Anda di halaman 1dari 19

PERTEMUAN III & IV

Setelah Mempelajari Modul Ini Anada diharapakn mampu:


1. Menjelaskan sejarah masuknya Islam di Pulau Lombok
2. Mejelaskan Perkembangan Islam di Pulau Lombok
3. Menjelaskan Kerajaan – Kerajaan Islam di Pulau Lombok
4. Menjelaskan Perbedaan dan Persamaan Antara Waktu Lima dan Wetu Telu
5. Mejelaskan Langkah-Langkah Dakwah Beberapa Tuan Guru Kepada Penganut Wetu Telu

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ISLAM DI PULAU LOMBOK

Sangat sedikit diketahui tentang sejarah awal Pulau Lombok. Mereka yang selama ini
bergelut dalam studi maupun sebagai pemerhati sejarah Lombok merasakan adanya
kesulitan-kesulitan ketika berusaha merekonstruksi proses perjalanan pulau ini dengan apik.
Hal yang sama dirasakan oleh mereka yang mencoba menelusuri tapak-tapak sejarah
masuknya Islam ke wilayah ini, Paling tidak, secara ilmiah, mereka kesulitan mcnemukan
data-data primer yang valid dan reliable, sehingga dapat diverifikasi oleh semua pihak.
Satu-satunya sumber yang selama ini secara khusus menguraikan perjalanan pulau ini
adalah babad, seperti Babad Lombok, Babad Selaparang, dan lain-lain. Keraguan segera
muncul, ketika di dalam babad-babad tersebut termuat cerita-cerita legenda dan mistis
lainnya, yang sedikit banyak mempersulit pemilahan antara fakta dan mitos di dalamnya.
Khusus mengenai sejarah Pulau Lombok, baru menjelang abad ke-14 terdapat bukti
yang menunjukkan adanya hubungan dengan Pulau Jawa. Dalam buku Negarakertagama
[1365], karangan Mpu Prapanca, istilah Lombok [Lombok Mirah] dan Sasak [Sasak Adi],
yang merepresentasikan Pulau Lombok dengan masyarakatnya, disebutkan sebagai bagian
wilayah Majapahit. Dalam pupuh ke-14 tertulis :

"Muwah tang I Gurunsanusa ri Lombok Mirah lawantikang sasakadi nikalun kehayian


kabeh Muwah tanah I Bantayan Pramuka Bantayan len Luwuk teken Udamakatrayadhi
nikayang sanusa pupul."

Terdapat bukti-bukti yang kuat mengenai hubungan Gumi Selaparang [sebutan untuk
Pulau Lombok yang berarti bumi Selaparang] dengan Kerajaan Majapahit di Jawa. Dr. R.
Gorris, dalam studinya Aantekeningen over Oost Lombok, yang pada pokoknya
membicarakan tentang penduduk yang mendiami lembah Sembalun, menunjukkan bahwa
pennduduk lembah ini meyakini diri mereka sebagai keturunan Hindu-Jawa dan juga
meyakini bahwa keluarga Raja Majapahit dimakamkan di dekat desa Sembalun. Di samping
itu, studi Dr. R. Gorris menunjukkan adanya pengaruh Hindu-Jawa pada masyarakat desa
Sembalun dalam bentuk-bentuk kesenian, seperti musik dan tarian, bahasa, dan khususnya
nama-nama tokoh mitos dan tempat-tempat suci.
Akan halnya sejarah tentang masuknya Islam di Pulau Lombok. Penuturan-penuturan
yang ada sementara ini sangat beragama dan agak sulit dikompromikan satu sama lain
menjadi sebuah rangkaian proses yang berkesinambungan. Diduga keragaman ini
mencerminkan keragaman asal usul Islam di pulau ini. Sebagian menyebutkan berasal dari
Jawa, tetapi dengan perbedaan waktu dan tempat, dari Melayu, Bugis dan Sumbawa. Bahkan
sebagian menyebutkan dibawa oleh para pedagang dan pemimpin agama dari Arab.
Salah satu sumber yang menyebutkan masuknya Islam ke pulau ini dari Jawa adalah
Babad Lombok. Di dalamnya antara lain disebutkan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu
Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja jawa Timur dan Palembang untuk
menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara.

"Susuhan Katu Giri memerintahkan keyakinaa baru itu disebarkan ke seluruh pelosok.
Dilembu Manku Rat dikirim bersama bala tentara ke Banjarmasin, Datu Randan dikirim ke
Makassar, Tidore, Seram dan Galeier, dan putra Susuhunan, Pangeran Prapen ke Bali,
Lombok, dan Sumbawa. Prapen pertama kali belayar ke Lombok, dimana dengan kekuatan
senjata ia memaksa orang untuk memeluk agama Islam. Setelah menyelesaikan tugasnya,
Prapen berlayarke Sumbawa dan Bima. Namun selama ketiadaannya, karena kaum
perempuan tetap menganut kejakinan Pagan, masyarakat Lombok kembali kepada fabam
pagan. Seielah kemenangannya di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali, dan dengan dibantu
oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut, ia mengatur gerakan dakwah baru yang kali ini
mencapai kesuksesan. Sebagian masyarakat berlari ke gunung-gunung, sebagian lainnya
ditaklukkan lalu masuk Islam dan sebagan lainnya hanya ditaklukkan. Prapen meninggalkan
Kaden Sumuliya dan Raden Salut untuk memelihara agama Islam, dan ia sendiri bergerak ke
Bali, dimana ia memulai negosiasi [tanpa hasil] dengan DewaAgung Klungkung.

Menurut Geoffrey E. Marrison, pandangan mengenai peng-Islam-an yang dilakukan


oleh orang-orang dari Jawa cukup otentik, mengingat dalam penelitian H.J. de Graaf [1941],
proses ini dikaitkan dengan ekspedisi militer Sultan Trenggana dari Demak, yang memerintah
dari tahun 1521 sampai tahun 1550.
Menurut Tawalinuddin Haris, penelitian De Graaf tersebut sedikit banyak dapat
dibenarkan dengan bukti-bukti arkeologis yang terdapat dalam situs makam Selaparang Pada
makam tersebut terdapat sejumlah batu nisan yang secara tipologis diperkirakan berasal
antara tahun 1600 sampai 1800. Asumsi ini didasarkan atas keberadaan batunisan berkepala
kerbau bersayap dan tipe silendrik. Selain itu, dari segi bentuk dan motif hiasannya, batu
nisan di makam Selaparang memiliki kesamaan dengan beberapa nisan yang terdapat di
Aceh, Banten, dan Madura, yang diperkirakan berasal dari kurun waktu yang sama atau
bersamaan.
Terdapat versi lain yang menyebutkan bahwa agama Islam berasal dari Jawa dengan
orang yang berbeda, misalnya oleh Pangeran Sangupati dan Wali Nyatok, walaupun yang
disebut terakhir lebih terkenal sebagai Penyebar Islam di wilayah Lombok Selatan. Menurut
Geoffrey E. Marrison, Pangeran Sangupati, membawa bentuk mistik Islam dari Jawa. Di
Jawa, beliau bernama Aji Duta Semu, di Bali ia terkenal dengan nama Pedanda Wau Rauh,
dan di Sumbawa terkenal dengan nama Tuan Semeru. Bentuk mistik Islam yang dibawanya
merupakan kombinasi dari Hindu [Adwatta] dengan Islam [sufisme], dengan ajaran
pantheisme. Mistik Islam ini diterima oleh masyarakat Lombok yang masih animis, yang
belakangan disebut sebagai penganut Waktu Telu [Wetu Telu]. Itulah sebabnya ia ini dikenal
sebagai pembawa ajaran Waktu Telu.
Versi lain menyebutkan, bahwa ia adalah putera Selaparang yang dipandang sebagai
waliullah. Buah karangannya antara lain Jati Swara, Prembonan, Fikih, dan Iain-lain. Ia
dianggap mengadakan pagelaran wayang yang pertama kali di Lombok sebagai media
dakwah.
Sedangkan mengenai Wali Nyatok, disebutkan ia bernama asli Sayyid Ali atau Sayyid
Abdurrahman. Makamnya terletak di desa Rambitan, Lombok Tengah, di atas sebuah bukit
dengan ketinggian sekitar 200 meter di atas permukaan laut. Di antara peninggalan sejarah
yang dapat diketemukan dari makamnya adalah batu nisan yang tipologinya agak rua dan
mesjid kuno yang merupakan prototipe mesjid-mesjid kuno di Lombok disamping masjid
Pujut dan masjid Bayan.
Dari silsilah yang dikemukakan oleh Ir. H. Lalu Djelenga, Wali Nyatok ini bernama
Deneq Mas Putra Pengendeng Segara Katon Rembitan. Disebutkan, ia adalah keturunan dari
Batara Mas Tunggul Nala yang menjadi cikal bakal raja-raja Lombok. Ia disebut sebagai
pendiri Kerajaan Kayangan yang merupakan cikal bakal kerajaan Selaparang, setelah
dipindah ke wilayah yang agak tengah di daerah Pringgabaya sekarang. Ketinggian ilmu
tarekatnya telah mendorongnya untuk mengundurkan diri dari panggung kerajaan Kayangan
dan menetap di Rambitan sebagai penyebar agama di wilayah ini.
Adapun versi yang menyebutkan Agama Islam dibawa oleh pemimpin agama dad
Arab antara lain dengan ditemukannya sebuah tangkepan [babad yang tercatat di daun lontar]
yang menyebutkan Islam dibawa oleh Ghaos Abdul Rozak, yang kini makamnya terdapat di
Bayan Ia masuk ke Lombok sekitar tahun 977 H atau bertepatan dengan tahun 1557 M. Nama
aslinya adalah Syaikh Nurrasyid Ibn Hajar al-Haitami. Seperti halnya Batara Mas Tunggul
Nala, ia juga disebut-sebut sebagai cikal bakal raja-raja Lombok.
Menurut tangkepan tersebut, Ghaos Abdul Rozak berputra dua orang yaitu putri
Rabi'ah dan Zulkurnain alias Ghaos Abdurrahman. Ghaos Abdurrahman inilah yang
kemudian bergelar Sultan Rinjani, Datu Selaparang serta Raden Mas Panji Mulia. Disebutkan
ia yang mendirikan Kerajaan Selaparang. Ia mempunyai 3 orang anak,yakni 1] Sayyid Umar
yang kemudian menjadi Datu Gunung Pujut; 2] Sayyid Amir, yang kemudian menjadi Datu
Pejanggik; dan 3] Syarifah Qamariah alias Dewi Anjani.
Dari kedua versi yang disebut terakhir, yakni antara Wali Nyatok dan Ghaos Abdul
Razak, terdapat seolah-olah dua keturunan yang mengklaim sebagai sama-sama menyebarkan
Islam, menjadi cikal bakal raja-raja Lombok dan pendiri Kerajaan Selaparang [Kerajaan
Kayangan]. Pertanyaan yang agak menggelitik kemudian, tidakkah kcduanya memang orang
yang sama? Tidakkah yang dimaksud sebagai Betara Mas Tunggul Nala itu sebagai Ghaos
Abdul Razak? Tidakkah yang dimaksud sebagai Wall Nyatok itu Ghaos Abdurrahman, yang
kebetulan nama aslinya sama? Lalu dari mana asal tnuasal Islam di pulau Lombok yang
sebenarnya? Dari Jawa atau dari Arab?
Satu hal yang agak pasti setelah proses Islamisasi ini adalah berdirinya Kerajaan
Selaparang Islam dan Kerajaan Pejanggik Islam. Keduanya merupakan kerajaan serumpun
dari garis keturunan yang sama. Kerajaan Selaparang berpusat di bagian timur dengan
menguasai hampir 2/3 daerah pulau Lombok, yang meliputi Lombok Timur, Lombok Utara,
hingga scbagian Lombok Barat Bahkan Sumbawa juga pernah dikuasai oleh kerajaan ini,
hingga akhirnya direbut oleh Belanda yang menandai dimulainya kolonialisasi di pulau
Sumbawa. Sedangkan Kerajaan Pejanggik berpusat di basis tengah dengan menguasai hampir
seluruh Lombok Tengah.
Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat maupun di laut.
Pasukan lautnya telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah tersebut
pada tahun 1667-1668. Namun demikian, Kerajaan Selaparang harus merelakan salah satu
wilayahnya, Pulau Sumbawa dikuasai Belanda, karena lebih dahulu direbut sebelum
terjadinya peperangan laut. Di samping itu, pasukan lautnya juga pernah mematahkan
serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel [Bali] dari barat. Selaparang pernah dua
kali, pada tahun 1616 dan 1624, terlibat dalam peperangan melawan Kerajaan Gelgel, tetapi
kedua-duanya dapat dipatahkan. Dalam jumlah yang besar prajurit Gelgel dapat ditawan.
Setelah peperangan tersebut, Selaparang mulai menerapkan kebijaksanaan baru untuk
membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka ibukota kerajaan
dipindahkan agak ke pedalaman, yaitu di desa Selaparang sekarang, di sebuah dataran
perbukitan. Dari wilayah kota yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat
dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan
sekali sapuan pandangan. Dengan demikian semua gerakan yang mencurigakan di tengah
lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ibukota ini pun memiliki daerah belakang berupa
bukti-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi bertingkat-tingkat sampai ke hutan
Lemor yang memiliki sumber mata air yang melimpah.
Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah ibukota dipindahkan, Selaparang
mengalami kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan, Selaparang dapat
mengembangkan kekuasaannya sampai di Sumbawa Barat.
Disebutkan bahwa seorang raja muda, Sri Dadelanatha,dilantik dengan gelar Dewa
Meraja di Sumbawa Barat karena saat itu [1630] daerah ini merupakan bagian kerajaan
Selaparang. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu pada 30 November 1648
Putera Mahkota Selaparang bernama Mas Pemayaman dengan gelar Pemban Mas Aji
Komala, dilantik di Sumbawa menjadi Raja Selaparang yang memerintah Lombok dan
Sumbawa.
Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangganya yaitu Kerajaan Gelgel,
namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari arah barat telah muncul pula.
Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran
petani liar dari Karang Asem [Bali] secara bergelombang, dan mendirikan koloni di kawasan
Kotamadya Mataram sekarang ini. Kekuatan itu telah menjelma sebagai kerajaan kecil, yaitu
Kerajaan Pagutan dan Pegesangan, yang berdiri pada tahun 1622. Kerajaan ini berdiri lima
tahun setelah serangan laut pertama Kerajaan Gelgel dari Bali Utara atau dua tahun sebelum
serangan ke dua yang dapat dipatahkan oleh Selaparang.
Namun bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara
tiba-tiba, yaitu kekuatan asing, Belanda, yang sewaktu-waktu akan melakukan ekspansi.
Kekuatan dari tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu
dipatahkan. Sebab itu sebelum kerajaan yang berdiri diwilayahkekuasaannya di bagian barat
ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan pasukan kecil di bawah pimpinan
Patinglaga Deneq Wirabangsa.
Di balik itu, memang ada faktor-faktor lain terutama masalah perbatasan antara
Selaparang dan Pejanggik yang tidak kunjung selesai. Hal ini menyebabkan adanya saling
mengharapkan peran yang lebih diantara kedua kerajaan serumpun ini. Atau saling lempar
tanggung jawab.Dalam kecamuk peperangan dan upaya menghadapi masalah kekuatan yang
baru tumbuh dari arah barat itu, maka secara tiba-tiba saja, tokoh penting di lingkungan pusat
kerajaan, yaitu patih kerajaan sendiri yang bernama, Raden Arya Banjar Getas, ditengarai
berselisih pendapat dengan rajanya. Raden Arya Banjar Getas akhirnya meninggalkan
Selaparang dan hijrah mengabdikan diri di Kerajaan Pejanggik.
Atas prakarsanya sendiri, Raden Arya Banjar Getas dapat menyeret Pejanggik
bergabung dengan sebuah ekspedisi tentara Kerajaan Karang Asem yang sudah mendarat
menyusul di Lombok Barat. Semula, informasi awal yang diperoleh, maksud kedatangan
ekspedisi ini akan menyerang Kerajaan Pejanggik.
Namun dalam kenyataan sejarah, ekspedisi itu telah menghancurkan Kerajaan
Selaparang. Dan Kerajaan Selaparang dapat itakluukkan hampir tanpa perlawanan, karena
sudah dalam keadaan sangat lelah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1672. Pusat kerajaan
hancur; rata dengan tanah, dan raja beserta seluruh keluarganya mati terbunuh.
Selaparang jatuh hanya tiga tahun setelah menghadapi Belanda. rapat balas tahun
kemudian, pada tahun 1686 Kerajaan Pejanggik di bumi hanguskan oleh Kerajaan Mataram
Karang Asem. Akibat kekalahan Pejanggik, maka Kerajaan Mataram mulai berdaulat
menjadi penguasa tunggal di Pulau Lombok setelah sebelumnya juga meluluh lantakkan
kerajaan-kerajaan kecil lainnya.

A. PASCA KERAJAAN SELAPARANG - PEJANGGIK


Dengan runtuhnya Kerajaan Islam Sekparang dan Pejanggik, maka runtuh pula
kekuatan Islam secara struktural. Karena Kerajaan Mataram merupakan kerajaan Hindu,
maka praktis perkembangan Islam tidak lagi mendapat dukungan struktural, bahkan
cenderung mengalami penindasan yang kemudian hampir mematikan potensi agama Islam di
Pulau Lombok. Agama Islam hanya menjadi agama rakyat yang dianut oleh rakyat
kebanyakan dalam suasana ketakutan dan ketertindasan. Dan sejak berkuasanya Kerajaan
Mataram Karang Asem, berita-berita tentang Ulam nyaris hilang dari sejarah Pulau Lombok.
Berita tentang Islam dalam lingkaran Kerajaan Mataram baru terdengar sctelah pecahnya
Perang Sakra I dan II pada tahun 1841 dan 1855. Pembcrontakan ini dimotori oleh kaum
aristokrat yang merasa diperlakukan tidak adil dan menganggap bahwa Kerajaan Mataram
telah menzalimi rakyatnya. Walau akhirnya perlawanan kaum aristokrat Sasak dapat
ditumpas, gaung perlawanan ini telah sampai ke Batavia yang kemudian dijadikan
benchmarking [titik tolak] baru bagi Belanda untuk memasuki Pulau Lombok setelah dua
ratus tahun lalu dipukul mundur oleh Kutajaan Selaparang.
Konon, Raja Mataram dalam samadinya mendapatkan wangsit untuk mengawini
seorang puteri bangsawan Kalijaga Lombok Timur yang kemudian dikenal dengan nama
Denda Nawangsasih. Perkawinan ini menyebabkan terjadinya krisis kepercayaan dan
kecemburuan di kalangan dalam istana. Denda Nawangsasih direbut melalui perang melawan
bangsawan Kalijaga, Raden Meraja, salahsatupedaleman Selaparang yang terdekat. babad
Lombok II menceritakan akhirnya Raden Meraja melarikan diri ke Bima.
Denda Nawangsasih tidaklah terlalu cantik tetapi sangai berpengaruh terhadap raja.
Karena Nawangsasih-lah, maka di satu pihak raja dapat membangun kcmbali hubungannya
dengan beberapa pedalaman dan rakyatnya, tetapi di pihak lain raja dinilai telah melakukan
introversi, yaitu kecendrungan bersikap dan bertindak menurut pikiran sendiri tanpa
menghiraukan orang lain, bahkan tanpa memperhatikan lagi budaya dan filsafat Hindu-
Budha. Raja telah membiarkan Denda Nawangsasih memeluk agamanya sendiri, agama
Islam. Dia menuntut dibangunkan masjid untuk dirinya sendiri di kompleks Taman Mayura
dan untuk umum di kompleks Pura Miru yang semuanya dipenuhi oleh raja. Raja juga
dipaksa secara halus membagi-bagikan tanah wakaf kepada masjid-masjid tertentu dan
menurut Martin van Bruinessen [1994], pada masa itulah orang Sasak dilonggarkan untuk
pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah yang sebelumnya dilakukan secara sembunyi-
sembunyi. Dan menurut orang-orang Arab di Ampenan kepada van Rijckevorsel, raja
menyediakan dana untuk membeli sebuah rumah di Makkah yang menjadi asrama para hujaj
dari Lombok.

B. PENEGASAN IDENTITAS KEISLAMAN


Kesempatan menunaikan ibadah haji ini telah dimanfaatkan oleh masyarakat Lombok
untuk membangun kembali militansi keberagamaannya sekaligus mempertegas identitas ke-
Islamannya sekembalinya ke kampung halaman. Di samping berhaji, mereka berguru kepada
pemimpin-pemimpin agama di Makkah serta berkomunikasi dengan masyarakat Islam dari
berbagai belahan dunia, termasuk dari Indonesia [kepulauan Nusantara].
Di Lombok sendiri pada tahun 1891 kembali pecah peperangan yang menentang kekuasaan
Kerajaan Mataram. Kali ini dipelopori kalangan masyarakat biasa, namun mempunyai posisi
sosial yang signifikan karena pemahaman agamanya. la adalah Tuan Guru Haji Ali Batu. la
dikenal sebagai tokoh tarekat yang menyebarkan ajaran tarekat Naqsyabandiyah kepada
masyarakat Islam di Pulau Lombok.
Yang menarik, para aristokrat Sasak yang sering tidak bisa bersatu di antara sesama
mereka ikut menjadi murid-muridnya dan bersama-sama mengangkat senjata dibawah
pitnpinan syaikh tarekat tersebut, seperti Raden Sribanom, Raden Mustiaji, Raden Melaya,
Jero Ginawang, para aristokrat pringgabaya, Kopang, dan Batu Kliang.
Tuan Guru Haji Ali Batu memimpin pemberotakan inisampai 1892. Pertempuran-
pertempuran yang dipimpinnya berlangsung di Kopang, Mantang dan sekitarnya, karena raja
yang berkuasa saat itu, Anak Agung Ngurah Ketut Karang Asem, mengerahkan pasukannya
kcluar jauh dari Cakranegara.
Kendati pada akhirnya Tuan Guru Haji Ali Batu tewas didalam pettempuran tersebut,
tidak urung peperangan ini telah mengobarkan scmangat jihad yang lebih besar lagi untuk
menentang kekuasaan yang dianggap lalim. Tentang Pemberontakan ini, menurut van der
Kraan [1980] yang mengutip pokok-pokok pembahasan Neeb dan Asheck Bruusse pada
tahun 1897, menulis bahwa :
Pada tahun 1891 orang Muslim dari suku Sasak di Lombok memberontak terhadap
pemerintahan rajaBalidipulau mereka [Anak Agung Ngurah Ketut Karang Asem]. Ini
bukanlah pemberontakan yang pertama, tetapi memang Jiang paling dahsyat. Berbeda
denganyang sebelumnya, pemberontakan kali ini tidak dapat dipadamkan. Pemberontakan ini
telah menyebabkan berakhirnya satu setengah abad kekuasaaan Bali dipulau Lombok dan
mengundang campurtangan Belanda.
Sepeninggal Tuan Guru Haji Ali Batu, kepemimpinan dipegang oleh murid-muridnya,
seperti Haji Abdurrahman [Kopang] dan Haji Huscn [Sumbek], tetapi mereka rupanya kurang
mcmiliki kharisma Bebagaimana gurunya. Martin van Bruinessen tnenguraikan lebih lanjut
bahwa, tidak seorang pun dari mereka ini mempu mengisi kekosongan yang ditinggalkan
oleh wafatnya Haji Muhammad Ali. Namun, ada seorang guru lain yang memang berhasil
mengambil alih kedudukannya yaitu Guru Bangkol. Tampuk pimpinan kemudian diambil
alih oleh Guru Bangkol Praya, sebab itulah lanjutan pemberotakan itu disebut Congah Praya.

Martin van Bruinessen menulis bahwa :


Guru Bangkol, cukup berwibawa,, karena sikapnya yang tidak kenal kompromi
dalampemberontakan danjuga karena hidupnya yang saleh sepenuhnya dibaktikan untuk
amalan-amalan kesufian. Dialah yang menjadi pemimpin utama orang Sasak setelah
wafatnya Haji Ali....... Peranan tarekat dalampemberontakan Sasak ini sangat menonjol.
Kepatuhan kepada seorang syaikh tarekat menyebabkan para bangsawan dapat
mengatasipersaingan yang biasa terjadi di antara mereka; tarekat menyediakanjaringan
organisasi yang memungkinkan adanya koordinasi dalam pemberontakan....Julukannya
sebagai Guru Bangkol menunjukkan bahwa ia memang bangkol [mandul\, tidak mempunyai
anak, sesuatu keadaan yang menyakitkan dan memalukan bagj. seorang Sasak. Namun ia
disapa akrab dengan nama Mamiq Isma'il, karena beliau mempunyat seorang anak angkat
yang bernama Ismail.
Rangkaian pemberontakan yang dknotori oleh kaum tarekat ini telah mendorong
Belanda masuk melakukan intervensi dan akhirnya menaklukkan Kerajaan Mataram Karang
Asem pada tahun 1895. Satu hal yang agak jelas dari perkembangan Islam di wilayah ini
adalah bahwa Islam telah lahir sebagai kekuatan baru yang cukup diperhitungkan, bahkan
oleh Belanda sekalipun. Dan corak Islam pada periode ini sangat didominasi oleh tarekat
[sufisme].
Perlawanan dimotori oleh penganut tarekat Naqsyabandiyah menyadarkan Belanda
sebagai penguasa baru di Pulau Lombok bahwa terdapat kekuatan pribumi yang setiap saat
akan melakukan pembrontakan terhadap kekuasaan baru ini. Kesadaran ini menyebabkan
Belanda melakukan gerakan perburuan terhadap tokoh-tokoh tarekat. Kebijakan refresifyang
diterapkan Belanda ini menyebabkan tokoh-tokoh tarekat turun ke jalan melakukan
pemberontakan, dipimpin oleh Raden Wirasasih dan Mamiq Mustiadji. Pemberontakan ini
berawal dari desa Gandor, Labuhan Haji pada tahun 1897, sehingga terkenal dengan sebutan
Pemberontakan Gandor. Pemberontakan ini oleh orang Belanda disebut sebagai sebuah
perlawanan yang dilakukan oleh orang Lombok yang merupakan refleksi dari suatu "seruan
untuk melakukan perang suci dengan tema-tema keagamaan untuk melawan orang orang
kafir dan syetan.
Betapapun pada akhitnya pemberontakan ini dapat dipadamkan Belanda,
namungerakan tarekat justeruberkembangpesat dengan adanya halaqah-halaqah pengajian di
beberapa tempat, seperti halaqah majelis Zikir Tuan Guru Haji Muhammad Amin di Pejeruk,
Tuan Guru Haji Muhammad Sidik di Karang Kelok, Tuan Guru Haji Muhammad Arsyad di
Gatap, Tuan Guru Haji Munawar di Gebang, Tuan Guru Muhammad Munir di Karang Bedil,
dan sebagainya. Perkembangan tarekat yang begitu pesat di Pulau Lombok menunjukkan
bahwa fenomena ini sebagai bentuk prlawanan kultural masyarakat terhadap penjajah
Belanda yang notabene adalah non-Muslim dan sebagai penjajah yang mengeskploitasi
sumber-sumber kekayaan alam Pulau Lombok.
Di samping fenomena tarekat, tingkat keberagaman masyarakat juga cukup tinggi. Ini
bisa dilihat dari jumlah anggota masyarakat yang menunaikan ibadah haji dan belajar ke
tanah suci Makksth. Pada tahun 1905-1914 tercatat jumlah jamaah haji Indonesia sebanyak
15.390 orang jamaah yang berasal dari Sunda Kecil [Baca: Nusa Tenggara: Pulau Lombok)
tercatat sebanyak 438 orang [23°/o].
Selanjutnya, gelombang kepulangan para jamaah haji dan para pelajar yang menuntut
ilmu di Makkah membawa dampak yang cukup signifikan bagi transformasi dakwah
Islamiyah di Pulau Lombok. Pada titik ini, terjadi perubahan orientasi dan corak
keberagaman di Pulau Lombok, yakni dari corak sufisme an sich menjadi corak Islam yang
berwajah Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tokoh-tokoh ulama yang beraliran
sunni,antaralain: Tuan Guru HajiMustafa Sekarbela dan Tuan Guru Haji Abdul Hamid
Pagutan di Lombok Barat, serta Tuan Guru Haji Umar Kelayu di Lombok Timur. Pada
generasi berikutnya, muncul nama-nama seperti: Tuan Guru HajiBadaml Islam Pancot, Tuan
Guru Lopan, Tuan Guru Haji Saleh Hambali Bengkel, dan Tuan Guru Haji Abdul Karim
Kediri.
Penyebaran dakwah para tuan guru ini dilakukan dengan mendirikan pondok-pondok
pesantren dan pengajian-pengajian di masjid, suara dan langgar. Tercatat pada tahun 1872,
Tuan Guru Haji Abdul Hamid dimendirikan Pondok Pesantren Nurul Qur'an di Pagutan.
pondok ini diklaim sebagai pondok pesantren tertua di Pulau Lombok. selanjutnya pada tahun
1924, Tuan Guru Haji Abdul Karim mendirikan pondok prsantren di Kediri, Lombok Barat.
Di samping dua pondok pesantren tersebut, terdapat juga pondok pesantren yang didirikan
oleh Tuan Guru Haji Umar di Kelayu, Lombok Timur.
Corak pondok pesantren ini masih sangat tradisional. Para santri mengaji secara
kolektif di depan gurunya secara sorogan, dan nyaris tanpa program pengajaran yang teratur
dan terencana. Mata pelajaran yang diajarkan pun beragam, mulai dari akidah, ficjh, dan
akhlaq. Sebagian menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab, dan sebagian lagi menggunakan
kitab-kitab Melayu, yang bertuliskan huruf Arab namun dibaca menurut bahasa Melayu.
Yang disebut terakhir ini justeru masih populer dikalangan masyarakat biasa yang tidak
tergolong pemimpin agama. Kitab-kitab seperti Masai/, Perukunan, Bidayah, hingga Sabilal
Muhtadin cukup akrab bagi mereka.
Pada generasi berikutnya, lahirnya seorang pemuda yang kelak menjadi tokoh ulama
kharismatik di Pulau Lombok. la adalah Muhammad Sagaf yang kemudian lebih dikenal
sebagai Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. la pernah belajar dan
nyantri dipondok pesantren Tuan Guru Haji Umar Kelayu dan tuan guru-tuan guru lainnya di
Pulau Lombok, sebelum melanjutkan studinya ke madrasah Al-Shaulatiyah di Makkah.
Akhirnya, setelah menyelesaikan studinya di Makkah, TuanGuru Kyai Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid kembali ke pulau Lombok untuk mengembangkan
dakwah Islamiyah dan membentuk sistem pendidikan baru. Pada tahun 1934, ia mendirikan
Pondok pesantren Al-Mujahidin. Pondok pesantren ini sebagai cikal bakal berdirinya
Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah [NWDI] yang merupakan pelopor pondok
pesantren modern dengan sistem klasik materi yang lebih sistematis dan terukur, hingga
pondok pesantren sistem dapat diklaim sebagai pembawa semangat pencerahan dalam sistem
pendidikan Islam di Pulau Lombok.

C. WETU TELU : SUATU BENTUK KEBERAGAMAAN MASYARAKAT LOMBOK


Penelitian sosiologis ilmuwan Barat abad ke-20, seperti Van Eerde dan Professor
Bousquet, menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat Sasak terdapat tiga kelompok
keagamaan; Sasak Boda, Waktu Lima dan Wetu Telu. Sasak Boda disebut-sebut sebagai
agama asli masyarakat Lombok. Kendati dari penyebutannya mirip dengan kata Budha,
mereka, bukanlah penganut Budhisme, karena mereka tidak mengakuiSidharta Gautma
sebagai figur utatna pemujaannya maupun terhadap ajaran pencerahannya. Menurut Erni
Budiwanti, agama Boda ditandai oleh animisme dan panteisme. Pemujaan dan penyembahan
roh-roh leluhur dari berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktek
keagamaan Sasak Boda.
Penganut Boda merupakan komunitas kecil dan masih ditemukan pada awal abad ke-
20, tinggal di bagian utara Gunung Rinj ani [Kecamatan Bayan dan Tanjung] dan di beberapa
desa di sebelah selatan Gunung Rinjani. Diduga, dulunya mereka berasal dari bagian tengah
Pulau Lombok dan mengungsi ke wilayah pegunungan untuk menghindari proses islamisasi.
Adapun mereka yang mengalami proses Islamisasi dengan sempurna digolongkan
sebagai penganut Islam Waktu Lma, sebagaimana Islam yang umumnya dikenal luas. Mereka
diidentikkan dengan orang-Orang Islam yang secara taat dan sempurna melaksanakan ajaran
agamanya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya.Jumlahnya merupakan mayoritas
umat beragama dan tersebar hampir di seluruh bagian Pulau Lombok.
Berbeda dengan Waktu Lima, penganut Wetu Telu diidentikkan dengan mereka yang
dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat kuat berpegang kepada adat-istiadat nenek
moyang mereka. Dalam ajaran Wetu Telu, terdapat banyak nuania Islam di dalamnya.
Namun demikian, artikulasi lebih dimaknakan dalam idiom adat. Di sini warna agama
tercampur dengan adat, padahal adat senditi tidak selalu sejalan dengan agama. Pencampuran
praktek-praktek agama ke dalam adat ini menyebabkan watak Wetu Telu menjadi sangat
sinkretik.
Beberapa kalangan melihat fenomena Wetu Telu dalam makna yang sama degan
penganut Islam Abangan di kalangan masyarakat Jawa. Akan tetapi,dilihat dari konsepsi serta
cara pandang masing-masing, adalah tepat untuk mempersamakan antata keduanya. Menurut
Zhamaksyari Dhofier, Islam Abangan hanya merupakan sebutan bagi orang Islam yang tidak
taat melaksanakan ajaran Islam. Dan secara lebih rinci Abdul Jabbar Adlan—sebagaimana
dikutip Syamsuddin mcngidentifikasi Islam Abangan sebagai kelompok yang :

1. Tidak melakukan atau jarang melakukan syariat Islam dengan alasan belum sempat,
meskipun mereka mengakui itu semuaadalah kewajiban agama.
2. Masih melakukan yang dilarang agama walaupun mereka mengakui bahwa hal-hal
tersebut dilarang agama.
3. Mempunyai keinginan melaksanakan syariat dan meninggalkan larangan syara' bila sudah
tua.

Berbeda dengan Wetu Telu, bagi mereka Wetu Telu adalah bentuk akhir dari
keberagamaan, yang tidak akan beranjak menuju Waktu Lima Apabila ada di antara penganut
Wetu Telu yang akhirnya memutuskan untuk menganut Waktu Lima, perubahan keyakinan
ini merupakan konversi [perpindahan] agama, bukan sebuah pencapaian menuju derajat
keberagamaan yang lebih tinggi. Dengan berpegang pada alasan ini, jelas tcrdapat perbedaan
yang signifikan di antara keduanya.
Bagi orang luar [outsiders], khususnya kalangan penganut Waktu Lima,
bcrpandangan bahwa istilah Wetu Telu merupakan pencerminan dari praktek-praktek
keagamaan mereka selama ini. Secara harfiah penganut Waktu Lima mengartikan Wetu Telu
dengan waktu tiga, dengan asumsi Wetu berarti waktu dan Telu berarti tiga. Mereka
menafsirkan sebutan itu karena penganut Wetu Telu mengurangi dan meringkas hampir
semua peribadatan Islam menjadi hanya tiga kali saja. Orang Waktu Lima menganggap
bahwa penganut Wetu Telu hanya melaksanakan tiga rukun Islam saja, yaitu mengucapkan
syahadat, mcnjalankan shalat harian, dan berpuasa. Mereka meninggalkan rukun keempat dan
kelima, membayar zakat dan pergi haji. Lebih jauh dalam pandangan Waktu Lima, penganut
Waktu Telu cuma melaksanakan shalat tiga kali dnlam sehari,yaitu subuh, maghrib dan Isya.
Shalat dzuhur dan ashar tidak mereka lakukan. Waktu Lima mengatakan Wetu Telu tidak
menjalankan puasa sebulan penuh melainkan tiga kali saja; pada permulaan, pertengahan dan
penghujung bulan Ramadlan.
Berdasarkan penafskan-penafsiran ini, penganut Waktu Lima kemudian beranggapan
bahwa keberagamaan [baca: Keislaman] penganut Wetu Telu berjumlah sempurna sesuai
dengan tuntutan Islam yang universal Di samping itu, ketidaksempumaan ini juga terlihat dan
pencampuran tradisi keberagatnaan dengan tradisi adat yang masih melakukan pemujaan
terhadap leluhur yang sarat dengan animisme dan antropomorfisme. Hal ini antara lain dapat
dilihat pada cata penganut Wetu Telu memperlakukan makam keramat leluhur yang dibangun
di sekeliling masjid kuno Wetu Telu. Di situ orang-orang Waktu Lima melihat tata cara
beribadah yang menyerupai peribadatan orang Hindu Bali. Mereka menunjukkan atribut
kultural lain yang memperkuat persamaan penganut Wetu Telu dengan orang Hindu Bali
yakni cara berpakaian dalam menjalankan ritual, penyembelihan binatang, acara makan
bersama sajian ritual, dan perkawinan dengan cara kawin lari.

Sven Cederroth menggambarkan pjrosesi upacara Maulid yang diselenggarakan didesa Suren,
sebuah desa tradisional di Lombok Utara yang menganut Wetu Telu, sebagai berikut:

sebuah kerumunan orang berkumpul, menunggu apa yang akan terjadi. Orang-orang
berpakaian yang berbeda [dengan pakaian orang-orang di Karang Tubuh-pen], mengenakan
pakaian kasar berwarna merah tua, sarung tenun, pundak terbuka tetapi disekitar dadanya
diikatkan kain berwarna coklat keabu-abuan, mereka mengenakan kain batik kecil yang
dilipat seperti pita di sekitar kepalanya. Tiba-tiba sebuah prosesi muncul menuju aajalanan.
Dengan dilindungi sebuah payung, dua pasangan yangberpakaian dengan warna cerah dan
dihiasi sedemikian rupa berjalan menuju pusat prosesi diikuti oleh sejumlah pria yang
membawa porsi-porsi makanan pada wadah dari anyaman bambu yang ditutupi daun-daun
pisang. Segera sesudah prosesi berlalu, semua penonton berhamburan berusaha untuk
merebut pasir yang dilewati oleh kaki para peserta prosesi. Setelah melalui perjalanan yang
singkat, prosesi itu sampai pada masjid tua, tempat para pemuka agama menunggu. Mereka
berpakaian putih, tetapi juga mengenakan pita putih khas di sekitar kepalanya. Masjid itu
sendiri dihiasi dengan sejumlah kain, bendera-bendera beraneka warna pada tiang panjang
yang berada di tiap-tiap pojok luar, dan dengan kain putih yang mcmbentuk genteng rendah
di bagian dalam masjid. Makanan dihidangkan kepada para pemuka agama, mereka makan
dengan lahap, akan tetapi karena piring-piringnya diisi kembali terus-menerus, sisanya
hampir sama banyaknya ketika mereka selesai dengan ketika mereka mulai. Sisa tersebut
dicampurkan dengan air suci yang ditempatkan pada sebuah kendi tanah berukuran besar, dan
sebagian kecil dari campuran ini kemudian dibagikan kepada semua peserta.
Berbeda dengan persepsi kalangan penganut Waktu Lima di atas penganut Wetu Telu
sendiri mempunyai persepsi yang sangat berbeda bahkan menunjukkan sesuatu yang sama
sekali berbeda dengan persepsi kalangan penganut Waktu Lima. Penelitian Erni Budiwanti
terhadap Wetu Telu di Bayan, salah satu daerah konsentrasi penganut Wetu Telu, mencatat
setidak-tidaknya empat konsepsi mengenai Wetu Telu. Walau berbeda beda, keempatnya
merupakan satu kesatuan pengertian, karena masing masing tokoh yang diwawancarai
mengakui konsepsi yang dikemukakan oleh tokoh Wetu Telu lainnya. Pertama, pandangan
yang menyatakan bahwa . Wetu Telu berarti tiga sistem reproduksi, dengan asumsi kata Wetu
berasal dari kata Metu, yang berarti muncul atau datang dari, sedangkan Telu berarti tiga.
Secara simbolis hal ini mengungkapkan bahwa semua makhluk hidup muncul [metu] melalui
tiga macam sistem rcprodukai : 1] melahirkan [menganak], seperti manusia__dan mamalia;
2] bertelur [menteluk], seperti burung; dan 3] berkembang biak dari benih atau buah
[mentiuk], seperti biji-bijian, sayuran, buah-buahan, pepohonan dan tetumbuhan lainnya.
Tetapi fokus kepercayaan Wetu Teh tidak terbatas hanya pada sistem reproduksi, melainkan
juga menunjuk pada Kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk untuk hidup dan
mengembangbiakkan diri melalui mekanisme reproduksi tersebut.
Kedua, persepsi yang mengatakan bahwa Wetu Teh melambangkan ketergantungan
makhluk hidup satu sama lain. Menurut konsepsi ini, wilayah kosmologis itu terbagi menjadi
jagad kecil dan jagad besat. Jagad besar disebut alam raya atau mayapada yang terdiri atas
dunia, matahari, bulan, bintang dan planet lain, sedangkan manusia dan makhluk lainnya
merupakan jagad kecil yang selaku makhluk sepenuhnya tergantung pada alam semesta.
Ketergantungan jagad kecil kepada jagad besar tercermin dalam kebutuhan mutlak
jagad kecil akan sumber daya penting, seperti; tanah, udara, air dan api. Pada saat yang sama
jagad besar juga tergantung kepada jagad kecil dalam hal pemeliharaan dan pelestarian. Di
luar itu, Kemahakuasaan Tuhan berperan penting dalam menggerakkan ketergantungan antar
makhluk. Ketergantungan inilah yang kemudian menyatukan dua dunia tersebut dalam suatu
keseimbangan. ketidakseimbangan dapat terjadi apabila manusia sebagai bagian dari jagad
kecil terlalu tamak [melak] dalam mengeksploitasi jagad besar.
Ketiga, konsepsi yang menyatakan bahwa Wetu Teh sebagai sebuah sitsem agama
termanifestasi dalam kepercayaan bahwa semua makhluk melewati tiga tahap rangkaian
siklus; dilahirkan [menganak] hidup [urip] dan mati [mate]. Kegiatan ritual sangat terfokus
pada rangkaian siklus ini. Setiap tahap, yang selalu diiringi upacara, merepresentasikan
transisi dan transformasi status seseorang menuju status selanjutnya; juga, mencerminkan
kewajiban seseorang terhadap dunia roh.
Keempat, konsepsi yang menyatakan bahwa pusat kepercaaan Wctu Telu adalah iman
kepada Allah, Adam dan Hawa. Konsep inilaln dari suatu pandangan bahwa unsur-unsur
penting yang tertanam dalam ajaran Wetu Telu adalah :

1. Rahasia atau Asma yang mewujud dalam panca indera tubuh manusia.
2. Simpanan Ujud Allah yang termanifestasikan dalam Adam dan Hawa Secara simbolis
Adam merepresentasikan garis ayah atau laki-laki sementara Hawa merepresentasikan
garis ibu atau perempuan Masing-masing menyebarkan empat organ pada tubuh
manusia,
3. Kodrat Allah adalah kombinasi 5 indera [berasal dari Allah] dan8 organ yang diwarisi
dari Adam [garis laki-laki] dan Hawa [garis perempuan]. Masing-masing kodrat Allah
bisa ditemukan dalam setiap lubang yang ada di tubuh manusia -dari mata hingga anus.

Keberadaan Wetu Telu sebagai vanan Islam di Lombok sudah ada sejak lama. Hanya
saja, hampir tidak ada suatu keterangan pasti yang menunjukkan asal-usul varian tersebut.
Meskipun terdapat beberapa versi, namun masih sulit untuk menguji keabsahan masing-
masing versi tersebut.
Setidak-tidaknya terdapat empat versi yang menyatakan tentang asal-usul Wetu Telu.
Pertama, versi yang menyatakan bahwa watak Islam yang dibawa oleh penyebar agama dari
Jawa memang sudah mengantlung unsur mistik dan sinkretik. Sehingga mereka yang
terislamisasi melalui penyebar agama dari Jawa memiliki pola keberagamaan yang sinkretik
Kondisi ini bcrlangsung secara turun temurun dan mengkristal menjadi adat istiadat yang
mapan. Kristalisasi dan idiomisasi adat selanjutnya menyebabkan para penganut Wetu Telu
tidak berkeinginan untuk merubahnya, sekalipun alasan untuk mempertahankannya juga sulit
mereka temukan secarara rasional.
Kedua, versi yang menyatakan bahwa timbulnya Wetu Telu yang brwatak sinkretik
disebabkan oleh pendeknya waktu para penyebar agama dari Jawa melaksanakan dakwah dan
tingginya tingkat toleransi mereka terhadap faham animisme dan antropomorfisme
masyarakat Sasak.
Menurut Goris, sebagaimana dikutip Erni Budiwanti dan Alfons van der Kraan,
Pangeran Prapen, seorang tokoh utama dalam penyebaran Islam di Pulau Lombok hanya
menetap dalam waktu yang tidak terlalu lama. Setelah meng-Islam-kan masyarakat Sasak, ia
bertolak ke Sumbawa dan Bima untuk menyebarkan missi Islam di sana. Sepeninggalnya
kemudian masyarakat Sasak kembah menganut paganisme. Dari Bitna ia memang kembali ke
Lombok, tetapi juga tidak berlangsung lama dan mempercayakan peningkatan kualitas
keberagamaan kepada dua pembantunya, yakni Raden Sumulia dan Raden Salut. Pangeran
Prapen kemmbali meninggalkan Lombok menuju Bali. Karena missinya di Bali menemui
kegagalan akibat kerasnya penolakan, ia kemudian kembali ke Jawa dan tidak lagi ke
Lombok.
Ketiga, versi yang menyatakan bahwa Wetu Telu lahir sebagai konsekuensi dari
strategi dakwah yang diterapkan oleh para penyebat agama Islam, setelah melihat sulitnya
medan dakwah Islamiyah dengan adanya penolakan-penolakan dari dan tingginya fanatisme
masyarakat Sasak yang masih menganut Hinduisme dan Budhisme.
Penyebar-penyebar agama Islam ini bertindak hati-hati dan lemah lembut. Tiap-tiap
sesuatu tidak diadakan secara revolusioner, tetapi secara teratur dan perlahan-lahan, sedikit
demi sedikit. Agar syareat agama Islam cepat berkembang maka dijalankan sistem berantai
tiga. Kyai dari Jawa mendidik tiga orang kiai dan bila sudah pandai kyai ini diharuskan pula
mempunyai tiga orang santri [murid]. Bila santri itu cakap maka dilantiklah menjadi kyai.
Hal ini mengakibatkan bahwa yang menjalankan ibadah sholat dan puasa hanya kyai
penghulu saja. Sehingga di masyarakat timbul dua buah gambaran yakni: gambaran kyai dan
gambaran pengikut yang masih awam. Golongan awam ini seolah-olah hanya melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh kyai dan rajanya saja. Mereka sama sekali
tidak tahu apa latar belakang atau dasarnya mengerjakan perintah seperti merayakan hari-hari
tertentu dan kewajiban membaca syahadat ketika dinikahkan, Karena hal ini berjalan dari
tahun ke tahun sampai beberapa generasi, timbullah anggapan pada tiap-tiap pihak bahwa
keadaan yang demikian itu memang sebenarnya dikehendaki agama, Anggapan ini
menyebabkan yang menjalankan ibadah hanya kyai/ penghulu saja sedangkan rakyat
memikulkan kewajibannya kepada kyai/penghulu mereka saja. Kyai/penghulu merekalah
yang menanggung segala dosa mereka. Dan sebagai imbangannya, rakyat wajib berfitrah dan
bersedekah pada hari-hari tertentu pada kyai/penghulunya.
Keempat, versi yang menyatakan bahwa asal usul Wetu Telu adalah dua putra
Pangeran Sangupati, salah seorang penyebar agama Islam di Lombok Dalam sebuah babad
yang tertulis di atas daun lontar disebutkan bahwa tokoh ini mempunyai dua orang putra,
Nurcahya dan Nursada. Nurcahya digambarkan sebagai pendiri Waktu Lima dan Nursada
sebagai pendiri Wetu Telu. Yang pertatna digambarkan sebagai Muslim yang ortodox dan
puritan, sementara yang terakhir sebagai Muslim yang tradisional dan sinkretik.
Dalam babad tersebut, antara lain disebutkan bahwa pengikat pengikut Waktu Lima
diserang oleh berbagai jenis penyakit dan ditimpa kecelakaan, sementara penganut Wetu Telu
hidup makmur dan memiliki panen yang berlimpah. Dalam keadaan sedemikian tertekan,
sang kakak datang kepada sang adik untuk meminta pertolongan. Akhirnya mereka berdua
sampai kepada kesimpulan Waktu Lima tidak cocok bagi orang Sasak dan merupakan
penyebab kesialan. Mereka kemudian memutuskan untuk merantai Waktu Lima dalam
kurungan besi dan membuang ke laut. Setelah hal ini dilakukan, keberuntungan berubah dan
keseluruhan tanah Selaparang diberkahi kekayaan oleh Allah. Masyarakat berbahagia dan
babad itu diakhiri dengan sebuah peringatan : Masyarakat Sasak harus selaiu mengihgat
bahwa Wetu Telu, bukan Waktu Lima, adalah pilihan yang tepat di Lombok, Sepanjang
masyarakat Sasak memegangnya, mereka akanmendapat kemakmuran, akan tetapi apabila
mereka mengingkarinya, sesuatu yang paling mengerikan mungkin akan terjadi.
Dengan semakin berkembangnya Islam di Pulau Lombok, yang antara lain ditandai
dengan berdirinya pondok-pondok pesantren, gerakan dakwah terhadap Wetu Telu oleh
tokoh-tokoh pesantren atau yang lazim dikenal dalam tradisi Islam Lombok sebagai Tuan
Guru semakin gencar dilakukan. Para tuan guru menempuh berbagai cara untuk melakukan
kegiatan dakwah. Beberapa tuan guru yang dapat disebut secara aktif melakukan dakwah
kepada penganut Wetu Telu, antara lain:

1. Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, pendiri organisasi
NahdlatulWathan, yang berpusat diPancor, Lombok Timur.
2. Tuan Guru Haji Mutawalli pendiri Pondok Pesantren Darul Yatama wal Masakin, yang
berpusat di Jerowaru, Lombok Timur.
3. Tuan Guru Haji Shafwan Hakim, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hakim, yang
berpusat di Kediri, Lombok Barat.
4. Tuan Guru Haji Hazmi Hazmar, pengasuh Pondok Pesantren Marakit Taklimat, yang
berpusat di Mamben, Lombok Timur
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainudin Abdul Madjid melaksanakan dakwah
kepada penganut Wetu Telu, dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengirim murid-muridnya untuk melakukan dakwah.


2. Menarik perhatian orang-orang Wetu Telu agar bersedia menyekolahkan putra-putrinya
di pondok pesantrennya.
3. Berusaha membangun madrasah, setelah dinilai memiliki cukup kader, dan
4. Secara langsung turun untuk memberikan pengajian-pengajian umum kepada
masyarakat. Pola kegiatan yang sama ditempuh oleh Tuan Guru Haji Hazmi Hazmar.

Sedangkan Tuan Guru Haji Mutawalli, dalam melakukan dakwahnya kepada


penganut Wetu Telu menempuh langkah-langkah, sebagai berikut :

1. Menampakkan kekuatan-kekuatan magis yang dimiliki untuk menarik perhatian penganut


Wetu Telu untuk menerima ajakan dakwahnya
2. Mendidik para kyai dan penghulu Wetu Telu dengan ajaran-ajaran Islam yang sempurna,
karena dinilai merekalah yang berpengaruh di kalangan penganut Wetu Telu.
3. Melakukan pembauran dengan kalangan Wetu Telu, dengan cara menggagas transmigrasi
lokal para penganut Islam Waktu Lima ke basis-basis daerah Wetu Telu.

Berbeda dengan kedua tuan guru di atas, Tuan Guru Haji Safwan Hakim justeru
melakukan dakwahnya dengan mengirim santri-santri pondok pesantrennya ke wilayah-
wilayah basis Wetu Telu untuk berdakwah dengan sekaligus melakukan peningkatan kualitas
ekonomi penganut Wetu Telu. Para murid [santri-santri] yang dikirim sebelum dibekali
dengan ilmu-ilmu pertanian agar mereka dapat membaur dengan penganut Wetu Telu.
Selanjutnya secara perlahan membuat embrio bagi lahirnya pusat-pusat dakwah, seperti
masjid dan sekolah.
Demikianlah Wetu Telu akhirnya semakin menunjukkan posisi yang kurang
berimbang. Walaupun bukan merupakan bentuk dakwah kepada Wetu Telu, proses
desakralisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap tradisi WetuTelu, seperti
menggalakkan pariwisata dan menjadikan tradisi Wetu Telu sebagai ajang wisata memiliki
arti yang signifikan. Lebaran topat misalnya, kendati memiliki nama yang sama, namun
karena muatannya berbeda, tidak urung berakibat pada desakralisasi tradisi.
Dewasa ini, penganut Wetu Telu sudah sangat berkurang. Hanya wilayah-wilayah tertentu
dengan jumlah yang tidak terlalu signifikan yang masih menganut Wetu Telu.

Anda mungkin juga menyukai