Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ahmad Abi Yoso

NIM : 124221031
Laporan Bacaan Buku Sejarah Masyarakat Islam Indonesia Halaman 11-18
Dalam sub bab ini dijelaskan secara ringkas dan jelas mengenai karakteristik dan
jalur-jalur disebarkannya Agama Islam di Nusantara.
Agama Islam secara umum disebarkan melalui jalur damai di Nusantara. Namun, ada
kalanya pula digunakan sebagai media justifikasi politik oleh para penguasa dan kaum
bangsawan terdahulu. Berdasarkan hasil penelitian oleh Uka Tjandrasasmita, terdapat 6 jenis
jalur penyebaran Agama Islam di Nusantara, diantaranya:
1. Jalur Perdagangan
Perdagangan telah digunakan sebagai media penyebaran Agama Islam
semenjak awal kedatangan Islam di Nusantara, yakni pada abad ke 7-16 Masehi. Di
antara pedagang-pedagang yang datang berdagang adalah dari Arab, Persia, dan India.
Berdasarkan sumber catatan perjalanan Tome Pires dalam Suma Oriental, Uka
Tjandrasasmita menyebutkan bahwa ketika awal kedatangan pada pedagang Muslim
di Pulau jawa, penduduk pesisir di Pulau Jawa masih menganut agama kafir/ Non-
Islam. Langkah pertama yang diambil dalam penyebaran Islam adalah membangun
masid-masijd dan mendatangkan para mullah untuk bermukim di daerah pesisir.
Hasil dari pendirian pemukiman di pesisir tersebut adalah semakin eratnya
hubungan perdagangan dengan para bupati setempat yang kemudian masuk Islam
karena faktor perdagangan denga para saudagar Muslim.
2. Jalur Perkawinan
Kedudukan sosial para saudagar Muslim berada di atas penduduk lokal di
Pulau Jawa. Hal tersebut selain dimanfaatkan dalam menyebarkan Islam melalui
hubungan dagang, juga dimanfaatkan untuk penyebaran Agama Islam melalui sarana
pernikahan.
Karena kedudukan sosial mereka yang tinggi, maka banyak dari putri-putri
para bangsawan yang ingin menikahi para saudagar tersebut. Sebelum menikah, para
putri bangsawan tersebut diminta untuk mengucap kedua kalimat syahadat.
Dengan berlangungnya berbagai pernikahan antara saudagar Muslim dengan
para putri bangsawan, maka semakin luaslah lingkungan pemukiman Islam di daerah
pesisir Jawa. Beberapa tokoh yang terlibat perkawinan tersebut adalah Raden Rahmat
dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Putri Kawunganten, serta Brawijaya
dengan Putri Campa yang melahirkan Raden Patah (raja pertama demak).
3. Jalur Tasawuf
Dalam ajaran Tasawuf, para praktisinya disebut sebagai sufi. Kata tersebut
memiliki berbagai pengertian secara bahasa. Pertama berasal dari kata shafa yang
berarti bersih, suci, dan bening. Kedua, berasal dari kata suffah, yang merupakan
nama serambi di Masjid Nabawi di Madinah. Ketiga, berasal dari kata dalam bahasa
Yunani, shofia yang berarti kebijaksanaan. Keempat, berasal dari kata ibnu sauf yakni
nama seorang saleh dari Arab yang selalu mengasingkan diri di area dekat Ka’bah.
Kelima, suffah yakni nama ijazah untuk para jeamaah haji ke Baitullah. Keenam,
berasal dari kata shuf yang berarti bulu domba. Para sejarawan Islam setuju untuk
menggunakan asal kata keenam tersebut karena pada masa awal mistisisme Islam,
bulu domba digunakan untuk membuat pakaian yang dikenakan oleh orang-orang
yang berkehidupan sederhana, tulus, dan ikhlas beribadah kepada Allah SWT.
Jika penyebaran Islam melalui media perdagangan dan perkawinan cenderung
mendapat dukungan dari masyarakat pesisir, maka tasawuf didukung oleh masyarakat
yang hidup di pedalaman Pulau Jawa. Masyarakat tersebut memiliki kepercayaan
yang sangat kuat terhadap mitos dan praktik penyembahan terhadap roh-roh nenek
moyang.
Para sufi dari Arab dan Persia mengajarkan Tasawuf dengan
memperkenalkannya sebagai ilmu yang mengadung keajaiban/ keghaiban sehingga
mudah dicerna dan diterima oleh msayarakat penganut agama Hindu dan Budha di
Pedalaman. Di antara ulama Tasawuf yang menyebarkan Islam di Nusantara adalah
Hamzah Fansuri di Aceh, Syekh Lemah Abang/ Syekh Siti Jenar di Jawa dan masih
banyak lagi. Ajaran tersebut terus eksis bahkan hingga masa kini berkat kedekatannya
dengan pola pikir rakyat Nusntara yang tak terpisahkan dari dimensi magis.
4. Jalur Media Pendidikan
Pendidikan merupakan saluran penyebaran Islam selanjutnya. Dalam
pendekatan ini tidak hanya didirikan pendidikan informal, namun juga formal setelah
jumlah pemeluk Agama Islam bertambah dan telah terbentuk komunitas Muslim.
Secara umum, model pendidikan pada awal masa penyebaran Islam di
Nusantara dapat dibagi menjadi dua, yakni sistem pendidikan Langgar dan Pesantren.
Langgar merupakan bangunan kecil sederhana yang berfungsi sebagai tempat
ibadah. Namun, langgar juga difungsikan sebagai tempat melangsungkan acara
keagamaan speerti maulid Nabi, dan Isra’ Mi’raj. Di langgar, para generasi muda juga
diajari cara membaca Al Quran dan Al Hadits.
Pesantren merupakan tingkat selanjutnya yang dapat ditempuh ketika seorang
pelajar telah selesai belajar di langgar. Tingkatan pesantren dapat dibagi menjadi tiga,
yakni pengajian kitab-kitab kuning, pesantren besar dengan pengajaran Ilmu Fiqih,
Tasawuf, tafsir, dan ilmu kalam, serta pondok pesantren keahlian yang dikhususkan
bagi mereka yang ingin dan mampu memperdalam keilmuan Agama Islamnya.
5. Jalur Kebudayaan dan Kesenian
Saluran Islamisasi melalui jalur kesenian dan kebudayaan yang paling terkenal
adalah wayang kulit hasil karya Sunan Kalijaga atau dikenal dengan nama asli Raden
Mas Said. Dalam pertunjukan wayangnya, Sunan Kalijaga tidak meminta upah,
namun ia hanya meminta para penontonnya untuk mengambil air wudhu dan
bersyahadat terlebih dahulu.

6. Jalur Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah
rajanya memeluk Agama Islam. Hal tersebut dikarenakan pengaruh raja dan image
raja sebagai titisan dewa sehingga apapun yang diperintahkan raja harus dipatuhi oleh
rakyatnya. Kemengangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk
kerajaan lain untuk masuk ke dalam Agama Islam.

Anda mungkin juga menyukai