Anda di halaman 1dari 14

AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI MINANGKABAU

Pendahuluan

Pada prinsipnya orang Minangkabau menganut agama Islam. Maka bila ada
orang Minangkabau yang tidak memeluk agama Islam adalah suatu keganjilan yang
mengherankan, walaupun kenyataannya ada sebagian yang tidak patuh menjalankan
syari‟at-syari‟atnya. Konsep religi pada masyarakat Minangkabau sangat mengenal
“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Disamping meyakini kebenaran
ajaran-ajaran Islam, sebagian dari mereka masih percaya adanya hal-hal bersifat
takhayul dan magis, misalnya: palasik, gasiang tangurak(tenun/santet) dan lain
sebagainya.

Kepercayaan Sebelum Islam

Karakter masyarakat Minangkabau yang lebih terbuka dan mudah


menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya membuat masyarakat Minangkabau
berada pada posisi yang dapat dengan mudah menerima pengaruh kebudayaan luar
secara cepat sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai adat, budaya dan filosofi
hidupnya, yang telah ada sejak dulu. Meski demikian, mereka juga sangat kritis
terhadap setiap budaya yang masuk dari luar.

Hal inilah yang menyebabkan setiap budaya yang datang dari luar yang tidak
sesuai dengan budayanya tidak akan bertahan lama, seperti budaya dan ajaran yang
dibawa oleh agama Hindu-Buddha.Minangkabau dengan kebudayaannya yang khas
telah ada jauh sebelum Islam datang, bahkan juga jauh sebelum agama Buddha dan
Hindu memasuki wilayah Nusantara (Indonesia). Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa budayanya itu telah mencapai bentuk yang terintegrasi sebelum agama Hindu
dan Buddha serta agama Islam datang. adatnya yang didasarkan pada perasaan, hati
nurani dan hukum alam yang termuat dalam “tungko tigo sajarangan, yaitu alua jo
patuik, anggo jo tango dan raso jo pareso”.

Pada masa sekarang boleh dikatakan seluruh orang Minangkabau telah


memeluk agama Islam, akan tetapi sisa-sisa kepercayaan lama yang animistik dan
dinamistik masih bisa ditemui di beberapa tempat, sebagian masih percaya kepada
tempat atau benda-benda tertentu sebagai keramat (dihuni oleh roh tertentu),
percaya kepada adanya hantu, kuntilanak, sijundal, orang bunian (orang halus) dan
lain-lain.
Masuknya Islam di Minangkabau

Dalam Dokumentasi dan Informasi Alam Minang (2016). Islam masuk ke


Minangkabau diperkirakan sekitar abad VII M. Meskipun begitu ada juga pendapat
lain, yaitu abad XIII, namun para sejarawan sepakat menyatakan bahwa penyebaran
Islam melalui tiga jalur :

Pertama, jalur perdagangan. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa


Minangkabau selain terletak pada jalur yang strategis dalam hal perdagangan juga
merupakan penghasil komoditi pertanian dan rempah-rempah terbesar di pulau
Sumatera seperti lada dan pala. Potensi demikian mengundang minat para pedagang
asing untuk memasuki dan mengembangkan pengaruhnya di Minangkabau. Dan
diantara para pedagang asing tersebut, ada pedagang Islam yang mereka juga
menyebarkan Islam.

Adanya interaksi dalam hal perdagangan dan pergaulan maka secara tidak
langsung, mereka juga telah menyiarkan Islam. ini menunjukkan bahwa penyiaran
Islam ketika itu telah berlangsung meskipun belum terencana dan
terprogram.Karena itulah, banyak diantara tokoh-tokoh Minang tertarik dengan
Islam, apalagi praktik hidup mereka. Salah satu yang mendorong dan mudahnya
mereka menerima Islam adalah ajarannya yang sederhana dan mudah dipahami,
lagipula budaya dan falsafah adat yang dianut dan sifat yang lebih terbuka
memberikan nuansa positif bagi perkembangan Islam di wilayah ini.

Namun demikian penyiaran Islam sempat terhenti pada periode ini karena
terhalang oleh tindakan Dinasti Cina T‟ang yang merasa kepentingan ekonominya di
Minangkabau Timur terancam oleh Khalifah Umayyah. Keadaan ini berlangsung lebih
kurang 400 tahun. Akibatnya perkembangan Islam pun terhenti sampai tahun 1000
M.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pengembangan Islam pada


dekade ini dilakukan melalui pendekatan kultural, yaitu disesuaikan dengan kondisi
sosial dan budaya masyarakat Minang.

Kedua, penyiaran Islam tahap ini berlangsung pada saat Pesisir Barat
Minangkabau berada di bawah pengaruh Aceh (1285-1522 M). Sebagai umat yang
telah terlebih dulu masuk Islam, pedagang Aceh juga berperan sebagai Mubaligh.
Mereka giat melakukan penyiaran dan mengembangkan Islam di daerah pesisir,
mereka berdagang terutama wilayah dibawah pengaruh Aceh (Samudra Pasai). Salah
satu faktor pendorong mereka adalah hadits Rasulullah SAW yang menyatakan
bahwa “Sampaikanlah ajaranku meskipun hanya satu ayat”. Sejak itu Islamisasi di
Minangkabau dilakukan secara besar-besaran dan terencana. Keadaan ini
berlangsung pada abad XV M.

Pada masa ini pula seorang putra Minangkabau Burhanuddin, putra Koto
Panjang Pariaman, masuk Islam. ia kemudian pergi Aceh menuntut ilmu keislaman
pada Syaikh Abdur Rauf. Setelah pulang dari aceh, ia secara intensif mulai
mengajarkan Islam di daerahnya terutama sekitar Ulakan. Ternyata apa yang ia
usahakan disambut baik oleh masyarakat untuk mempelajari dari berbagai pelosok
Minangkabau.

Dalam waktu relatif pendek, Ulakan menjadi ramai dikunjungi masyarakat


untuk mempelajari Islam lebih jauh. Padahal sebelumnya,, Ulakan hanya suatu
daerah terpencil. Sejak itu sampai sekarang tempat ini masih ramai dikujungi oleh
umat Islam dari berbagai penjuru tanah air, terutama pada bulan Shafar.

Melalui murid-murid Burhanuddin inilah Islam berkembang sampai ke daerah


Darek (dataran tinggi). Sehubungan dengan itu muncul pepatah adat mengatakan
bahwa syarak mandaki adat menurun. Artinya, Islam mulai dikembangkan dari di
daerah pesisir ke daerah pedalaman, sementara adat berasal dari darek baru
kemudian dikembangkan ke daerah rantau termasuk pesisir.

Ketiga, Islam dari Pesisir Barat terus mendaki ke daerah Darek. Pada
periode ini kerajaan Pagaruyung sebagai pusat pemerintahan Minangkabau masih
menganut agama Buddha, namun demikian, sebagian besar masyarakat telah
menganut Islam, pengaruhnya begitu nampak di dalam kehidupan sehari-hari.
Keadaan ini bagi Pagaruyung hanya menunggu waktu memeluk Islam. sehubungan
dengan hal itu, Islam baru masuk menembus Pagaruyung setelah Anggawarman
Mahadewa, sang raja, memeluk Islam. setelah ia masuk Islam namanya diganti
dengan Sultan Alif.

Sejak itu, Pagaruyung resmi menjadi kerajaan Islam dan sekaligus raja
melakukan perombakan dan penyempurnaan sistem pemerintahan disesuaikan dengan
lembaga yang telah berkembang di dunia Islam. Penyempurnaan yang dilakukan
adanya lembaga pemerintahan bari di tingkat atas, yaitu raja ibadat berkedudukan
di Sumpur Kudus. Lembaga ini merupakan imbangan terhadap raja adat
berkedudukan di Buo. Masuknya Anggawarman Mahadewa masuk Islam, secara tidak
langsung penyebaran Islam makin luas hampir ke seluruh wilayah Minangkabau.

Hal ini tentu saja tidak terlepas dari pengaruh dan dukungan yang diberikan
Sultan Alif terhadap penyiaran Islam. Meksipun ketika itu penguasa memberikan
dukungan penuh kepada para da‟i, namun penyiaran Islam tidak dilakukan melalui
pendekatan kekuasaan, tetapi tetap melalui pendekatan kultural masyarakat,
sehingga tidak terjadi akses negative, apalagi meresahkan masyarakat setempat.

Berdasarkan fakta sejarah tersebut, kehadiran Islam bagi masyarakat


Minangkabau merupakan suatu rahmat, karena dengan ajaran Islam adat
Minangkabau semakin kokoh dan sempurna. Sehubungan dengan itu, Syaifullah
berpendapat bahwa sejak Islam menjadi agama masyarakat Minangkabau, adatnya
mengandung ajaran-ajaran yang bersamaan dalam bidang sosial. Dengan begitu adat
Minangkabau juga mengandung ajaran tentang aturan yang mengatur tentang
hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan Khaliqnya, aturan
tentang membina persatuan, aturan tentang memegang teguh prinsip musyawarah
atau mufakat, dan tujuan yang hendak dicapai dengan mempergunakan ajaran yang
empat macam sebagai pegangan dan pedoman.

Berdasarkan paparan di atas proses masuknya Islam ke Minangkabau tidak


terlepas dari peran Ulama Aceh, salah satunya adalah Syaikh Abdur Rauf, yang
turut menyiarkan dan menyebarkan Islam melalui Syaikh Burhanuddin.Dan Al-Qur‟an
bagi orang Minang merupakan konstitusi tertinggi bagi budaya dan masyarakat.
Karenanya tidak masuk akal jika ada orang Minang yang beragama selain Islam. Dan
tidak pula keliru menyebut bahwa orang Minang yang pindah agama tidak lagi berada
dalam koridor ke-Minangkabauannya. Karena itu aib besar bagi seorang Minang
dikatakan tidak beradat dan tidak beragama (Islam).
(http://www.ranahminang.info/2016/06/sejarah-islam-di-minangkabau.html)

Lain halnya dalam buku Ayahku karangan Buaya Hamka (1965) yang dikutib
Salmadanis dan Duski Samad (2003), dalam almanat Cina disebutkan adanya
kelompok masyarakat Arab di Sumatera Tengah (Minangkabau) pada tahun 678 M.
Dengan demikian, orang-orang Arab Islam telah terdapat di daerah ini pada tahun
52 H. Hanya 42 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat (632 M). Islam sudah
ada di Minangkabau sejak abad pertama hijriah dan Islam yang masuk itu adalah
Islam yang dating dari tanah Arab sendiri, yang sudah jelas adalah Islam murni,
bukan Islam yang telah tercamour dengan mistik dan budaya lainnya.
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK)

Minangkabau yang terkenal dengan adatnya yang kuat dari zaman dahulu
sampai sekarang dengan semboyan adat “Adaik Basandi Syara‟ Syara‟ Basandi
Kitabullah” dengan pengertian yang lebih dalam

 Pengertian menurut bahasa dalam dialektika Minangkabau adalah:


Adaik yang berarti adat, Kultur/budaya,Sandi yang berati
asas/landasan,Syara‟ yang berarti Agama Islam, danKitabullah yang berarti
Al-quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.
 Pengertian dalam implementasi keseharian adalah:
Bagi masyarakat Minangkabau dalam melaksanakan Adaik Basandi Syara‟–
Syara‟ Basandi Kitabullah disimpulkan lagi dengan Kalimat “Syara‟ mangato
Adaik mamakai” yang artinya Islam mengajarkan, memerintahkan
menganjurkan sedangkan adat melaksanakannya, dalam arti yang
sesungguhnya bahwa Islam di Minagkabau diamalkan dengan gaya adat
Minangkabau dan adat Minangkabau dilaksanakan menurut ajaran Islam
dengan landasan dan acuan dari Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
yang intinya bahwa “adat minangkabau itu adalah agama islam”.
 Pengertian yang sesungguhnya adalah :
Bahwa adat Minangkabau harus sesuai dengan ajaran Agama Islam secara
sempurna (Kaffah), tidak boleh ada praktek adat yang bertentangan dengan
ajaran Islam, karean apa bila ada praktek adat oleh masyarakat Minangkabau
yang bertentangan dengan ajaran Islam maka itu bukanlah adat Minangkabau,
dan apa bila ada orang Minangkabauyang melanggar ajaran Islam maka dia
beleh disebut orang yan tidak beradat (dalam lingkup Adat Minangkabau).
(http://www.sejarah-negara.com/ sistem-religi-suku-minangkabau/).

“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” merupakan landasandari


sistem nilai yang menjadikan Islam sebagai sumber utama dalam tatadan pola
perilaku serta melembaga dalam masyarakat Minangkabau.Artinya, Adat Bersendi
Syarak,Syarak Bersendi Kitabullah adalah kerangkafilosofis orang Minangkabau
dalam memahami dan memaknai eksistensnyasebagai mahluk Allah.

Sesungguhnyalah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang kini


menjadi identitas kultural orang Minangkabau lahir dari kesadaransejarah
masyarakatnya melalui proses dan pergulatan yang panjang.Semenjak masuknya
Islam ke dalam kehidupan masyarakatMinangkabau,terjadi titik temu dan perpaduan
antara ajaran adat denganIslam sebagai sebuah sistem nilai dan norma dalam
kebudayaan Minangkabauyang melahirkan kesepakatan Adat Bersendi Syarak,
Syarak BersendiKitabullah.

Undang- undang alam yang dijadikan oleh Tuhan atau yang disebutsunatullah
atau hukum Allah.Dalam ajaran Islam, alam yang luas ini dengan segala isinya
adalahciptaan Allah SWT dan menjadi ayat-ayat Allah (ayat kauniyah)
sebagaitanda- tanda kebesaran-Nya.Bahwa sesungguhnya Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullahmerupakan proses pergulatan antara Adat,Islam dan Ilmu
Pengetahuanadalah kerangka filosofis dalam memaknai ekstensi manusia
sebagaiKhalifatullah di dunia.

Adat disebut juga „uruf, berarti sesuatu yang dikenal, diketahui dandiulang-
ulangi serta menjadi kebiasaan dalam masyarakat.Adat itu sudah tua usianya,
dipakai turun temurun sampai saat ini, yangmenjadi jati diri (identitas) dan dianggap
bernilai tinggi olehmasyarakat adat itu sendiri.Uruf bagi orang Islam, ada yang baik
dan ada yang buruk.Pengukuhan adatyang baik dan penghapusan adat yang buruk,
menjadi tugas dan tujuankedatangan agama dan syariat Islam.

Dalil yang menjadi dasar untuk menganggap adat sebagai sumber hokum ialah
ayat al Qur an, Surat al A‟raf ayat 199 dan hadits Ibnu Abbas yangartinya “apa
yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka pada sisiAllah juga baik di
kalangan ahli fikih (hukum) Islam berlaku kaidah,adatitu adalah hukum.Proses
dialektika, pertentangan dan perimbangan oleh orang Minang tidakhanya sebatas
pergulatan,tapi proses ini telah membentuk insanMinangkabau sebagai individu yang
memiliki karakter, watak dan sikapyang jelas dalam menjalani siklus kehidupan.Di
antara karakter itu adalah;

 Orang Minangkabau selalu menekankan nilai-nilai keadaban, individu dituntut


untuk mendasarkan kekuatan budi dalam menjalankan kehidupan.
 Etos kerja.Didorong oleh kekuatan budi,maka setiap individu dituntut
untukselalu melakukan sesuatu yang berarti bagi diri dan komunitasnya. Dan
melalui semangat inilah kemudian mereka memiliki etos kerja yang tinggi.
 Kemandirian.Semangat kerja atau etos kerja dalam rangka melaksanakan
amanah sebagai khalifah menjadi kekuatan bagi orang Minangkabau untu
selalu hidup mandiri,tanpa harus bergantung pada orang lain. “Baa
diurang,baitu di awak” dan“malawan dunia urang” adalah sebuah filosofiagar
individu dituntut untuk mandiri dalam memperjuangkan kehidupanyang layak.
 Serasa, tenggang menenggang dan toleran.Walaupun kompetisi sesuatu yang
sah dan dibenarkan untukmempertinggi harkat dan martabat,namun ada
kekuatan rasa yangmengalir dari lubuk budi.Karena invdidu hidup bukan hanya
sekedar memenuhi kebutuhanpribadi,melainkan juga berjuang dan memelihara
komunitasnya,makakekuatan rasa menjadi hal yang sangat penting
artinya.Hidup dalam pergaulan sosial mesti didasarkan pada kekuatan rasa.
Rasa akan melahirkan sikap tenggang menenggang dan toleran terhadaporang
lain dengan segala perbedaan yang ada. Bila etos kerja dan semangat
kemandirian muncul dari lubuk “pareso”,maka sikap tenggang menenggang dan
toleran muncul dari kekuatan “raso”.
 Kebersamaan.Penempatan insan dalam posisi personal/ individu dan komunal
memberiruang kepada orang untuk menjalin hidup secara bersama untuk
kebersamaan. Selain penempatan seseorang dalam ranah individu
danmasyarakat, kekuatan rasa, tenggang rasa dan toleran memperkuat
munculnya kebersamaan dalam masyarakat Minangkabau. Kebersamaan itu
sesungguhnya lahir dari pola penempatan seseorang dalam ranahindividu dan
masyarakat. Meskipun sebagai individu diberi ruang gerak untuk
dirinyasendiri, namun ia harus bersikap toleran, saling tenggang
menenggangdan menghargai setiap perbedaan yang ada.
 Visioner. Dari kekuatan budi,etos kerja yang tinggi,watak kemandirian,nilai
saraso, tenggang menenggang,dan kebersamaan,orang Minang selaludituntut
untuk bergerak maju, dinamis, dan melihat ke depan.Semangat inilah yang
kemudian membuat orang Minang memiliki visiyang jelas dalam menjalani
kehidupannya.

Akidah tauhid sebagai ajaran Islam dipupuk melalui basobasi atau budidalam
tata pergaulan di rumah tangga dan di tengah masyarakat.Demikianlah masyarakat
Minangkabau menyikapi cara mereka melihat sistemnilai etika, norma,hukum dan
sumber harapan sosial yang mempengaruhiperilaku ideal dari individu dan
masyarakat serta melihat alam perubahanyang lahir dari lubuk yang berbeda, antara
adat dan Islam.

Kemampuan dan kearifan orang Minangkabau dalam membaca dan


memaknaisetiap gerak perubahan, antara adat dan Islam, dua hal yang
berbeda,akhirnya dapat menyatu dan saling topang menopang membentuk
sebuahbangunan kebudayaan Minangkabau melalui Adat Bersendi Syarak,
SyarakBersendi Kitabullah.Ajaran adat Minangkabau berlandaskan asas filosofi
Alam Takambang JadiGuru, suatu konsep alam semesta, merupakan sumber
“kebenaran” dankearifan orang Minangkabau.Alam semesta dipahami orang
Minangkabau darisegi fisik dan sebagai sebuah tatanan kosmologis.

Dalam ayat-ayat kauniyah, Allah mengungkapkan beberapa rahasia-Nya melalui


alam semesta. Inilah yang kemudian menjadi titik temu perpaduan antara sistem
nilaiAdat dengan Islam. Oleh karena itu, tepat kiranyaAdat Bersendi Syarak,
Syarak BersendiKitabullah,dikatakan sebagai sebuah kerangka berpikir
(paradigma)filosofis budaya Minangkabau yang terpola dalam struktur
pengetahuan,sikap dan perilaku sosial masyarakat Minangkabau.

Sumpah Satie Bukit Marapalam Puncak Pato Tanah Datar

Sumpah sati bukit marapalam atau yang disebut masyarakat Minangkabau


dengan Bai'ah Marapalam, adalah sebuah kesepakatan antara pihak yang di pertuan
kerajaan pagaruyung dengan para ulama di tanah Minang. Kesepakatan itu ialah
disetujuinya agama Islam sebagai agama besar masyarakat kerajaan pagaruyung,
baik untuk daerah pusat maupun daerah rantaunya yang luas. Pada pertemuan yang
di adakan di bukit marapalam, puncak pato, lintau itu juga di dapati kesepakatan
tentang pengaturan undang-undang adat yang disatukan dengan undang-undang
syariat Islam, hingga lahirnya falsafah yang dijadikan pedoman hidup masyarakat
minangkabau hingga sekarang, 'adat bersandi syara, syara bersandikan kitabullah'.

Persis seperti buku yang di tulis oleh IR. Mangaraja Onggang Parlin-Dungan
tentang Tuanku Rao di tahun 1969 yang mengatakan Tuanku Rao adalah keturunan
Singa Mangaraja dan menuai kritikan dari masyarakat dan pengamat sejarah itu,
begitu juga dengan Sumpah Sati Bukit Marapalam. Ada perbedaan pendapat perihal
tentang kapan persisnya kesepakatan itu terjadi. Ada yang menyebutkan ketika
masa perang paderi, namun ada juga yang berpendapat ketika periode Islam aliran
Syattariyah yang dibawa Syekh Burhanudin berkembang diSumatera Barat.

Hal itu dikarenakan tidak adanya bukti-bukti tertulis yang ditemukan tentang
tahun pencetusan peristiwa bersejarah itu, baik yang bersumber dari masyarakat
maupun dari catatan orang-orang Belanda. Akan tetapi dapat di ketahui, sumpah sati
bukit marapalam bukan untuk menyatukan adat dan ajaran islam akan tetapi saling
melengkapi. Ada yang mengatakan konsesus pertama antara kaum adat dan ulama
berbunyi: 'adat bersandi syara, syara bersandikan adat', akan tetapi karena kurang
relevan kemu-dian di robah menjadi, 'adat bersandi syara, syara bersandikan
kitabullah'.

Bukti-bukti tertulis lebih memberatkan kepada masyarakat yang yakin kalau


moment itu terjadi ketika masa Syekh Burhanudin menyebarkan islam di tengah-
tengah kuatnya pengaruh adat di alam minangkabau. Sumpah sati bukit marapalam
itu adalah sebuah kesepakatan Syekh Burhanudin dengan pihak kerajaan
pagarruyung untuk menjadikan Islam sebagai Agama dan pedoman hidup orang yang
beradat.

Menurut sebagian masyarakat, Jauh sebelum kaum paderi menyerang istana


pagarruyung, tercatat tahun 1411 M Raja Pagarruyung ke empat yang bernama
Dewang Pandan Sutowono (keponakan ke dua dari Adityawarman) dan permaisurinya
sudah memeluk agama islam. Mereka berguru kepada Syekh Magribi atau yang di
kenal dengan nama Syekh Maulana Malik Ibrahim. Disebutkan pada masa itu sudah
terjadi penyesuaian antara adat dan islam di Minangkabau. Hal senada juga di
sebutkan oleh L.C. Westenenk dalam karyanya yang berjudul Opstellen
OverMinangkabau, menurutnya ketika masa adat menanti syara mendaki telah ada
upacara ritual pada dua buah batu di pincuran tujuh di batang sinamar, kumanih.
Salah satu batu itu dinamakan 'batu palimauan', di sanalah tempat raja ibadat
disucikan dengan limau (jeruk) sebelum mengucapkan dua kalimat sahadat. Batu yang
kedua dinamakan 'batu pa islaman', di atas batu itu lah syekh ibrahim melakukan
khitanan kepada mereka yang ikhlas menerima agama Islam sebagai keyakinannya.
Akan tetapi pada kala itu kebudayaan hindu-budha masih akrab dan merekat kental
di alam Minangkabau.

Kemudian setelah Syekh Burhanudin kembali dari Aceh, beliau menyebarkan


agama Islam mula-mula di Ulakan Tapakis, Pariaman. Tidak lama kemudian beliau
juga mendirikan pondok pesantren tradisional di Kapeh-Kapeh Pandai Sikek, Padang
Panjang. Anak murid beliau banyak yang berdatangan dari luhak nan tigo dan
daerah-daerah lainnya di kawasan Sumatera Barat bagian timur dan selatan. Beliau
berusaha keras memurnikan ajaran islam dan melepaskannya dari kebudayaan hindu-
budha, seperti minum tuak, sabung ayam, atau bertapa di tempat-tempat keramat.

Ia pun berhasil memperngaruhi kerajaan pagarruyung. Komitmen-nya untuk


memurnikan ajaran Islam akhirnya bisa diterima oleh masyarakat Minangkabau
dengan dideklarasikannya sumpah sati bukit marapalam antara pihak Kerajaan
Pagaruyung dan Syekh Burhanudin. Karena keberhasilannya itu lah beliau di kenal
sebagai ulama besar di Minangkabau.

Peran Surau Dalam Pembentukan Religi Remaja Minangkabau

Surau dalam sistem minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai
pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat
dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur
(Sabarudin 2015). Di Minangkabau, bahkan sebelum kedatangan Islam, surau telah
mempunyai kedudukan penting dalam struktur masyarakat. Fungsinya lebih dari
sekedar tempat kegiatan keagamaan. Menurut ketentuan adat, surau berfungsi
sebagai tempat berkumpulnya para remaja, laki-laki dewasa yang belum kawin atau
duda. Karena adat menentukan bahwa laki-laki tidak punya kamar di rumah orang
tuanya, karena itu mereka bermalam di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau
menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi muda Minangkabau.

Pada masa awal kedatangan Islam, pemuda-pemuda Minangkabau selain


dituntut untuk mempelajari adat istiadat juga ditekankan untuk mempelajari ilmu
agama. Tuntutan ini kemudian mendorong setiap kaum mendirikan surau sebagai
lembaga pendidikan bagi para pemuda di nagari-nagari. Sehingga kemudian surau di
Minangkabau menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan. Sebagai lembaga, Firdaus
(2014) mengklasifikasikan surau menjadi tiga, yaitu Surau Adat, Surau Ulama dan
Surau Dagang. Surau Adat merupakan surau kaum, suku, kampung atau ninik mamak.
Pada abad ke 17 dan 18, surau adat di Minangkabau memiliki multifungsi,
penggunaannya eksklusif untuk kepentingan adat, mengajar kemenakan mamak
berbudi baik (sopan santun, berbahasa indah) di samping diajarkan agama dan silat
serta tempat shalat kaum adat. Surau Ulama adalah surau tempat kepentingan
keagamaan. Pada mulanya surau ulama merupakan tempat mengaji (agama dan
tarekat), kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan tradisional formal
islam. Selain itu, surau ulama juga menjadi pusat pengajian tarekat pada sentra-
sentra tarekat yang diasuh oleh syeikh tarekat. Surau Dagang merupakan surau
tempat persinggahan pedagang keliling yang berdagang dari satu pasar ke pasar
lainnya. Dari ketiga model surau di atas, berdasarkan fungsinya dapat dikatakan
bahwa surau adat dan surau ulama merupakan surau sebagai pranata pendidikan.
Yang membedakan adalah bahwa surau ulama lebih identik dengan lembaga
pendidikan islam.
Meskipun surau telah ada sebelum islam masuk ke Minangkabau dengan fungsi
sebagai pranata pendidikan, fungsi surau tidak berbeda sebelum dan setelah
kedatangan Islam. Hanya saja fungsi keagamaannyasemakin penting. Tidak hanya
sebagai tempat di mana setiap anak-anak dan remaja memperolehpengetahuan dasar
keagamaan, tetapi kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan Islamyang
lengkap. Dengan demikian, surau selain memiliki fungsi adat, ia juga memiliki
fungsiagama, yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam (Moenada 2011). Surau juga
memiliki fungsi sebagai pusat informasi dan kontak-kontak mengenai kehidupan di
luar nagari. Hal ini karena setelah pubertas, para pemuda tidak lagi dapat tidur di
rumah orang tuanya, tetapi mereka harus tidur di surau pada malam hari. Pelajar-
pelajar yang bepergian meninggalkan nagari dan guru-guru agama serta pedagang-
pedagang juga tinggal di surau ketika bermalam di daerah yang mereka kunjungi
(Graves, 2007:41).
Struktur surau di Minangkabau setelah kedatangan Islam secara umum dapat
dibagi dalam dua kategori, yaitu surau gadang(besar) dan surau ketek (kecil). Surau
gadang ada dapat menampung 80 sampai dengan 100 murid, atau lebih. Surau gadang
sengaja didirikan sebagai tempat pendidikan agama dalam pengertian luas. Dengan
kata lain surau gadang tidak hanya berfungsi sebagai rumah ibadah dan mengaji
seperti yang berlaku pada surau ketek (kecil), tetapi yang lebih penting adalah
surau ini dijadikan sebagai pusat aktivitas (central activity) pendidikan agama, di
mana ajaran Islam yang lebih luas dalam berbagai aspeknya diajarkan kepada para
murid. Dalam pengertian yang lebih luassuraugadang dapat disamakan dengan
pesantren yang menjadi pusat belajar agama di di Jawa. Tetapitentu saja memiliki
beberapa perbedaanberdasarkankulturyang membesarkannya.Sedangkan surau
ketek (kecil), adalah surau yang hanya menampung 20 orang murid. Surau ketek ini
dapat disamakan dengan langgar atau mushalla(Natsir 2012).

Surau sebagai lembaga pendidikan yang memberikan ruang kepada pemuda-


pemuda di Minangkabau secara luas untuk belajar berbagai hal. Pelajaran tersebut
mulai dari bekal hidup di dunia –seperti ilmu silat, ilmu adat, ilmu dagang dan
sebagainya- hingga bekal hidup di akhirat, yaitu ilmu-ilmu agama islam. Peranan
surau sebagai lembaga pendidikan di Minangkabau mulai memudar sejak awal abad
XX, yaitu ketika masyarakat Islam Minangkabau berada dalam situasi yang semakin
terjepit karena tekanan ekonomi dan politik kolonial Belanda dan adanya ide-ide
pembaharuan keagamaan. Kondisi tersebut juga ditambah oleh kebijakan
pemerintah belanda menjalankan Ethischepolitieksetelah tahun 1900-an. Dalam hal
ini Belanda harus mendirikan lebih banyak sekolah-sekolah untuk anak-anak pribumi.
Oleh karenanya anak-anak pribumi sudah mulai bersekolah di sekolah Belanda
(Moenada 2011). Faktor lain yang juga menjadi penyebab mundurnya fungsi surau
sebagai lembaga pendidikan adalah masuknya orang luar ke Minangkabau yang
berpengaruh terhadap sistem pola asuh di Minangkabau. Jika semula pemuda-
pemuda di Minangkabau wajib tidur di surau di bawah tanggung jawab mamak,
perkembangan berikutnya anak-anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab ayah
biologis yang menyediakan tempat tinggal bagi anak-anak mereka. Implikasinya,
pemuda-pemuda Minangkabau tidak lagi tidur di surau, akan tetapi tidur di rumah
orang tua mereka.

Mitos dan Kepercayaan Masyarakat Minangkabau

1. Batu Angkek-angkek. Batu ini disimpan di sebuah rumah gadang di Nagari


Balai Tabuh, Kecamatan Sungayang, sekitar 11 KM dari Kota Batusangkar.
Untuk mengangkat batu magis itu, anggota adat terlebih dahulu melakukan
ritual untuk menjaga keseimbangannya. Meski sarat dengan aroma mistis,
keturunan penemu batu meminta agar batu tersebut tidak dianggap
berlebihan. Batu ini hanya sebagai media untuk meminta dan mendekatkan diri
kepada Tuhan. Untuk mengangkat batu, terlebih dulu harus berwudu sesuai
dengan ajaran Islam. Lalu berdoa kepada Tuhan meminta apa yang diinginkan,
misalnya jodoh. Kemudian, badan membungkuk dan tangan kanan dan kiri
menarik batu ke atas pangkuan. Kalau bisa ditarik ke pangkuan, maka apa yang
diminta akan terkabul.
2. Ikan Sungai Janiah (Sungai Jernih). Ikan sakti ini berada di sebuah kolam
yang berada di daerah Sungai Janiah, Kabupaten Agam. Kolam besar yang
banyak ikanya ini sunguh terawat dengan rapi air kolam ikan sakti inipun
sangat jernih para pengunjung bisa langsung melihat ikan yang ada di dalam
kolam. Ikan yang ada di kolampun jumlahnya banyak bahkan ada yang
berukuran sampai 2 meter. Tidak ada orang yang berani menagkap ikan di
kolam ini sebab takut akan kutukan ikan sakti yakni siapa saja yang memakan
ikan sakti di kolam ini akan tertipa musibah. Asal mula ikan yang ada di Sungai
Janiah dari penjelmaan anak manusia dan anak jin yang telah dikutuk oleh
Tuhan, karena kedua makhluk yang berlainan alam ini telah melanggar janji
yang telah mereka sepakati.
3. Bukit Tambun Tulang. Bukit ini juga kisah legenda yang bertempat di sekitar
jalan yang menghubungkan Kayu Tanam dengan Padang Panjang melintasi Bukit
Barisan. Konon dulu kala, terdapat sebuah bukit yang penuh dengan tulang
belulang manusia. Kisah ini menceritakan sulitnya orang dari pesisir untuk
menuju pusat negeri Minangkabau, karena harus mendaki bukit, kemudian
dirampok dan dibunuh di sebuah bukit yang dinamakan "Tambun Tulang".
4. Batu Malin Kundang. Batu Malin Kundang adalah sebuah batu yang menyerupai
manusia tertelungkup di tanah di Pantai Air Manis, Padang, Sumatera Barat.
Menurut masyarakat sekitar, batu tersebut diyakini sebagai Malin Kundang
yang telah dikutuk oleh ibunya untuk menjadi batu karena bersikap durhaka.
Kebenaran legenda tersebut diragukan apakah nyata atau tidak.
5. Palasik. Palasik menurut cerita, legenda atau kepercayaan orang Minangkabau
adalah sejenis makhluk gaib. Menurut kepercayaan Minangkabau palasik
bukanlah hantu tetapi manusia yang memiliki ilmu hitam tingkat tinggi. Palasik
sangat ditakuti oleh ibu-ibu di di Minangkabau yang memiliki balita karena
makanan palasik adalah anak bayi/balita, baik yang masih dalam kandungan
ataupun yang sudah mati. Ilmu palasik dipercayai sifatnya turun-temurun.
Apabila orang tuanya adalah seorang palasik maka anaknya pun akan jadi
palasik. Pada umumnya palasik bekerja dengan melepaskan kepalanya.
6. Gasiang tangkurak. Gasiang tangkurak. Jenis gasiang yang biasa difungsikan
sebagai media untuk menyakiti dan menganiaya orang lain secara magis.
Gasiang tingkurak bentuknya mirip dengan gasiang seng yang pipih, tetapi
bahannya dari tengkorak manusia. Gasiang seperti ini hanya bisa dimainkan
oleh dukun, orang yang memiliki kemampuan magis. Sambil memutar gasiang,
dukun membacakan mantra-mantra. Pada saat yang sama, orang yang menjadi
sasaran akan merasakan sakit, gelisah dan melakukan tindakan layaknya orang
sakit jiwa.
7. Orang Bunian. Orang bunian atau sekedar bunian adalah mitos sejenis
makhluk halus dari wilayah Minangkabau. Berdasarkan mitos tersebut, orang
bunian berbentuk menyerupai manusia dan tinggal di tempat-tempat sepi, di
rumah-rumah kosong yang telah ditinggalkan penghuninya dalam waktu lama.
Selain itu, masyarakat Minangkabau juga meyakini bahwa ada peristiwa orang
hilang disembunyikan orang bunian. Mitos ini masih dipercaya banyak
masyarakat Minangkabau sampai sekarang.

Rangkuman Materi

Kepercayaan sebelum Islamdi daerah Minangkabau, banyak yang terkait


dengan hal-hal mistik, seperti animistik dan dinamistik masih bisa ditemui di
beberapa tempat, sebagian masih percaya kepada tempat atau benda-benda
tertentu sebagai keramat (dihuni oleh roh tertentu), percaya kepada adanya hantu,
kuntilanak, sijundal, orang bunian (orang halus) dan lain-lain. Proses masuknya Islam
ke Minangkabau tidak terlepas dari peran Ulama Aceh, salah satunya adalah Syaikh
Abdur Rauf, yang turut menyiarkan dan menyebarkan Islam melalui Syaikh
Burhanuddin.Dan Al-Qur‟an bagi orang Minang merupakan konstitusi tertinggi bagi
budaya dan masyarakat. Karenanya tidak masuk akal jika ada orang Minang yang
beragama selain Islam. Dan tidak pula keliru menyebut bahwa orang Minang yang
pindah agama tidak lagi berada dalam koridor ke-Minangkabauannya. Inilah yang
kemudian menjadi titik temu perpaduan antara sistem nilaiAdat dengan Islam.Oleh
karena itu, tepat kiranyaAdat Bersendi Syarak, Syarak
BersendiKitabullah,dikatakan sebagai sebuah kerangka berpikir (paradigma)filosofis
budaya Minangkabau yang terpola dalam struktur pengetahuan,sikap dan perilaku
sosial masyarakat Minangkabau.

EVALUASI
1. Jelaskan tentang sejarah religi di Minangkabau dan analisislah
hubungan religi Minangkabau budaya!
2. Jelaskanlah secara kritis “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah” dalam kehidupan masa sekarang!
3. Apakah ABS-SBK sudah sesuai dengan Al-quran dan Hadist menurut
syariat Islam?
4. Apakah ada korelasi antara mitos dan kepercayaan masyarakat
Minangkabau. Jelaskan menurut Analisa ananda!

Anda mungkin juga menyukai