Pendahuluan
Pada prinsipnya orang Minangkabau menganut agama Islam. Maka bila ada
orang Minangkabau yang tidak memeluk agama Islam adalah suatu keganjilan yang
mengherankan, walaupun kenyataannya ada sebagian yang tidak patuh menjalankan
syari‟at-syari‟atnya. Konsep religi pada masyarakat Minangkabau sangat mengenal
“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Disamping meyakini kebenaran
ajaran-ajaran Islam, sebagian dari mereka masih percaya adanya hal-hal bersifat
takhayul dan magis, misalnya: palasik, gasiang tangurak(tenun/santet) dan lain
sebagainya.
Hal inilah yang menyebabkan setiap budaya yang datang dari luar yang tidak
sesuai dengan budayanya tidak akan bertahan lama, seperti budaya dan ajaran yang
dibawa oleh agama Hindu-Buddha.Minangkabau dengan kebudayaannya yang khas
telah ada jauh sebelum Islam datang, bahkan juga jauh sebelum agama Buddha dan
Hindu memasuki wilayah Nusantara (Indonesia). Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa budayanya itu telah mencapai bentuk yang terintegrasi sebelum agama Hindu
dan Buddha serta agama Islam datang. adatnya yang didasarkan pada perasaan, hati
nurani dan hukum alam yang termuat dalam “tungko tigo sajarangan, yaitu alua jo
patuik, anggo jo tango dan raso jo pareso”.
Adanya interaksi dalam hal perdagangan dan pergaulan maka secara tidak
langsung, mereka juga telah menyiarkan Islam. ini menunjukkan bahwa penyiaran
Islam ketika itu telah berlangsung meskipun belum terencana dan
terprogram.Karena itulah, banyak diantara tokoh-tokoh Minang tertarik dengan
Islam, apalagi praktik hidup mereka. Salah satu yang mendorong dan mudahnya
mereka menerima Islam adalah ajarannya yang sederhana dan mudah dipahami,
lagipula budaya dan falsafah adat yang dianut dan sifat yang lebih terbuka
memberikan nuansa positif bagi perkembangan Islam di wilayah ini.
Namun demikian penyiaran Islam sempat terhenti pada periode ini karena
terhalang oleh tindakan Dinasti Cina T‟ang yang merasa kepentingan ekonominya di
Minangkabau Timur terancam oleh Khalifah Umayyah. Keadaan ini berlangsung lebih
kurang 400 tahun. Akibatnya perkembangan Islam pun terhenti sampai tahun 1000
M.
Kedua, penyiaran Islam tahap ini berlangsung pada saat Pesisir Barat
Minangkabau berada di bawah pengaruh Aceh (1285-1522 M). Sebagai umat yang
telah terlebih dulu masuk Islam, pedagang Aceh juga berperan sebagai Mubaligh.
Mereka giat melakukan penyiaran dan mengembangkan Islam di daerah pesisir,
mereka berdagang terutama wilayah dibawah pengaruh Aceh (Samudra Pasai). Salah
satu faktor pendorong mereka adalah hadits Rasulullah SAW yang menyatakan
bahwa “Sampaikanlah ajaranku meskipun hanya satu ayat”. Sejak itu Islamisasi di
Minangkabau dilakukan secara besar-besaran dan terencana. Keadaan ini
berlangsung pada abad XV M.
Pada masa ini pula seorang putra Minangkabau Burhanuddin, putra Koto
Panjang Pariaman, masuk Islam. ia kemudian pergi Aceh menuntut ilmu keislaman
pada Syaikh Abdur Rauf. Setelah pulang dari aceh, ia secara intensif mulai
mengajarkan Islam di daerahnya terutama sekitar Ulakan. Ternyata apa yang ia
usahakan disambut baik oleh masyarakat untuk mempelajari dari berbagai pelosok
Minangkabau.
Ketiga, Islam dari Pesisir Barat terus mendaki ke daerah Darek. Pada
periode ini kerajaan Pagaruyung sebagai pusat pemerintahan Minangkabau masih
menganut agama Buddha, namun demikian, sebagian besar masyarakat telah
menganut Islam, pengaruhnya begitu nampak di dalam kehidupan sehari-hari.
Keadaan ini bagi Pagaruyung hanya menunggu waktu memeluk Islam. sehubungan
dengan hal itu, Islam baru masuk menembus Pagaruyung setelah Anggawarman
Mahadewa, sang raja, memeluk Islam. setelah ia masuk Islam namanya diganti
dengan Sultan Alif.
Sejak itu, Pagaruyung resmi menjadi kerajaan Islam dan sekaligus raja
melakukan perombakan dan penyempurnaan sistem pemerintahan disesuaikan dengan
lembaga yang telah berkembang di dunia Islam. Penyempurnaan yang dilakukan
adanya lembaga pemerintahan bari di tingkat atas, yaitu raja ibadat berkedudukan
di Sumpur Kudus. Lembaga ini merupakan imbangan terhadap raja adat
berkedudukan di Buo. Masuknya Anggawarman Mahadewa masuk Islam, secara tidak
langsung penyebaran Islam makin luas hampir ke seluruh wilayah Minangkabau.
Hal ini tentu saja tidak terlepas dari pengaruh dan dukungan yang diberikan
Sultan Alif terhadap penyiaran Islam. Meksipun ketika itu penguasa memberikan
dukungan penuh kepada para da‟i, namun penyiaran Islam tidak dilakukan melalui
pendekatan kekuasaan, tetapi tetap melalui pendekatan kultural masyarakat,
sehingga tidak terjadi akses negative, apalagi meresahkan masyarakat setempat.
Lain halnya dalam buku Ayahku karangan Buaya Hamka (1965) yang dikutib
Salmadanis dan Duski Samad (2003), dalam almanat Cina disebutkan adanya
kelompok masyarakat Arab di Sumatera Tengah (Minangkabau) pada tahun 678 M.
Dengan demikian, orang-orang Arab Islam telah terdapat di daerah ini pada tahun
52 H. Hanya 42 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat (632 M). Islam sudah
ada di Minangkabau sejak abad pertama hijriah dan Islam yang masuk itu adalah
Islam yang dating dari tanah Arab sendiri, yang sudah jelas adalah Islam murni,
bukan Islam yang telah tercamour dengan mistik dan budaya lainnya.
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK)
Minangkabau yang terkenal dengan adatnya yang kuat dari zaman dahulu
sampai sekarang dengan semboyan adat “Adaik Basandi Syara‟ Syara‟ Basandi
Kitabullah” dengan pengertian yang lebih dalam
Undang- undang alam yang dijadikan oleh Tuhan atau yang disebutsunatullah
atau hukum Allah.Dalam ajaran Islam, alam yang luas ini dengan segala isinya
adalahciptaan Allah SWT dan menjadi ayat-ayat Allah (ayat kauniyah)
sebagaitanda- tanda kebesaran-Nya.Bahwa sesungguhnya Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullahmerupakan proses pergulatan antara Adat,Islam dan Ilmu
Pengetahuanadalah kerangka filosofis dalam memaknai ekstensi manusia
sebagaiKhalifatullah di dunia.
Adat disebut juga „uruf, berarti sesuatu yang dikenal, diketahui dandiulang-
ulangi serta menjadi kebiasaan dalam masyarakat.Adat itu sudah tua usianya,
dipakai turun temurun sampai saat ini, yangmenjadi jati diri (identitas) dan dianggap
bernilai tinggi olehmasyarakat adat itu sendiri.Uruf bagi orang Islam, ada yang baik
dan ada yang buruk.Pengukuhan adatyang baik dan penghapusan adat yang buruk,
menjadi tugas dan tujuankedatangan agama dan syariat Islam.
Dalil yang menjadi dasar untuk menganggap adat sebagai sumber hokum ialah
ayat al Qur an, Surat al A‟raf ayat 199 dan hadits Ibnu Abbas yangartinya “apa
yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka pada sisiAllah juga baik di
kalangan ahli fikih (hukum) Islam berlaku kaidah,adatitu adalah hukum.Proses
dialektika, pertentangan dan perimbangan oleh orang Minang tidakhanya sebatas
pergulatan,tapi proses ini telah membentuk insanMinangkabau sebagai individu yang
memiliki karakter, watak dan sikapyang jelas dalam menjalani siklus kehidupan.Di
antara karakter itu adalah;
Akidah tauhid sebagai ajaran Islam dipupuk melalui basobasi atau budidalam
tata pergaulan di rumah tangga dan di tengah masyarakat.Demikianlah masyarakat
Minangkabau menyikapi cara mereka melihat sistemnilai etika, norma,hukum dan
sumber harapan sosial yang mempengaruhiperilaku ideal dari individu dan
masyarakat serta melihat alam perubahanyang lahir dari lubuk yang berbeda, antara
adat dan Islam.
Persis seperti buku yang di tulis oleh IR. Mangaraja Onggang Parlin-Dungan
tentang Tuanku Rao di tahun 1969 yang mengatakan Tuanku Rao adalah keturunan
Singa Mangaraja dan menuai kritikan dari masyarakat dan pengamat sejarah itu,
begitu juga dengan Sumpah Sati Bukit Marapalam. Ada perbedaan pendapat perihal
tentang kapan persisnya kesepakatan itu terjadi. Ada yang menyebutkan ketika
masa perang paderi, namun ada juga yang berpendapat ketika periode Islam aliran
Syattariyah yang dibawa Syekh Burhanudin berkembang diSumatera Barat.
Hal itu dikarenakan tidak adanya bukti-bukti tertulis yang ditemukan tentang
tahun pencetusan peristiwa bersejarah itu, baik yang bersumber dari masyarakat
maupun dari catatan orang-orang Belanda. Akan tetapi dapat di ketahui, sumpah sati
bukit marapalam bukan untuk menyatukan adat dan ajaran islam akan tetapi saling
melengkapi. Ada yang mengatakan konsesus pertama antara kaum adat dan ulama
berbunyi: 'adat bersandi syara, syara bersandikan adat', akan tetapi karena kurang
relevan kemu-dian di robah menjadi, 'adat bersandi syara, syara bersandikan
kitabullah'.
Surau dalam sistem minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai
pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat
dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur
(Sabarudin 2015). Di Minangkabau, bahkan sebelum kedatangan Islam, surau telah
mempunyai kedudukan penting dalam struktur masyarakat. Fungsinya lebih dari
sekedar tempat kegiatan keagamaan. Menurut ketentuan adat, surau berfungsi
sebagai tempat berkumpulnya para remaja, laki-laki dewasa yang belum kawin atau
duda. Karena adat menentukan bahwa laki-laki tidak punya kamar di rumah orang
tuanya, karena itu mereka bermalam di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau
menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi muda Minangkabau.
Rangkuman Materi
EVALUASI
1. Jelaskan tentang sejarah religi di Minangkabau dan analisislah
hubungan religi Minangkabau budaya!
2. Jelaskanlah secara kritis “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah” dalam kehidupan masa sekarang!
3. Apakah ABS-SBK sudah sesuai dengan Al-quran dan Hadist menurut
syariat Islam?
4. Apakah ada korelasi antara mitos dan kepercayaan masyarakat
Minangkabau. Jelaskan menurut Analisa ananda!