Anda di halaman 1dari 4

PENYEBARAN ISLAM DI TASIKMALAYA

Penyebaran Islam ke daerah pedalaman dilakukan oleh para mubalig yang mengabdikan seluruh
hidupnya bagi tersyiarnya Islam dan mereka bermukim di wilayah ini. Ternyata agama islam dapat
diterima dengan relative mudah, cepat, dan luas oleh masyarakat Sunda. Setelah dianut, agama
islam itu tidak dilepaskan lagi oleh umumnya orang Sunda hingga sekarang ini. Setelah agama islam
telah banyak dan lama diterima dan dianut oleh penduduk satu tempat, maka untuk memenuhi
keperluan pengetahuan ajaran agama, etika kehidupan Islami, dan praktik peribadatan kaum
Muslimin setempat, terutama kaum anak-anak dan orang mudanya, maka di tempat itu dibukalah
lembaga pendidikan agama dalam bentuk pesantren. Pesantren awal yang didirikan di Tatar Sunda
adalah pesantren Quro di Karawang dan pesantren Amparan, terletak sekitar 5km sebelah utara
kota Cirebon.

Walaupun bentuk dan isinya tidak diketahui dengan jelas, sumber tradisional lokal
mengungkapkannya dalam konteks Islami di Tatar Sunda sebelum kota pelabuhan Cirebon terwujud.
Adapun di daerah pedalaman pesantren yang pertama didirikan adalah pesantren Pamijahan di
Tasikmalaya Selatan yang didirikan oleh Syekh Abdul Muhyi sekitar pada abad ke-17. Setelah itulah
muncul pesantren-pesantren d sejumlah tempat di Tatar Sunda hingga masa sekarang baik yang
berusia lama maupun yang umurnya sebentar.

Ada dua hal yang menarik dari profil pesantren di Tatar Galuh pada masa awal Islamisasi sampai
abad ke-19. Pertama, terdapat kemiripan pola dan karakter antara pesantren dengan
mandala/kebuyuran, Keduanya menempati lokasi tertentu yang terpisah dari pergaulan masyarakat
yang luas, pola hidup penghuninya mandiri, otoritas guru dominan, dan penggunaan naskah sebagai
sarana bahan ajar. Contoh yang mencolok adalah pesantren di Pamijahan yang didirikan dan dikelola
Syekh Abdul Muhyi. Di samping lokasinya terpencil di daerah pedalaman, pesantren ini juga
dilengkapi dengan gua (Gua Saparwadi) sebagai prasarana ibadah ibadah dan pendidikan layaknya
sebuah pertapaan.

Sebelum masyarakat Pamijahan menganal Islam dan sebelum datangnya Syekh Abdul Muhyi ke
Pamijahan, kepercayaan masyarakat Pamijahan terhadap roh-roh gaib nenek moyang, penyembah
pohon, batu-batu besar dan benda-benda lainnya atau yang disebut dengan animism dan
dinamisme. Menurut sumber sejarah setempat, bahwa kedatangan Syekh Abdul Muhyi ke
Pamijahan juga mendesak penduduk setempat yang memiliki ilmu Batara Karang yang bermarkas di
dalam gua Safarwadi.

Proses Islamisasi di Pamijahan berlangsung bertahun-tahun. Karena ketabahan Syekh Abdul Muhyi,
sedikit demi sedikit Islam dipeluk oleh berbagai kalangan. Karena akhlak yang baik seperti dalam
sikap yang santun, berbicara dengan ramah dan dakwah dengan pendekatan persuasive, masyarakat
menaruh simpatik kepadanya dan selanjutnya dengan sukarela mengikuti ajaran Islam dan menjadi
murid Syekh Abdul Muhyi. Dalam menyebarkan ajaran agama Islam dia tidak memaksakan
kehendaknya terhadap masyarakat. Hal ini terlihat, bahwa tidak semua masyarakat memeluk agama
Islam secara spontan, walaupun pada akhirnya mereka harus pindah dari daerah tersebut karena
terdesak oleh tradisi dan tata cara kehidupan Islam.

Metode dakwah Syekh Abdul Muhyi sama dengan yang dilakukan Wali Sanga. Oleh karena itu Syekh
Abdul Muhyi dianggap sebagai seorang wali oleh masyarakat Jawa Barat. Bahkan tradisi setempat
menyebutnya wali kesepuluh yang meneruskan tradisi Wali Sanga.

Dalam berdakwah, Syekh Abdul Muhyi menghadapi kendala geografis dan cultural. Untuk
menghadapi kendala geografis, dia harus turun-naik gunung dalam menyebarkan agama Islam dari
satu kampong ke kampong yang lain mengingat letak perkampungan daerah pegunungan. Priangan
merupakan wilayah pegunungan dan mempunyai hutan yang sangat lebat. Untuk menghadapi
kendala cultural, dia harus memodifikasi Islam sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
Pamijahan yang sebelumnya sudah memeluk agama Hindu dan agama nenek moyang. Dalam
menghadapi kendala cultural ini, Syekh Haji Abdul Muhyi tidak hanya mendapat reaksi positif dari
masyarakat yang didatanginya, tetapi juga sekelompok masyarakat yang menghalangi misinya.

PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI PAPUA

Kedatangan pengaruh Islam ke Pulau Papua, yaitu ke daerah Fakfak Papua Barat tidak terpisahkan
dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat pelayaran internasional di Malaka, Jawa dan
Maluku. Sebelum membahas proses masuknya Islam di daerah ini terlebih dahulu akan dibahas
proses masuknya agama Islam di Maluku, Ternate, Tidore serta pulau Banda dan Seram karena dari
sini Islam memasuki kepulauan Raja Ampat di Sorong, dan Semenajung Onin di Kabupaten Fakfak
(Onim, 2006:75).

Sejarah masuknya Islam di wilayah Maluku dan Papua dapat ditelusuri dari berbagai sumber baik
sumber lisan dari masyarakat pribumi maupun sumber tertulis. Menurut tradisi lisan setempat, pada
abad kedua Hijriah atau abad kedelapan Masehi, telah tiba di kepulauan Maluku (Utara) empat
orang Syekh dari Irak. Kedatangan mereka dikaitkan dengan pergolakan politik di Irak, dimana
golongan Syiah dikejar-kejar oleh penguasa, baik Bani Umayah maupun golongan Bani Abasyiah.
Keempat orang asing membawa faham Syiah. Mereka adalah Syekh Mansyur, Syekh Yakub, Syekh
Amin dan Syekh Umar. Syekh Umar menyiarkan agama Islam di Ternate dan Halmahera muka. Syekh
Yakub menyiarkan agama Islam di Tidore dan Makian. Ia meninggal dan dikuburkan di puncak Kie
Besi, Makian. Kedua Syekh yang lain, Syekh Amin dan Umar, menyiarkan agama Islam di Halmahera
belakang, Maba, Patani dan sekitarnya. Keduanya dikabarkan kembali ke Irak.

Sedangkan menurut sumber lain Islam masuk ke Ternate di sekitar tahun jatuhnya kerajaan Hindu
Majapahit 1478, jadi sekitar akhir abad ke-15. Sumber lain berdasarkan catatan Antonio Galvao dan
Tome Pires bahwa Islam masuk ke Ternate pada tahun 1460-1465. Dari beberapa sumber tadi
dengan demikian dapat diperkirakan bahwa Islam masuk ke Maluku pada abad ke-15 selanjutnya
masuk ke Papua pada abad ke-16, sebagain ahli memprediksikan bahwa telah masuk sejak abad ke-
15 Sebagaimana disebutkan situs Wikipedia.

Secara geografis tanah Papua memiliki kedekatan relasi etnik dan kebudayaan dengan Maluku.
Dalam hal ini Fakfak memiliki kedekatan dengan Maluku Tengah, Tenggara dan Selatan, sedangkan
dengan Raja Ampat memiliki kedekatan dengan Maluku Utara. Oleh karena itu, dalam membahas
sejarah masuknya Islam ke Fakfak kedua alur komunikasi dan relasi ini perlu ditelusuri mengingat
warga masyarakat baik di Semenanjung Onim Fakfak maupun Raja Ampat di Sorong, keduanya telah
lama menjadi wilayah ajang perebutan pengaruh kekuasaan antara dua buah kesultanan atau
kerajaan besar di Maluku Utara (Kesultanan Ternate dan Tidore). Nampaknya historiografi Papua
memperlihatkan bahwa yang terakhir inilah (Kesultanan Tidore) yang lebih besar dominasinya di
pesisir pantai kepulauan Raja Ampat dan Semenajung Onim Fakfak. Walaupun demikian tidak berarti
bahwa Ternate tidak ada pengaruhnya, justru yang kedua ini dalam banyak hal sangat berpengaruh.
D

Dengan adanya pengaruh kedua kesultanan Islam ini di Raja Ampat, Sorong dan Fakfak, maka telah
dapat diduga (dipastikan) bahwa Islam masuk ke Raja Ampat dan Semenanjung Onim Fakfak serta
sebagian besar wilayah pantai selatan daerah Kepala Burung pada umumnya termasuk kaimana di
dalamnya adalah wilayah lingkup pengaruh kedua kesultanan itu (Onim 2006; 83)
Kajian masuknya Islam di Tanah Papua juga pernah dilakukan oleh Thomas W Arnold seorang
orientalis Inggris didasarkan atas sumber-sumber primer antara lain dari Portugis, Spanyol, Belanda
dan Inggris. Dalam bukunya yang berjudul The preaching of Islam yang dikutip oleh Bagyo Prasetyo
disebutkan bahwa pada awal abad ke-16, suku-suku di Papua serta pulau-pulau di sebelah barat
lautnya, seperti Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati telah tunduk kepada Sultan Bacan salah
seorang raja di Maluku kemudian Sultan Bacan meluaskan kekuasaannya sampai Semenanjung Onim
(Fakfak), di barat laut Irian pada tahun 1606, melalui pengaruhnya dan pedagang muslim maka para
pemuka masyarakat pulau-pulau tadi memeluk agama Islam meskipun masyarakat pedalaman masih
menganut animisme, tetapi rakyat pesisir adalah Islam.

Karena letak Papua yang strategis menjadikan wilayah ini pada masa lampau menjadi perhatian
dunia Barat, maupun para pedagang lokal Indonesia sendiri. Daerah ini kaya akan barang galian atau
tambang yang tak ternilai harganya dan kekayaan rempah-rempah sehingga daerah ini menjadi
incaran para pedagang. Karena kandungan mineral dan kekayaan rempah-rempah maka terjadi
hubungan politik dan perdagangan antara kepulauan Raja Ampat dan Fakfak dengan pusat kerajaan
Ternate dan Tidore, sehingga banyak pedagang datang untuk memburu dagangan di daerah
tersebut. Ambary hasan, dalam tulisannya yang dikutif oleh Halwany Michrob mengatakan bahwa
sejarah masuknya Islam di Sorong dan Fakfak terjadi melalui dua jalur.

PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI TALAGA

Sekitar tahun 1480 (pertengahan abad XV) Masehi di Desa Sindangkasih 3 Km dari kota Majalengka
ke selatan, bersemayam Ratu bernama Nyi Rambut Kasih keturunan Prabu Siliwangi, yang masih
teguh memeluk Agama Hindu.

Ratu masih bersaudara dengan Rarasantang, Kiansantang dan Walangsungsang, kesemuanya telah
masuk agama Islam. Adanya ratu di daerah Majalengka adalah bermula untuk menemui saudaranya
di daerah Talaga bernama Raden Munding Sariageng suami dari Ratu Mayang Karuna yang waktu itu
memerintah di Talaga. Di perbatasan Majalengka – Talaga, ratu mendengar bahwa daerah tersebut
sudah masuk Islam. Sehingga mengurungkan maksudnya dan menetaplah Ratu tersebut di
Sindangkasih, dengan daerahnya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang,
Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati.

Pemerintahannya sangat baik, terutama masalah Pertanian diperhatikannya juga Pengairan dari
Beledug-Cicuruj-Munjul dibuatnya secara teratur. Kira-kira tahun 1485 putera Raden Rangga Mantri
yang bernama Dalem Panungtung diperintahkan menjadi Dalem di Majalengka, yang mana
membawa akibat pemerintahan Nyi Rambut Kasih terjepit oleh pengaruh Agama Islam.

Kemudian lagi pada tahun 1489 utusan Cirebon, Pangeran Muhammad dan isterinya Siti Armilah
atau Gedeng Badori diperintahkan untuk mendatangi Nyi Rambut kasih dengan maksud agar Ratu
maupun Kerajaan Sindangkasih masuk Islam dan Kerajaan Sindangkasih masuk kawasan ke Sultanan
Cirebon. Nyi Rambut Kasih menolak, timbul pertempuran antara pasukan Sindangkasih dengan
pasukan Kesultanan Cirebon. Kerajaan Sindangkasih menyerah dan masuk Islam sedangkan Nyi
Rambut kasih tetap memeluk agama Hindu. Mulai saat inilah ada Candra Sangkala Sindangkasih
Sugih Mukti tahun 1490.

Abad XVI Agama Islam Masuk Daerah Majalengka


Daerah-daerah yang masuk Daerah Kesultanan Cirebon, dan telah semuanya memeluk Agama Islam
ialah Pemerintah Talaga, Maja, Majalengka. Penyebaran agama Islam di daerah Majalengka
terutama didahului dengan masuknya para Bupati kepada agama itu. Kemudian dibantu oleh
penyebar-penyebar lain antaranya: Dalem Sukahurang atau Syech Abdul Jalil dan Dalem Penuntun
Semua di Maja. Pangeran Suwarga di Talaga yang lainnya Pangeran Muhammad, Siti Armilah, Nyai
Mas Lintangsari, Wiranggalaksana, Salamuddin, Putera Eyang Tirta, Nursalim, RH Brawinata, Ibrahim,
Pangeran Karawelang, Pangeran Jakarta, Sunan Rachmat di Bantarujeg dan masih banyak lagi.

Tahun 1650 Majalengka masuk pengaruh Mataram karena Cirebon telah menjadi kekuasaan
Mataram. Waktu itu Cirebon dipegang oleh Panembahan Ratu II atau Sunan Girilaya.

Anda mungkin juga menyukai