1548-1605) putra Sunan Giri atau yang lebih dikenal dengan
Sunan Ratu Giri keempat, datang bersama dengan Pangeran Sangapati pada abad
ke-16, Melalui jalan utara, hal ini ditandai dengan adanya Lokal Jawa, Ampel
Duri, dan Ampel Gading di Bayan Lombok Utara melalui pelabuhan Carik, Anak
Agung Ketut Agung, menyebutkan bahwa penyebaran Islam mulai dari Kerajaan
Lombok sebelah Timur, kemudian menyebar ke kerajaan tetangga lainnya, seperti
Kerajaan Langko, Kerajaan Pejanggik, Kerajaan Bayan, Kerajaan Parwa, Kerajaan
Sarwadadi, Kerajaan Sokong dan Kerajaan Sasak (Anak Agung Ketut Agung,
1661-1950).
Teori Ketiga menyebutkan bahwa Islam masuk ke Lombok pada abad
yang sama, yakni abad ke-16, namun melalui jalur Timur, yakni dari pulau
Sumbawa yang kemudian disebarkan oleh para pedagang dan pelaut dari Makasar.
Sebagaimana diketahui, Kerajaan Selaparang Islam Semula di Labuan Lombok,
Kabupaten Lombok Timur yang kemudian sekarang di pindahkan ke bekas
ibukota Kerajaan Selaparang Hindu, yaitu Waktu perang Lombok. Dan Teori yang
ketiga ini adalah sebagaimana Islam di Bima yang datang dari Makasar dan
kemudian menuju Lombok (Jamaluddin, 2004).

Dari ketiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam masuk di Pulau
Lombok pada abad ke-16 dan berkembang pesat sampai abad ke- 17,dua di antara
ketiga teori masuknya Islam di Pulau Lombok menegaskan hal tersebut, yakni dari
dua jalur (arah) yang berbeda yaitu dari arah Barat yaitu Jawa dan dari arah Timur
yaitu dari Makasar melewati Bima dan Sumbawa baru kemudian ke Pulau
Lombok, walaupun tidak dapet menutup mata juga dari teori yang pertama
(Syakur, 2013).
Raden Paku belajar di Ampel bersama dengan Sunan Bonang. Ketika
keduanya berniat akan pergi haji maka terlebih dahulu keduanya berhenti di
Malaka dan bertemu dengan Wali Lanang. Jadilah keduanya santri Wali Lanang
selama setahun. Dalam pertemuan dengan Wali Lanang inilah keduanya diberi
julukan. Raden Paku dengan julukan Prabu Satmata dan Sunan Bonang dengan
julukan Prabu Nyakrakusumadi. Keduanya diperintahkan untuk pulang ke Ampel
Denta. Keduanya berperan dalam Proses Islamisai di Tuban dan Gresik. Daerah
dakwah Sunan Giri bahkan sampai ke Pulau Lombok, Makasar, Maluku,
Halmahera, dan Tarnate. Sunan Giri menurunkan sejumlah auliya dan raja-raja
local yang kelak baru dapat ditundukkan oleh kerajaan Mataram semasa
Amangkurat. Bahkan menurut cerita terdapat 6000 santri dari Giri yang dibunuh
di alun-alun Plered semasa pemerintahan Amangkurat I, Raja Mataram (Syam,
2013).

Pada abad ke-16 hingga abad ke-17, kontak antara para pedagang
dengan masyarakat Sasak berubah menjadi media para muballig atau dari Tuan
Guru, dalam menyebarkan Islam ke masyarakat Sasak. Melalui ajaran-ajaran
Islam yang bernuansa sufistik mengakulturasikan semangat spiritual
keagamaan masyarakat Sasak yang ada dalam filosofi Sasak Lombok’ dengan
spiritual keagamaan yang ada dalam Rukun Islam, terutama ibadah Haji.
Muncul dan berkembangnya Islam pada masyarakat Sasak terkait dengan dua
hal, yaitu pengaruh kedatangan Islam dengan ajaran-ajaran sufistiknya, dan
akulturasi semangat spiritual agama-agama lokal di masyarakat pulau Lombok
dengan spiritual yang ada dalam ibadah haji yang di lakukan oleh orang Lombok.
Masyarakat Sasak mengenal sosok seorang tokoh Islam yang bernama Habib
Husein bin ‘Umar al-Masyhur Marzaq, atau yang lebih dikenal dengan nama
Habib Husein. Seorang ulama Arab yang berasal dari Tarim, Hadralmaut.
Bersama Habib Abdullah Shahab, Tuan Guru menyebarkan Islam di Lombok
pada abad ke-17. Melakukan perjalanan dakwahnya dari Hadralmaut ke Kalikut,
India, lalu ke Aceh, dan ke Pulau Lombok. Saat melakukan dakwah Islam di
Lombok, Habib Husein diminta oleh Raja Lombok untuk mengobati Tuan Putri
yang sedang sakit. Setelah Ia menyembuhkan Tuan Putri, Habib Husein meminta
dihadiahkan tanah di Bintaro. Oleh Habib Husein, tanah ini dihibahkan untuk tanah
tempat pemakaman orang- orang Islam yang meninggal (Ariadi, 2013).
Periode Bali-Lombok dengan berbagai cara di bawah kekuasaan raja Bali
sejak tahun 1640. Pengaruh orang-orang Bali pada kepercayaan dan praktek Islam
di Lombok mungkin sangat signifikan, miskipun seberapa luasnya pengaruh itu
sulit ditentukan dengan pasti. Contohnya dari pengaruh orang-orang Bali yang
paling mungkin, dapat dilihat dalam singkretis IslamWetu Telu yang praktek-
praktek dan sistem kulturalnya tampaknya menyerupai praktek kosmologi orang-
orang Bali dalam beberapa hal. Namun demikian, tidaklah jelas apakah ini karna
pengaruh langsung dari orang-orang Bali atau karna kenyataan bahwa keduanya
berasal dari Jawa yaitu kerajaan Majapahit. Bahwa banyak daerah dari kalangan
masyarakat Wetu Telu sebagian besar terisolasi dari kontrak orang-orang Bali yang
membawa praktek-praktek yang menyerupai praktek-praktek agama orang Bali
mengesankan kemungkinan penjelasan yang lebih lanjut (Bartholomew, 2001).
Pengaruh Penyebaran Islam Terhadap Perilaku Keberagaman Masyarakat
Sasak di Lombok. Penganut agama Boda diperkirakan telah ada di Pulau Lombok
pada sekitar abad ke-16 M. Fakta ini berdasarkan penemuan empat buah Arca
Perunggu di Batu Pandang, Desa Sapit, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten
Lombok Timur pada tahun 1634. Selain dikenal dengan nama Agama Boda, agama
ini dikenal dengan istilah yang lain, yaitu Bodha Budhi. Penganut agama Bodha di
Lombok dalam mengangkat pengikut Budha tidak membedakan pangkat dan
kedudukannya. Mereka tidak membedakan kasta dan golongan. Karna adanya
doktrin ini, agama Budha yang menyebar di Pulau Lombok lebih dikenal oleh
masyarakat Lombok, sebagai agama Bodha atau Budha Budhi (Ariadi, 2013).

Adapun mereka yang mengalami proses Islamisasi dengan sempurna


digolongkan sebagai penganut Islam Waktu Lima, sebagaimana Islam yang
umumnya dikenal luas. Mereka diidentikkan dengan orang-orang Islam yang
secara taat dan sempurna melaksanakan ajaran agamanya, seperti shalat, zakat,
puasa, haji dan sebagainya. Jumlahnya merupakan mayoritas umat beragama dan
tersebar hampir di seluruh bagian pulau Lombok (Ariadi, 2013).
Berbeda halnya dengan IslamWaktu Lima, penganut IslamWaktu Telu,
diidentikkan dengan mereka yang dalam peraktek kehidupan sehari-hari sangat
kuat pegangannya kepada adat-istiadat nenek moyang mereka. Dalam ajaran
Waktu Telu, terdapat banyak nuangse Islam didalamnya. Namun demikian,
artikulasinya lebih dimaknakan dalam idiom adat. Pada masa itu warna agama
bercampur dengan adat, padahal adat sendiri tidak selalu sejalan dengan aturan
agama. Pencampuran praktek-praktek agama ke dalam adat ini menyebabkan
watak Waktu Telu menjadi sangat singkretik (Ariadi, 2013).
Beberapa kalangan yang melihat fenomena Waktu Telu dalam makna yang
samadengan penganut Islam abangan di kalangan masyarakat Jawa. Akan tetapi,
dilihat dari konsepsi serta cara pandang masing- masing, tidaklah tepat untuk
mempersamakan antara keduanya. Menurut Zamakhsyari Dhofier, Islam abangan
hanya merupakan sebutan bagi orang Islam yang tidak taat melaksanakan ajaran
Islam. Dan secara lebih rinci Abdul Jabbar Adlan-sebagaimana dikutip
Syamsuddin- mengidentifikasi Islam Abangan sebagai kelompok yang (Geertz,
1999).
Pertama, Tidak melakukan atau jarang melakukan syariat Islam dengan
alasan belum sempat, miskipun mereka mengakui itu semua adalah kewajiban
agama Islam. Kedua, masih melakukan semua yang sudah dilarang agama walupun
mereka mengakui bahwa hal-hal tersebut dilarang agama. Ketiga, mempunyai
keinginan melaksanakan syariat dan meninggalkan larangan syara’ bila sudah tua.
Berbeda dengan Waktu Telu, bagi mereka Waktu Telu adalah bentuk akhir
dari keberagamaan, yang tidak akan beranjak menuju Waktu Lima. Apabila ada di
kalangan penganut Waktu Telu yang akhirnya memutuskan untuk menganut Waktu
Lima, perubahan keyakinan ini merupakan konversi (perpindahan) agama, bukan
sebuah pencapaian menuju derajat keberagamaan yang lebih tinggi. Dengan
berpegang dengan alasan ini, jelas terdapat perbedaan yang signifikan diantara
keduanya (Madjid, 2004).

E. Komunitas Wetu Telu versus Islam Waktu Lima

Secara umum sering dinyatakan bahwa corak Islam yang berkembang


dalam masyarakat Sasak di Pulau Lombok pada praktiknya ada dua, yaitu Islam Wetu
Telu dan Islam Waktu Lima. Pembagian itu tidak sepenuhnya bisa diterima oleh
karena menurut sebagian orang Sasak, Wetu Telu merupakan tradisi dan bukan
merupakan agama. Karena itu term Islam Wetu Telu kurang tepat, lebih tepat
diistilahkan dengan komunitas Wetu Telu. Meskipun demikian, sejumlah kepercayaan
antara dua kelompok ini banyak yang mirip, dan pada perkembangannya terjadi dialog
kultural yang damai, meskipun terkadang diwarnai pertentangan dan saling berebut
pengaruh.
Menurut komunitas Wetu Telu, “wetu” sering dikacaukan dengan “waktu”.
Padahal menurut mereka “wetu” berasal dari kata “metu” yang berarti “muncul”
atau “datang dari”. Maksudnya, bahwa semua makhluk hidup itu muncul (metu)
melalui tiga macam sistem reproduksi yang diciptakan Tuhan: menganak (melahirkan)
seperti manusia, menteluk (bertelur) seperti burung, dan mentiuk (berkembang biak

dari benih) seperti buah-buahan. Ini merupakan dasar pemahaman kosmologis yang
tertanam kuat di kalangan mereka.
Sebagai simbolnya terdapat pahatan patung kayu yang disebut Paksi Bayan
yang menampilkan sosok seekor singa yang berada di puncak mimbar masjid kuno
Wetu Telu di Bayan Lombok Barat. Seorang kiai biasanya duduk di mimbar ini saat
memberikan khutbah dalam memperingati hari besar Islam seperti saat lebaran.
Pada Paksi Bayan itu juga terdapat pahatan lain yang merepresentasikan tiga sistem
reproduksi: kijang melambangkan kelahiran anak-anak, unggas merepresentasikan
burung yang bertelur sedang kelapa, padi dan kapas melambangkan aneka tumbuhan
yang berkembang-biak dari benih dan buah.
Selain itu, mereka memiliki pemahaman tentang adanya ketergantungan
antara antara jagad besar (makrokosmos) yang terdiri atas matahari, bulan, bintang,
dan planet lain, serta jagad kecil (mikrokomos) yang berisikan manusia dan mahluk
lain. Ketergantungan jagad kecil kepada jagad besar tercermin dalam kebutuhan
terhadap tanah, udara, air, dan api. Pada saat yang sama jagad besar juga tergantung
pada jagad kecil dalam hal pemeliharaan dan pelestarian. Ketergantungan semacam
itu menyatukan dua dunia tersebut dalam suatu keseimbangan, dan karena itulah
tatanan alam (kosmologis) bekerja.
Masyarakat Wetu Telu percaya pada Tuhan yang menciptakan Adam dan
Hawa sebagai manusia-manusia pertama. Dalam praktiknya keagamaan masyarakat
ini sarat diwarnai dengan bermacam-macam kepercayaan tentang roh, sebagai
mediator mereka sewaktu berkontemplasi dengan Tuhan. Mereka juga percaya
dan sangat menghargai ritual siklus kehidupan. Bagi mereka, setiap siklus diawali
maupun diakhiri harus diawali dengan suatu ritual khusus sebagai pertanda
mengarah pada status yang lebih tinggi. Tidak heran jika banyak ritual yang tetap
lestari, seperti ritus buang au (upacara kelahiran), ngurisang (upacara pemotongan
rambut), ngitanan (khitanan), merosok atau bekikir (meratakan gigi),
merariq (melarikan perempuan untuk dinikahi), metikah (perkawinan) begawe
pati (ritual kematian dan pasca kematian), dan sebagainya.
Masih banyak kepercayaan yang diyakini komunitas ini. Namun pada intinya

bertumpu pada pengetahuan tentang tradisi yang dipelihara secara turun temurun, bukan
tentang agama (Islam) dalam makna legal-normatifnya. Dengan demikian, adat menjadi
referensi sentral dalam peribadatan Wetu Telu. Inilah pengertian dan kedudukan
kelompok Wetu Telu sebagai komunitas tradisional masyarakat Sasak.
Namun demikian, seiring berkembangnya Islam di Lombok sebagai agama
mayoritas membuat komunitas adat ini memilih Islam sebagai identitas
keagamaannya, meskipun praktik adat tetap mereka pegang. Kenyataan inilah yang
memunculkan pengertian baru dari Wetu Telu menjadi Islam Wetu Telu.
Menurut kalangan yang mengidentifikasi mereka sebagai Islam Wetu Telu, mereka ini
hanya mengenal tiga rukun Islam, yaitu dua kalimat syahadat, shalat, dan puasa. Shalat yang
dilaksanakan adalah shalat Jumat, shalat Idul Fitri dan Idul Adha serta shalat jenazah. Puasa
Ramadhan dilakukan hanya tiga hari yaitu awal, tengah dan akhir bulan. Munculnya
pemahaman keagamaan dan pelaksanaan ritual Islam secara minimal ini jika
ditelusuri ternyata berkaitkan dengan proses dakwah Islam yang belum tuntas
dilakukan para penyebar Islam awal. Kepercayaan Wetu Telu bersumber dari
campuran banyak unsur: Hindu-Majapahit, tradisi lokal setempat, dan pengaruh orang-
orang Bali karena orang Lombok sejak tahun 1740 hingga 1894 berada di bawah control
raja-raja Bali.
Dalam proses penyebarannya, ternyata ajaran-ajaran Islam masih sulit diterima
secara bulat oleh orang-orang Sasak. Kepercayaan animisme dan dinamisme, yang
merupakan warisan nenek moyang masih belum bisa mereka tinggalkan. Di
samping itu, karena daya lentur ajaran Islam dan tata nilai yang telah berkembang
dalam kehidupan masyarakat sebelum datangnya Islam, tidak serta merta diganti.
Akibatnya masih ada budaya lama yang masih diterapkan bersamaan dengan ajaran
Islam yang baru mereka terima. Suburnya perkembangan Wetu Telu didukung oleh
kondisi penguasa Hindu yang melakukan tindakan hingga mengakibatkan
terhambatnya pembinaan kehidupan agama Islam dan menyebabkan timbulnya
penyimpangan-penyim- pangan dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
Hadits. Penguasa menekan orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji sehingga
orang-orang yang naik haji menjadi sangat sedikit jumlahnya.
Belanda semakin memperjelas demarkasi antara Hindu dan Islam, Adat dan
Islam dan seterusnya sehingga sebagai realitas akhir dari pola keagamaan masyarakat
Sasak adalah: (1) Islam Sunni (ortodoks) yang pada akhirnya populer dengan Waktu
Lima, (2) Hindu-Bali, (3) Boda yang merupakan pola keagamaan primordial dan
pengejewantahan adat dan tradisi yang kuat, dan (4) Kolaborasi beragam agama
mulai dari Boda, Hindu, dan Islam yang akhirnya di sebut dengan Wetu Telu.
Pada perkembangannya, komunitas Wetu Telu sudah banyak yang
melaksanakan ajaran Islam dengan sempurna berkat kegigihan para Tuan Guru
yang sudah menimba ilmu pengetahuan di Mekkah sejak abad ke-19. Mereka
berdakwah dan membimbing masyarakat kepada cara-cara ritual Islam Waktu Lima
seperti, TGH. Ali Batu, Guru Bangkol, TGH. Muhammad Siddiq, TGH. Zainuddin
Abdul Madjid, TGH. Saleh Hanbali, TGH. Makmun, dan masih banyak lagi. Mereka
merupakan penyiar Islam yang menekankan aspek fiqh berupa kewajiban pokok
seperti shalat, puasa, zakat dan haji, dan bahkan kadang ditambah dengan wirid
thariqat bagi mereka yang dianggap sudah layak. Tarekat ini pada akhir abad ke-19
berperan besar dalam pemberontakan melawan Belanda.
Para Tuan Guru pimpinan Islam Waktu Lima ini tidak memberangus budaya-
budaya dan tradisi lokal masyarakat setempat. TGH. Mutawalli misalnya, adalah
seorang tokoh yang mendakwahkan Islam dengan pendekatan kultural. Keyakinan
lokal masyarakat dibiarkan saja hidup. Dia mempelajari mitologi pada komunitas
Wetu Telu, mula-mula dengan cara mengutus murid-murid kepercayaannya untuk

menghimpun legenda dan mitos setempat dari para tetua desa. la memahami bahwa
komunitas Wetu Telu sangat suka memuja masa lalu, dan karena itu ia menampilkan
diri berminat mempelajari silsilah penduduk. Dengan modal itu dia dapat secara
leluasa mengenal kharakter, budaya, dan kepercayaan masyarakat setempat yang
membuatnya dapat begitu merakyat.
Dakwah kultural semacam itu ternyata berhasil menampilkan wajah Islam yang

membumi. Dalam pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang
normatif dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia
tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Pandangan semacam ini muncul
sebagai respons atas proses Arabisasi yang dilakukan oleh sebagian kalangan Islam
radikal yang mempunyai keinginan mengidentifikasi Islam dengan budaya Arab.
Pribumisasi Islam bermaksud menghindari terjadinya polarisasi antara agama dengan
budaya setempat. Artinya, menjadikan agama dan budaya agar tidak saling mengalah,
melainkan membuat pola hubungan dalam nalar keagamaan dengan berusaha
menemukan jembatan antara agama dan budaya.

F. TOKOH-TOKOH ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN


1. Tuan Guru Haji Umar (Kelayu)
Beliau terlahir pada tahun 1200 Hijriyah. Orang tuanya bernama Kyai Ratna
yang terkenal karena sangat pemurah terhadapfakir miskin dan para musafir.
Neneknya bernama Kyai Nurul Huda yang meninggal sewaktu shalat subuh dalam
keadaan sujud. TGH.Umar sangat tekun memberikan bimbingan pengajian dari satu
rumah ke rumah yang lain. Beliau juga rajin mengaji kepada orang alim, cerdas dan
shaleh. TGH. Umar Kelayu belajar ilmu-ilmu agama di pulau Lombok dan di tanah
suci Mekah. Secara garis besarnya dapat dijelaskan sebagai berikut: padaawal
mulanya beliau belajar membaca al Qur'an di Tanjung, kemudian ke Sekarbela
pada TGH. Mustafa dan Haji Amin di Sesela.
Pada usia 14 tahun TGH. Umar diperintahkan ke Mekah untuk naik Haji oleh
ayahnya dan berangkat dari Labuhan Haji. Di Mekah beliau berguru tentang hadits
pada Syekh Mustafa Afifi, Syekh Abdul Karim, dan Syekh Zaenuddin Sumbawa
sedangkan pelajaran sufi diperoleh pada seorang ulama di Madinah. Setelah
15tahun ia kembali ke kampung halamannya untuk memberikan berbagai ilmu
yang telah diperolehnya dari Mekah. Murid-murid TGH. Umar yang termasuk
ulama besar banyak berasal dari luar Lombok antara lain: Haji Abdul Fatta dari
Pontianak, Haji Dana dari Palembang, Haji Nawawi dari Lampung dan Haji
Abdurrahman dari Kedah Malaysia. Sedangkan yang berasal dari Lombok antara
lain: H. Rais dari sekarbela, H. Mohammad Saleh dari Bengkel, Haji Abdul Hamid
dari Pejeruk Ampenan, Haji As'ari dari Sekarbela, Haji Abdul Karim dari Praya,
Haji Malin dari Pagutan, Haji Syarafuddin dari Pancor dan Haji Badarul Islam dari
Pancor.
Selain TGH. Umar masih terdapatulama-ulama terkemuka lainnya dan menjadi
sahabatnya antara lain:TGH. Sidik dari Karang Kelok, TGH. Ibrahim dari
Tanjung Luar dan TGH. Muhammad dari Mertok. TGH. Umar kembali berangkat
haji pada tanggal8 Rabiul Akhir 1349 H. Beliau meninggal dunia di kampung
Nispalul dan dimakamkan di Mu'alla Mekah.
2. TG. Muhammad Saleh (Lopan)
Awal abad ke XX M dikenal sebagai era kebangkitan Islam. Seorang
ulama Islam yang tidak kurang jasanya dalam pembinaandan pengembangan
Islam di Gumi Sasak adalah TG. Muhammad Saleh alias TG. Lopan. Beliau
terkenal sangat wara'dan tak kenalmenyerah dalam mengembangkan ajaran
ushul fiqh di kalanganumat"Islam. Beliau juga mengembangkan ajaran sufi di
Padamara,Sakra, Mesanggoh Gerung, Karang Kelok dan lain-lain.
3. TGH. Ali Batu (Sakra)
TGH. Ali Batu berasal dari Sakra. Beliau sangat gigih memberikan
pengajian-pengajian dan terkenal sangat alim. Selain beliau aktif dalam
memberikan pengajian-pengajian, beliau juga banyak memimpin peperangan-
peperangan antara orang-orang Sasak melawan kekuasaan Bali. Beliau
meninggal saat peperangan tersebut.
4.TGH. Mustafa (Kotaraja)
TGH. Mustafa adalah seorang tokoh penyebar agama dimasa penjajahan
Belanda. Pada saat itu banyak terdapat orang-orangBali yang berdomisili di
Kotaraja, tetapi beliau tanpa takut dan pantang mundur tetap memberikan
pengajian-pengajian baik yang bersifat khusus maupun umum.
5.TGH. Badarul Islam (Pancor)
TGH. Badarul Islam adalah salah satu tokoh yang sangat kharismatik.
Beliau banyak memberikan pengajian-pengajian dan murid-muridnya pun
banyak yang berasal dari berbagai tempat diGumi Sasak.

6.TGH. M. Shaleh Hambali (Bengkel)


Nama kecil beliau adalah Muhammad Shaleh. Beliau merupakan putra
bungsu dari delapan bersaudara pasangan Hambali dan Halimah. Muhammad
Shaleh dilahirkan pada hari Jum'at tangga l7 Ramadhan bertepatan dengan tahun
1893 Masehi. Kisah hidup beliau hampir mirip dengan kelahiran Rasulullah.
Ketika beliau masih dalam kandungan berumur 6 bulan, ayahnya dipanggil
menghadap Yang Maha Kuasa. Ketika beliau berumur 6 bulan, ibundanya
tercinta menyusul ayahandanya dan beliaupun menjadi yatim piatu.Tuan Guru
Haji Muhammad Shaleh Hambali mulai belajar mengaji pada usia 7 tahun.
Beliau mengaji dengan teratur dan tekun pada salah seorang guru al-Qur'an yang
ahli tajwid bernama Ramli alias Guru Sumbawa di desa kelahirannya di
Bengkel.
Setelah itu beliau melanjutkan pendidikannya ke Mekah al-Mukarromah
sejak tahun 1912 M - 1921 M. Semasa di Mekah beliau berguru pada ulama
fiqh, tafsir, tasawuf dan ilmu-ilmu agama yanglainnya. Adapun guru-guru beliau
di Mekah adalah: Syekh Said Al Yamani, Syekh Hasan Bin Syekh Said Al
Yamani, Syekh Alawi Maliki Al Makki, Syekh Hamdan Al Maghrabi, Syekh
Abdusatar Hindi, Syekh Said Al Hadrawi Makki, Syekh Muhammad Arsyad,
Syekh Shaleh Bafadal, dan Syekh Ali Umairah Al Fayumi Al Mishra.
Selain belajar pada ulama di Mekah beliau juga belajar padaulama yang
berasal dari Indonesia seperti TGH. Umar dari Sumbawa, TGH. Muhammad
Irsyad dari Sumbawa, TGH. Utsman dari Serawak, KH Muchtar dari Bogor, KH
Misbah dari Banten,TGH. Abdul Ghani dari Bali, TGH. Abdurrahman dari
Bali,TGH. Utsman dari Pontianak, TGH. Umar dari Kelayu, TGH. Abdul
Hamid dari Pagutan, TGH. Asy'ari dari Sekarbela, danTGH. Yahya dari
Jerowaru.
Beberapa karya beliau seperti: Ta'lim Al Shibyan Bi GhayatAl Bayan
berisi tentang tauhid, fiqh, tasawuf ditulis tahun 1354 Hijriyah dicetak di
Surabaya. Kitab Bintang Perniagaan (fiqh) ditulistahun 1376 Hijriyah dicetak di
Surabaya. Kitab Cempaka MuliaPerhiasan Manusia (tulisan tangan) bersumber
dari kitab Bidayat Al Hidayah karya Imam Al Ghazali (Wasiat Al Mustafa,
terjemahan wasiat dari Musthafa Rasulullah kepada Sayyidina Ali) berupa
tulisan tangan. Kemudian Mawa'id AZ Shalihiyah, sebuah kitabhadits ditulis
tahun 1364 H dicetak di Surabaya. Kitab Intan Berlian Perhiasan Laki
Perempuan berisi tentang fiqh keluarga ditulis tahun1371 Hijriyah diterbitkan di
Surabaya.
Beberapa lainnya, Manzalul Al Amrad tentang puasa, Hidayat Al Athfal
tentang tajwid Al Qur'anatau nasehat kepada anak, dan Al-Lu'lu'A1¬Mantsur
tentang hadits.Beberapa kepribadian beliau yang menunjukkan atas kesufiannya
dapat dijelaskan sebagaimana penuturan murid beliau (TGH. Ishaq Hafidz):
"Datok adalah orang yang zuhud pada dunia, kekayaan yang dimiliki tidak
membuat beliau lupa daratan, sebagian menjadi tanah wakaf milik pesantren.
Beliau suka berbelanja membeli barang- barang kebutuhan bangunan madrasah,
pergi ke sawah, semata-mata mengharap ridha Allah, tidak tertipu oleh harta
benda, harta itu dinafkah untuk kepentingan agama, beliau belanjakan untuk
fakir miskin, anak yatim piatu, orang tua jompo, santri-santri yang kehabisan
bekal, hidup beliau begitu sederhana, qana'ah, bersih, suka memakai minyak
wangi dan memakai pakaian putih".TGH.M. Shaleh Hambali wafat pada hari
Sabtu tanggal 15 Jumadhil Akhir bertepatan dengan tanggal 7 September 1968
Masehi pukul 07.00 Wita. Sebelum wafat beliau berwasiat kepada keluarga dan
segenap santrinya, yang terurai dalam sebuah lintasan kalimat indah dan
bermakna: a. Peliharalah persatuan dan kesatuan di antara sesamamu. b.
Belajarlah pada guru yang beraliran Ahlussunnah wal-Jama'ah. C. Peliharalah
Yayasan Perguruan Darul Qur'an dan usahakanlahagar berkembang lebih
baik.TGH.M. Shaleh Hambali tak pernah pergi karena ilmu danamalnya terus
mengalir dilestarikan oleh generasi berikutnya.
7. TGH. Muhammad Mutawalli Yahya A1 Kalimi (Jerowaru)
Nama kecil Tuan Guru Haji Muhammad Mutawalli Yahya Al Kalimi
adalah Imran. Dilahirkan pada tahun 1921 M di kampong Direk, desa Jerowaru
kabupaten Lombok Timur. Ayahnya seorangyang diberikan nama populer Guru
Yahya atau Guru Yahye. Julukan guru diberikan kepada ayahandanya kar&a ia
tekun, aktif dan rajin menjadi guru ngaji. Sedangkan ibundanya bernama Inaq
Nasar. Pengembaraannya dalam menuntut ilmu berawal dari pendidikan
keluarga kemudian disekolahkan di sekolah Belanda Yolk School pada tahun
1927 M sampai dengan 1930 M.
Setelah menyelesaikansekolah rakyat ia melanjutkan studi di Kediri
Lombok Barat pada salah seorang Tuan Guru yang terkenal akan kesolehan
dankeilmuannya yaitu Tuan Guru Haji Lalu Abdul Hafidz. Imran dikenal
sebagai orang yang tekun, saleh dan cerdas. Pada saat belajar di Lombok Barat
inilah Imran mulai bersentuhan dengan kitab-kitab klasik yang membahas
nahwu, sharaf, tauhid,ushul fiqh, dan fiqh. Kemudian sekitar tahun 1945 M,
beliau berangkat ke Mekah al-Mukarromah. Setelah beliau pulang daritanah
suci, beliau berkiprah melakukan pembinaan keluarga dalammembangun
sumber daya manusia. Beliau juga dianggap mampu mengubah pola pikir
masyarakat yang menganut paham animisme, dinamisme dan pengikut ajaran
Islam Waktu Telu yang masih berkembang luas di masyarakat.Tuan Guru Haji
Muhammad Mutawalli Yahya A1 Kalimi juga berkiprah dalam berbagai bidang,
terutama dalam pengembangan dunia pendidikan, seperti membuka majlis
taklim membuka lembaga pendidikan dasar seperti Lembaga Pendidikan
Nahdlatul Awam, Pondok Pesantren Darul Aitam dan lain-lain.
Dalam bidang sosial beliau juga banyak berkiprah bersama masyarakat,
beliau juga membuat jalan raya, jembatan, serta membangun panti sosial. Dalam
bidang ekonomi beliau juga membangun pasar rakyat, membuka lahan
pertanian. Sedangkan dalam bidang politik beliau juga mengikuti berbagai
organisasi politik seperti Masyumi danGolkar. Tuan Guru Haji Muhammad
Mutawalli Yahya Al Kalimi wafat pada tanggal 4 Rajab 1403H (4 April 1984
M) di Jerowaru,dan dimakamkan di dekat kediaman beliau. Lautan manusia
berbondong-bondong membanjiri pemakaman beliau, baik dari kalangan
pemerintahan maupun para alim ulama serta masyarakat umum.
8. TGKH. Muhammad Zaenuddin Abdul Majid (Pancor)
Pada tahun 1937 Mdidirikan sebuah lembaga pendidikan Islam bernama
Nahdlatul Wathan (NW) yang dikelola secara moden. Pendirinya adalah
TG.K.H.Muhammad Zainuddin AbdulMajid dari Pancor Lombok Timur. Beliau
terkenal Maulana Syekh atauTuan Guru Pancor. Dalam usahanya
mengembangkan Islam, ternyata beliau juga mendapatkan tantangan dari para
ulama Islam lainnya. Para ulama tersebut beranggapan bahwa sistem pendidikan
yang beliau kembangkan dianggap bid'ah.
Sampai dengan kedatangan tentara Jepang di Gumi Sasak,
perkembangan Nahdlatul Wathan sangat lambat karena mendapatkan halangan
dan tantangan dari berbagai pihak. Ulama-ulama tua sangat anti terhadap
pengaruh kebudayaan Eropa. Mata pelajaran umum seperti membaca dan
menulis aksara latin dianggap sebagai sesuatu yang asing. TG.K.H Muhammad
Zainuddin Abdul Majid dilahirkan di Kampung Bermi Pancor, Lombok Timur
pada tanggal 17 Rabi'ulAwal 1316 H atau pada tahun 1898 M.
Nama kecil beliau adalah MuhammadSaggaf. Nama tersebut diberikan
oleh ayahandanya yang bernamaTGH. Abdul Madjid dan dikenal dengan
sebutan "Guru Mu'minah"yang kesohor sebagai orang terpandang, saudagar
besar dan kaya, serta pemurah. Guru Mu'minah termasuk seorang pejuang yang
sangat pemberani, beliau pernah memimpin pasukan dari pihak Raden Rarang
menyerang bala kerajaan Karangasem Bali yang saat itu menguasai pulau
Lombok. Situasi perjuangan dan semangat jihad TGH. Abdul Madjid pada masa
itu mendorong putera "Saggaf' kelak menjadi ulama mujahid yang menegakkan
panji-panji Islam di negeri ini.
Sejak umur 5 tahun, beliau banyak belajar al-Qur'an dan dasar-dasar
agama pada ayahnya. Pada usia 8 tahun beliau masuk Sekolah Rakyat 4 tahun di
Selong dan 4 tahun kemudian berhasil menamatkan sekolahnya dengan prestasi
yang sangat gemilang. Sebagai santri beliau juga belajar nahwu, sharaf dan
ilmu-ilmu keislaman lainnya pada TGH. Syarafuddin Pancor dan TGH.
Abdullah bin Amaq Dulaji.
Untuk mewujudkan cita-cita sang ayah agar puterakesayangannya kelak
menjadi ulama besar, maka ayahanda Saggaf membawanya ke tanah suci Mekah
untuk melanjutkan pelajaran danmendalami ilmu-ilmu keislaman. Begitu
mendalam kasih sayangorang tuanya kepada pendidikan beliau, sampai-sampai
ayahandanya pun ikut bermukim di tanah suci Mekah. Selain belajar di Mekah,
beliau juga banyak berguru pada ulama-ulama besar yang berasal,dari berbagai
pulau di Indonesia seperti Jawa, Sumatera dan lain-lain. Setelah tumbuh dewasa
TG.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Majid banyak memberikan pengajian-
pengajian di seluruh pulauLombok, bahkan sampai keluar daerah.
9. TGH. Mahsun (Masbagik)
TGH. Mahsun dilahirkan di desa Danger, kecamatan Masbagik,
kabupaten Lombok Timur pada tahun 1907 M. Nama kecil beliau adalah
Ahmad. Nama tersebut diberikan olehorangtuanya, H. Mukhtar dan Hj. Raodah.
Kelahiran putera yang satu ini sangat menggembirakan hati kedua orang tuanya,
mereka berharap kelak anaknya akan sangat berguna dalam membina dan
mengembangkan ajaran agama Islam. Sejak masih kecil beliau banyak belajar
membaca al-Qur'an dan mempelajari dasar-dasar agama dari orang tuanya. Pada
usia 8 tahun beliau masuk Sekolah Rakyat dan melanjutkan pendidikannyake
Ibtidaiyah.
Kerasnya didikan orang tua berdampak positif terhadap Ahmad sehingga
pada masa kanak-kanak Ahmad telah memperlihatkan keberanian, kejujuran,
dan bakat kepemimpinan. Setelah cukup dewasa ia banyak belajar tauhid, fiqh,
dan lain-lain, pada ulama-ulama ternama seperti TGH. Saleh Hambali (Bengkel)
dan TGH. Badarul Islam (Pancor). Untuk lebih meningkatkan pemahamannya
terhadap ilmu-ilmu agama beliau punkemudian belajar ke Mekah dan
menempuh pendidikan selama 4tahun terhitung sejak tahun 1936 M sampai
dengan 1940 M.
Setelah pulang dari Mekah beliau banyak memberikan pembinaan dan
pengembangan agama Islam kepada masyarakat hampir di berbagai tempat di
seluruh Lombok Timur. Lembaga pendidikan yang berdiri berkat jdsa-jasa
beliau adalah Yayasan Pendidikan Nahdlatul Ummah (Yadinu) dan Al Ijtihad di
Danger. Kedua lembaga pendidikan tersebut sampai sekarang masih eksis.TGH.
Mahsun termasuk salah satu tokoh pejuangkemerdekaan yang tergabung dalam
pasukan Banteng Hitam. Beliau memimpin Masbagik saat penyerangan Belanda
di kota Selong, bergabung dengan pasukan dari Lendang Nangka (H. Jumhur
Hakim) dan pasukan dari Pringgasela (TGH. Muhammad). Pada saat
penyerangan tersebut, gugurlah pahlawan-pahlawan yang sangat kita banggakan
antara lain: TGH. Muhammad, Sayid Saleh (Pringgasela), TGH. M. Faesal
saudara dari TGH. Zaenuddin Abdul Majid (Pancor).
Dari tokoh-tokoh tersebut di atas, maka menurut hemat penulis yang
banyak berkiprah dalam membangun dan mengembangkan islam, paling cerdas,
pemberani dalam penegakan nahi munkar, dan memiliki karismatik yang tinggi
serta pengikut, banykak jamaahnya pengikutnya banyaknya cabang-cabang
madrasah dan pondok pesantren yang didirikan oleh para kadernya yaitu
Maulana Syeikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Wallahu’alam bi
Al Sawwab.

G. Upaya Islamisasi dan Peran Tuan Guru

Paham Wetu Telu di atas pada mulanya berkembang di wilayah Lombok


Tengah bagian selatan. Namun pada perkembangan selanjutnya, sebagian besar
dari mereka telah banyak yang melaksanakan ajaran Islam dengan sempurna berkat
kegigihan para kiai (baca: Tuan Guru) yang telah menimba ilmu pengetahuan di
Makkah sejak abad ke-19 M. Para Tuan Guru yang kembali ke pulau Lombok dan
berdakwah serta membimbing masyarakat penganut Wetu Telu dengan cara-cara
ritual Islam Waktu Lima seperti, TGH. Ali Batu, Guru Bangkol, TGH. Muhammad
Sidik, dan di Praya dilanjutkan oleh TGH. Makmun.
Deretan Tuan Guru tersebut merupakan penyiar Islam generasi awal yang
menekankan aspek fiqh berupa kewajiban pokok seperti shalat, puasa, zakat, dan
haji dan ditambah dengan wirid tarekat Naqsyabandiyah bagi kalangan masyarakat
yang dianggap sudah layak. Jasa para Tuan Guru tersebut masih dapat disaksikan
dengan banyaknya para peziarah ke kubur mereka sampai sekarang. Hasil dari
dakwah mereka belum dikatakan dapat mengeliminir sepenuhnya paham Wetu Telu
yang masih terdapat di pelosok- pelosok desa karena berbagai faktor, semisal jarak
yang berjauhan dan pengaruh tokoh setempat yang masih enggan menerima
kedatangan para Tuan Guru tersebut, terlebih mengikuti ajarannya.
Di bawah kekuasaan Belanda, masyarakat Sasak mengalami kontrol dan
penindasan yang lebih keji daripada penguasa-penguasa sebelumnya. Para pemimpin
Islam, seperti Tuan Guru, yang telah melakukan dakwah untuk menyiarkan ajaran-
ajaran Islam di kalangan Wetu Telu sebelum kedatangan Belanda, akhirnya
menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan ideologis untuk melawan penjajah
Belanda yang dianggap kafir.
Belanda sendiri telah lama tertarik untuk menguasai Lombok. Pada tahun 1894,
mereka telah mulai menjajah pulau Lombok dengan membantu beberapa tokoh
Sasak atas nama membebaskan orang-orang Sasak dari maharaja Bali. Ekspedisi
militer pertama mengalami kegagalan. Namun dengan penambahan kekuatan,
mereka dengan cepat mampu menguasai pulau Lombok. Dalam hal ini, peran
perdagangan Raja George dari Inggris yang tinggal di Ampenan, tidak dapat
diabaikan dalam memainkan konflik yang ada.
Sepanjang pemerintahan kolonial Belanda, Tuan Guru mengalihkan gerakan
dakwah mereka menjadi pemberontakan-pemberontakan lokal yang bernuansa
keagamaan untuk menghalau Belanda. Gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh
para Tuan Guru memperoleh pengikut yang banyak. Di antara Tuan Guru yang
terlibat langsung dalam pemberontakan itu adalah TGH. Ali Batu dari Sakra
Lombok Timur, TGH. Muhammad Sidik dari Karang Kelok Lombok Barat, dan
Guru Bangkol dari Praya Lombok Tengah. Tokoh-tokoh tersebut merupakan

mursyid Syaikh Ahmad Khatib Sambas di Makkah dan Syaikh Abdul Karim Banten
yang mengembangkan tarekat Qâdiriyah dan Naqsyabandiyah. Mereka merupakan
tokoh-tokoh kuat yang mengobarkan semangat anti penjajahan dan penindasan dari

pihak manapun,36 sehingga gerakan anti kolonial dan anti penindasan menjadi
suatu gerakan yang membangkitkan semangat berperang melawan penjajah dan
penindasan.
Mengenai perlawanan melawan penjajahan dan penindasan ini, Martin Van
Bruinessen menjelaskan bahwa pada tahun 1891 terjadi pemberontakan dari kaum
Muslimin suku Sasak melawan orang-orang Bali yang menguasai sebagian besar
pulau itu. Berbeda dengan pemberontakan-pemberontakan sebelumnya,
pemberontakan kali ini tidak mudah dipadamkan dan berlangsung terus sampai
1894. Pemberontakan itu berpusat di Praya (Lombok Tengah) dan pucuk
pimpinannya adalah Guru Bangkol, seorang bangsawan setempat, yang sekaligus
salah seorang guru tarekat Naqsyabandiyah.
Gerakan yang dipimpin oleh pemimpin tarekat cukup mengkhawatirkan pihak
penjajah Belanda, ketika terjadi pemberontakan di Banten tahun 1888 M. Pada waktu
itu, Engelenberg seorang Kontrolir Belanda, sedang berada di Banten. Dari peristiwa
itu tumbuh kecurigaan yang kuat dalam dirinya terhadap gerakan tarekat. Ia
memperhatikan bahwa para pemimpin pemberontakan Sasak, ternyata ada kaitannya

dengan tarekat.39 Pemerintah Belanda mempunyai kesimpulan bahwa tarekat


mengancam kekuasaannya, akibatnya pihak Belanda berusaha secara aktif mencari
informasi mengenai kegiatan-kegiatan tarekat. Di Praya umpamanya, TGH.
Makmun, salah seorang pemimpin tarekat Qâdiriyah wa Naqsyabandiyah-- tidak
luput dari incaran. Namun, tatkala penyelidik Belanda tiba di depan kampungnya yang
bernama Karang Lebah, mereka hanya melewatinya saja dengan berkali-kali bolak-
balik. Akhirnya, mereka menjadi bosan karena kelelahan dan tidak dapat menemui
TGH. Makmun.

Selama masa penjajahan Belanda, gerakan dakwah yang dipimpin Tuan Guru
makin meningkatkan polarisasi antara Wetu Telu dan Waktu Lima. Jika kelompok
pertama, memberikan loyalitas mereka kepada para bangsawan Sasak sebagai
pemimpin tradisional dan kuat mempertahankan adat lokal, maka kelompok kedua
mengikuti para Tuan Guru sebagai pemimpin keagamaan kharismatik mereka.
Dalam babak sejarah berikutnya, Jepang menggantikan Belanda di Lombok
untuk suatu periode yang singkat antara 1942 dan 1945. Sesudah itu, selama
perang kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha untuk menguasai kembali
Lombok dan pulau-pulau Indonesia lainnya, tetapi tidak berhasil. Lombok merdeka
pada tahun 1946 sebagai bagian dari wilayah Indonesia.
TGH. Mutawalli seorang Tuan Guru yang dapat digolongkan generasi
berikut dari tokoh-tokoh agama etnis Sasak, mendakwahkan ajaran Islam secara
intensif kepada masyarakat penganut Wetu Telu, disamping juga menyebarkan
dakwah Islam di pondok pesantrennya Dâr al-Yatâmâ wa al- Masâkîn yang didirikan

pada tahun I960. la sangat terkenal karena kepiawaiannya menembus desa-desa


Wetu Telu dan menggunakan metode yang tidak lazim untuk mengislamkan kelompok
Wetu Telu. la mengibaratkan dirinya sebagai seorang perambah hutan, yang pada
giliran selanjutnya para Tuan Guru lain yang menyempurnakannya.
Hal terpenting yang diharapkan adalah bahwa penganut Wetu Telu memeluk
Islam versi Waktu Lima dan melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam.
Maksud penyataannya adalah ia sekedar mengislamkan penganut Wetu Telu tersebut
menjadi Waktu Lima, selanjutnya tokoh-tokoh agama lainnya yang mengajarkan tata
cara pelaksanaan kewajiban-kewajiban sebagai seorang Muslim secara lebih
mendetail.
Untuk memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam, penganut Wetu
Telu diserahkan kepada Tuan Guru yang lain untuk menempanya. Sekalipun
demikian antara dia, Tuan Guru, dan ustadz yang lain tidak mempunyai hubungan
koordinatif, tetapi lebih merupakan ikatan hubungan moral kewajiban berdakwah.
Masyarakat Jerowaru Lombok Timur tempat Pondok Pesantrennya dibangun,
meyakini bahwa TGH. Mutawalli menyerupai seorang Wali Jawa zaman dahulu
yang memiliki kekuatan mistik. Pendekatan yang digunakan sebelum melaksanakan
dakwah adalah dengan mempelajari mitologi pada komunitas Wetu Telu tertentu.
Mula-mula ia mengutus murid-murid kepercayaannya untuk menghimpun legenda

dan mitos setempat dari para tetua desa.43 la memahami bahwa komunitas Wetu
Telu sangat menggemari pemujaan terhadap masa lalu, dan karena itu ia
menampilkan diri berminat mempelajari silsilah penduduk setempat untuk
mengetahui apakah ada hubungan antara keturunannya sendiri dengan
keturunan masyarakat setempat. Pendekatan ini membuat para tokoh adat setempat
tidak segan-segan membuka lontar yang memuat silsilah mereka. TGH. Mutawalli
termasuk yang bisa membaca lontar yang ditulis dalam bahasa Sasak maupun bahasa
Jawa.
Setelah mempelajari dan memahami mitos setempat, ia merepresentasikan
diri sebagai salah seorang figur yang dimaksud dalam legenda itu dan melakoni
perannya. Ada suatu penuturan yang disampaikan oleh salah seorang tokoh di
kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah. Tokoh tersebut menyatakan bahwa
warga Wetu Telu di desa Sengkol Kecamatan Pujut Lombok Tengah, mempunyai
mitos bahwa suatu saat nanti akan datang seorang penguasa yang bijak dan adil
tempat mereka menyandarkan diri dan sekaligus sebagai panutan. Akan ada tanda-
tanda yang menyertai kedatangannya. Kedatangannya tidak bisa dipastikan dan
mendadak, seperti burung nuri yang sedang terbang. Bumi akan goncang ketika ia
mendarat.
Setelah mempelajari kisah itu, TGH. Mutawalli mengenakan jubah hijau ketika

ia mendatangi sebuah masjid tua yang terletak di puncak gunung Pujut di Sengkol.
Dengan kekuatan mistiknya, terjadilah gempa kecil di sekeliling masjid tua itu
dengan mempergunakan bantuan jin. Kedatangan TGH. Mutawalli secara
mendadak dan diiringi gempa kecil itu, mengakibatkan komunitas masyarakat di
tempat itu menjadikan TGH. Mutawalli sebagai figur yang mereka nantikan.
Oleh karena itu, secara perlahan namun pasti, pengaruh TGH. Mutawalli
semakin kuat di masyarakat Wetu Telu Sengkol Lombok Tengah dan sekitarnya

dan kini menjadi Islam Waktu Lima.46 Ustadz Najam, seorang da'i di Bayan Belek
(Kecamatan Bayan), meyakini kekuatan gaib yang dimiliki TGH. Mutawalli yang
diperoleh karena kemampuannya menaklukkan jin.
Dalam periode yang relatif bersamaan, upaya menyempurnakan penge- tahuan
keagamaan masyarakat Wetu Telu tidak hanya dilakukan oleh TGH. Mutawalli, akan
tetapi upaya suci itu dilakukan oleh beberapa Tuan Guru dengan muridnya yang
setia seperti di Lombok bagian utara melalui pengajian yang rutin dilaksanakan oleh
TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid dengan organisasi Nahdlatul Wathan

(NW)48 yang didirikannya dan tersebar ke seluruh Lombok melalui murid-


muridnya.
Selain itu, dapat disebutkan TGH. Shafwan Hakim dengan Pondok
Pesantrennya Nurul Hakim, mengembangkan sayap dakwah ke Lombok Utara
dengan sasaran utama penganut Wetu Telu dan kaum Muslim sekitarnya.
Demikian halnya TGH. Hazmi Hamzar dengan Pondok Pesantren Marâqi al-
Ta’lîmât yang telah didirikan oleh orang tuanya, yaitu TGH. Zainuddin. la membina
beberapa majelis taklim sebagai tempat pembinaan masyarakat Muslim di Lombok
Utara dan penganut Wetu Telu sebagai sasaran utamanya. Pembinaan masyarakat
Wetu Telu tampaknya dilaksanakan secara bersama dan koordinatif oleh para Tuan
Guru yang ada di pulau Lombok.

Adapun pembinaan dan penyempurnaan paham keagamaan masyarakat Wetu


Telu yang terdapat di Kecamatan Pujut Lombok Tengah bagian Selatan, dilaksanakan
Tuan Guru atau tokoh agama yang berasal dari Lombok Tengah. Ini dapat
dicontohkan semisal TGH. Muhammad Faishal dengan pengajian-pengajian dan
pondok-pondok pesantren yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Ulama.
Bagitu juga TGH. Muhammad Najamuddin Makmun dengan majelis-majelis
taklim pada pondok pesantren Darul Muhajirin dan beberapa pondok pesantren
yang berada di bawah pembinaan Pondok Pesantren Darul Muhajirin yang berlokasi di
daerah Praya Lombok Tengah.
Jika melihat perkembangan Islam setelah era wali-wali dari Jawa,
tampaknya revitalisasi Islam di Lombok lebih banyak diprakarsai oleh Tuan Guru
dengan dukungan para pengikut setianya, ketimbang pemerintah. Komitmen para
Tuan Guru untuk meneruskan ajaran Islam melalui dakwah, merupakan implementasi
dari ketaatannya kepada Rasulullah SAW. Kesetiaan para pengikut Tuan Guru
kepada tokoh panutannya sampai pada tingkat tertentu, didasari oleh prinsip
"sami'nâ wa ‘atha'nâ” (kami dengar dan kami ta‘ati). Prinsip ini, mendorong mereka
untuk mengikuti para tokohnya (baca: Tuan Guru tersebut) yang sangat mereka
percayai dan telah berjasa membimbing mereka ke jalan yang benar.
Sebagaimana diketahui bahwa dakwah adalah upaya penyebaran dan
penerangan Islam yang tiada akhir dalam kehidupan. Doktrin inilah yang
mendorong para tokoh agama untuk menyebarkan ajaran Islam dalam segala situasi
dan kondisi politik. Meskipun terdapat pendukung tertentu dari kelompok
organisasi keagamaan yang sekali waktu mengubah afiliasi politik dengan tujuan untuk
kemajuan organisasi dan lembaga-lembaga pendidikan yang mereka bangun, tetapi
tidak mengurangi kegigihan mereka dalam mendakwahkan ajaran Islam. Dengan
ungkapan lain, berdakwah adalah aktifitas otonom para Tuan Guru yang sama
sekali kebal dari pengaruh rezim politik yang berkuasa.
Para Tuan Guru yang menyebarkan Islam di pulau Lombok, umumnya
pernah menuntut ilmu di Timur Tengah, baik secara formal maupun informal
melalui halaqah-halaqah pengajian. Sumber dinamika Islam abad ke- 17 dan ke-18 M
adalah melalui jaringan ulama yang berpusat di Makkah dan Madinah. Posisi penting
kedua kota suci ini terutama dalam kaitan dengan ibadah haji, mendorong
sejumlah guru (ulama) dan pencari ilmu dari berbagai wilayah dunia Muslim
—termasuk dari pulau Lombok—untuk bermukim dan menuntut ilmu. Mereka
bermukim di sana, yang pada gilirannya menciptakan semacam jaringan keilmuan
yang menghasilkan wacana ilmiah yang unik. Sebagian besar mereka yang terlibat
dalam jaringan keilmuan ini mengadakan upaya-upaya sadar untuk memperbarui
dan merevitalisasi ajaran-ajaran Islam, terutama yang berkaitan dengan akidah,
ibadah, dan peningkatan sosio-moral masyarakatnya.

Memahami proses-proses transmisi gagasan pembaruan menjadi semakin


penting dalam hubungannya dengan perjalanan Islam di Lombok khususnya dan
Nusantara pada umumnya. Karena kawasan ini secara geografis terletak pada
pinggiran dunia Muslim. Terdapat kecenderungan para peneliti di masa modern ini
untuk tidak memasukkan Nusantara dalam pembaruan tentang Islam.
Diasumsikan, Islam di kawasan ini tidak mempunyai tradisi keilmuan yang
mantap. Bahkan Islam di Nusantara dianggap bukan Islam yang sebenarnya, karena

dianggap masih bercampur dengan budaya lokal.50 Mereka menyimpulkan Islam di


Nusantara berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Tentu saja pendapat seperti itu
tidak bisa kita menolaknya, tetapi untuk mengatakan bahwa tradisi Islam di Nusantara
tidak mempunyai kaitan dengan Islam di Timur Tengah adalah pendapat yang
keliru.
Hubungan antara kaum Muslimin di kawasan Melayu Indonesia dan Timur
Tengah telah terjalin melalui proses ibadah haji. Terdapat sejumlah penuntut ilmu
dari Nusantara termasuk dari Lombok yang terlibat dalam jaringan ulama,
terutama setelah menuntut ilmu di Timur Tengah (khususnya Makkah dan
Madinah). Sebagian besar dari mereka kembali ke tempat asalnya menjadi tansmitter
utama tradisi intelektual keagamaan dari pusat keilmuan di Timur Tengah ke pulau
Lombok. Kelompok inilah selanjutnya yang dikenal dengan sebutan ―Tuan
Guru‖, yang perilakunya digugu dan ditiru.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan Sasak; Studi tentang Akulturasi Nilai-Nilai
Islam ke dalam Kebudayaan Sasak, (Yogyakarta: Pascasarjanan IAIN Sunan Kalijaga,
2002).
2. Ariadi, L. M. 2013. Haji Sasak: Sebuah Potret Dialektika Haji dan
KebudayaanLokal. Ciputat: IMPRESSA Publishing.
3. Asnawi, Respons Kultural Masyarakat Sasak Terhadap Islam, Ulumuna, Volume IX
Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
4. Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu versus Waktu Lima, alih bahasa Noor Cholis
dan Hairus Salim HS, (Yogyakarta: LKiS, 2000)
5. Fathurrahman Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram, (Mataram: Yayasan
Sumurmas Al- Hamidy, 1998)
6. Geertz, C. 1983. Abangan, Santri, Priyayi: Dalam Masyarakat Jawa
Jakarta: Pustaka Jaya.
7. Geertz, C. 1999. After The Fack: Dua Negeri Empat Dasawarsa Satu Antropolog.
Yogyakarta: LKiS.
8. Kamarudin Zaelani, “Dialektika Islam dengan Varian Kultur Lokal dalam Pola
Keberagamaan Muslim Sasak”, Jurnal Ulumuna IAIN Mataram, Vol. IX Edisi 15 No.1
(Januari-Juni 2005)
9. Jamaluddin, 2004. Islam Sasak: Sejarah Sosial Keagamaan di Lombok
10. (abad XVI-XIX) (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. John Ryan Bartholomew , Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, alih bahasa
Imron Rosyidi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001)
12. Madjid, Z. A. 2004. Visi Kebangsaan Religius Refleksi Pemikiran dan
Perjuangan. Cakung: Jakarta.
13. Majid, D. 2000. Berhaji di Masa Kolonial. Jakarta: CV Sejahtra, 2008.
14. Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan,
1992)
15. Suprapto, Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat : Menimbang Aktifitas
Dakwah bi al-Hal Pesantren di Lombok, dalam Jurnal Tasamuh, Fakultas Dakwah
IAIN Mataram, Vol. 4, Nomor 1, Desember 2006.
16. Thoha, Zainal Arifin, Runtuhnya Singgasana Kyai: NU Pesantren Dan Kekuasaan,
Pencarian Tak Kunjung Usai, (Yogyakarta: Kutub, 2007)
17. Soenyata Kartadarmadja dan Sutrisno Kutoyo, ed., Sejarah Kebangkitan Nasional
Daerah NTB, (Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Depdikbud, 1978)
18. Team Penyusun, Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1977)
19. Yayasan Bahkti Wawasan Nusantara 1992). Profil Propinsi Nusa Tenggara Barat,
(Jakarta: Pemrakarsa)
20. Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, Profil Propinsi NTB, (Jakarta: Yayasan Bhakti
Wawasan Nusantara, 1992)

Anda mungkin juga menyukai