Anda di halaman 1dari 24

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketika negara-negara Asia (ras kuning), karena kemajuan yang dicapai dalam
bidang ekonomi, semakin yakin pada kemampuan sendiri, umat Islam menegaskan
bahwa ajaran Islam merupakan satu-satunya sumber identitas, makna, stabilitas,
legitimitas, kemajuan, kekuatan, dan harapan yang diwujudkan dalam slogan “Islam
adalah jalan keluar.” Kebangkitan Islam ini, dalam makna yang paling dalam dan
paling luas, merupakan fase akhir dari hubungan antara Islam dengan Barat; sebagai
upaya untuk menemukan “jalan keluar” yang tidak lagi melalui ideologi-ideologi
Barat, tetapi di dalam Islam.
Islam bukan sekedar agama, tetapi juga sebagai way of life. Pada awal 1970-an,
simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan, praktik-praktik, institusi-institusi, kebijakan-
kebijakan, dan organisasi-organisasi Islam semakin dipegang teguh dan didukung oleh
satu milyar lebih umat Islam di seluruh dunia yang membentang dari Maroko sampai
Indonesia dan dari Nigeria hingga Kazakhstan. Proses Islamisasi pertama kali terjadi
dalam wilayah kultural dan kemudian bergerak ke bidang politik dan sosial. Para tokoh
politik dan intelektual, tertarik atau tidak, dan dengan cara apa pun, tidak mampu
menghindari proses ini atau berusaha untuk tidak mengadaptasinya.
Konsep Islam sebagai kesatuan religio-politis mengandung arti bahwa
negaranegara inti – di masa lalu – hanya akan terwujud ketika kepemimpinan politik
dan keagamaan – kekhalifahan dan kesultanan – terwujudkan melalui sebuah institusi
kekuasaan (pemerintahan) tunggal. Absennya negara Islam saat ini yang berperan
sebagai negara inti merupakan faktor utama penyebab terjadinya konflik-konflik
internal maupun eksternal di kalangan masyarakat Islam. Kesadaran tanpa keterikatan
menjadi sumber kelemahan Islam serta memudahkan jalan bagi kemungkinan
timbulnya ancaman dari peradaban lain.
Sebuah negara Islam yang berperan sebagai negara inti harus memiliki
sumbersumber perekonomian, kekuatan militer, kompetensi organisasional, identitas
dan komitmen terhadap Islam, baik dalam kaitan dengan kepemimpinan politis maupun
keagamaan ummah. Enam negara dalam konteks waktu yang berbeda menyebut diri
sebagai “pemimpin-pemimpin” Islam, yaitu Indonesia, Mesir, Iran, Pakistan, Arab
Saudi, dan Turki. Menurut Huntington (2003), dengan berbagai alasan yang berbeda,
saat ini tidak satu pun di antara ke-enam negara tersebut yang mampu berperan sebagai
negara inti. Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia,
menurut Huntington, dianggap kurang memenuhi syarat menjadi “pemimpin Islam”
karena terletak di wilayah “pinggiran” Islam yang jauh dari pusatnya, ke-Islam-annya
kurang begitu kental, memiliki “warna” Asia Tenggara, masyarakat dan kulturnya
merupakan campuran antara pengaruh-pengaruh pribumi, Islam, Hindu, Cina, dan
Kristen.
Meskipun demikian, kebangkitan Islam yang saat ini sedang berlangsung di
Indonesia cukup mendapat perhatian dunia. Minangkabau merupakan salah satu daerah
penting dalam sejarah Islam di Indonesia karena dari daerah inilah bermulanya
penyebaran cita-cita pembaharuan ke daerah-daerah lain. Pembaharuan yang terjadi di
Minangkabau dimulai dengan adanya Gerakan Paderi pada awal abad ke19 yang
bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam. Pembaharuan selanjutnya dilakukan oleh
Kaum Muda pada awal abad ke-20, yang terutama dilakukan melalui pembaharuan
sistem pendidikan agama lewat lembaga Perguruan Sumatera Thawalib dan Diniyah
School di Padangpanjang. Meskipun jarang tercatat dalam buku sejarah, Kerajaan
Islam Pagarruyung di Minangkabau merupakan salah satu kerajaan yang sangat
1
berpengaruh di Sumatera, bahkan Marsden (1999), mengatakan bahwa wilayah
kekuasaannya pernah meliputi seluruh Sumatera. Beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian dalam tulisan ini adalah (1) Kapan masuknya Islam di Minangkabau?; (2)
Apa saja Kerajaan Melayu di Ranah Minang?: (3) Bagaimana Adat Istiadat
Minangkabau?: (4) Minang Identik dengan Islam?: (5) Apa Saja Tarian Adat Minang
Islami yang Populer?.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Masuknya Islam di Minangkabau?
2. Apa saja Kerajaan Melayu di Ranah Minang?
3. Bagaimana Adat Istiadat Minangkabau?
4. Minang Identik dengan Islam?
5. Apa Saja Tarian Adat Minang Islami yang Populer?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Masuknya Islam di Minangkabau
2. Mengetahui Kerajaan Melayu di Ranah Minang
3. Mengetahui Adat Istiada Minangkabau
4. Mengetahui Mingan Identik dengan Islam
5. Mengetahui Tarian Adat Minang Islami yang Populer

2
PEMBAHASAN
A. Masuknya Agama Islam di Minangkabau
Sebagaimana pengembara sufi yang membawa Islam masuk ke Nusantara,1
Islam yang masuk ke Minangkabau juga dibawa oleh para sufi . Tidak heran kalau
Islam yang berkembang di wilayah ini adalah Islam yang bercorak tasawuf. Tasawuf
yang menekankan unsur batin sangat cocok dengan budaya dan nilai yang telah dianut
oleh masyarakat Minang. Berbagai aliran tasawuf yang selanjutnya menjadi berbagai
ordo tarekat mudah berkembang di Minangkabau.
Para ahli sejarah sampai saat ini belum mempunyai kesepakatan mengenai
waktu yang tepat masuknya Islam ke Minangkabau. Hal ini terutama karena belum
ditemukannya bukti-bukti sejarah tertulis di Minangkabau. Peninggalan sejarah berupa
bangunan, seperti masjid, batu nisan lainnya, maupun catatan tertulis lainnya tidak
dapat memberikan kepastian. Beberapa sumber yang dapat dipercaya dan lebih
memberikan kepastian terutama berasal dari luar Minangkabau.
Berdasarkan berita dari China, Hamka (1976) mengatakan bahwa pada tahun
684 M sudah didapati suatu kelompok masyarakat Arab di Minangkabau. Hal ini
berarti bahwa 42 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, orang Arab sudah
mempunyai perkampungan di Minangkabau. Sehubungan dengan itu Hamka
memperkirakan bahwa kata “Pariaman”, nama salah satu kota di pesisir barat
Minangkabau berasal dari bahasa Arab, “barri aman” yang berarti tanah daratan yang
aman sentosa. Selanjutnya diduga pula bahwa orang-orang Arab ini di samping
berdagang juga berperan sebagai mubalighmubaligh yang giat melakukan dakwah
Islam, sehingga pada waktu itu diperkirakan sudah ada orang Minangkabau yang
memeluk agama Islam.
Sejalan dengan itu, M.D. Mansur (1970), juga menyimpulkan bahwa pada abad
ke-7 agama Islam sudah dikenal di Minangkabau Timur, mengingat pada waktu itu
telah ada hubungan dagang antara Cina di Asia Timur dan Arab di Asia Barat melalui
Selat Malaka. Pada waktu itu di Asia Barat, dengan Damaskus sebagai pusat, sedang
berkuasa Daulat Umayyah. Mereka sekaligus juga menguasai hubungan perdagangan
antara Timur (China) dan Barat (Laut Tengah).
Walaupun demikian, dakwah Islam pada waktu itu belumlah pesat dan malah
kemudian berhenti dan akhirnya lenyap sama sekali akibat larangan yang dilakukan
oleh Dinasti T’ang dari China yang merasa kepentingannya di Minangkabau terancam
oleh Khilafah Umayyah. Adanya hubungan dagang laut yang langsung antara
Minangkabau sebagai produsen lada dengan Timur Tengah dilihat China akan
merugikannya sebagai pemasok lada. Pengaruh politik Khilafah Umayyah dengan
pengaruh ideologinya dipandang akan meruntuhkan wibawa dan kepentingan ekonomi
China sebagai “Pemimpin Asia” waktu itu.
Burhanuddin Daya (1995) tampaknya setuju dengan pendapat ini. Daya
mengatakan bahwa Selat Malaka sudah dilalui oleh pedagang-pedagang Muslim dalam
pendapat ini dikemukakan Hamka dengan mengutip Sir Thomas Arnold yang juga
mengutip dari W.P. Groeneveldt, Notes on the Malay Archipelago and Malacca,
dikumpulkan dari sumber China, 1880. Pelayaran mereka ke Asia Tenggara dan Timur
pada abad VII dan VIII M. Daya menduga bahwa pada abad-abad tersebut sudah ada
masyarakat Islam di Sumatera.

1
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke XVII & XVIII: Akar
Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h. xix.
3
Berbeda dengan pendapat di atas, Ismail Ya’koeb (1956) memperkirakan
agama Islam masuk ke Minangkabau melalui dua jalan. Jalur pertama dari Selat
Malaka melalui Sungai Siak dan Kampar, lalu berlanjut ke pusat Minangkabau. Di
zaman kebesaran Malaka sudah ada raja-raja Islam di Kampar dan Indragiri. Dari
sinilah masuknya agama Islam ke bagian Timur Minangkabau dan seterusnya
menyusup ke pedalaman. Jalur yang kedua adalah dari Aceh masuk melalui pesisir
barat Sumatera terus ke Ulakan Pariaman, yang pada waktu itu merupakan pelabuhan
Aceh terpenting di Minangkabau, terutama pada zaman Sultan Iskandar Muda (1607-
1636).
Walaupun Aceh diduga sudah memeluk agama Islam sejak dini, namun bukti
sejarah tertulis yang pertama di Aceh adalah batu nisan yang ditemukan di Samudra,
Muara Sungai Pase yang berangka tahun 1292 M. Dari batu inilah diketahui adanya
Kerajaan Samudra Pasai yang sejak zaman pemerintahan Al-Malikus Shaleh telah
memeluk Islam. Menurut catatan Ibnu Batutah yang singgah di Pasai pada awal abad
ke- 14, sebagaimana dikutip Munir (1993), raja Al-Malik Az-Zahir adalah raja yang
aktif menyebarkan Islam ke Minangkabau. Mereka diduga beraliran Syi’ah, feodal, dan
bangsawan. Diperkirakan pula raja yang prtama di-Islam-kan di Minangkabau adalah
raja Sumpurkudus yang kemudian disebut Raja Ibadat.
Buchari (1981), menerima pendapat bahwa agama Islam memasuki daerah
pedalaman Minangkabau melalui daerah Pariaman, lebih-lebih setelah Aceh berkuasa
di pesisir Barat Minangkabau mulai abad ke-16, yaitu sesudah jatuhnya Malaka pada
tahun 1511 ke tangan Portugis. Sejalan dengan penguasaan Aceh atas daerah Pesisir,
muncullan kota-kota pelabuhan penting di Minangkabau, yaitu Pariaman, Tiku,
Padang, Indrapura, Painan, Salido, Batangkapas, dan lain-lain.
Mengenai cara masuknya agama Islam ke Minangkabau, ada yang berpendapat
bahwa orang Minangkabau adalah pelaku aktif. Sebagai sukubangsa dengan tingkat
mobilitas yang tinggi, pada waktu itu sudah banyak di antara mereka yang mengadakan
hubungan dengan Malaka. Mereka menghiliri Sungai Kampar dan Sungai Siak dan
kemudian berlayar menuju Malaka. Di Malaka mereka kemudian memeluk Islam,
karena tertarik dengan ajaran dan pola hidup orang Islam yang mereka temui. Sewaktu
pulang ke Minangkabau, mereka membawa dan memperkenalkan agama baru itu
kepada kerabatkerabatnya di kampung halaman. Karena agama Islam yang datang ke
Minangkabau melalui daerah Siak, sampai sekarang di Minangkabau, terutama di
daerah Darek, dikenal istilah “Orang Siak” sebagai sebutan terhadap pelajar-pelajar
madrasah atau orang yang dianggap alim atau shaleh. Mereka bermazhab Syafi’i,
bersifat alim, sederhana, dan hemat.
Menurut Holt (1917), Islam masuk ke Aceh sekitar abad ke-14 dan dari Aceh
menyebar ke Minangkabau. Yaitu dari Pidie melalui Pariaman, menyelusup ke seluruh
daerah Minangkabau. Rute ini pulalah yang dilalui oleh paham-paham baru Islam yang
memasuki Minangkabau pada abad ke-19. Tome Pires, seorang ahli obat-obatan dari
Lisabon (yang lama menetap di Malaka, yaitu pada tahun 1512 hingga 1515), pada
tahun 1511, mengunjungi Jawa dan giat mengumpulkan informasi mengenai seluruh
daerah Malaya-Indonesia.
Dalam bukunya yang berjudul Summa Oriental, sebagaimana yang dikutip
Ricklefs (1995), dia mengatakan bahwa pada waktu itu sebagian besar raja-raja
Sumatera beragama Islam, tetapi masih ada negeri-negeri yang masih belum menganut
Islam. Menurut Pires, mulai dari Aceh di sebelah utara terus menyusur daerah pesisir
timur hingga Palembang, para penguasanya beragama Islam. Di sebelah selatan
Palembang dan di sekitar ujung selatan Sumatera hingga pesisir barat, sebagian besar
penguasanya tidak beragama Islam. Di Pasai terdapat komunitas dagang Islam
4
internasional yang sedang berkembang pesat dan Pires menghubung-hubungkan
penegakan pertama agama Islam di Pasai dengan kelihaian para pedagang Muslim itu.
Akan tetapi, penguasa Pasai belum berhasil meng-Islam-kan penduduk pedalaman.
Raja Minangkabau dan seratus pengikutnya disebutkan sudah menganut agama Islam,
tetapi penduduk Minangkabau lainnya belum. Meskipun demikian, Pires menyebutkan
bahwa agama baru itu makin hari makin bertambah pemeluknya di Minangkabau.
Hurgronje (1973), berpendapat bahwa agama Islam secara perlahan-lahan
masuk ke daerah-daerah pantai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-
pulau kecil lainnya di seluruh Kepulauan Nusantara sejak kira-kira setengah abad
sebelum Baghdad Cornellis Snouck Hurgronje adalah orang Belanda yang pura-pura
masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Gafar untuk mempelajari Islam di
Makkah. Dia kemudian dikirim ke Aceh untuk mempelajari kultur masyarakat Aceh
yang waktu itu sulit ditundukkan Belanda. (pusat Khilafah Abbassiyah) jatuh ke tangan
Hulagu (raja Mongol) pada tahun 1258. Hurgronje mengemukakan bahwa Islam masuk
ke Indonesia dari Hindustan yang dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat. Usaha
penyebaran Islam ke pedalaman seterusnya dilakukan juga oleh orang Muslim pribumi
sendiri, dengan daya tariknya pula, tanpa campur tangan penguasa negara.
Agus Salim (1983), sangat menyangsikan kebenaran pandangan di atas, baik
tentang waktu, pembawa dan cara masuknya Islam yang pertama ke Indonesia. Para
penulis Barat memang cenderung untuk menetapkan abad XII-XIII sebagai awal
masuknya Islam yang dibawa oleh para pedagang dan pelayar dari daratan India.
Sambil berdagang mereka juga mengikat perkawinan dengan pribumi dan dengan
demikian Islam berkembang di Nusantara. Agus Salim sependapat bahwa Islam masuk
ke Indonesia abad VII-VIII atau abad I-II Hijriah, tetapi yang membawanya menurut
Salim, adalah orang Arab langsung dari Arabia dan juga oleh bangsa Indonesia sendiri,
yaitu orang-orang Sumatera dan Jawa yang ikut berperan dalam kegiatan perdagangan
sampai ke pusat perdagangan Islam yang ada di Kanton, Tiongkok.
Teori mengenai Syekh Burhanuddin sebagai pembawa Islam ke Minangkabau,
juga masih dipertanyakan. Thariqat yang dikembangkan Burhanuddin di perguruan
yang dibangunnya di Ulakan Pariaman, adalah aliran thariqat Syatariah yang tumbuh
subur di Aceh pada abad XVII, sedangkan jauh sebelum abad XVII penduduk
Minangkabau sudah ada yang menganut Islam, hanya belum merata. Daerah-daerah
Darek memang terlambat menerima Islam. Hal ini dihubungkan dengan keterangan
yang menyatakan, bahwa ada suatu utusan yang terdiri dari para pengenut kepercayaan
penyembah berhala dari daerah ini menyerahkan surat kepercayaan mereka kepada
Alfonso d’Albuquerque, seorang Portugis yang menaklukkan Malaka. Perutusan ini
berkemungkinan dikirim oleh Kerajaan Pagaruyung yang beragama Hindu-Buddha
(Salim, 1983).
Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa,
agama Islam masuk ke Minangkabau pada akhir abad ke-7. Sejak abad ke-7 itu mulai
dan makin berkembang ke seluruh pelosok. Dalam tahap awal Islam dianut penduduk,
kepercayaan lama, baik aninisme, dinanisme, Hindu-Buddha, termasuk
kebiasaankebiasaan lama masih berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat. Itulah
sebabnya pada awal abad ke-19 lahir Gerakan Pemurnian Islam yang dilakukan oleh
kaum Paderi. Akhirnya dapat dikatakan bahwa seluruh orang Minangkabau menganut
agama Islam.
Umar Junus (2002) bahkan mengatakan bahwa kalau ada orang Minangkabau
yang tidak menganut agama Islam, maka itu adalah suatu keganjilan yang amat
mengherankan. Orang Islam boleh dikatakan tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan
lain, kecuali apa yang diajarkan Islam. Masyarakat Minangkabau, yang didalamnya
5
Islam tersebar luas, dibangun atas dua asas yang seimbang, asas matrilineal dan asas
patrilineal. Pada tingkat perkampungan, organisasi klan, hukum perkawinan, pemilikan
tanah dan harta kekayaan dinyatakan dalam term matrilineal.
Komunitas kampung disebut nagari, merupakan penggolongan sejumlah klan
yang dikelola oleh kepala kampung yang bergelar penghulu. Islam membawa asas
maskulin (laki-laki). Pada beberapa kampung asas maskulin tersebut terlembagakan di
dalam surau, tempat tinggal laki-laki muda, yang juga berfungsi sebagai sekolah dan
untuk kegiatan thariqat. Sekalipun demikian, pada kenyataannya di Minangkabau
terdapat keserasian antara bentuk organisasi matrilineal dan bentuk organisasi
patrilineal. Praktik perkawinan dan hukum kewarisan merupakan campuran antara
norma Islam dan norma tradisional Minangkabau. Kedua bentuk hukum dan struktur
sosial tersebut menyatu di dalam sebuah masyarakat yang tunggal.2
B. Kerajaan Melayu di Ranah Minang
Di Nusantara, abad ke-16 sampai ke-17 merupakan masa di mana terjadinya
hubungan yang mesra antara ulama dan penguasa. Hal yang sama terjadi pada
kesultanan Aceh, Demak, termasuk di kerajaan Minangkabau. Keharmonisan relasi
ulama-umara terlihat dengan adanya tempat khusus bagi ulama di dalam istana. Ulama
menjadi penasehat kehidupan sultan, dan juga digunakan untuk mengontrol kekuatan
sultan. Uama diberi kedudukan sebagai qadi dan mufti istana. Bahkan, ulama tidak
hanya berperan sebagai mufti dan penasehat raja, tetapi juga berperan dalam
memajukan ekonomi, dan perlawanan terhadap penjajah. Hubungan ini merupakan
hubungan antara formal authority yang diwakili oleh raja dengan traditional authority
diwakili kaum adat dan agama. Namun di Minangkabau, pembagian otoritas kekuasaan
agama dan adat lebih bersifat antara formal authority dan semi formal authority seperti
yang dikenal adanya Rajo Tigo Selo, tiga kekuasaan raja, yaitu Raja Alam, Raja Adat,
dan Raja Ibadat.
Setiap Raja Tigo Selo memiliki istana dan struktur pemerintahan tersendiri.
Hanya saja otoritas kekuasaan dibagi menurut bidang masingmasing. Raja alam yang
berkedudukan di Suruaso yang kemudian pindah ke Pagaruyung mempunyai otoritas
tertinggi di bidang politik.Raja adat berkedudukan di Buo memiliki otoritas bidang
keagamaan. Raja ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus memiliki otoritas bidang
agama. Namun, sebagian orang berpendapat bahwa Raja Adat dan Raja Ibadat hanya
merupakan pendamping Raja Alam. Kedua raja merupakan wakil dari devisi geografis
yang utama dalam kerajaan, atau keduanya tidak lebih dari simbol-simbol kosmologis
aturan alam Minangkabau. Setiap raja memiliki pembantu bidang pemerintahan,
agama, dan adat.
Di antaranya jabatan mantri, hulubalang, bandarao, pandito, imam, dan khatib.
Jadi dimana dan apa pun bentuk lembaga di Minangkabau tidak terlepas dari tiga
otoritas, yaitu pemerintah, adat, dan agama. Beberapa struktur sosial masyarakat
Minangkabau yang disebutkan dalam naskah AKBT antara lain disebutkan raja, alim,
pandito, imam, dan khatib. Struktur sosial ini berfungsi juga membantu raja dalam
menetapkan sistem yang digunakan dalam menentukan awal dan akhir Ramadan.
Sebagaimana disinggung pada paragraf sebelumnya, seorang raja di Minangkabau
tidak memiliki otoritas yang langsung mengikat kepada setiap pribadi masyarakat pada
tingkat nagari. Setiap pribadi terikat langsung pada kepala suku atau kaum yang
disebut penghulu.
Penghulu adalah penguasa dalam setiap anggota kaumnya. Sedangkan raja lebih
kepada penguasa politik. Antara kekuasaan raja dan rakyat terdapat kekuasaan seorang
penghulu kaum. Pada abad ke-16, raja dan para menterinya hanya berkuasa sebagai
kekuatan yang nominal sifatnya—dan malahan itu hanya terbatas untuk kawasan Tanah
2
Witrianto, Agama Islam di Minangkabau, Padang : 2010, h. 2-7
6
Datar saja, suatu distrik yang secara langsung berada di sekitar istana kerajaan
Pagaruyung. Campur tangan raja terhadap nagari hanya terbatas pada waktu raja
melakukan kunjungan ke nagari-nagari untuk menerima
upeti. Di Minangkabau, seorang yang alim sering juga disebut dengan malin. Artinya
orang yang telah belajar Islam dan memiliki pengetahuan yang dalam tentang Islam.
Salah satu pepatah Minangkabau menyebutkan sifat seorang malin, duduknyo bacamin
kitab, tagaknyo bapituah, duduknya tidak lepas dari kitab, dan berdirinya untuk
memberikan pengajaran dan berfatwa.
Pendapat seorang malin harus menjadi pertimbangan bagi seroang raja dalam
penetapan awal dan akhir Ramadan. Imam dan khatib adalah pembantu raja dalam
urusan masyarakat sehari-hari di masjid dan di tengah masyarakat, misalnya tentang
ibadah di masjid, pernikahan dan kematian. Namun, dalam penetapan awal dan akhir
Ramadan seorang imam dan khatib harus hadir, serta pendapat mereka harus menjadi
pertimbangan.
Tidak mengherankan bahwa Kerajaan Melayu Minangkabau merupakan
beberapa kerajaan yang berpusat di berbagai tempat di kawasan Minangkabau. Salah
satunya adalah Kerajaan Pagaruyung di Luhak Tanah Datar, Minangkabau. Istana
Kerajaan berada di Nagari Pagaruyung, yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan
raja-raja Melayu Pagaruyung. Kerajaan Melayu Pagaruyung oleh beberapa penulis
disebut juga sebagai Kerajaan Minangkabau.3
Kerajaan tersebut berada di Luhak Tanah Datar, salah satu bagian dari Luhak
Nan Tigo. Menurut historiografi tradisional Minangkabau, Tambo Alam Minangkabau,
alam Minangkabau terdiri dari dua wilayah utama, yaitu kawasan luhak nan tigo dan
rantau. Kawasan Luhak Nan Tigo adalah merupakan kawasan pusat atau inti dari alam
Minang-kabau, sedangkan yang kedua, rantau ialah kawasan perluasan dan sekaligus
merupakan daerah perbatasan yang mengelilingi kawasan pusat.4
1. Raja Melayu Pagaruyung Sebelum Islam
Kerajaan Melayu Minangkabau sebelum masuknya Islam di Minangkabau
masih belum terungkap secara jelas. Pusat kerajaan ketika itu berpindah-pindah
menurut jalur perekonomian dan perdaga-ngan. Tidak bisa dimungkiri bahwa Kerajaan
Melayu Minangkabau adalah bagian dari kerajaan Melayu. Pada abad pertama Masehi
nama Kerajaan Melayu sudah terkenal. Nama itu berasal dari bahasa Sanskerta
Malayapura atau Malayur, kemudian berubah menjadi Melayu atau Malayu. Sumber
lain mengatakan bahwa Melayu berasal dari bahasa Tamil Melayur, artinya orang
gunung. Orang Melayu tersebar di kawasan yang sangat luas, seperti Aceh, Deli,
Minangkabau, Palembang, Jambi, Semenanjung Malaya, Kalimantan Barat, Tapanuli
Tengah, Bruney, Thailand, dan lain-lain.
Salah satu di antara kawasan tempat berkembang dan tumbuhnya kerajaan
Melayu adalah di Minang-kabau, yang tentunya mempunyai hubungan yang erat
dengan “dunia” atau kerajaan Melayu lainnya, seperti Semenanjung Malaya, Jambi,
Palembang, Deli, pesisir barat Sumatera, dan lain-lain. Menelusuri jejak Kerajaan
Melayu Minangkabau merupakan salah usaha untuk mengungkapkan dinamika salah
satu kerajaan Melayu di Pulau Sumatera.
Pada masa kuno wilayah pengaruh kebudayaan Minangkabau meliputi bagian
tengah Pulau Sumatera, mulai dari pantai barat antara Barus dan Muko-muko, pantai
timur, sebagai dari Propinsi Riau, dan sebagian dari Propinsi Jambi. Orang Melayu
berkembang dalam dua kawasan yang luas, yakni Melayu Sumatera dan Semenanjung
Malaya, termasuk Kepulauan Riau. Selain itu juga tersebar di pulau lain. Posisi Melayu
3
Rusli Amran. Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Snar Harapan, 1981, h. 37
4
Radjo Pangoeloe, Minangkabau : Sejarah Ringkas dan Adatnya. Padang : Sri Dharma, 1971, h. 44-49.
7
ini termasuk pada kawasan yang sangat strategis. Perairan Selat Malaka, Laut Cina
Selatan, dan Laut Jawa adalah kawasan lalu lintas perdagangan internasional, yang
semakin lama semakin penting, yang pada umumnya kawasan tempat beraktivitas
orangMelayu.
Berbagai kerajaan muncul di kawasan tersebut, seperti Sriwijaya, Malaka,
Pasai, Aru, dan sebagainya. Selat Malaka adalah perairan yang digemari oleh para
pedagang, baik pedagang Nusantara maupun asing karena wilayah itu sangat strategis.
Malaka menjadi pusat perdagangan dan maritim pada saat perdagangan internasional
telah semakin ramai.
Kerajaan Melayu yang pernah berpusat di hulu sungai Batanghari dikenal
sebagai Dharmasraya. Kerajaan Dharmasraya adalah kerajaan Melayu Tua beragama
Hindu, yang terletak di Minangkabau Timur. Kerajaan ini pernah disinggahi oleh I-
Tsing pada abad ke-7 selama dua bulan dalam perjalanannya dari Cina ke India via
Palembang.18 Kerajaan Melayu Tua berpusat di Sungai Langsat, Siguntur di daerah
Pulau Punjung (sekarang bagian dari Propinsi Sumatera Barat).
Zaman awal sejarah Minangkabau telah dimulai sejak abad ke-4 sebelum
Masehi, yakni ketika perahu-perahu yang berasal dari Pulau Sumatera telah sampai
berlayar ke Samudera Hindia, terutama menuju Persia dan Madagaskar.19 Pusat
kerajaan Melayu ini adalah di sekitar Palembang sekarang, yakni di Jambi. Kerajaan
“Minangkabau Timur” adalah bekas kerajaan Melayu Jambi yang berkembang kembali
menjadi Dharmasraya pada tahun 1070 atau abad ke-11. Kerajaan tersebut didirikan
oleh keturunan Sri Maharaja. Raja yang bergelar Mauliawarman, yang oleh rakyatnya
disebut sebagai Sri Maharaja Diraja.
Dharmasraya disebut juga Malayapura atau Melayu, yang berpusat di Siguntur,
daerah pinggir Sungai Batanghari. Kerajaan Dharmasraya merupakan babakan sejarah
baru bagian Tengah Pulau Sumatera, sebab kerajaan ini merupakan cikal bakal
perkembangan kerajaan yang berpusat di Pagaruyung pada akhir abad ke-13. Sungai
Baatanghari merupakan jalan terbaik untuk mencapai pusat Alam Minangkabau ketika
itu. Perlu dijelaskan di sini bahwa sebelumnya tidak pernah ditemukan bukti-bukti
yang menyebutkan nama Kerajaan Melayu Minangkabau.
Pada tahun 1275 Kartanegara dari Kerajaan Singosari di Jawa mengirim
ekspedisi Pamalayu ke Kerajaan Dharmasraya sebagai sebuah misi perdamaian, yang
bertujuan untuk menjalin kerjasama dalam menghadapi serangkan pasukan Kubilai
Khan, 21 yang dikenal sebagai Ekspedisi Pamalayu. Selanjutnya Kertanegara
mengirim seorang Mahamenteri yang bernama Wiswarupakumara bersama sebuah arca
Amoghapasa sebagai lambang persahabatan dan hadiah kepada Mauliawarman atau
Mauliwarmadewa. Ketika Wiswarupaku-mara kembali ke Jawa, ia membawa dua
orang putri Raja Dharmasraya, yakni Dara Jingga dan Dara Petak. Kedua putri tersebut
dibawa ke Singosari.
Dara Petak kawin dengan Raden Wijaya dengan gelar putri Indraswari. Dara
Jingga diperisteri oleh salah seorang kerabat istana yang bernama Adwayawarman.
Jadi, Adityawarman dan Perpatih Nan Sabatang adalah saudara seibu lain ayah.
Sebelum menjadi raja di Dharmasraya, pada masa remaja Adityawarman dibesarkan di
Majapahit, dan kembali ke Dharmasraya pada tahun 1339.23 Seorang tokoh utama
dalam Tambo Alam Minangkabau adalah Datuk Ketumanggungan, yang berasal dari
kata Temenggung, yang disebut sebagai anak raja. Besar kemungkinan Datuk
Ketumanggungan itu adalah Adityawarman sendiri. Pada arca Amoghapasa disebutkan
bahwa kedudukan Perpatih sangat penting disamping Aditya-warman. Hal ini memberi
indikasi bahwa Bundo Kandung yang disebutkan dalam Tambo Alam Minangkabau
8
adalah Dara Jingga, Adityawarman adalah Dang Tuangku (Datuk Ketumanggungan),
dan Datuk Perpatih adalah Cindua Mato.24 Pendapat ini juga didukung oleh Dada
Meuraxa.
Menurut Prasasti Kuburajo I, Adityawarman menyebut dirinya sebagai Raja
Tanah Kanaka. Ia adalah keturunan keluarga Indra serta titisan dewa Sri Lokeswara.
Adityawarman menjadi raja di Kerajaan Melayu Kuna yang berpusat di Dharmasraya,
Siguntur pada tahun 1343. Kemudian pusat kerajaan dipindahkannya ke daerah
pedalaman. Perpindahan pusat kerajaan pada mulanya ditujukan ke hulu sungai
Batanghari dan dan kemudian menuju lereng Gunung Merapi (Pagaruyung).
Ada beberapa faktor perpindahan Adityawarman ke daerah pedalaman; di
antaranya bertujuan untuk memutuskan hubungan dengan kerajaan Majapahit dan
upaya menghindari serangannya; para pedagang Islam sudah mulai masuk dari pantai
timur Sumatera, mungkin ketakutan terhadap proses Islamisasi, Adityawarman pindah
ke pedalaman; usaha kerajaan untuk menduduki daerah sebagai penghasil emas dan
lada di pedalaman, barang komoditi dagang yang sangat berharga dan dicari oleh
pedagang Eropa, India, dan Cina.
Menurut Rusli Amran, perpindahan Adityawarman ke pedalaman disebabkan
karena Adityawarman menemukan di Dharmasraya telah memerintah seorang keluarga
raja dari orang Melayu asli, lalu ia mendirikan Kerajaan Melayu Minangkabau dan
menjadi raja pertama. Pada tahun 1345 Adityawarman mulai memperluas wilayah
kekuasaannya, seperti ke arah Kuntu di tepi sungai Batangkampar untuk menembus
jalan ke Selat Malaka. Perairan Batangkampar dirasa lebih aman bagi Adityawarman
dari pada Batanghari. Akhirnya wilayah kekuasaan Adityawarman meluas sampai ke
pantai timur Sumatra, muara Sungai Rokan dan muara sungai Batanghari. Arah ke
barat meliputi pantai barat Sumatra, seperti Barus dan Indrapura. Adityawarman juga
memakai gelar Mauliawarmadewa, sebagai pelanjut dinasti Melayu. Semasa
pemerintahannya, Adityawarman telah membuat tidak kurang dari 18 prasasti yang
bertebaran di sekitar Pagaruyung. Pada tahun 1389 Aditiyawarman berusaha
membebaskan diri secara total dari kerajaan Majapahit. Akan

9
tetapi 1409 Majapahit berusaha untuk menundukkannya kembali. Namun
Adityawarman dapat bertahan di Padangsibusuk, nagari di pinggir Batanghari. Sejak
itu Adityawarman benar-benar merasa bebas dari ancaman Majapahit. Setelah
Adityawarman pindah ke daerah pedalaman, Dharmasraya masih hidup untuk beberapa
lama. Pada tahun 1364, Dharmasraya dan Pagaruyung sama-sama mengirim utusan ke
Tiongkok.
Sampai tahun 1375, Kerajaan Pagaruyung masih diperintahi oleh
Adityawarman. Namun setelah itu tidak ada kabar beritanya, siapa yang menjadi raja
pengganti. Baru pada pertengahan abad ke-16 naik takhta Sultan Alif yang telah
beragama Islam. Ia memerintah sampai tahun 1580. Hubungan antara Kerajaan
Pagaruyung dan kerajaan Melayu yang lain terjadi melalui perdagangan (ekonomi),
budaya, politik, perpindahan penduduk, dan sebagainya. Kerajaan-kerajaan Melayu di
Pulau Sumatra melakukan hubungan dagang melalui pelayaran. Perairan di Selat
Malaka dan pantai barat Sumatera menjadi ajang pertemuan, baik antara sesama
mereka, maupun dengan pedagang asing. Selat Malaka menjadi jaringan lalu lintas
yang sangat ramai dan tempat bertemunya pedagang dari berbagai zone komersil,
seperti Teluk Benggala, Laut Jawa, Laut Cina Selatan, pantai timur Semenanjung
Malaya, dan Laut Sulu.
2. Raja Alam Pagaruyung Pada Masa Islam.
Setelah Adityawarman tidak berkuasa lagi, kerajaannya lebih terkenal dengan
sebutanKerajaan Pagaruyung. Raja Islam pertama Pagaruyung adalah Yamtuan Raja
Bakilap Alam Raja Bagewang Yamtuan Rajo Garo Daulat Yang Dipertuan Sultan Alif
I. Namanya itu menunjukkan bahwa Raja Pagaruyung telah memeluk Islam dan
berkuasa pada pertengahan abad ke-16 Masehi.29 Ketika itu wibawa politik
Pagaruyung bersifat terbuka sehingga pemerintahan telah memberi kebebasan kepada
nagari-nagari di pesisir.
Bagian wilayah kerajaan di pesisir barat Sumatera telah dipengaruhi secara
politik ekonomi Aceh. Nagari-nagari di pesisir diperintahi oleh Raja Kecil dan di
sentral kerajaan Melayu Minangkabau nagari diperintahai oleh Penghulu. Hal ini
menimbulkan pepatah “Luhak ba penghulu, rantau barajo”. Pemerintahan nagari
sebagai penjelmaan dari Kerajaan Melayu Minangkabau diatur dengan hukum tidak
tertulis yang diwariskan secara turun temurun berupa aturan adat seperti yang
tercantum dalam tambo adat. Rakyat patuh pada perintah Penghulu yang teguh
memegang adat.
Pada tahun 1580 Sultan Alif digantkan oleh Yamtuan Pasambahan Daulat Yang
Dipertuan Sultan Siput Aladin dari 158-1600. Pada tahun 1600-1674 digantikan oleh
Yamtuan Barandangan Daulat Yang Dipertuan Tuanku Sari Sultan Ahmad Syah yang
memerintah di Pagaruyung. Sistem Pemerintahannya bercorak desentralisasi
berdasarkan Hukum Islam dan hukum adat, yang lazim di sebut Tungku Tigo
Sajarangan atau Tali Tigo Sapilin, yang terdiri dari unsur ninik mamak, alim ulama,
dan cerdik pandai. Pada masa itu Pagaruyung sebagai sentral kerajaan semakin lemah,
karena tidak mempunyai Angkatan Perang, dan daerah pesisir tumbuh menjadi pusat
perdagangan komersil. Pada pertengahan abad ke-17 sebagian besar dari wilayah
kerajaan di sekitar rantau itu telah didominasi oleh para Panglima Aceh.
Raja Kerajaan Pagaruyung yang bertahta di Pagaruyung disebut sebagai Yang
Dipertuan Raja Alam, yang dibantu oleh dua orang Raja, yakni Raja Adat dan Raja
Ibadat. Kedua Pembantu Raja itu berkedudukan di tempat yang berbeda, yaitu di Buo
dan Sumpur Kudus. Raja Alam Pagaruyung dan kedua pembantunya tersebut dinama
10
Raja Nan Tigo Selo. Struktur kepemimpinan yang berada dibawahnya adalah Basa
Nan Ampek Balai, semacam dewan empat menteri, yang berkedudukan di nagari yang
berbeda, yakni Datuk Bandaro Putiah sebagai Panitahan di Sungai Tarab, Tuan
Indomo di Saruaso, Tuan Mahkudum di Sumanik, dan Tuan Kadhi di Padangganting.
Dewan Empat menteri tersebut diketuai oleh Datuk Bandaro.
Lapisan sosial dibawahnya Niniak Nan Batigo, Langgam Nan Tujuah,
Tanjuang Nan Ampek, Lubuk Nan Tigo. Dibawah Basa Nan Ampek Balai terdapat
penghulu disetiap suku dengan perangkatnya Manti, Malin, dan Dubalang yang
disebut Orang Nan Ampek Jinih. Yang Dipertuan Raja Alam di Pagaruyung menjadi
koordinator Raja Adat dan Ibadat serta mempunyai kekuasaan yang tertinggi. Raja adat
bertugas memegang adat dan limbago. Keturunan Raja Adat masih disebut sebagai
Urang Istano, yang merupakan keturunan raja-raja di Pagaruyung. Raja Ibadat
bertugas memegang hukum titah Allah dan mengerjakan sunah Rasul.
Dalam pemerintahan Yamtuan Barandangan Daulat Yang Dipertuan Tuanku
Sari Sultan Ahmadsyah, Minangkabau didatangi oleh Kompeni Belanda pada tahun
1663. Kompeni tahu bahwa barang komoditi yang yang menjadi permata dagang di
pantai barat bukan berasal dari pesisir, tetapi dari daerah pedalaman. Oleh sebab itu
Kompeni berusaha mendekati Raja Pagaruyung tersebut. Belanda mengakui bahwa
Sultan Ahmad Syah adalah Maharaja yang wilayah kekuasaannya meliputi Barus,
Muko-muko, Batangkampar, dan Batanghari. Sebagai imbalannya, Belanda mendapat
hak monopoli dagang dan mendirikan loji di pantai barat Sumatera.
Dalam periode kepemimpinan raja-raja Alam Minangkabau pada masa Islam
terjadi perluasan dan perkembangan nagari dibawah koordinasi raja Alam
Minangkabau. Selain itu nagari juga tersebar di daerah rantau, suatu kawasan tempat
perluasan perkampungan Minangkabau dari Luhak Nan Tigo. Perluasan dan
perkembangan daerah rantau ini dilakukan dengan mengirimkan putera-puteranya
menjadi raja di berbagai daerah di Nusantara. Daerah rantau disebut juga daerah
pesisir, yakni pesisir barat dan pesisir timur. Ada perbedaan sistem pemerintahan
nagari antara Pesisir dan Darek . Pemerintahan nagari di daerah darek adalah
Penghulu, tetapi pemerintahan nagari di daerah pesisir adalah Raja. Daerah rantau hulu
Kampar Kiri dan hulu Kuantan disebut sebagai Rantau Nan Tigo Jurai dari Kerajaan
Pagaruyung.
Salah satu dari nagari-nagari tersebut adalah nagari Pagaruyung yang menjadi
pusat pemerintahan Raja Alam Minangkabau. Istana Raja Alam yang bernama Rumah
Tuan Gadih Istano Silinduang Bulan terdapat di nagari Pagaruyung. Istana tersebut
sudah mengalami kebakaran sebanyak tiga kali yakni tahun 1804, 1833, dan 1961.
Penganti dari istana Si Linduang Bulan yang terbakar dibangun kembali pada tahun
1987 dan diresmikan pada tanggal 21 dan 23 Desember 1989.
Pada masa Adityawarman tidak berkuasa lagi, ada mata rantai sejarah yang
terputus selama lebih kurang dua abad, karena belum ditemukannya bukti tertulis
mengenai keberlanjutan dari pemerintahan di Minangkabau. Berdasarkan bukti-bukti
peninggalan dari Ananggawarman, anak Adityawarman menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara periode Adityawarman yang beragama Hindu-Budha dan raja pertama
Minangkabau yang telah memeluk Islam. Bukti tersebut diantaranya keris Curik
Simalagiri diwarisi oleh raja-raja berikutnya dan sampai hari ini masih tersimpan
dengan baik di Rumah Tuan Gadih Istano Si Linduang Bulan.
Setiap nagari di Minangkabau bebas untuk menyusun adat istiadatnya dan
pembelanjaannya sendiri di bawah pimpinan para penghulu dari setiap suku (clan),
11
baik menurut adat Koto-Piliang maupun Budi-Caniago. Sistem pemerintahan nagari
pada kelarasan Koto-Piliang mengarah kepada pemerintahan aristokrasi dan sistem
pada kelarasan Budi-Caniago berdasarkan atas kata mufakat.
Keberadaan kerajaan Melayu Minangkabau dibuktikan dengan ditemukannya
bukti tertulis berupa prasasti. Adityawaraman sebagai raja yang banyak menguasai
pengetahuan, khususnya dibidang keagamaan, dianggap sebagai cikal bakal Kerajaan
Pagaruyung yang berasal dari keluarga Dharmaraja. Penemuan beberapa prasasti yang
memuat keberadaan dari kerajaan Pagaruyung umumnya dan raja Adityawarman
khususnya, mengungkapkan tabir tentang hal ikhwal dari kerajaan dan raja yang pernah
ada di alam Melayu Minangkabau ini.
Berdasarkan data yang didapat sudah tidak banyak lagi ditemukan benda-benda
dari kerajaan Pagaruyung. Hal tersebut dapat dimengerti karena telah terjadi beberapa
kali kebakaran terhadap istana, sehingga barang-barang koleksi berharga istana juga
ikut musnah terbakar. Namun demikian dari hasil pendataan yang dilakukan masih
terdapat beberapa koleksi yang sangat berharga yang dipelihara oleh pewaris kerajaan
di Istano Silinduang Bulan. Koleksi tersebut tidak saja bisa membantu dalam
pengungkapan sejarah kerajaan Pagaruyung, namun juga sebagai bukti eksistensi
kerajaan Pagaruyung yang masih dapat kita temukan pada masa sekarang. Sesuai
dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1992 maka benda-benda koleksi Kerajaan
Pagaruyung tersebut dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya yang harus
dilestarikan.
Secara keseluruhan benda-benda tersebut berjumlah 20 koleksi benda cagar
budaya bergerak yang terdiri dari berbagai macam bentuk dan bahan, seperti senjata,
tongkat, keramik, nisan, cap/stempel, arca, dan lain-lain(registrasi lengkap lihat di
lampiran). Diantara tinggalan tersebut terdapat beberapa yang sangat penting seperti
cap/stempel semasa Sultan Abdul Jalil. Selain itu juga terdapat keris bernama Curik
Simalagiri yang terbuat dari besi berlapis emas. Keris ini berhias gambar bairawa dari
emas. Koleksi ini diperkirakan berasal dari masa sebelum Adityawarman.
Selain itu juga ditemukan koleksi yang berkaitan langsung dengan Sultan Alam
Bagagar Syah yakni bekas Nisan beliau ketika masih di makamkan di Mangga Dua
(sebelum makam Sultan dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata). Nisan
tersebut secara arkelogis bertipe/bergaya Aceh dengan pahatan suluran si bandan nisan.
Di samping itu, koleksi yang juga sangat penting dan masih berkaitan dengan kerajaan
Pagaruyung yaitu beberapa peninggalan dari zaman Adityawarman berupa prasasti
yang sekarang telah dilestarikan di beberapa tempat di Tanah Datar. Prasasti tersebut
sangat penting bagi data sejarah tentang kerajaan sebelum Islam yang bertahta di
daerah Pagaruyung yang berdasarkan penelitian diperkirakan berasal dari periode
Melayu Kuno. Prasasati tersebut seperti Prasasti Pagaruyung I-IX, Prasasti Saruaso,
Prasasti Kuborajo, Prasasti Rambatan, Prasasti Bandar Bapahat, Prasasti Pariyangan.
Seperti prasasti Pagaruyung I menyebutkan wilayah kerajaan Adityawarman
dengan swarnnabhumi yang artinya tanah emas. Kemuadian pada prasasti
Pagaryuyung III menyebutkan angka tahun 1347 M. Prasasti pagaruyung IV yang
tulisannya banyak yang tidak terbaca, namun pada baris ke 9 terdapat kata surawasa
(surawasawan pada prasasti Saruaso I), menurut kasparis lokasi itu diperkirakan
ibukota kerajaan Adityawarman ( berada disekitar wilayah nagari Saruaso)
Peninggalan lainnya adalah Pedang Cinangke, Pedang Simanggi Masak,
Pedang Jenawi, Sikatimuno, Kain Sangseto, Mustika Sati, Tombak Lambiang
Lamburan Berambut Janggi, dan Agung Simandarang. Pedang Cinangke memiliki
12
gagang bertahta perak. Pedang Simanggi Masak merupakan sebuah pedang panjang.
Pedang Jenawi merupakan pedang bermata dua dan memiliki alur dibagian tengahnya.
Sikatimuno merupakan sebuah patung kepala yang terbuat dari porselen. Kain
Sangseto berupa kain sutera yang terbuat dari benang emas. Mustika Sati berbentuk
kepala ular dan berpermata dikedua bagian ujungnya yang berwarna merah delima dan
hijau zamrut. Tombak Lambiang Lamburan Berambut Janggi sebuah tombak yang
memiliki rambut janggi. Agung Simandarang berupa agung yang besar. Seluruh
peninggalan tersebut sampai sekarang masih ada dan terpelihara dengan baik di Istano
Silinduang Bulan dan di beberapa situs Kompleks Prasasti di Tanah Datar.5
3. Kerajaan Minangkabau
Kerajaan Melayu Minangkabau didirikan oleh nenek moyang orang Mdelayu
dan mencapai puncaknya sekitar abad ke-14 dan ke-15, ketika Adityawarman berkuasa
menggantikan pendahulunya. Aditya-warman adalah putra dari Dara Jingga dari Tanah
Melayu, cucu Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, yang dibesarkan di Maja-pahit.
Faktor itu pula yang menyebab-kan ketika Adityawarman memerintah, pengaruh
kerajaan Majapahit sangat jelas. Bahkan pada masa pemerintahan Adityawarman
organisasi pemerintahan kerajaan disusun menurut sistem organisasi yang berlaku di
Majapahit. Begitu juga dengan sistem pemerintahan, tampaknya pola kerajaan
Majapahit dipakai pula oleh Kerajaan Melayu Minangkabau.6
4. Kerajaan Pagarruyung Islam
Secara perlahan agama Islam kemudian juga memasuki kehidupan kaum
bangsawan di istana Pagarruyung. Raja-raja yang sebelumnya beragama Buddha
beralih memeluk Islam. Mansoer (1970), memperkirakan raja yang pertama memeluk
Islam adalah Sultan Alif yang berkuasa sekitar tahun 1560.6 Sebelumnya, walaupun
Kerajaan Pagarruyung masih merupakan kerajaan Buddha/Bhairawa sejak abad ke-15,
sebagian penduduk Minangkabau sudah memeluk agama Islam. Baru setelah Sultan
Alif dan keluarga raja beragama Islam, seluruh Alam Minangkabau dapat dipandang
menjadi daerah Islam.
Sultan Alif Khalifatullah berasal dari keluarga raja Pagarruyung, bukan datang
dari luar. Dia diangkat sebagai raja oleh Basa Ampek Balai dan Rajo-rajo Selo. Sesuai
dengan ajaran Islam, hampir semua nama generasi masa itu disesuaikan dengan
namanama yang berbau Islami (Salih, 1985). Jika mengikut pendapat Tome Pires yang
mengunjungi Jawa dan Sumatera pada tahun 1511, raja Minangkabau pada waktu itu
sudah menganut Islam.
Kerajaan Pagarruyung Islam tidak mempunyai angkatan perang seperti Aceh,
Banten, Demak, dan Kerajaan Islam lainnya, yang setelah masuk Islam segera
membentuk angkatan perang yang kuat. Nagari diperintah dan diatur oleh
penghulupenghulu yang juga mengatur hubungan dengan sesama nagari. Hukum
tertulis tidak ada,
yang ada hanyalah hukum tak tertulis, yang diwariskan secara lisan secara turun
temurun berupa pepatah-petitih. Setelah Sultan Alif wafat, dia digantikan oleh Yang
Dipertuan Raja Bagewang II. Raja ini adalah kemenakan dari Raja Bakilek Alam
(Bagewang I) yang sebelumnya menjadi raja ketika kerajaan masih bercorak Buddha

5
Mhd. Nur, Kerajaan-Kerajaan Sapiah Balahan, Kuduang Karatan- Kapak Radai- Timbang Pacahan
Kerajaan Pagaruyung Abad Ke-20, Jurnal Analisis Sejarah, Volume 6, No. 1, 2017, h. 95-101
6
A.A.Navis, Alam Terkembang Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Press,
1986, h. 16-17
13
Bhairawa. Raja Bagewang II berbeda dengan mamaknya, semasa pemerintahan Sultan
Alif, dia telah memeluk agama Islam.
Raja selanjutnya adalah Sultan Abdul Jalil (Ibid). Dalam masa pemerintahan
raja inilah surat-menyurat sudah mempergunakan cap/stempel yang bertuliskan huruf
Arab. Dia adalah kemenakan Raja Jambi yang menerima waris untuk menduduki
jabatan Raja Alam di Kerajaan Pagarruyung. Sebelumnya Abdul Jalil memangku
jabatan sebagai “Raja Adat” di Buo. Setelah menjadi raja dia diberi gelar “Yang
Dipertuan Raja Alam Muningsyah I”. Pada masa kekuasaannya, Sultan Abdul Jalil
berhubungan dengan kerajaan Negeri Sembilan di Malaysia dan dialah yang
mengangkat raja di sana. Pengganti Sultan Abdul Jalil adalah Yang Dipertuan Rajo
Basusu Ampek bergelar Raja Alam Muningsyah II (1615 M).
Dalam masa pemerintahannya, raja tidak banyak berbuat, akan tetapi keadaan
kerajaan dan daerah rantau senantiasa aman. Raja selanjutnya adalah Sultan Ahmad
Syah (1650-1680 M). Pemerintahannya bercorak desentralistis, berdasarkan hukum
Islam dan hukum adat, lazim disebut “Tungku nan Tigo Sajarangan”, atau “Tali Tigo
Sapilin”. Ada tiga orang raja yang berkuasa, yaitu Raja Adat di Buo, Raja Ibadat di
Sumpurkudus, dan Raja Alam di Pagarruyung. Ketiganya disebut juga “Rajo Nan Tigo
Selo”. Raja Adat adalah pemegang Adat dan Limbago. Keturunannya sampai sekarang
masih disebut “Orang Istana”, keturunan raja-raja di Pagarruyung. Raja Ibadat adalah
pemegang Hukum Titah Allah, penegak imam di Alam yang memegang tinggi titah
Allah, dan mengerjakan suruhan Nabi. Raja Alam merupakan koordinator dari adat dan
ibadat.
Di bawah kedudukan raja terdapat “Basa Ampek Balai” (Dewan Empat
Menteri), yang terdiri dari Datuk Bendaharo di Sungaitarab, Tuan Kadhi di
Padanggantiang, Tuan Indomo di Saruaso, dan Tuan Makhudum di Sumanik. Datuk
Bendaharo yang mengetuai Basa Ampek Balai, bertugas menjalankan pemerintahan
seperti yang digariskan oleh Rajo Nan Tigo Selo. Di bawah Basa Ampek Balai terdapat
manti yang jumlahnya banyak. Di bawah manti terdapat “dubalang” (hulubalang)
yang jumlahnya lebih besar daripada penghulu. Penghulu dan hulubalanglah yang
berhubungan langsung dengan rakyat. Hulubalang bertugas mengamankan anak nagari.
Sebagai “pagar kampung”, ia menjaga ketertiban dan keamanan dalam nagari.
Kerajaan Pagarruyung diperintah berdasarkan Adat dan Syarak seperti dirumuskan
dalam pepatah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, sampai saat
datangnya pemurnian agama Islam di Minangkabau yang dilakukan oleh Haji Miskin,
Haji Piobang, dan Haji Sumanik.
Setelah tiga orang haji tersebut pulang ke Minangkabau (1803) dimulailah
usaha pemurnian ajaran agama melalui “Gerakan Paderi” yang berhadapan dengan Nan
Dipatuan Rajo Alam Pagarruyung yang terakhir, Arifin Muning Syah Alam, bertempat
tinggal di Gudam (sebuah jorong di Pagarruyung). Gerakan Paderi yang dipimpin oleh
“Harimau Nan Salapan” (julukan untuk delapan orang tokoh Gerakan Paderi) meluas
sampai ke Tanah Datar, mereka mendapat perlawanan yang sengit, karena Tanah Datar
adalah pusat dan kedudukan Raja Pagarruyung. Keluarga raja dan para penghulu masih
mempunyai wibawa besar di mata rakyat. Namun peristiwa yang sangat mengejutkan
penduduk yaitu terjadi pembunuhan keluarga raja Pagarruyung di Koto Tangah yang
dilakukan oleh Kaum Paderi di bawah pimpinan Tuanku Lelo, bawahan dari Tuanku
Rao.7

7
Witrianto, “Pendidikan dalam Perspertif Sejarah”, Andalas tanggal 12 Maret 2010, h. 12-14
14
Kerajaan Melayu Minangkabau didirikan oleh Adityawarman dan mencapai
puncaknya sekitar abad ke-14 dan ke-15, ketika Adityawarman masih berkuasa.8
Adityawarman adalah putra dari Dara Jingga dari Tanah Melayu, 9 cucu Tribhuwanaraja
Mauliwarmadewa, yang dibesarkan di Maja-pahit. Faktor itu pula yang menyebab-kan
ketika Adityawarman memerintah, pengaruh kerajaan Majapahit sangat jelas. Bahkan
pada masa pemerintahan Adityawarman organi-sasi pemerintahan kerajaan disusun
menurut sistem organisasi yang berlaku di Majapahit. Begitu juga dengan sistem
pemerintahan, tampaknya pola kerajaan Majapahit dipakai pula oleh Kerajaan Melayu
Minangkabau.
Pada dasarnya sistem pemerintahan di wilayah kerajaan terdiri atas dua pola, di
Majapahit terdiri dari wilayah bawahan, dengan pimpinan raja bawahan, yang umumnya
adalah anggota raja di pusat pemerintahan, dan wilayah mancanegara, yaitu daerah
taklukan yang dipimpin raja wilayah itu sendiri. Sedangkan pola yang dipakai di
Minang-kabau ialah wilayah rantau, yaitu kerajaan yang dipimpin oleh raja kecil
sebagai wakil raja di Pagaruyung, dan wilayah Luhak yang dipimpin para penghulu.
Wilayah itu masing-masing diatur menurut sistem yang berbeda satu sama lain,
sebagaimana yang diungkapkan mamang “Luhak berpenghulu, rantau beraja”.10
Pembentukan kerajaan Melayu Minangkabau oleh Adityawarman merupa-kan
peristiwa penting dalam sejarah Melayu, karena peristiwa itu menunjukkan usaha
pertama dalam pembentukan sebuah sistem otoritas yang berada di atas tingkat nagari
yang otonom. Walaupun kedudukan raja di dalam pemerintahan Alam Minangkabau
lebih banyak bersifat sebagai pemersatu nagari-nagari yang otonom tersebut. Otoritas
tradisional raja Minangkabau hanya merupa-kan simbol persatuan dari republik-
republik nagari Minangkabau dan pemeilihara hubungan dengan masyarakat di luar
alam Minangkabau. Raja memberi kewenangan kepada kerajaan-kerajaan di daerah
rantau dan raja merupakan lambang dari persatuan Minangkabau sebagai satu
keseluruhan.11
Sepeninggal Adityawarman raja-raja Pagaruyung tetap dihormati rakyat sebagai
tokoh yang menjaga keseimbangan dan keutuhan serta sebagai pemungut pajak (uang
adat) yang menjadi ikatan politik. Raja mempunyai basis kekuasaan berupa pemungut
pajak dikawasan rantau seperti pajak pelabuhan, pajak perdagangan dan berbagai
bentuk uang adat. Pada prinsipnya, pemungutan pajak itu merupakan pemenu-han
kewajiban adat. Demikian juga halnya ada pajak untuk mendirikan rumah, bangun-an
balai adat, dan lain-lain. Raja Minangkabau, yang berkedudukan di Pagaruyung selalu
menerima pajak atau upeti dari raja di rantau seperti Siak, Indragiri, Air Bangis, Sungai
Pagu, Batang Hari bahkan dari Batak. Pemungutan pajak dirantau kadang kala juga
diserahkan kepada raja atau utusannya yang datang ke rantau untuk menjemput uang
adat yang terkumpul.
8
Rusli Amran. Ibid. h. 37
9
Slamet Muljana, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta : Inti Idayu Press, 1983. h. 176
10
A.A.Navis, Loc. Cit. 16-17
11
De Joselin De Jong, Minangkabau and Negri Sembilan : Sociopolitical Structure in Indonesia. Jakarta :
Bhratara, 1960; h. 110-111.

15
Hubungan antara Raja Alam dan raja di rantau ada juga yang berlangsung
melalui hubungan perkawinan, dikirim langsung dari Pagaruyung dan sebagainya,
hingga muncul istilah Sapiah Balahan, Kuduang Karatan, Kapak Radai, Timbang
Pacahan Kerajaan Pagaruyung. Penempatan raja di rantau men-dapat restu dari raja
Pagaruyung, seperti raja Pulau Punjung adalah raja setempat yang diangkat dan
ditetapkan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung. Raja Sungai Pagu mempunyai hubungan
darah dengan keluarga Pagar-uyung. Raja-raja di rantau menyebut raja Pagaruyung
dengan “Yang Dipertuan”.12
Isi dari sebuah prasasti menyebutkan bahwa pada tahun 1208 Saka (1286 M),
bulan Badrawada tanggal 1 paro terang, Arca Amogapasha dibawa dari Bumi Jawa dan
ditempatkan di Dharmasraya. Arca ini merupakan persembahan dari Sri Maharaja-diraja
Sri Kertanegara (dari kerajaan Singosari di Jawa) untuk Sri Maharaja Srimat Tribhu-
wanaraja Mauliwarmmadewa dari Melayu Dharmasraya. Jadi dengan ditemukannya
beberapa prasasti yang memuat keberadaan dari kerajaan Pagaruyung umumnya dan
raja Adityawarman khususnya, terungkaplah tabir tentang hal ikhwal dari kerajaan dan
raja yang pernah ada di alam Minangkabau.
Berdasarkan prasasti yang ditemukan di sungai Langsat (Sumatra Barat) dikenal
pada prasasti Tapak Arca Adityawarman sebagai pendiri kerajaan Minangkabau
berdarah Melayu sebagai hasil pernikahan Darah Petak / Jingga dengan bangsawan
Singosari sebagai putri Melayu yang dibawa ke Jawa oleh ekspedisi Pamalayu sekitar
tahun 1275. Kerajaan Minangkabau berdiri sekitar 1347 M berpusat di Pagaruyung
Batusangkar Sumatra Barat.
Masyarakat Minangkabau menganut adat perpatih, adat ini awal mula
dikembangkan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang yang menganut garis keturunan dari
pihak Ibu (matrilineal). Minangkabau berkembang bahkan sampai ke negri Sembilan di
tanah Semenanjung Malaysia, Raja dari Negri Sembilan adalah keturunan dari raja
Minangkabau. Raja Adityawarman (1356-1375) banyak meninggalkan patung dan
prasasti yang menggambarkan diasebagai penguasa sebagian besar Sumatra Tengah.
Pada abad 14 M Surawaso dibawah pimpinan Adityawarman di sebut juga pemerintah
“Bumi Emas”.13
C. Adat Istiadat Minangkabau
Etnis Minangkabau ditandai oleh tiga ciri besar, yaitu: kepenganutan yang kuat
atas Islam, kepatuhan terhadap sistem keluarga matrilinial, dan kecenderungan kuat
merantau atau migrasi. Kepenganutan atas Islam melekat dalam diri orang Minang,
yang tertuang dalam kesepakatan “Sumpah Sati Marapalam”, Adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah, sehingga dikatakan bahwa orang Minang adalah orang Islam,
kalau tidak Islam berarti keluar dari Minang.

12
Hasan Djafar. “Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Melayu Kuno dan Beberapa Permasalahannya”, Jambi
Pemda Tk, 1922, h. 51-80
13
Suwardi Muhammad Samin, Kerajaan dan kesultanan Dunia Melayu : Kasus Sumatra dan
Semenanjung Malaysia, Jurnal Criksetra, Volume 4, nomor 7, Februari 2015, h. 64

16
Sistem matrilinial adalah garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu. Ada tiga
unsur yang paling dominan dalam sistem kekerabatan matrilinial. Pertama, garis
keturunan menurut garis ibu. Kedua, perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar
kelompok sendiri. Ketiga, ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan
harta kekayaan, dan kesejahteraan keluarga. Perempuan mempunyai otoritas penuh
terhadap penguasaan rumah gadang. Sedangkan ketentraman hidup berumah tangga di
dalam sebuah rumah gadang dipegang oleh tungganai atau datuk, gelar adat bagi lelaki
dari garis keturuan ibu.14
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga
dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan
pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka
sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu (kepala suku).
Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai
Limpapeh Rumah Nan Gadang (pilar utama rumah). Walau kekuasaan sangat
dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga
pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi
kekuasaan pada komunitasnya.15
Merantau bagi lelaki Minang bisa disebabkan oleh berbagai faktor, faktor
keinginan mendalami ilmu, faktor budaya, faktor ekonomi dan faktor keamanan. Tidak
adanya sekolah untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di Minangkabau
mengakibatkan banyak pelajar Minangkabau yang belajar ke Mekah, dan pada masa
kolonial juga belajar ke Eropa. Pertemuan lelaki Minang dengan para perantau yang
pulang kampung saat malam di surau juga memotivasi lelaki Minang untuk merantau.16
Sebelum merantau, lelaki Minang dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman
tentang agama dan adat. Sehingga betapa jauh pun lelaki Minang merantau, agama
Islam dan adat Minang melekat dalam dirinya. Ciri lain yang tidak lepas dari budaya
Minangkabau adalah adat musyawarah untuk mencapai kata mufakat. Nilai budaya ini
dilestarikan dalam pepatah adat seperti bulek aie dek pambuluh bulek kato dek mufakat,
saciok bak ayam sadanciang bak basi.
Termasuk dalam tata sosial, kebenaran mufakat dijunjung tinggi, misalnya
dalam pepatah kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu
barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, nan bana badiri surang yaitu
kitabullah. Meskipun seorang raja memiliki otoritas dalam menetapkan suatu
keputusan, namun tetap melalui proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam
naskah AKBT juga dinyatakan bahwa kalau akan mengganti kesepakatan juga dengan
cara bermusyawarah, jikalau kan dibuang basamo-samo handaknyo.

14
Istiqamatunnisa dkk, Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]: Relasi Ulama-Umara di Minangkabau
Abad ke-17 dalam Penetapan Awal Ramadan, Jurnal Manassa, Manuskripta, Vol, 2, No. 1, 2012, h. 83-
84
15
Ismail, Akulturasi Hukum Kewarisan Islam dengan Hukum Kewarisan Adat Minangkabau, ALHURRIYAH
: Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198 pISSN: 2549-3809, Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017, h. 61
16
Istiqamatunnisa dkk, h. 84

17
D. Minangkabau Identik dengan Islam
Minangkabau kini sebagian besar wilayahnya termasuk propinsi Sumatera
Barat- dari segi sosio-kultural memiliki karakteristik yang unik dibandingkan dengan
suku bangsa-suku bangsa lainnya di Indonesia. Keunikan Minangkabau terletak pada
sistem sosial materilinialnya. Menurut sistem ini garis keturunan seseorang ditarik dari
pihak ibunya. Begitu pula dalam sistem pembagian harta pusaka, sawah ladang dan
tempat kediaman, kaum wanita menduduki tempat yang dominan.

Sistem adat Minangkabau yang unik itu semakin unik dan khas bila
dihubungkan dengan Islam. Menurut filsafat hidup Minangkabau, tidak ada
pertentangan antara adat dan agama. Keduanya berjalan seiring tanpa harus terlibat
konflik, karena adat sebagai institusi kebudayaan dalam masyarakat mendapat posisi
yang selaras dan harmoni dengan agama. Hubungan adat dan agama yang demikian itu
dengan indah diungkapkan dalam pepatah; “Adat basandi syara’, syara’ basandi
Kitabullah. Syara’ mangato adat memakai. Camin nan tindak kabua, palito nan tidak
padam”. (Adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah. Syara’ menyatakan, adat
mengejewantahkan. Cermin yang tidak buram, pelita yang tidak padam).17

Pola hubungan antara adat dan agama yang demikian itu tercapai setelah
berlangsung proses islamisasi secara terus menerus dalam masyarakat Minangkabau,
terutama dengan pengenalan ide-ide baru dalam Islam yang dibawa oleh orang-orang
Minangkabau yang kembali dari Mekkah, Medinah, dan Kairo.
Pertama, menurut pespektif tradisional, bahwa hukum Islam menyajikan sebuah
sistem yang ditakdirkan Tuhan, yang tidak ada kaitannya dengan berbagai pandangan
historis. Menurut pandangan mereka, Al-Qur’an dan sunnah Nabi telah memberikan
uraian rinci tentang segala sesuatu. Menurutnya hanya ada satu sumber hukum yang
darinya aturan-aturan hukum dapat dikembalikan, dan itulah wahyu tuhan.18

Kedua, perspektif modern, golongan ini berpendapat bahwa hukum Islam bukan
sebagi seperangkat norma yang diwahyukan, melainkan sebagai fenomena historis yang
berhubungan erat dengan realitas sosial. Pandangan ini didasarkan karena Islam (baca
hukum Islam) tidak turun terhadap masyarakat yang kosong dari budaya, melainkan
terhadap masyarakat yang sudah memiliki budayanya sendiri. Betapa pun masyarakat
Arab dikatakan sebagai masyarakat jahiliyah, mereka memiliki kebudayaannya sendiri
yang tidak dapat begitu saja diabaikan. Artinya, bagaimanapun budaya tetap memiliki
kaitan dengan wahyu.19
Bila diperhatikan sejarah awal pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam
akan dijumpai banyak pengakuan hukum Islam terhadap hukum adat yang berlaku.
Sebagai contoh uang tebusan atau diyat yang harus dibayar oleh pihak pelaku
pembunuhan terhadap pihak keluarga korban pembunuhan. Hukum ini telah berlaku di
17
Ismail, Akulturasi Hukum Kewarisan Islam dengan Hukum Kewarisan Adat Minangkabau, ALHURRIYAH
: Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198 pISSN: 2549-3809, Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017, h. 58
18
Ahmad Minhaji, Kontribusi Yosep Scach Terhadap Pembentukan Hukum Islam, (Yogjakarta: UII Press.
2000), h. 15
19
Ahmad Minhaji, Ibid, h. 16.

18
kalangan orang Arab jauh sebelum Islam datang. Hukum ini kemudian dikukuhkan oleh
QS Al-Baqarah : 178 dan QS An-Nisa’ : 92. Contoh lain adalah Zhihar atau ucapan
seorang suami kepada isterinya bahwa isterinya tersebut sama dengan ibunya.

Menurut adat Arab ucapan tersebut membuat keduanya tidak boleh lagi
melakukan hubungan badan dan selanjutnya bercerai. Hukum Islam dalam masalah
zihar ini, tidak outomatis menjadikannya bercerai. Hanya, tidak boleh melakukan
hubungan badan sebelum membayar denda atau kafarat zhihar, sebagaimana QS. Al-
Mujadalah : 3

Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun
Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki serta menganut sistem adat yang
dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal,
walaupun budayanya sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam.

Masyarakat Minang bertahan sebagai penganut matrilineal terbesar di dunia.


Selain itu, etnis ini telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu
dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan
hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang dalam pernyataan Adat basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Alquran)
yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.

Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada
masyarakatnya keluar dari agama Islam (murtad), secara langsung yang bersangkutan
juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang
sepanjang adat". Agama Islam diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir timur,
walaupun ada anggapan dari pesisir barat, terutama pada kawasan Pariaman, namun
kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Indragiri yang berada pada pesisir timur juga
telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun Batang
Kuantan berhulu pada kawasan pedalaman Minangkabau.

Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, Adat manurun, Syarak mandaki


(Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang dari pesisir
ke pedalaman), serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang Siak merujuk
kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap digunakan di
dataran tinggi Minangkabau.
Sebelum Islam masuk ke Minangkabau, bahkan sebelum agama-agama besar
dianut oleh orang Minang, sebenarnya orang Minang sudah memiliki aturan, yaitu
aturan adat, yang digunakan untuk mengatur keharmonisan hidup bermasyarakat.
Aturan adat ini berpedoman kepada alam, belajar dari alam, alam takambang jadi guru.
Aturan alam inilah yang disebut dengan adat nan sabana adat.20
Aturan ini tidak pernah berubah, pada masa Islam diberi dengan nilai Islam yang
disebut dengan sunnatullah. Kesesuaian pandangan filosofiss yang sudah dimiliki orang
20
Amir Sjarifoeddin Tj. A, Minangkabau: dari Dinasti Iskandar Zulkarnain sampai Tuanku Imam Bonjol,
(Jakarta: Gria Media Prima, 2011), h. 55

19
Minang dengan pandangan Islam yang datang, mejadikan Islam mudah diterima dan
bertahan di Minangkabau. Islam menggantikan agama Hindu dan Budha yang lebih
dahulu datang di Minangkabau. Pada masa selanjutnya, Islam semakin kuat dengan
dijadikannya Islam sebagai agama resmi kerajaan Minangkabau. Hubungan antara
sesama manusia diatur oleh adat, sedangkan hubungan dengan yang transendental diatur
oleh agama. Islam digunakan sebagai dasar untuk pelaksanaan adat istiadat
Minangkabau, syarak mangato adat mamakai.21
E. Tarian Adat Minang Islami yang Populer
1. Tari Pasambahan
Ukiran Tari Pasambahan adalah tari yang ditampilkan ketika adanya pertemuan
dua pihak dalam masyarakat Minang. Disajikan oleh pihak yang menerima tamu, untuk
menghormati tamu yang datang, sebagai pembuka dalam sebuah pertemuan antara dua
pihak yang bertemu. Pandangan alim ulama terhadap tari ini dianalisis dari aspek
penari, gerak, dan busana. Memuliakan tamu adalah pesan, misi dan fungsi utama yang
diemban oleh penampilan tari Pasambahan ini. Hal ini diungkap Yulizar Yunus
(Wawancara 18/12/2012) seorang dosen Adab IAIN Imam Bonjol yang memandang
bahwa,
“Filosofi dari tari Pasambahan, sebenar-nya memuliakan orang besar, itu kato
mandaki namonyo (kata mendaki nama-nya) di adat, berkata tanpa menyakitkan
martabat seseorang menyangkut me-muliakan tamu, dan itu tamu itu dalam Islam
guyuburrahman adalah orang–orang yang dekat kepada Tuhan, tidak boleh kita
abaikan. Nabi saja ditegur, ketika bertemu seseorang, nabi mele-ngah, ditegur nabi itu,
filsafat itu juga ditirukan adat minangkabau, kita harus menyambut tamu dan
memuliakan tamu, kita kreasilah dengan kreasi-kreasi yang indah, dan itu sangat
dianjurkan. Islam dianjurkan, adat dianjurkan memuliakan orang besar. Di Minang
kan ada itu “muliakan nan gadang, kasiahi nan ketek” (muliakan yang besar, kasihi
yang kecil). Di dalam acara adat awak (kita) kan ado tu (ada itu), mamuliakan nan
gadang dilatakkan carano di mukonyo, nan ketek dilatakkan rokok (memuliakan yang
besar diletakkan carano di depannya, yang kecil diletakkan rokok). Dilegalkan itu, itu
kan simbol itu”.
Berdasarkan pendapat Yulizar di atas, dapat dijelaskan bahwa di Minang dalam
memuliakan tamu telah tumbuh secara tradisi turun temurun, dengan kreasi tari
Pasambahan (dulunya Tari Galombang) untuk memartabatkan tamu yang datang dengan
nilai guyubur-rahman, yaitu memuliakan orang besar yang dekat dengan Tuhan, dengan
mencontoh perilaku nabi Muhammad yang mendapat teguran dari Tuhan ketika kurang
menghormati tamu. Di sinilah titik temu nilai tradisi tari Pasambahan Minang dengan
nilai Islami. Artinya, memuliakan tamu nilai syarak yang ditradisikan atau diaplikasikan
dengan nilai adat tari Pasambahan. Di sinilah letaknya SMAM (Syarak Mangato Adaik
Mamakai).

21
Istiqamatunnisa dkk, Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]: Relasi Ulama-Umara di Minangkabau
Abad ke-17 dalam Penetapan Awal Ramadan, Jurnal Manassa, Manuskripta, Vol, 2, No. 1, 2012, h. 82

20
Dalam pandangan Adityawarman (Wawancara, 15/12/ 2012) menyebutnya
dengan istilah yukrim dhaifah (memuliakan tamu) seperti ungkapannya “Pada tari
Pasambahan kan ndak ado (tidak ada) dalam perasaan urang (orang) barangkali yang
mengarah ke negatif. Jadi kan situ nyo. Kalau buliah ambo mangatokan (boleh saya
mengatakan) itu “yukrim dhaifah” Islam itu kan mengajarkan menghormati tamu,
ketika tamu ndak (tidak) dihormati, kan baitu persoalannyo (begitu persoalannya)”.
Sejalan dengan Aditiawarman di atas, Edi Syafri (Wawancara, 30/12/2012)
meman-dang hal yang sama dan dia mendorong tari ini, karena sesuai dengan nilai-nilai
Islam, sebagaimana ungkapannya “di satu pihak tari Pasambahan itu bagus didukung,
kan memulia-kan tamu. Siapapun dalam agama disuruh memuliakan tamu, antara lain
dimanifestasikan dengan tari Pasambahan. Itu bisa, Kalau bisa jangan sampai ado
(ada) hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan agamo (agama)”.
Begitu juga Syafrudin (Wawancara, 18/12/2012) memandang tari Pasambahan
dilihatnya sebagai tari yang tidak menyalahi nilai Islam dan tidak ada celanya bila
diukur dengan Islam itu sendiri, seperti ungkapannya “Kalau nan tari Pasambahan lah
(sudah) dominan sebuah cara yang bagus. Cela Islamnyo ndak ado ndak bisa awak
tonjolkan (merusak Islamnya tidak ada)”.
Berdasarkan paparan data yang dikemu-kakan informan di atas dapat diketahui
bahwa tari Pasambahan dalam hal visi misinya atau pesannya telah sesuai syarak dan
sunnah Rasul atau hadis, yang pada intinya mengemban misi pesan dakwah untuk
memperkuat ukhuwah Islamiyah, silaturrahim antara pihak yang bertemu. Jadi tari
Pasambahan boleh dikatakan tari yang berfilosofi ABS-SBK dalam pan-dangan alim
ulama.22
2. Tari Sambah Silek
Pertunjukan randai di Minangkabau selalu dibuka dengan sambah silek. Sambah
silek adalah gerak awal untuk sebuah penghormatan yang dilakukan oleh anak-anak
randai (sebutan untuk pemain randai) untuk Tuhan dan kepada penonton. Sambah silek
dilakukan sebelum anak randai membentuk gerak galombang dalam legaran. Sambah
silek yang dipertunjukkan oleh anak randai tergantung pada aliran silat yang dianut oleh
kelompok randai tersebut. Sebagai contoh, gerak silek kumango (silat Kumango). Gerak
silek Kumango dalam sambah silek berasal dari aliran silek Kumango. Silek kumango
adalah salah satu aliran ilmu silat yang berasal dari Kampung Kumango, Kabupaten
Tanah Datar. Aliran ini adalah aliran silat tua yang tumbuh dan berkembang di
lingkungan surau (mushalla), dikembangkan oleh Syekh Abdurahman Al Khalidi yang
dikenal sebagai Syekh Kumango.
Gerak sambah silek pada masing-masing kelompok randai tidaklah sama, selalu
memiliki ragam gaya dan aliran sendiri, seperti terungkap dalam pepatah petitih adaik
salingka nagari, pusako salingka kaum, lain guru lain ajaran. Maksudnya, setiap daerah
memiliki aturan adat sendiri, dan setiap guru silat memiliki pelajaran sendiri. Filosofi
22
Afifah Asriati, Tari Pasambahan Dan Falsafah Minang Dalam Perspektif Alim Ulama Kota Padang,
Jurnal HUMANLIS Vol. XI No.2 Th. 2012, h. 150-151

21
dari sambah silek dalam randai mengandung nilai-nilai kearifan lokal budaya
Minangkabau alam takambang jadi guru yang menandakan bahwa adat dan laku
masyarakat Minangkabau tidak bisa dilepaskan dari tuntuan ajaran agama Islam.
Kitab suci Alquran sebagai kitab suci umat Islam menjadi landasan dalam
menetapkan dan menjalankan adat di Minangkabau. Sembah (hormat) yang ditujukan
kepada Tuhan adalah cermin nilai-nilai agama, sedangkan gerak silat Kumango adalah
cermin bahwa manusia di Minangkabau belajar dari fenomena dan berbagai unsur yang
terdapat di alam semesta. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Minangkabau
adalah suku bangsa yang hidup dalam tuntunan adat basandi syarak-syarak basandi
kitabullah (ABS-SBK).23

PENUTUP
A. Kesimpulan

23
Iswadi Bahardur, Kearifan Lokal Budaya Minangkabau dalam Seni Pertunjukan Tradisional Randai, h.
Juntera: Jurnal Kajian Sastra, 153-154

22
Agama Islam diyakini sudah memasuki Minangkabau pada abad ke-7, yaitu
dengan adanya perkampungan orang Arab di Pariaman. Meskipun demikian, pada saat
itu hanya sebagaian kecil saja orang Minangkabau yang menganut agama Islam,
sebagian besar masih menganut kepercayaan aninisme, dinanisme, atau Hindu-Buddha.
Agama Islam baru menjadi agama “resmi” orang Minangkabau setelah Sultan Alif
memeluk agama Islam. Sejak itu agama Islam ditetapkan sebagai agama kerajaan dan
semua orang Minangkabau kemudian menjadi penganut Islam.
Orang Minangkabau yang tidak menganut agama Islam sejak saat itu dianggap
merupakan suatu penyimpangan dan tidak lagi dianggap sebagai orang Minangkabau.
Proses Islamisasi di Minangkabau terutama melalui pengajaran yang diberikan di
masjid, surau, dan rumah-rumah mengaji. Surau menjadi lembaga pembinaan kaum
muda yang sangat efektif dalam penyebaran Islam sampai ke wilayah pedalaman. Di
samping belajar agama, di surau generasi muda juga mempelajari adat istiadat
Minangkabau, karena lembaga adat tidak mempunyai wahana pengajaran.
Menyatunya tempat pengajaran agama dan adat di surau menyebabkan adat dan
agama di Minangkabau tidak bisa dipisahkan. Islam berkembang di Minangkabau
bukan dengan paksaan, tetapi dengan cara damai. Karena ajaran Hindu-Buddha tidak
begitu kuat di Minangkabau, ajaran Islam dapat diterima dengan lebih mudah di
Minangkabau, sehingga setelah Islam masuk ajaran Hindu-Buddha menjadi hampir tak
berbekas, tidak seperti di Jawa yang masih sangat kuat pengaruhnya hingga hari ini.
Terdapat dua thariqat utama di Minangkabau di awal perkembangannya, yaitu Thariqat
Syattariyah dan Naqsabandiyah.
Thariqat Syattariyah berpusat di Ulakan yang diajarkan oleh Syekh Burhanuddin
yang menerimanya dari Syekh Abdurrauf di Aceh, yang menerimanya pula dari Syekh
Ahmad Qusyasyi di Madinah. Thariqat Naqsabandiyah berpusat di Cangking dengan
pemimpinnya Tuanku Nan Tuo. Kerajaan Pagarruyung berubah coraknya dari Hindu-
Buddha menjadi kerajaan Islam setelah Sultan Alif memeluk agama Islam. Peristiwa ini
kemudian diikuti pula oleh masuk Islamnya rakyat Minangkabau yang sebelumnya
sebagian masih menganut menganut aninisme, dinanisme, atau Hindu-Buddha.
B. Kritik & Saran
Setelah penyusunan makalah ini, penyusun memberi saran kepada pembaca
supaya menambahkan referensi bacaannya mengenai judul makalah ini. Karna
penyusun menyadari, bahwasanya makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Dan
penyusun juga mengharapkan kritikan ataupun masukan, guna menjadikan makalah
selanjutnya lebih baik lagi, terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

23
A.A.Navis, Alam Terkembang Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau.
Jakarta : Grafiti Press, 1986;
Afifah Asriati, Tari Pasambahan Dan Falsafah Minang Dalam Perspektif Alim
Ulama Kota Padang, Jurnal HUMANLIS Vol. XI No.2 Th. 2012;
Ahmad Minhaji, Kontribusi Yosep Scach Terhadap Pembentukan Hukum Islam,
(Yogjakarta: UII Press. 2000);
Amir Sjarifoeddin Tj. A, Minangkabau: dari Dinasti Iskandar Zulkarnain sampai
Tuanku Imam Bonjol, (Jakarta: Gria Media Prima, 2011);
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad ke XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007);
De Joselin De Jong, Minangkabau and Negri Sembilan : Sociopolitical Structure
in Indonesia. Jakarta : Bhratara, 1960;
Hasan Djafar. “Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Melayu Kuno dan Beberapa
Permasalahannya”, Jambi Pemda Tk, 1922;
Ismail, Akulturasi Hukum Kewarisan Islam dengan Hukum Kewarisan Adat
Minangkabau, ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam eISSN: 2549-4198 pISSN: 2549-
3809, Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017;
Istiqamatunnisa dkk, Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]: Relasi Ulama-
Umara di Minangkabau Abad ke-17 dalam Penetapan Awal Ramadan, Jurnal Manassa,
Manuskripta, Vol, 2, No. 1, 2012;
Iswadi Bahardur, Kearifan Lokal Budaya Minangkabau dalam Seni Pertunjukan
Tradisional Randai, Juntera: Jurnal Kajian Sastra;
Mhd. Nur, Kerajaan-Kerajaan Sapiah Balahan, Kuduang Karatan- Kapak Radai-
Timbang Pacahan Kerajaan Pagaruyung Abad Ke-20, Jurnal Analisis Sejarah, Volume
6, No. 1, 2017;
Radjo Pangoeloe, Minangkabau : Sejarah Ringkas dan Adatnya. Padang : Sri Dharma,
1971;
Rusli Amran. Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Snar Harapan, 1981;
Suwardi Muhammad Samin, Kerajaan dan kesultanan Dunia Melayu : Kasus
Sumatra dan Semenanjung Malaysia, Jurnal Criksetra, Volume 4, nomor 7, Februari
2015;
Slamet Muljana, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta : Inti Idayu
Press, 1983;
Witrianto, Agama Islam di Minangkabau, Padang : 2010.

24

Anda mungkin juga menyukai