Anda di halaman 1dari 53

C.

Islam Masuk ke Riau

Sebelum masuknya agama Islam ke daerah Riau, tidak ada seorangpun dari penduduk Riau yang
memegang agama tauhid. Agama penduduk asli adalah anismisme yang percaya ruh nenek moyang
dan para leluhur, kemudian menyusul pada sebagian penduduk mereka yang beragama Budha dan
sekali berkembang menjadi Hindu-Budha. Nah dalam kesempatan ini , agar lebih jelas pembahasan
masuk Islam ke Riau dibatasi kepada beberapa daerah, yaitu: Kuntu-Kampar, Rokan, Kuantan,
Indragiri,dan Taqpung. Menurut Sejarah Riau, Kuntu-Kampar adalah daerah pertama-tama di Riau
Daratan yang berhubungan dengan orang-orang Islam (pedagang). Hal ini dimungkinkan karena sejak
zaman bahari daerah ini telah berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari neger iCina, India,
dan Arab-Persia. Hubungan tersebut didasarkan oleh kepentingan perdagangan, karena daerah lembah
sungai Kampar Kanan/ Kiri merupakan daerah penghasil lada terpenting di dunia dalam periode 500-140
M. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau daerah Kuntu-Kampar yang mula-mula dimasuki agama
Islam.

Berdasarkan perjalanan para penyiar agama Islam yang dating sebagai pedagangitu, maka besar
kemungkinan pada abad pertama hiriah atau abad ke-7 M agama Islam itu mungkin telah sampai di
Riau, sebagaimana juga disimpulkan oleh seminar masuknya islam ke nusantara di Aceh tahun 1980.
Meskipun Islam telah masuk pada abad ke 7 atau 8 Masehi di Riau, namun penganut agama ini masih
terbatas di lingkungan para pedagang dan penduduk kota di pesisir pantai tersebut. Hal ini disebabkan
karena kuatnya pengaruh agama Budha yang merupakan agama Negara dalam kerajaan Sriwijaya waktu
itu.

Dari Kuntu, Islam diperkirakan menyebar ke Rokan dalam tahun738/ 1349. saat mereka dating ke
daerah ini, Rokan sudah memiliki kehidupan bermasyarakat yang teratur, dipimpin oleh seorang raja
yang berkedudukan sebagai primus interperes bernama Raja Said. Masuknya pelarian-pelarian Muslim
dari Kuntu berhasil membawa pengikut-pengikut Raja Said memeluk Islam, danbahkan Raja Said sendiri
akhirnya menjadi penganut islam yang baik. Di sampaing di atas, terdapat pula pendapat-pendapat
lainnya, ada yang menyatakan Islam di Rokan berasal dari Lima Koto (Bangkinang,Kuok, Salo, Rumbio
dan Air Tiris) yang terletak di tepi Sungai Kampar Kanan.

Adapula yang berpendapat bahwa islam yang masuk ke Rokan datang dari Aceh (Kerajaan Samudera
Pasai) pada abad ke 14. Kerajaan Pasei inilah yang kemudian mensponsori berdirinya Kerajaan Rokan
bernama Kerajaan Kuntodar al-Salam yang dalam perkembangannya sejajar dengan Kerajaan Aceh
Daral-Salam. Akan tetapi, dalam abad ke 14 itu juga, Kunto Dar al-Salam diserangmajapahit. Baru pada
abad ke 16, terutama melalui tokoh syekh Burhanuddin bukanhanya diintensifkan kembali. Syekh
Burhanuddin bukan hanya sebagai mubalig,tetapi juga bertindak sebagai guru.

Dari Kuntu-Kampar dan Kunto Dar al-Salam, Islam menyebar keKuantan dan Indra giri. Di antara ulama
yang berjasa menyebarkan islam kedaerah ini adalah syekh Burhanudin al-Kamil (Wafat 610/1214).
Islamisasi yangdilakukan Syekh ini sampai ke Kuantan, terus ke hilirnya Muara SungaiIndragiri, seperti
Sapat dan Prigiraja. Sumber lain menyebutkan masuknya Islam ke Inderagiri melalui pantai barat
sumatera, dibawa oleh seorang ulama bernama Sayed Ali al-Idrus. Jalur-Jalur yang dilaluinya adalah: dari
hadramaut singgah di Samudra Pasei, dan sampai dipantai barat Sumatera, tepatnya kota Air Bangis.Di
daerah ini ia tinggal berapa lama dalam tugas mengembangkan agama Islam. Kemudian menuju timur
dan sampai ke Kerajaan Siak, terus ke Pelalawan.

D. Teori Tentang Tempat Asal Datangnya Islam ke Riau

1. Teori dari India

Ditemukan oleh Snouck Hurgronje : "…Seolah sebagian bangsa India memeluk Islam, maka orang-orang
Islam dari India turut mengambil lalulintas dan emigrasi di Nusantara, dan mereka itulah yang
memasukkan Islam ke wilayah Nusantara." Kemudian pendapat ini jadi popular dan sebagian orientalis
menyetujuinya antaranya, R.O. Winstedt, B. Harrison dll.

Alasan dalam kukuhkan teori ini:

a. Batu-batu nisan awal yang dijumpai di alam melayu telah diimport dari Kambay (Kembayat)
Gujerat.

b. Peranan penting yang dimainkan oleh pedagang-pedagang Gujerat di Kepulauan Melayu dan
Kesannya terhadap penyebaran Islam.

c. Tradisi Kesusasteraan Melayu lebih mirip tradisi India Islam.

d. Catatan Marco Polo dan Ibn Batutah yang pernah melawat Alam Melayu sekitar abad ke-13 dan 14
M.

e. Ditemukannya makam Sultan malik al-Salleh, pemerintah Pasai yang disebut dalam Sejarah
Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai sebagai Pemerintah I di Kepulauan Melayu.

f. Kekukuhan teori Islam hanya tersebar sekitar abad 13 M.


Kelemahan Teori:

Kajian mutakhir – perhubungan diantara Alam Melayu dan Tanah Arab sebelum lahirnya Islam lagi. Tidak
tepat jika dikatakan batu nisan yang dijumpai menyerupai India, jadi Islam dari India.

Bukan hanya pedagang India saja yang berdagang di Alam Melayu tetapi juga dari tempat lain seperti
China. Pedagang arab yang pergi ke Canton juga singgah ke Alam Melayu sekurang-kurangnya untuk
mendapatkan bekal atau menunggu angin yang sesuai untuk meneruskan pelayaran meraka dan masa
inilah yang mereka gunakan untuk berdagang. Tradisi kesusasteraan mulai berkembang jauh setelah
Islam lama menginjak dan berkembang luas di India.

2. Teori dari China

a. Prof.S.Q. Fatimi – perpindahan besar-besaran orang Islam dari Canton 876 (atau 878) akibat
pemberontakan yang terjadi dan menjatuhkan korban hingga 100,000 – 150,000 orang Islam membuat
mereka pergi menuju Alam Melayu yang diantaranya menurut S. Naquib ke Kedah dan Palembang.
Selain itu, ke Champa, Brunei, pantai timur T.Melayu (Patani, Kelantan, T'ganu dan Pahang) dan Jawa
Timur.

b. Bukti dari batu nisan Syekh Abdul Qadir di Langgar, Kedah, batu bertuliskan Phan-rang di Kamboja,
batu nisan Pahang dan batu bertuliskan Terenggganu 1303M. Pengaruh China ini dibuktikan dalam
bentuk Mesjid di Malaka dan Jawa seperti Pagoda.

c. Bukti yang dikemukakan cukup meyakinkan tetapi tidak bermakna Islam hanya pada masa itu baru
diperkenalkan di Alam Melayukarena telah ada penempatan Islam di awal Tarikh tersebut terutama di
utara Sumatera.

3. Teori dari Tanah Arab

Teori ini mendapat banyak dukungan pada masa sekarang.

Bukti:

a. Hamka: ada bukti orang Arab telah berlayar ke Indonesia sebelum kelahiran Nabi

Muhammad untuk membeli rempah ratus dan kapur barus yang hanya terdapat di Sumatera.
Peta/lokasi Alam Melayu telah lama berada di minda orang Arab.
b. 7M – Islam telah sampai ke Sumatera ketika Muawiyah bin Abi Sofyan mengirim utusan ke Rja
Sriwijaya. Begitu pula Umar bin Abd Azis telah menggiatkan dakwah dan perniagaan di Alam Melayu.

c. Pemerintahan Khalifah Sulaiman bi Malik – mengirim 35 buah armada ke muara Sabak di Jambi.
Armada inilah yang di sebut-sebut berangkat dari Ceylon ke Palembang 717M sebelum ke China.

d. Pedagang Arab telah berdagang di Alam Melayu sebelum Islam masuk. Karena mereka telah
memeluk agama Islam, maka mulailah Islam masuk di Alam Melayu. Sebagian besar pedagang dari
Yama, Hadramaut dan Oman.pengislama Yaman atas usaha Ali bin Abi Thalib mempunyai implikasi
terhadap pengislaman Alam Melayu karena merekalah yang menyebarkan Islam ketika singgah di Alam
Melayu

e. Bukti catatan sejarah pengislaman raja-raja di Alam Melayu dilakukan oleh pendakwah dari Timur
Tengah. Contohnya Maharaja Drebar II yang memerintah Kedah pada 1136M telah memeluk Islam dari
S. Abdullah bin S. Ahmad dari Yaman dengan memakai nama beru Sultan Muzafar Shah. Parameswara
juga masuk Islam dari Syekh Abdul Azis dari Jeddah dan berganti nama menjadi Sultan Muhammad Syah.

f. Islam telah sampai sejak pertama Hijrah ( abad ke-7M ) wujud perkampungan islam di utara
Sumatera yang dikenal sebagai Ta-Shih.

g. Pengaruh Arab dalam bahasa Melayu separti Kitab, Surat, Kertas, dll. Begitu juga dengan nama
orang Melayu yang berunsurkan kearaban.

h. Terdapat di Alam Melayu keturunan Arab separti Syed dan Syarifah.

d. Dari ketiga teori diatas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya Islam telah datang ke Tanah Melayu
sejak abad ke-7M. Akan tetapi baru berkembang pesat sejak abad 11-15M yakni sejak berdirinya
Kerajaan Islam di tanah Melayu yang memiliki peranan penting dalam penyebaran Islam ke seluruh
pelosok Alam Melayu.[5]

B. Kerajaan Melayu Riau

Kerajaan Siak

kerajaan siak

sman1tualang.sch.id

Kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Siak Sri Inderapura, kerajaan ini merupakan sebuah Kerajaan
Melayu yang pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia.
Siak Sri Inderapura merupakan kerajaan Islam, yang didirikan oleh Raja Kecik dari Pagaruyung di
Buantan. Raja Kecik memiliki gelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat
dalam perebutan tahta Johor.

Dalam perkembangannya, di tengah tekanan Imperialisme Eropa, Kesultanan Siak muncul menjadi
sebuah kekuatan yang diperhitungkan di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaya.

Jangkauan pengaruh kerajaan ini cukup jauh,yakni hingga ke Sambas di Kalimantan Barat. Kerajaan ini
juga sekaligus mengendalikan jalur pelayaran anatara Sumatera dan Kalimantan.

Kerajaan Melayu Siak berkembang dan tumbuh dari zaman berdirinya Kerajaan Gasib yang menganut
agama Hindu / Budha.

Kerajaan Gasib merupakan perpecahan Kerajaan Sriwijaya yang pernah berpusat di Muara Takus pada
abad ke XI-XII. Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang berkembang dengan pesat dan gemilang pada
zamannya.

Kerajaan Sriwijaya yang pernah berpusat di Muara Takus, runtuh pada abad awal abad XIII, sehingga
timbul kerajaan-kerajaan kecil yang masih menganut agama Hindu / Budha seperti diLubuk Jambi,
Keritang, Kandis, Bintan dan Tumasik.

Raja Kecik sebagai pendiri kerajaan siak telah meletakkan Islam sebagai agama resmi dikerajaan siak.
Islam diresmikan semasa beliau dinobatkan sebagai Sultan siak pertama yang bergelar Sultan Abdul Jalil
Rakhmad Syah.

Kerajaan siak adalah keturunan Kerajaan Melaka yang tidak terlepas dari kebudayaan dan keseniannya
yang berasal dari Kerajaan Melayu Melaka. Namum terdapat pengaruh unsur-unsur adat dan budaya
serta kesenian dari suku-suku yang telah lama mendiami negeri Siak.
Selain itu ada juga pengaruh dari budaya dan kesenian dari Cina, Thailand, Arab, Persi, India serta suku-
suku pendatang dari Nusantara Indonesia.

Hal tersebut menyebabkan terjadinya akulturasi kebudayaan asli Siak dengan mereka sehingga
terbentuk kebudayaan di kerajaan siak.

Peninggalan Kerajaan Siak

masjid-raya-pekanbaru kerajaan islam di riau

pekanbaru.tribunnews.com

Masjid Raya Pekanbaru merupakan mesjid tertua di Pekanbaru yang dibangun pada abad ke 18 tepatnya
1762. Mesjid yang terletak di Jalan Senapelan, Kp. Bandar, Kec. Senapelan, Kota Pekanbaru, Provinsi
Riau ini memiliki arsitektur tradisional.

Di masa Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah sebagai Sultan Siak ke-4, mesjid ini merupakan bukti Kerajaan
Siak pernah bertahta di Pekanbaru. Lalu tahta itu diteruskan pada masa Sultan Muhammad Ali Abdul
Jalil Muazzam Syah sebagai Sultan Siak ke-5.

Sejarah berdirinya Mesjid ini dikisahkan ketika di masa kekuasaan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah
memindahkan dan menjadikan Pekanbaru sebagai Pusat Kerajaan Siak.

Pemindahan pusat kerajaan yang diikuti dengan pembangunan Istana Raja, Balai Kerapatan Adat, dan
Mesjid adalah adat dari Raja Melayu saat itu.

Ketiga unsur tersebut wajib dibangun sebagai representasi dari unsur pemerintahan, adat, dan ulama
yang biasa disebut “Tali Berpilin Tiga”.

Kerajaan Indragiri

Kerajaan Indragiri kerajaan islam di riau

dictio.id
Kerajaan Indragiri yang berada di bawah kemaharajaan Melayu sebelum tahun 1641 berhubungan erat
dengan Portugis. Tetapi setelah Malaka diduduki oleh VOC, kerajaan Indragiri mulai berhubungan
dengan VOC yang mendirikan kantor dagangnya di Inderagiri berdasarkan perjanjian 28 Oktober 1664.

Pada masa pemerintahan Sultan Indragiri XVII, undang-undang Inderagiri disusun. Sultan Indragiri I
adalah Sultan Abdul Jalil Syah.

Pada tahun 1765 Sultan Hasan Salahuddin Kramat Syah memindahkan ibukotanya ke Japura. Tetapi
tanggal 5 Januari 1815 dipindahkan lagi ke Rengat oleh Sultan Ibrahim atau Raja Indragiri XVII.

Sultan Ibrahim inilah yang ikut serta berperang dengan Raja Haji di Teluk Ketapang tahun 1784.
Kekuasaan politik Inderagiri berhasil dihilangkan berdasarkan perjanjian Tractat van Vrede en
Vriendschap pada tanggal 27 September 1838.

Perjanjian tersebut menandakan bahwa kekuatan politik Indragiri telah dikuasai oleh Hindia-Belanda.
Berarti jalannya pemerintahan kerajaan Inderagiri ditentukan oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Peninggalan Kerajaan Indragiri

rengat

veniwidyasti.blogspot.com

Rengat adalah salah satu rumah peninggalan Kerajaan Indragiri. Rmah tersebut adalah “Rumah Tinggi”
yang berada di kelurahan Kampung Besar Kota, Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu.

Rumah Tinggi dibangun oleh Raja Haji Muhammad yang bergelar Tengku Togok pada tahun 1885 M, dan
hingga saat ini masih terwarisi dan berdiri megah.
Tapi sangat disayangkan saat ini kondisinya sangat memprihatinkan dan butuh perhatian dari berbagai
pihak.

Kerajaan Kampar

Kerajaan Kampar kerajaan islam di riau

dictio.id

Kerajaan Kampar sejak abad ke-15 berada di bawah Kerajaan Malaka. Namun sejak masa pemerintahan
Sultan Abdullah di Kampar, kerajaan Kampar tidak mau menghadap Sultan Mahmud Syah I sebagai
pemegang kekuasaan Kemaharajaan Melayu.

Akibatnya dari masalah itu,Sultan Mahmud Syah I mengirimkan pasukannya ke Kampar. Tapi Abdullah
minta bantuan berhasil mempertahankan Kampar karena meminta bantuan dari Portugis.

Ketika Sultan Abdullah dibawa ke Malaka oleh Portugis, Kampar ada di bawah pembesar-pembesar
kerajaan.

Ada Mangkubumi Tun Perkasa yang mengirimkan utusan ke Kemaharajaan melayu di bawah pimpinan
Sultan Abdul Jalil Syah I yang memohon agar di Kampar ditempatkan raja.

Hasil permohonan tersebut dikirimlah seorang pembesar dari Kemaharajaan melayu, yaitu Raja
Abdurrahman yang bergelar Maharaja Dinda I dan berkedudukan di Pekantua.

Hubungan antara Kerajaan Kampar di bawah pemerintahan Maharaja Lela Utama dengan Kerajaan Siak
dan Kuantan adalah perdagangan.

Akan tetapi, pada masa pemerintahan penggantinya, Maharaja Dinda II memindahkan ibu kota kerajaan
Kampar tahun 1725 ke Pelalawan.
Kemudian kerajaan tersebut tunduk kepada Kerajaan Siak pada tanggal 4 Februari 1879. Dengan
terjadinya perjanjian pengakuannya, Kampar berada di bawah pemerintah Hindia-Belanda.

Peninggalan Kerajaan Kampar

mesjid kubro peninggalan kerajaan islam di riau

situsbudaya.id

Banyak bukti peninggalan sejarah yang menggambarkan kebesaran Kerajaan Kampar. Salah satunya
adalah Masjid Kubro yang terdapat di Desa Koto Perambahan, Kecamatan Kampar Timur ini.

Mesjid ini dibangun pada masa Sultan Mahmud raja dari Malaka. Dimana sekitar abad ke 15, Kerajaan
malaka diserang oleh Portugis.

Raja Malaka beserta pengikutnya melarikan diri, hinggaa khirnya ia menetap dan tinggal di kampar serta
membentuk Kerajaan baru yang disebut Kerajaan Kampar.

Meski mesjid ini telah direnovasi berulang-ulang kali, namun wujud asli dari mesjid tersebut tetap
dipertahankan.

Menurut penuturan Datuk Somok, bukti lain kerajaan Kampar kala itu adalah peninggalan berupa keris,
tombak, meriam, lelo, pedang, peti dll. Namun benda- benda itu ikut raib ketika istana itu di robohkan
pada tahun 70an.

Begitupun dengan catatan–catatan manuskrip juga tidak ditemukan lagi. Satu-satunya yang tersisa dan
disimpan dengan baik yaitu cap/stempel sultan yang dipegang turun–temurun oleh pemangku dan
disimpan di rumah siampu atau rumah suku.

Ada 13 sultan yang pernah memimpin. MakamSultan terakhir terdapat di Desa Koto Perambahan, dan
sampai kini makam tersebut masih terawatt.
Kerajaan Tanjung Negeri

kerajaan tanjung negeri

travellboy.wordpress.com

Pada masa pemerintahan Maharaja Lela Utama, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Sungai Nilo. Kerajaan
ini dinamakan Kerajaan Tanjung Negeri. Maharaja Lela Utama digantikan oleh putranya, Maharaja
Wangsa Jaya setelah mangkat dari tahun 1686-1691 M.

Pada masa pemerintahan Maharaja Wangsa Jaya, banyak wilayah Tanjung Negeri yang diserang wabah
penyakit, sehingga membawa banyak korban jiwa rakyatnya.

Meskipun sudah banyak rakyat yang menderita, para pembesar kerajaan belum mau memindahkan
pusat kerajaan dari Tanjung Negeri. Pada masa ini, belum ada kesepakatan dari para pembesar kerajaan
untuk memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri.

Meski demikian, perdagangan dengan Kuantan dan negeri-negeri lain terus berjalan, terutama melalui
Sungai Nilo.

Peninggalan Kerajaan Tanjung Negeri

Peninggalan Tanjung Negeri sampai saat ini belum bisa teridentifikasi, karena kerajaan ini bukanlah
kereajaan yang cukup besar.

Itulah ulasan tentang Kerajaan Islam di Riau yang harus Sahabat Biru ketahui sebagai penduduk
Nusantara. semoga pembahasaan ini bermanfaat. Terimakasih

B. Adat Riau

Berkhatam Al-Qur’an

August 20, 2019 admin


Kabupaten Lingga yang dikenal senbagai Bunda Tanah Melayu pernah menjadi Pusat Kerajaan Melayu
yang tidak saja membina dan berkembang di bidang adat dan budaya Melayu pada saat itu juga
pembinaan Agama Islam. Adat dan tradisi yang berkembang juga tidak terlepas dari pengaruh Agama
Islam. Salah satu tradisi yang mengarah pada Agama Islam dan tetap kekal dilakukan masyarakat
Kabupaten Lingga pada saat ini yaitu Khatam Al-Quran yang pelaksanaannya dilakukan setelah yang
bersangkutan menamatkan/menyelesaikan pelajaran mengaji atau membaca kitab suci umat islam
yaitu Al – Quran Nur Karim.

Berkhatam Al – Quran biasanya dilaksanakan secara khusus dan ada pula disejalankan dengan acara lain
seperti upacara sunatan, acara pernikahan. Pakaian yang dipakai disaat berkhatam adalah : bagi laki –
laki memakai jubbah, surban dan pakaian Melayu sedangkan perempuan memakai baju kurung Melayu
labuh dan bertutup kepala. Jemputan yang menghadiri acara tersebut memakai baju kurung Melayu.

Beberapa perlengkapan inti yang di perlukan pada acara Berkhatam Al – Quran :

Seperangkat nasi sekone/nasi besar, berbunga besar diletakkan dibagian tengah atas nasi pulut kuning
dan dikelilingi dengan bunga telur (tajuk) yang bermakna kemegahan.

Dua atau beberapa orang saksi, bermakna kesaksian.

Al-Quran dan Rehal, bermakna pedoman berkehidupan, iman dan takwa.

Dikiri kanan yang berkhatam diletakkan kaki dian (wadah tempat meletakkan lilin) yang telah
dinyalakan, bermakna penerangan hati, jiwa dan raga.

Perlengkapan pendukung :

Cerek, payung, sejadah, telekong (mukena), kain dan lain-lain yang diletakkn diatas paha, sesuai dengan
kemampuan sebagai ucapan terima kasih pada guru ngaji.

Tempat pelaksanaan berkhatam Al-Quran umumnya dilaksanakan didepan antara pelaminan dan
peterakne di rumah mempelai perempuan. Selesai berkhatam dilanjutkan dengan kegiatan berarak ke
rumah guru ngaji, dengan cara diusung, dijulang ataupun berjalan kaki bersamaan diiringi pula dengan
bebunyian gendang pengantin, kompang,rodat ataupun rebana. Seandainya yang berkhatam ingin
mengelilingi masjid (surau) maka dikelilinglah sebanyak 3x, disesuaikan dengan hajatnya. Kemudian
diteruskan kerumah guru ngaji untuk menyerahkan nasi sekone (nasi besar) serta alat-alat pendukung,
akan tetapi tidak tertutup kemungkinan guru ngaji minta dibacakan beberapa ayat dirumahnya. Guru
ngaji dijemput/dibawa kerumah mempelai perempuan dimana dilaksanakan berkhatam Al-Quran hingga
selesai.

Perlengakapan pendukung tersebut diserahkan kepagda guru ngaji dengan maksud ucapan terima kasih
kepada guru ngaji yang telah mengajar mengaji hingga selesai. Tujuan diberika perlengkapan seperti
sejadah, cerek, payung, telekong (mukena) ialah dapat digunakan sebagai kegiatan ibadah untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan.

Tahapan pelaksanaan Khatam Al-Quran sebagai berikut :

Khataman Al-Quran dilaksanakan setelah berzanji

Setelah selesai berzanji anak yang berkhatam didudukkan didepan antara pelaminan dan peterakne
yang disaksikan oleh beberapa orang saksi

Dilanjutkan membaca ayat-ayat pendek sampai selesai

Do’a bersama

Memberikan berekat kepada saksi sebagai ucapan terima kasihSaksi dan para jemputan menyantap
hidangan

Bagi yang berkhatam berarak (rombongan yang membawa orang yang berkhatam) menuju kerumah
guru ngaji.

Pelaksanaan berkhatam Al-Quran dilaksanakan pada rangkaian upacara perkawinan bertujuan :


menunjukkan bahwa bagi yang berkhatam baik perempuan maupun laki-laki, sangat merupakan salah
satu persyaratan pengetahuan keagamaan ataupun menunjukkan bahwa yang berkhatam Al-Quran
telah menamatkan ajaran agama Islam dan berarti pula orang tuanya sudah berusaha memberikan
pengetahuan agama kepada anaknya

*PROSESI TABUR BERAS KUNYIT

March 22, 2019 admin

Beras Kunyit beras biasa yang diaduk dengan kunyit yangt sudah dihaluskan sehingga menjadi kuning.
Beras basuh beras biasa yang direndam dengan air biasa hanya beberapa waktu saja. Melambangkan
kemakmuran, kesejahteraan dan kebersihan hati.Bereteh yaitu padi yang digonseng dengan tidak
menggunakan minyak, hingga mengembang . Melambangkan kemajuan dan kesuburan (berkembang
biak)Air tepung tawar yaitu tepung beras yang diberi air biasa. Melambangkan kesucian dan kemurahan
rezeki dan pergaulan, pertemuan yang menambah menyatu dengan kebaikannya.Perenjisnya berupa
daun setawa, daun sedingin, daun ati-ati, daun ribu-ribu dan daun sepulih di dalam satu ikat berjumlah
5-7 helai. Daun setawa melambangkan persaudaraan dan kekeluargaan. Daun sedingin melambangkan
kelegaan adat dan keserasian. Daun sepulih melambangkan keteguhan usahadan penderian. Daun ari-
ari melambangkan kewaspadaan. Daun ribu-ribu (akarnya) melambangkan kesuburan dan bersatu padu
di dalam kehidupan. Daun Ganda rusa melambangkan kerukunan. Daun juang-juang melambangkan
pangkal penolak bala (pemagar diri) Makna dari perenjis bersatu padu atau kekeluargaan yang selalu
disirami rasa kesejukan di dalam menempuh hidup berumah tanggaatau keberkahan hidup berumah
tangga. Telur ayam melambangkan keturunan dan berkembangbiakAir mawar (pecong) yang pertama
kali dilakukan merenjis di dada penganten sebanyak 3x renjis. Beras kunyit, beras basuh dan bereteh
yang dihamburkan di bagian bahu kanan dan kiri maksudnyaucapan selamat dan gembira

*TRADISI MALAM TUJUH LIKUR DAN PINTU GERBANG

February 20, 2019 admin

Tradisi Malam Tujuh Likur di daik, malam ke 10 terakhirbulan puasa atau Ramadhan ditandai dengan
tradisi likur. Sebuah kebiasaan masyarakat yang telah berlangsung sangat lama dan terus lestari sampai
kini.

Tradisi Tujuh Likur adalah tradisi memasang lampu pelita (lampu dengan bahan bakar minyak) di
perkarangan rumah dan menghias jalan-jalan.

Dimulai pada malam ke 21 masyarakat di daik menandai dengan satu buah lampu pelita.Warga
menyebutnya malam selikur atau satu likur. Hal ini terus berlanjut hingga malam penghujung bulan
Ramadhan. Menambah lampu pelita sesuai bilangannya.

Yang paling istimewa ketika masuk malam ke 7, Malam ganjil.satu dari malam-malam ganjil yang paling
istimewa di bulan suci Ramadhan. Tidak hanya diperkarangan rumah, ribuan lampu-lampu pelita bakal
menghiasi bahu jalan. Ditambah karya-karya pintu gerbang dengan motif dan corak islami. Gubah-gubah
masjid, bulan-bintang, kaligrafi berpadu-padan. Nampak megah di jalan-jalan.pembuatan pintu gerbang
biasanya dilakukan oleh para pemuda daerah atau kampung setempat mereka membuatnya secara
bergotong royong secara suka rela, mulai dari pengambilan bahan-bahan material berupa kayu, papan,
bahan buat pelita, dan lain-lain dalam jumlah yang banyak tergantung besar kecilnya pintu gerbang yang
akan dibuat untuk perayaan malam 7 likur.

Setelah pembuatan pintu gerbang selesai pada satu hari sebelum malam tujuh likur akan di adakan doa
selamat dan berbuka bersama-sama oleh pemuda dan masyarakat di sekitar pintu gerbang menikmati
hidangan kue mue, juadah tradisi melayu dan dilanjutkan dengan pemasangan lampu pelita secara
bersama-sama

*BERDAH

January 22, 2019 admin

Berdah merupakan salah satu kesenian tradisional masyarakat Melayu yang bernuansa Islam di
Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau. Kata Berdah berasal dari kata “burdah ”. Penjelasan secara
umum terdapat di dalam Ensiklopedi Islam.Istilah burdah adalah suatu benda (kain) yang digunakan
sebagai jubah nabi Muhammad SAW yang terbuat dari bulu domba. Kata burdah juga ditafsirkan sebagai
‘syair puji-pujian’ terhadap Nabi Muhammad SAW yang dibuat oleh Al-Bushiri (610-695 Hijriah atau
tahun 1213-1296 M). Saat itu Al-Bushiri sedang sakit lumpuh dan ia bermimpi bertemu dengan Nabi
Muhammad SAW, lalu beliau (Muhammad SAW) melepaskan jubahnya dan mengenakan kepadanya.
Ketika ia bangun dari mimpi, seketika itu juga penyakit Al-Bushiri sembuh. Untuk itu sebagai ungkapan
syukur, maka Al-Bushiri membuat syair puji-pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW di
dalam sebuah kitab yang dinamakan ‘Al-Barzanji.’ Kemudian syair yang ditulis oleh Al-Bushiri ini
mendapat penghargaan besar dikalangan umat Islam. Bacaan syair ini juga menjadi bacaan di dalam
setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW (2002:64-65).

Musik berdah terdiri dari unsur-unsur melodi vokal (nyanyian) dan ritme alat musik bebane. Melodi
vokal dibawakan secara koor (chorus) oleh sejumlah musisi dengan tekstur homophony melalui
beberapa teknik, sedangkan pola-pola ritme pengiring melodi vokal juga dibawakan oleh para musisi
dengan menggunakan beberapa teknik. Dalam permainannya para musisi adakalanya membentuk
formasi melingkar dan biasanya disesuaikan dengan tempat yang telah disediakan oleh pihak
penyelenggara pertunjukan. Posisi melingkar bertujuan agar para musisi bisa saling berhadap-hadapan
dalam posisi duduk bersila agar terjalin komunikasi antar musisi untuk bisa saling mengontrol permainan
satu sama lain.

Berdah digunakan dalam konteks berbagai kegiatan masyarakat baik kegiatan yang dominan adat
perkawinan (berinai, ijab qabul, merewang), dan peringatan hari-hari besar Islam baik di desa tempat
domisili kelompok berdah maupun di desa atau kota di luar desanya. Tradisi pertunjukan musik berdah
belum “dirasakan” mengalami pergeseran secara signifikan dari dulu hingga kini, tetapi sangat jelas
peristiwa penyajiannya yang bertambah diantaranya penyajian dalam konteks kegiatan pemerintah
daerah seperti penyambutan tamu penting, resepsi dari rangkaian acara penyambutan tamu dan acara-
acara program tertentu bagi pemerintah. Kesenian berdah merupakan kesenian yang berasal dari Arab.
Pada awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang Arab bersamaan dengan aktivitas perdagangannya ke
Asia Tenggara yaitu daerah Terengganu di semenanjung Malaysia. Daerah Terengganu merupakan
daerah yang cukup ramai disinggahi oleh pedagang-pedagang Arab yang kemudian terjadilah proses
akulturasi budaya yang memberikan kontribusi positif kepada masyarakat setempat. Kedatangan berdah
ke Terengganu bersamaan dengan upaya para pedagang tersebut menyebarkan ajaran Islam kepada
masyarakat seperti yang dilakukannya juga di pusat-pusat perdagangan lain di tempat-tempat mereka
berlabuh (berdagang).

*Ratib Saman

May 17, 2018 admin

Ratib merupakan sejenis Zikir, Puji-pujian Kepada Allah SWT, yang diucapkan berulang ulang.
Mengucapkan kalimah La Illahaillallah, biasa dilakukan setelah sholat fardhu baik dengan jahar atau
dengan sir.

Ratib Saman, sejenis Ratib yang merupakan amalan tarikat Saman ( ajaran Abd. Karim al-Saman ). Cara
membawakannya sama dengan ratib tetapi dilakukan dengan duduk bersama secara berjamaah. Ratib
Saman dipimpin oleh seorang imam, kotik atau bilal.

Di Daik Lingga ada beberapa desa yang sampai saat ini masih mempertahankan Ratib Saman sebagai
ritual Semah kampong yaitu Desa Resun dan Desa kelumu.

Sebelum pelaksanaan ratif Saman, berbagai perlengkapan tasbih, cendana dan gaharu, korek api dan
sebuah lilin, dan air putih dipersiapkan terlebih dahulu. Biasanya dilakukan pada malam jum’at. Para
peserta yang berusia diatas 30 tahun akan duduk dan membentuk sebuah lingkaran ( mulai dari kanan
dan kiri pimpinan upacara.

Ketika semuanya sudah duduk dengan sempurna ( menyerupai posisi duduk dalam “ tahyul akhir” yang
dilakukan dalam sholat ), pimpinan upacara menjelaskan bahwa apa yang dilakukan bukan untuk
memuja Syeh Saman, melainkan kepada Allah SWT agar meridhoi ratif dan menurunkan malaikat
beserta jin putih ( Jin Muslim ) untuk memerangi dan mengusir Setan dari Desa Resun, dan sama yang
dilakukan di Desa Resun ).

Kemudian pimpinan upacara member penjelasan tentang aturan mengucapkan zikir “ Laillaha illallah”.
Karena pengucapannya harus mengikuti aturan tertentu. Sebelum mengucapakan kata “Laillah” nafas
harus ditarik dalam-dalam, selanjutnya kata “hail” diucapkan sambil kepala diputar ke bahu bagian kiri,
diteruskan pengucapan “Lah” ( kepala diputar ke bahu kanan ), sampai akhirnya pengucapan “Lah” yang
disertai dengan tundukan kepala ke rusuk kanan.

Pengucapan kalimat “Laillahaillallah” sambil melakukan gerakan-gerakan tersebut, dimaksudkan agar


peserta senantiasa mengingat Allah, hidung yang menarik udara, menurut keyakinan mereka,
merupakan sumber masuknya penyakit dan masuknya Jin jahat yang mengganggu tubuh manusia.
Dengan ditariknya udara dan dihembuskan kembali sembari mengucapkan “Lailahaillallah” diharapkan
segala penyakit akan ikut terbuang.

Beberapa Pantangan yang tidak boleh dilanggar selama ritual adalah :

Tidak boleh membawa mayat masuk ke dalam desa karena Jin hitam akan kembali masuk ke Desa
dengan menempel pada tubuh mayat.

Tidak boleh memikul sampan melintasi jalan desa karena akan digunakan Jin hitam sebagai kendaraan
untuk kembali masuk desa

Tidak boleh menjemur pakaian didepan pagar rumah bagian depan karena pakaian tersebut
dikhawatirkan masih belum bebas dari najis sehingga dapat mengundang datangnya jin hitam.

Do’a yang selalu diucapakan dalam ritual Ratif Saman diantaranya adalah :

Shalawat yang dilakukan selama kurang lebih 5 menit. Shalawat ini merupakan pengantar untuk
membaca dan me-ratif-kan kalimat-kalimat suci Al-Qur’an yang terdapat pelaksanaan Ratif Saman.

Pembacaan surat Al Fatihah sejumlah 10 kali

Pembacaan surat Al Ikhlas sejumlah 10 kali

Pembacaan Ayat Qursi


Pembacaan surat At Tobat sejumlah 10 kali

Pembacaan Do’a nabi yunus

Pembacaan Kalimat “Astaghfirullah Al Azim. Allazi Laillaha illah Hua alhayyul Qalyum Waatubu ilaik”
sebanyak 100 kali

Pembacaan Shalawat Nikmat ( Nikmat Rasul )

Pembacaan Surat Jumat

Pembacaan kalimat “Lailaha illallah” sebanyak 300 kali ( pada saat kalimat tersebut dibacakan sebanyak
220 kali, muazin berdiri azan.

Pada saat azan, pemimpin upacara ikut berdiri dan membaca surat “alamnasroh” sebanyak 7 kali

Pembacaan “Lakalhamdu ya Qudus La ilaha illa Allah sebanyak 50 kali

Zikir “Antal Hadi Antallah, Laisal Hadi ilahu, sebanyak 50 kali

Zikir “Ya Hayyun. Ya Kayyum, Ya Allah sebanyak 50 kali

Zikir “Ya latif, Ya habir, Ya allah sebanyak 50 kali

Zikir “Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Allah sebanyak 50 kali

Zikir “Allah Hayyi” sejumlah 50 Kali

Zikir “ Hayyi” sebanyak 50 Kali

Zikir “Allah, Allah, Allah Hu sebanyak 50 Kali

Zikir “Hu” sebanyak 50 Kali

Pembacaan “Allah Allah Allah Saiunillah Salatullah Salamullah…..

Selanjutnya pemimpin Upacara membacakan Surat Jumat, beberapa shalawat dan surat

Ratib Saman di Daik Lingga ini ada dua jenis yaitu Di Desa Resun dan Desa Kelumu yang pelaksanaanya
dilakukan oleh cara tersendiri oleh masing-masing desa. Namun tidak jauh berbeda dalam zikir dan
bacaannya.

#sejarah Islam di Aceh


Islam di Aceh merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Aceh. Banyak ahli sejarah baik
dalam maupun luar negeri yang berpendapat bahwa agama Islam pertama sekali masuk ke Indonesia
melalui Aceh.

Keterangan Marco Polo yang singgah di Perlak pada tahun 1292 menyatakan bahwa negeri itu sudah
menganut agama Islam. Begitu juga Samudera-Pasai, berdasarkan makam yang diketemukan di bekas
kerajaan tersebut dan berita sumber-sumber yang ada seperti yang sudah kita uraikan bahwa kerajaan
ini sudah menjadi kerajaan Islam sekitar 1270.

Tentang sejarah perkembangan Islam di daerah Aceh pada zaman-zaman permulaan itu petunjuk yang
ada selain yang telah kita sebutkan pada bagian-bagian yang lalu ada pada

naskah-naskah yang berasal dari dalam negeri sendiri seperti Kitab Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja
Pasai. Menurut kedua kitab tersebut, seorang mubaligh yang bernama Syekh Ismail telah datang dari
Mekkah sengaja menuju Samudera untuk mengislamkan penduduk di sana. Sesudah menyebarkan
agama Islam seperlunya, Svekh Ismail pun pulang kembali ke Mekkah. Perlu uga disebutkan di sini
bahwa dalam kedua kitab ini disebutkan pula negeri-negeri lain di Aceh yang turut diislamkan, antara
lain: Perlak, Lamuri, Barus dan lain-lain.

Berdasarkan keterangan kedua sumber itu dapatlah diperkirakan bahwa sebagian tempat-tempat di
Aceh, terutama tempat-tempat di tepi pantai telah memeluk agama Islam. Islam yang masuk ke Aceh
khususnya dan Indonesia umumnya pada mulanya mengikuti jalan-jalan dan kota-kota dagang di pantai,
kemudian barulah menyebar ke pedalaman. Para pedagang dan mubaligh telah memegang peranan
penting dalam penyebaran agama Islam.

Secara historis sosiologis, masuk dan berkembangnya Islam ke suatu daerah sangat kompleks. Terdapat
banyak permasalahan yang terkait dengannya, misalnya dari mana asalnya, siapa yang membawa, apa
latar belakangnya dan bagaimana dinamikanya, baik dari segi ajaran Islam maupun pemeluknya. Ada
beberapa pendapat yang menyatakan kapan masuknya Islam ke Aceh. Hamka berpendapat Islam masuk
ke Aceh sejak abad pertama Hijriah (ke-7 atau 8 M) namun ia menjadi sebuah agama populis pada abad
ke-9 seperti pendapat Ali Hasjmy. Sedangkan para orientalis seperti Snouck Hourgronje berpendapat
Islam masuk pada abad ke-13 M yang ditandai dengan berdirinya Kesultanan Samudra Pasai.

#kerajaan Islam di Aceh

Kerajaan Islam Aceh – Seperti yang kita tahu Provinsi Aceh dikenal dengan sebutan serambi Mekkah dan
lekat dengan syariat Islamnya. Sejarah mencatat bahwa Aceh merupakan salah satu pintu masuk
penyebaran agama Islam di Indonesia. Masuknya Islam ke Aceh berpengaruh terhadap berdirinya
beberapa Kerajaan Islam salah satunya Kerajaan Aceh Darusalam.

Kerajaan Aceh Darussalam juga disebut dengan Kerajaan Aceh dan Kesultanan Aceh. Berdirinya Kerajaan
ini adalah pada saat menjelang keruntuhan dari Kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini mengalami
puncak masa kejayaan saat berada di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda.

Artikel ini akan membahas sejarah Kerajaan Aceh secara lengkap. Mencakup sejarah berdiri, masa
kejayaan, keruntuhan dan peninggalan kerajaan ini. Berikut adalah penjelasannya untuk anda simak :

DAFTAR ISI ARTIKEL

Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh

Sultan-Sultan Kerajaan Aceh

1. Sultan Ali Mughayat Syah

2. Sultan Salahuddin

3. Sultan Alaudin Riayat Syah

4. Sultan Iskandar Muda

5. Sultan Iskandar Thani

Runtuhnya Kerajaan Aceh

Peninggalan Kerajaan Aceh

1. Masjid Raya Baiturrahman

2. Gunongan

3. Mesjid Tua Indrapuri

Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh


Kerajaan Islam Aceh

Kerajaan Aceh berdiri bersamaan dengan penobatan Sultan Pertamanya, Sultan Ali Mughayat Syah.
Penobatan tersebut terjadi pada hari Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H. Kerajaan ini memiliki ibu kota Bandar
Aceh Darussalam.

Ada catatan yang menyebutkan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam ini didirikan untuk melanjutkan
kekuasaan dari Samudera Pasai. Pada masa Kerajaan ini, sektor politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan
mengalami perkembangan pesat.

Baca Juga: Kerajaan Majapahit

Sultan-Sultan Kerajaan Aceh

Kerajaan Islam Aceh

Seperti halnya Kerajaan Islam, raja disebut dengan Sultan. Adapun Sultan-sultan yang pernah memimpin
Kerajaan ini adalah :

1. Sultan Ali Mughayat Syah

Sultan Ali Mughayat Syah adalah sultan pertama dari Kerajaan Aceh. Ia memegang tampuk kekuasaan
dari tahun 1514-1528 M. Di bawah kuasanya, Kerajaan ini memiliki wilayah mencakup Banda Aceh- Aceh
Besar.

Kerajaan Tarumanegara

Selain itu, Kerajaan Aceh juga melakukan perluasan ke beberapa wilayah di Sumatera Utara, yaitu
daerah Daya dan Pasai. Sultan Ali juga melakukan serangan terhadap kedudukan Portugis di Malaka dan
juga menaklukkan Kerajaan Aru.

2. Sultan Salahuddin

Salahuddin merupakan anak dari Sultan Ali Mughayat Syah. Setelah meninggalnya Sultan Ali Mughayat
Syah, pemerintahan dilanjutkan oleh putranya tersebut. Sultan Salahuddin memerintah dari tahun 1528-
1537 M.
Sayangnya, Sultan Salahudin kurang memperhatikan Kerajaannya saat berkuasa. Maka dari itu, Kerajaan
ini sempat mengalami kemunduran. Akhirnya di tahun 1537 M, tampuk kekuasaan pindah ke tangan
saudaranya, Sultan Alaudin Riayat Syah.

3. Sultan Alaudin Riayat Syah

Sultan Alaudin Riayat Syah berkuasa dari tahun 1537-1568 M. Di bawah kekuasaannya, Kerajaan ini
berkembang pesat menjadi Bandar utama di Asia bagi pedagang Muslim mancanegara. Lokasi Kerajaan
Aceh yang strategis menjadi peluang untuk menjadikannya sebagai tempat transit bagi rempah-rempah
Maluku. Dampaknya, Kerajaan Aceh saat itu terus menghadapi Portugis.

Kerajaan Aceh dibawah kepemimpinan Alaudin Riayat Syah juga memperkuat angkatan laut. Selain itu,
Kerajaan ini juga membina hubungan diplomatik dengan Kerajaan Turki Usmani.

4. Sultan Iskandar Muda

Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan ini mengalami puncak kejayaannya. Iskandar
Muda memimpin dari tahun 1606 – 1636 M. Sultan Iskandar Muda melanjutkan kepemimpinan dari
sultan Alauddin Riayat Syah.

Iskandar Muda memberikan terobosan baru untuk Kerajaan. Beliau mengangkat pimpinan adat untuk
setiap suku serta menyusun tata negara (qanun) yang menjadi pedoman penyelenggaraan aturan
Kerajaan. Saat itu, Kerajaan Aceh menduduki 5 besar Kerajaan Islam terbesar di dunia setelah Kerajaan
Maroko, Isfahan, Persia dan Agra.

Kerajaan ini berhasil merebut pelabuhan penting dalam perdagangan (pesisir barat dan timur Sumatera,
dan Pesisir barat Semenanjung Melayu). Selain itu, Kerajaan Aceh juga membina hubungan diplomatik
dengan Inggris dan Belanda untuk memperlemah serangan Portugis.

Kerajaan Majapahit
5. Sultan Iskandar Thani

Sultan Iskandar Tahani memerintah dari tahun 1626-1641 M. Berbeda dengan sultan-sultan sebelumnya
yang mementingkan ekspansi, Iskandar Thani memperhatikan pembangunan dalam negeri.

Selain itu, sektor pendidikan agama Islam mulai bangkit di masa kepemimpinannya. Terbukti dari
lahirnya buku Bustanus salatin yang dibuat oleh Ulama Nuruddin Ar-Raniry. Meskipun Iskandar Thani
hanya memerintah selama 4 tahun, Aceh berada dalam suasana damai. Syariat Islam sebagai landasan
hukum mulai ditegakkan. Hubungan dengan wilayah yang ditaklukkan dijalan dengan suasana liberal,
bukan tekanan politik atau militer.

Runtuhnya Kerajaan Aceh

Kerajaan Islam Aceh

Kerajaan ini mulai mengalami kemunduran sejak meninggalnya sultan Iskandar Thani. Hal itu
dikarenakan tidak ada lagi generasi yang mampu mengatur daerah milik Kerajaan Aceh yang begitu luas.
Akibatnya, banyak daerah taklukan yang melepaskan diri seperti Johor, Pahang, dan Minangkabau.

Selain itu, terjadi pertikaian terus menerus antara golongan ulama (Teungku) dan bangsawan (Teuku).
Pertikaian ini dipicu oleh perbedaan aliran keagamaan (aliran Sunnah wal Jama’ah dan Syiah).

Meskipun begitu, Kerajaan Aceh tetap berdiri sampai abad ke 20. Kerajaan Aceh juga sempat dipimpin
beberapa Sultanah (Ratu). Ratu yang pernah memimpin Kerajaan Aceh yaitu Sri Ratu Safiatuddin Tajul
Alam (1641-1675 dan Sri Ratu Naqiatuddin Nur Alam (1675-1678).

Sayangnya, pertikaian yang terjadi terus menerus serta wilayah Kerajaan Aceh yang terus berkurang
membuat Kerajaan Aceh runtuh di awal abad 20 dan dikuasai oleh Belanda.

Baca Juga: Kerajaan Kutai


Peninggalan Kerajaan Aceh

Kerajaan Islam Aceh

Ada banyak peninggalan-peninggalan Kerajaan Aceh yang masih dapat kita lihat sampai sekarang.
Peninggalan tersebut adalah :

1. Masjid Raya Baiturrahman

Bangunan Masjid ini merupakan kebanggaan rakyat Aceh sampai sekarang. Masjid raya Baiturrahman ini
dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1612 Masehi. Letaknya tepat di tengah pusat Kota
Banda Aceh. Mesjid ini pernah dibakar saat Agresi Militer II dan akhirnya dibangun kembali oleh pihak
Belanda.

Kerajaan Mataram

Ketika Tsunami 2004 Melanda Aceh, Mesjid ini tetap kokoh berdiri melindungi warga yang berlindung di
dalamnya. Sampai saat ini, masjid ini terus dikembangkan atau direnovasi menjadi lebih cantik.
Terakhir,masjid ini telah direnovasi menjadi mirip dengan masjid Nabawi di Madinah.

2. Gunongan

Gunongan ini merupakan bangunan yang juga dibangun oleh Sultan Iskandar Muda. Bangunan ini
dibangun atas dasar cinta Sultan Iskandar Muda pada seorang Putri dari Pahang (Putroe Phaang). Sultan
Iskandar muda menjadikannya sebagai permaisuri. Karena cintanya yang sangat besar, Sultan Iskandar
Muda memenuhi keinginan Putroe Phaang untuk membangun sebuah taman sari yang indah yang
dilengkapi dengan Gunongan.

Saat ini, Taman Sari dan Gunongan menjadi tempat yang terpisah menjadi taman sari, taman putro
phaang dan Gunongan. Letak antara tiga tempat itu hampir berdekatan dengan Masjid raya
Baiturrahman sehingga anda mudah mengunjunginya.

3. Mesjid Tua Indrapuri

Masjid ini awalnya adalah sebuah candi peninggalan dari Kerajaan Hindu di Aceh. Namun pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, candi ini diubah fungsinya menjadi masjid. Anda masih dapat
melihat bangunan yang strukturnya mirip dengan candi namun berpadu dengan nuansa Islami ini di
Indrapuri, Aceh Besar.

Selain tiga tempat diatas, masih banyak peninggalan lain yang masih terjaga. Peninggalan berupa benda
misalnya uang logam emas, meriam, dan lain-lain. sementara itu, penerapan qanun yang berasal dari
pemerintahan sultan Iskandar muda juga diterapkan dalam pemerintahan Aceh saat ini.

Demikianlah pemaparan lebih lengkap tentang sejarah Kerajaan Aceh. Meskipun Kerajaan ini sudah
lama runtuh, pengaruh nilai-nilai dan peninggalan lainnya masih terjaga di masyarakat Aceh. Oleh
karena itu kita harus melestarikannya.

Nama sultan-sultan dari Kerajaan Aceh ini pun masih dikenang oleh masyarakat Aceh sampai saat ini.
Hal itu menunjukkan bahwa Kerajaan ini memang menorehkan bekas sejarah yang besar di tanah
rencong.

Adat Islam di Aceh

Peusijuek

Salah satu adat-istiadat yang sangat masyhur di Aceh sekaligus sudah menjadi bagian dari kebudayaan
Aceh adalah tradisi Peusijuek atau lebih dikenal dengan tepung tawari. Peusijuek merupakan salah satu
upacara tradisional yang merupakan bentuk simbolik dari permohonan keselamatan, ketentraman,
kebahagiaan, perestuan dan saling memaafkan. Hampir sebahagian perhelatan yang dilaksanakan di
Aceh adanya prosesi upacara peusijuek ini, seperti upacara perkawinan, sunat rasul, peusijuek
meulangga (perselisihan), peusijuek pada bijeh (tanam padi),peusijuek rumah baroe (rumah baru),
peusijuek peudong rumoh (membangun rumah), peusijuek keurubeuen (hari raya kurban), aqiqah anak,
peusijuek kenderaan (roda dua dan empat), peusijuek jak u haji (naik haji), peusijuek puduk batee jeurat
(pemasangan batu nisan bagi yang telah meninggal). Peusijuek Juga dilakukan tatkala adanya pergantian
seorang pemimpin dari perangkat desa sampai Gubernur, bahkan setiap ada tamu kebesaran daerah
juga adanya prosesi upacara peusijuek.

Dalam tata pelaksanaannya masyarakat Aceh memasukkan nuasa Islam kedalamnya, misalnya ketika
prosesi peusijuek ini dilakukan, didalamnya dibacakan ayat-ayat Al-qur’an dan Shalawat-shalawat
kepada kepada Nabi, sebenarnya peusijuek ini berasal dari kebudayaan hindu, dikarenakan sebelum
Islam masuk ke Indonesia mayoritas penduduk Nusantara ini beragama Hindu dan Budha. Oleh karena
diasimilasilah kebudayaan Hindu ini oleh pembuka agama Islam di Aceh, kemudian ditambahkan nilai-
nilai Islam kedalamnya, yang kemudian menjadikan peusijuk tersebut menjadi salah satu adat-istiadat
yang sudah membudaya di Aceh.

Foto: kesbangpol.bandaacehkota.go.id

Meulod Nabi (Peringatan Maulid Nabi Muhammad)

Tradisi berikutnya yang ada di Aceh adalah Meulod Nabi atau upacara peringatan hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Uniknya, peringatan Maulid Nabi di Aceh diperingati hampir selama tiga bulan,
berbeda dengan wilayah lain di Indonesia yang hanya memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW
hanya pada tanggal 12 Rabiul Awal saja. Masyarakat Aceh memperingatinya dari bulan Rabiul Awal
sampai bulan Jumadil Awal.

Dalam tata pelaksanaan Maulid ini, orang Aceh memeriahkan dengan kesenian Dike atau semacam
tarian yang dilakukan dengan menggerakkan badan sesuai dengan irama Shalawat atau Zikir-zikri yang
diiramakan dengan berbagai irama yang sangat menarik, tidak hanya itu ceramah-ceramah Maulid akbar
juga dilaksanakan dikebanyakan desa di Aceh.

. Dalam upacara ini masyarakat juga mengadakan Khanduri Meulod atau acara kenduri, dimana setiap
rumah yang ada disebuah desa di Aceh, mereka menyiapakan hidangan makanan yang nanti dibawa ke
meunasah atau Surau untuk kemudian dinikmati bersama oleh masyarakat desa yang melakukan
perhelatan ini, tidak hanya itu mereka juga turut mengundang para santri, anak yatim, dan anak kurang
mampu dan bahkan juga warga kampung sebelah untuk menikmatikan hidangan khanduri yang telah
disiapkan untuk kemudian dimakan dan dinikamti bersama-sama secara Khitmat.

Upacara Peutroen Aneuk (Turun Tanah)

Istilah Peutroen Aneuk ialah menurunkan bayi untuk pertama kali ke tanah, bayi untuk pertama kalinya
di keluarkan dari rumah dan juga untuk pertama kalinya bayi menginjakkan kakinya di bumoe
Allah(Bumi Allah), sebagaian orang ada juga yang membawa bayi ke luar rumahnya saja, tetapi ada juga
yang membawa sibayi ke Masjid kemudian dimadikan oleh tengku atau orang ‘Alim seraya di adakan
acara Barzanji yaitu dengan mendendangkan lagu-lagu islam atau nasyid dan pemabacaan Shalawat
Nabi dan lantunan Zikir-zikir yang sering kita dengarkan.

Biasanya acara turun tanah ini diadakan setelah bayi berumur tujuh hari. Dalam jangka waktu yang
cukup apalagi bagi anak pertama, sering di adakan acara yang cukup besar dengan memotong kerbau
atau lembu. Pada upacara ini bayi di gendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangainya dan
budi pekertinya. Umumnya, puncak acara peutron aneuk ialah mengadakan Kenduri, dengan
mengundang warga desa, kemudian pada malam harinya diadakan tahlil atau samadiah yang disertai
dengan doa kepada Allah SWT supaya bayi tumbuh sehat dan mendapat ridha dari-Nya.

Upacara Adat Perkawinan Aceh

Dalam kebudayaan Masyarakat Aceh perihal adat perkawinan , ada beberapa tahapan yang harus
dilewat kedua mempelai sebelum kedua mempelai dinyarakan sah sebagai sepasang Spouse atau Suami-
Istri, diantaranya yaitu :

Pertama, Ba Ranup (Tahap Melamar)

Ba Ranup merupakan suatu tradisi turun temurun yang tidak asing lagi dilakukan oleh masyarakat Aceh,
saat seorang pria melamar seorang perempuan. Untuk mencarikan jodoh bagi anak lelaki yang sudah
dianggap dewasa, maka pihak keluarga akan mengirim seorang yang dirasa bijak dalam berbicara yang di
kenal dengan isttilah Seulangke untuk mengurusi peihal perjodohan ini. Jika Seulangke telah
mendapatkan gadis yang dimaksud, maka terlebih dahulu ia akan meninjau status sang gadis. Jika belum
ada yang tanda atau belum ada yang punya, maka dia akan menyampaikannya maksud melamar gadis
tersebut.

Pada hari yang telah disepakati datanglah rombongan orang-orang yang dituakan dari pihak pria ke
rumah orangtua sigadis dengan membawa sirih sebagai penguat ikatan berikut isinya. Setelah acara
lamaran selesai, pihak pria akan memohon pamit untuk pulang dan keluarga pihak wanita meminta
waktu untuk bermusyawarah dengan anak gadisnya mengenai diterima atau tidaknya lamaran tersebut.
Kedua, Jak ba Tanda (Tahap Pertungan)

Apabila lamaran diterima oleh sigadis tadi, keluarga dari pihak pria akan datang kembali untuk
melakukan peukeong haba yaitu membicarakan kapan hari perkawinan akan dilangsungkan, termasuk
menetapkan berapa besar Jeulame (Mahar) yang harus diberikan calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita yang telah dilamar tadi, dan berapa banyak tamu yang akan diundang. Biasanya pada
acara ini sekaligus diadakan upacara pertunangan (disebut jakba tanda).

Pada acara ini pihak pria akan mengantarkan berbagai macam makanan khas daerah Aceh, seperti
buleukat kuneeng dengan tumphou, aneka buah-buahan, seperangkat pakaian wanita dan perhiasan
yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria. Namun, bila ikatan ini putus di tengah jalan
disebabkan oleh pihak pria yang memutuskan maka tanda emas tersebut akan dianggap hilang atau
hangus dan menjadi milik keluarga si gadis tersebut. Tetapi apabila penyebabnya adalah dari pihak
wanita, maka tanda emas tersebut harus dikembalikan sebesar dua kali lipat.

Ketiga, tahap pernikahan

Pada tahapan ini kegiatan pernikan dilakukan seperti biasa, dimana kedua mempelai dinikahkan oleh
penghulu, dan hanya mengudang beberapa keluarga inti dan kerabat dekat dari kedua mempelai.

Keempat, Pesta Penikahan

Pesta pernikahan dilakukan setelah melangsungkan pernikahan antara pengantin laki-laki dengan
pengantin perempuan, hal ini suatu tradisi atau kebiasaan yang tidak pernah hilang di dalam kultur
budaya Aceh, pesta penikah ada yang dilangsungkan sekaligus dengan dengan acara penikahan, tidak
sedikit juga yang melangsukan pesta pernikahan ini ditahun berikutnya setelah menikah atau dalam
waktu lama setelah pernikahan sesuai dengan jadwal yang disepakati oleh kedua keluarga mempelai.
Ada keunikan tersendiri pada perhelatan pesta pernikan di Aceh, dimana para tamu undangan nantinya
akan disambut dengan tari-tarian khas Aceh, biasanya juga ada tardisi yang kini mulai pudar dalam adat
Aceh pada posesi pernikahan ini, yaitu tradisi Balah Panton (saling berbalas pantun), jarang sekali di
zaman sekarang ini tradisi tersebut kita temukan di pesta pernikan di Aceh, padahal dulu kegiatan balah
panton tersebut sering dilakukan dan menjadi salah satu kebudayan terkenal di Aceh, kemudian yang
juga menambah keunikan pada prosesi pesta pernikahan ini adalah adanya orang yang membacakan
Shalawa Nabi dan Zikir-zikir selama proses pernikahan ini berlangsung, jadi para undangan akan terhibur
dengan lantunan shalawat dan zikir-zikir tersebut.

Kelima, Intat Linto

Intat Linto adalah prosesi iring-iringan keluarga pihak laki-laki yang mengantar pengantin laki-laki
menuju rumah mempelai perempuan. Diawali kedatangan pengantin laki-laki bersama keluarga,
dilanjutkan sambutan keluarga perempuan, biasanya berupa tarian adat dan lantunan shalawat (doa-
doa untuk Rasulullah Muhammad SAW) di gerbang kediaman, kemudian pengantin disandingkan di
pelaminan. Setelah itu, pengantin dan keluarga dari pihak laki-laki menikmati jamuan makan di hadapan
pelaminan, sementara tamu-tamu undangan dijamu terpisah, biasanya di luar rumah.

Keenam, Tueng Dara Baroe

Tueng dara baro intinya sama dengan acara Intat Linto, Tueng Dara Baroe merupakan kunjungan
balasan keluarga mempelai perempuan bersama pengantin perempuan ke kediaman mempelai laki-laki.
Tuan rumah tueng dara baro adalah keluarga pengantin laki-laki. Garis besarnya sama dengan prosesi
intat linto, hanya berbeda tempat pelaksaannya saja.

Demikianlah pemaparan penulis tentang beberapa tradisi dalam kebudayaan Aceh yang senantiasa
dilakukan sampai sekarang dan tidak terlepas dari sentuhan nilai-nilai Islam.

Sudah sepatutnya kita sebagai masyarakat Aceh, turut berpartisipasi dalam melestarikan tradisi dan
kebudayaan kita, agar Aceh ini menjadi daerah yang unik dan terknal dengan kebudayaan Islaminya,
tradisi dan kebudayaan kita ini harus terus kita rawat agar nantinya tidak tergantikan dengan kebudayan
asing yang bertolak belakang dengan hukum Islam dan hukum adat yang ada di Aceh tercinta ini.
(Penulis adalah mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, FDK UIN Ar-Raniry. Email:
samsulancon219635)
1. Sejarah Masuknya Islam, dan beberapa teorinya

Islam merupakan unsur penting pembentuk jati diri orang Jawa. Ajaran dan kebudayaan Islam mengalir
sangat deras dari Arab dan Timur Tengah sehingga memberi warna yang sangat kental terhadap budaya
Jawa. Agama Islam disebarkan oleh Nabi Muhammad saw pada mulanya hanya terbatas, yaitu keluarga
dan sahabat terdekat.

Dalam waktu yang relatif singkat islam berkembang dengan sangat pesat. Sepeninggal Nabi Muhammad
saw, agama Islam disiarkan oleh empat sahabat yang terkenal dengan gelar Khulafaur Rasyidin, yaitu
Abu Bakar, Umar,Usman dan Ali. Islam kemudian menyebar kedaerah-daerah luar Jazirah Arab. Maka
segera bertemu dengan berbagai peradaban dan budaya lokal yang sudah mengakar selama berabad-
abad. [3]

Menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, termasuk Jawa para ahli selalu terlibat diskusi panjang dan
melelahkan mengenai tiga masalah pokok tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya dan waktu
kedatangannya. Hingga kini teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok ini
terasa belum tuntas dan jauh dari memadai. Ada tiga teori disini yaitu:

1. Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje mengatakan, Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-
wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal
masuknya Islam ke Nusantara. Dalam L’arabie et les Indes Nerlandaises, Snouck mengatakan teori
tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam
pada masa-masa awal yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung
dengan hubunga yang telah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India.

Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden.
Namun nama Snouck Hurgronce yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya
adalah karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam Teori ini diikuti dan oleh banyak
sarjana Barat lainnya.

2. Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang ke
Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat
islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai
hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera
Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula
pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya
jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya.

Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang
dijamah adalah Samudera Pasai. Kedua teori di atas mendatang kritikan yang cukup signifikan dari teori
ketiga yaitu,

3. Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari
Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada
awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan
pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegagang kendali amirul
mukminin.

Bahkan sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri
perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini
diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk
komunitas-komunitas Muslim.

Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan
diplomatik dari orang-o-rang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31
Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan
mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin.

Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah
Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa
kepemimpinan Utsman bin Affan. Biasanya, para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina
saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh, termasuk Indonesia. Jauh sebelum penjelajah dari
Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah
sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Ini adalah rute pelayaran paling
panjang yang pernah ada sebelum abad 16.
Hal ini juga bisa dilacak dari catatan para peziarah Budha Cina yang kerap kali menumpang kapal-kapal
ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 untuk pergi ke India. Bahkan pada era yang
lebih belakangan, pengembara Arab yang masyhur, Ibnu Bathutah mencatat perjalanannya ke beberapa
wilayah Nusantara. Tapi sayangnya, tak dijelaskan dalam catatan Ibnu Bathutah daerah-daerah mana
saja yang pernah ia kunjungi.

Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara.

Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah
dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa
perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton. Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina perjalanan dilakukan.
Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih
kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa
keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa melawat
terlebih dulu ke Sriwijaya.

Sebuah literatur kuno Arab yang berjudul Aja’ib al Hind yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al
Ramhurmuzi pada tahun 1000 memberikan gambaran bahwa ada perkampungan-perkampungan
Muslim yang terbangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di
Timur Tengah terus berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al Rabbih dalam
karyanya Al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung
antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah yang terkenal adil tersebut.

“Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan
menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,” demikian kurang lebihnya bunyi surat Raja
Sriwijaya Sri Indravarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis. Diperkirakan hubungan diplomatik
antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100 hijriah atau 718 masehi.

Tidak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan
antara Sriwijaya Dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Indonesia. Jika
awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang
menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya
memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara.
Pada awal abad ke-12, Sriwijaya mengalami masalah serius yang berakibat pada kemunduran kerajaan.
Kemunduran Sriwijaya ini pula yang berpengaruh pada perkembangan Islam di Nusantara. Kemerosotan
ekonomi ini pula yang membuat Sriwijaya menaikkan upeti kepada kapal-kapal asing yang memasuki
wilayahnya. Dan hal ini mengubah arus perdagangan yang telah berperan dalam penyebaran Islam.

Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-
daerah lain di Pulau Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau menjadi lahan dakwah. Bahkan di
Minangkabau ada tambo yang mengisahkan tentang alam Minangkabau yang tercipta dari Nur
Muhammad. Ini adalah salah satu jejak Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara.

Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan Samudera
Pasai menjadi kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam sejarah.

Dan memang menurut van Leur, dia percaya bahwa motif ekonomi dan politik sangat penting dalam
masuknya islam kepada penduduk Nusantara.[4]

Selain para pedagang, sebetulnya Islam juga didakwahkan oleh para ulama yang memang berniat datang
dan mengajarkan ajaran tauhid. Tidak saja para ulama dan pedagang yang datang ke Indonesia, tapi
orang-orang Indonesia sendiri banyak pula yang hendak mendalami Islam dan datang langsung ke
sumbernya, di Makkah atau Madinah. Kapal-kapal dan ekspedisi dari Aceh, terus berlayar menuju Timur
Tengah pada awal abad ke-16. Bahkan pada tahun 974 hijriah atau 1566 masehi dilaporkan, ada lima
kapal dari Kerajaan Asyi (Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah.

Ukhuwah yang erat antara Aceh dan kekhalifahan Islam itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan
Serambi Makkah. Puncak hubungan baik antara Aceh dan pemerintahan Islam terjadi pada masa
Khalifah Utsmaniyah. Tidak saja dalam hubungan dagang dan keagamaan, tapi juga hubungan politik
dan militer telah dibangun pada masa ini. Hubungan ini pula yang membuat angkatan perang Utsmani
membantu mengusir Portugis dari pantai Pasai yang dikuasai sejak tahun 1521. Bahkan, pada tahun-
tahun sebelumnya Portugis juga sempat digemparkan dengan kabar pemerintahan Utsmani yang akan
mengirim angkatan perangnya untuk membebaskan Kerajaan Islam Malaka dari cengkeraman penjajah.
Pemerintahan Utsmani juga pernah membantu mengusir Parangi (Portugis) dari perairan yang akan
dilalui Muslim Aceh yang hendak menunaikan ibadah haji di tanah suci.
Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu yang bersamaan di Pulau Jawa.
Prof. Hamka dalam Sejarah Umat Islam mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari
orang-orang Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah sendiri Muawiyah bin Abu
Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat
Umayyah ini menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu. Ekspedisi ini
mendatangi Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan. Maka, bisa dibilang Islam merambah tanah
Jawa pada abad awal perhitungan hijriah.

2. Alur Penyebaran Islam di Jawa

Sulit untuk mengetahui tokoh yang pertama kali memperkenalkan Islam di Jawa dari fakta sumber
tradisional, meskipun kenyataannya banyak ditemukan dalam bentuk nisan bertulis yang menunjukkan
adanya pengaruh agama Islam. Akan tetapi, hal itu dapat ditelusuri melalui alur hubungan negeri
Cempa-Majapahit, yang menurut hemat kami karena adanya beberapa naskah mengatakan bahwa
Cempa telah terlebih dahulu memeluk agama Islam, maka ketika terjadi hubungan perkawinan Cempa-
Majapahit, oramg-orang pendatang dari dari Cempa telah masuk Islam. Hal ini juga didukung dengan
pemakaman putri Cempa yang mengikuti tata cara Islam. Disamping beberapa temuan Ricklefs terhadap
bebrerapa makam di situs Istana Majapahit, yang kemudian pada kesimpulannya bahwa makam-makam
tersebut adalah makam orang-orang muslim. Dari tahun-tahun yang tertulis menunjukkan bahwa tahun-
tahun tersebut adalah masa Majapahit sedang dalam puncak kejayaan. Puncak kejayaan Majapahit pada
saat itu dipegang oleh Hayam Wuruk dengan patih Gajah Mada yang sangat terkenal. Juga
ditemukannya bukti Candi Peri yang bercorak Cempa, yang dibangun pada masa hayam Wuruk bertahta.
Semua ini semakin meyakinkan bahwa setelah tokoh-tokoh muslim semasa fatimah binti Maimun yang
lebih awal, hubungan Cempa muslim melalui darawati menyebabkan Islam semakin dikenal kerajaan
Hindu-Budha tersebut.

Generasi muslim berikutnya yang kemudian berperan besar sebagai tokoh penyebar Islam yang sangat
berjasa adalah rombongan Raden Rahmat dari empa. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai
tokoh generasi awal yang menjadi penyebar Islam di Jawa.

Dari segi wilayah pengislaman di Jawa, maka dapat diketahui bahwa wilayah Jawa Timur terlebih dahulu
menerima Islam. Wilayah itu antara lain Trowulan, gresik, Tuban, Ampel, dan lingkungan Istana
Majapahit. Adapun wilayah Jawa Tengah yang terlebih dahulu menerima Islam, adalah Jepara, Kudus
dan daerah alas Roban, Batang, Jepara dan Kudus melalui perjalanan Raden Patah.

Media yang digunakan dalam penyebaran agama Islam masa awal adalah memanfaatkan jalur
perdagangan dan jalur perkawinan. Disamping juga melalui pesantren, sebagaimana yang dirintis Sunan
Ampel. Jalur perkawinan sebagaimana terjadi pada Darawati dari Cempa Muslim dengan Majapahit,
atau sebagaimana raden Rahmat dengan Putri Wilatikta yang menurut hikayat Hasanudin putri itu
bernama Nyai Gede Nila.[5]

3. Islam masuk ke Jawa dan pengaruhnya

Islam masuk ke Jawa secara akulturasi damai. Menurut beberapa sejarawan hal ini karena: Pertama,
para pendakwah Islam yang datang mula-mula adalah para santri, ulama, pedagang dan para ahli sufi.
Kedua, sikap tenggang rasa dan ramah dari orang Jawa yang mudah menerima dan menyesuaikan segala
yang baru. Ketiga, melalui jalur perkawinan dan para pemeluk islam giat memberikan contoh tauladan.
[6]

Peranan Wali Songo dalam perjalanan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa sangatlah tidak bisa dipisahkan.
Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun
pemerintahan Islam yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal
memang adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri tak bisa dilepaskan dari sejarah kekuasaan
Islam tanah Jawa.

Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau yang nama aslinya Maulana Ainul
Yaqin, telah membangun wilayah tersendiri di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Wilayah ini dibangun
menjadi sebuah kerajaan agama dan juga pusat pengkaderan dakwah. Dari wilayah Giri ini pula
dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelah dikirim ke Nusatenggara dan wilayah Timur Indonesia
lainnya.

Giri berkembang dan menjadi pusat keagamaan di wilayah Jawa Timur. Bahkan, Buya Hamka
menyebutkan, saking besarnya pengaruh kekuatan agama yang dihasilkan Giri, Majapahit yang kala itu
menguasai Jawa tak punya kuasa untuk menghapus kekuatan Giri. Dalam perjalanannya, setelah
melemahnya Majapahit, berdirilah Kerajaan Demak. Lalu bersambung dengan Pajang, kemudian jatuh
ke Mataram.

Meski kerajaan dan kekuatan baru Islam tumbuh, Giri tetap memainkan peranannya tersendiri. Sampai
ketika Mataram dianggap sudah tak lagi menjalankan ajaran-ajaran Islam pada pemerintahan Sultan
Agung, Giri pun mengambil sikap dan keputusan. Giri mendukung kekuatan Bupati Surabaya untuk
melakukan pemberontakan pada Mataram.
Meski akhirnya kekuatan Islam melemah saat kedatangan dan mengguritanya kekuasaan penjajah
Belanda, kerajaan dan tokoh-tokoh Islam tanah Jawa memberikan sumbangsih yang besar pada
perjuangan. Ajaran Islam yang salah satunya mengupas makna dan semangat jihad telah menorehkan
tinta emas dalam perjuangan Indonesia melawan penjajah. Tak hanya di Jawa dan Sumatera, tapi di
seluruh wilayah Nusantara

Lebih dari itu, ajaran-ajaran Islam yang dibawa dan disampaikan oleh Walisongo memberikan pengaruh
yang besar kepada orang Jawa. Misalnya, adanya kaitan yang erat antara pesantren dan tarekat. Banyak
diantara guru ngaji pesantren (Walisongo) adalah jugs guru tarekat. Dengan menggunakan komunikasi
tarekat-tarekat terbentuklah jaringan (network) lembaga pesantren dengan berpusat pada tempat
kedudukan para Wali, antara lain di Cirebon, Kudus, Tuban, Sedayu, Gresik, Ngampel, Panarukan.[7]

Kerajaan Islam di Jawa

Sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, di Jawa telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang
cukup kokoh, kuat dan tangguh, bahkan sampai saat ini hasil peradabannya masih dapat disaksikan.
Misalnya, candi Borobudur yang merupakan peninggalan Budha Mahayana dan candi Roro Jonggrang di
desa Prambanan. Demikian juga halnya dari segi literatur, seperti buku Pararaton dan Negara
Kertagama. Wajarlah jika Vlekke menyebut kerajaan-kerajaan pra-Islam, khususnya Singosari dan
Majapahit, sebagai Empire Builders of Java.

Setelah agama Islam datang di Jawa dan Kerajaan Majapahit semakin merosot pengaruhnya di
Masyarakat, terjadilah pergeseran di bidang politik. Menurut Sartono Kartodirjo, islamisasi
menunjukkan suatu proses yang terjadi cepat, terutama sebagai hasil dakwah para wali sebagai perintis
dan penyebar agama Islam di Jawa. Di samping kewibawaan rohaniah, para wali juga berpengaruh
dalam bidang politik, bahkan ada yang memegang pemerintahan. Otoritas kharismatis mereka
merupakan ancaman bagi raja-raja Hindu di pedalaman.

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang dilakukan oleh para wali dalam mengembangkan politiknya.

Seorang wali tidak mengembangkan wilayah dan tetap menjalankan pengaruh secara luas, umpamanya
Sunan Giri.

Seorang wali tidak mengembangkan pengaruh politik, dan selanjutnya kekuasaan politik ada di tangan
raja, umpamanya di Demak dan Kudus.

Seorang wali mengembangkan wilayah dan melembagakannya sebagai kerajaan, tanpa mengurangi
kekuasaan religius, umpamanya Sunan Gunung Jati.
Pengembangan politik para wali yang semula berkedudukan di pantai-pantai, ternyata tidak
dipertahankan oleh penerusnya. Akhirnya, pusat aktivitas politiknya pindah ke pedalaman yang semula
kuat ke-Hinduannya bahkan sampai ke Madura dan kota-kota lain di Nusantara.

A.Kerajaan Demak (1500-1550)

Pada waktu Sunan Ampel (Raden Rahmat) wafat, maka para wali songo berkumpul di Ampel Denta,
Surabaya, mereka sepakat untuk mendirikan sebuah pusat pemerintahan yang mengatur urusan-urusan
umat Islam, juga sepakat untuk mendirikan masjid di Bintaro.

Raden Patah adalah anak Raja Prabu Brawijaya V (Raja Majapahit). Beliau mempunyai saudara laki-laki,
Raden Damar yang menjadi penguasa Majapahit di Palembang. Kepada beliau inilah Prabu Brawijaya
menitipkan ibu Raden Patah yang sedang hamil, ia adalah seorang selir Prabu Brawijaya, maka lahirlah
putra yang diberi nama Raden Joyowiseno. Setelah besar, dia ke Jawa dan belajar kepada Sunan Ampel.
Dan Sunan Ampellah yang memberi nama Abdul Fatah artinya pembuka pintu gerbang kemenangan.

Raden Patah (Pangeran Jimbun) kemudian dikawinkan dengan cucu raden Rahmat. Setelah beberapa
lama berguru kepada Raden Rahmat, diutuslah beliau ke Bintaro. Di sana beliau hidup bersama isterinya
mengepalai satu masyarakat kecil kaum Islam. Keberangkatannya ke Bintaro adalah hasil kesepakatan
para wali, hendak membuat Bintaro sebagai pusat kegiatan umat Islam. Akhirnya atas usul para wali
Raden Patah diangkat menjadi adipati Bintaro (Demak) pada tahun 1462 M. Dan atas perintah Sunan
Ampel, Raden Patah ditugaskan mengajar agama Islam serta membuka pesantren di desa Glagat Wangi
(Demak).

Lama-kelamaan Demak semakin penting karena menjadi pusat penyiaran agama Islam tempat masjid
Agung yang didirikan oleh Raden Patah bersama para wali. Dijadikan pesantren tempat mendidik dan
mengajar kader-kader Islam dan menjadi pusat kegiatan dalam lapangan politik bagi umat Islam.
Sekarang masjid tersebut masih berdiri dengan megahnya. Inilah masjid yang paling suci di mata orang
Islam di Jawa. Tiap tahun banyak orang pergi ziarah untuk mengenang dan menghormati pejuang-
pejuang Islam yang telah menumbangkan agama Hindu.

Akhirnya Raden Patah secara terang-terangan memutuskan segala ikatannya dengan Majapahit, di
tengah suasana interen kerajaan terjadi konflik yang sedang dirobek oleh komplotan golongan
petualang dalam istana. Dengan bantuan daerah-daerah lainnya di Jawa Timur yang sudah Islam, seperti
Jepara, Tuban ,dan Gresik, akhirnya dapat merobohkan Kerajaan Majapahit. Kemudian, beliau
memindahkan semua alat upacara kerajaan dan pusaka-pusaka Majapahit ke Demak. Dengan demikian,
para wali di Surabaya menetapkan atau mengangkat Raden Patah sebagai sultan pertama Kerajaan
Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar Al-Fatah. Pada tahun 1478 Demak diproklamirkan menjadi
Kerajaan Islam pertama di Jawa dengan beliau sebagai sultan pertamanya. Kerajaan ini bertahan sampai
tahun 1546 setelah terjadi perebutan kekuasaan antara Arya Panangsang dengan Adiwijoyo. Sunan
Kudus ulama yang besar rupanya memihak kepada Arya Panangsang karena memang dia yang berhak
melanjutkan kesultanan. Akan tetapi Arya Panangsang dibunuh oleh Adiwijoyo (Joko Tingkir). Dengan
tindakan ini berakhirlah Kerajaan Demak dan Joko Tingkir memindahkannya ke Pajang.

B. Kerajaan Pajang

Secara resmi Keraton Demak dipindahkan ke pajang pada tahun 1568 sebagai tanda berdirinya Kerajaan
Pajang. Joko Tingkir atau Sultan Adiwijoyo menjadi raja pertama Kerajaan Pajang (dekat Solo sekarang).
Kedudukannya disyahkan oleh Sunan Giri dan segera mendapat pengukuhan dari adipati-adipati di
seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sultan Adiwijoyo mengangkat pula Arya Pengiri anak Sunan
Prawoto (cucu Trenggono) menjadi adipati di Demak, kemudian dikawinkannya dengan putrinya.

Peralihan kekuasaan politik dari keturunan Sultan Demak kepada Sultan Pajang Adiwijoyo diikuti oleh
perubahan pusat pemerintahan dari pinggir laut yang bersifat maritim, ke pedalaman yang bersifat
pertanian (agraris).

Selama pemerintahan Joko Tingkir, kesusastraan dan kesenian keraton yang sudah maju peradabannya
di Demak dan Jepara, lambat laun dikenal di pedalaman Jawa Tengah. Kesusastraan berkembang dengan
pesat dan seorang pujangga terkenala adalah Pangeran Karang Gayam.

Kyai Gede Pamanahan adalah pengikut Joko Tingkir yang paling banyak jasanya dalam pembunuhan
Arya Panangsang. Atas jasanya itulah dihadiahkan daerah Mataram sekitar kota Gede Yogyakarta
sekarang. Dalam waktu singkat kota ini menjadi sangat maju. Ia meninggal 1575 M. Anaknya Sutowijoyo
menggantikannya dan melanjutkan usaha ayahnya membangun kota tersebut. Ia orang yang gagah
berani, mahir dalam peperangan oleh karena itu, ia terkenal dengan nama Senopati Ing Alaga (Panglima
Perang).
Ketika Joko Tingkir wafat, ia digantikan oleh Arya Pengiri, namun banyak masyarakat yang tidak
menyukainya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Pangeran Benawa putra Joko Tingkir untuk merebut
kembali kekuasaannya. Ia minta bantuan kepada Senopati Mataram yang dianggapnya sebagai kakak
yang memang juga menginginkan lenyapnya Kerajaan Pajang.

Terjadilah perang antara Pajang dan Mataram. Sultannya menyerah, sedangkan Pangeran Benawa
mengakui kekuasaan Senopati Sutowijoyo. Segala alat kebesaran Majapahit dalam istana Pajang dibawa
ke Mataram. Maka daerah Pajang dapat dipersatukan dengan Mataram dan mulailah riwayat Mataram
pada tahun 1586 M.

C.Kerajaan Mataram

Sutowijoyo adalah merupakan raja pertama (1586-1601) dengan gelar Panembahan Senapati Sayyidin
Panotogomo (yang dipertuan mengatur agama) dengan ibu kotanya Kota Gede (Yogyakarta). Pada masa
pemerintahannya, dia bercita-cita mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram sebelum
niat tersebut tercapai dia wafat. Lalu digantikan oleh Mas Jolong atau Panembahan Seda Ing Krapyah
dengan gelar Sultan Anyokrowati (1601-1613).

Pada masa dia memerintah Mataram goncang. Demak dan Ponorogo berontak namun beliau dapat
mengatasinya. Tahun 1612, Surabaya tidak bersedia lagi mengakui kedaulatan Mataram. Akhirnya sultan
menduduki Mojokerto, merusak Gresik dan membakar desa-desa sekitar Surabaya. Namun Surabaya
tetap bertahan, sultan mengalami kegagalan dan wafat pada tahun 1613.

Sebagai penggantinya Raden Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Ia
dikenal orang yang kuat, jujur dan adil. Pada masanya, Mataram mengalami kejayaan sebagai kerajaan
yang terhormat dan disegani, tidak saja di pulau Jawa tetapi juga di pulau-pulau lainnya. Sebagai orang
muslim taat, beliau patuh menjalankan ibadah tidak pernah melalaikan sembahyang Jumat ke Masjid
bersama pembesar keraton dan alim ulama. Para alim ulama sering dimintai pertimbangan-
pertimbangan mengenai soal-soal keagamaan dan pemerintahan. Dan pada masa beliau Jawa Timur,
Jawa Tengah dan di luar Jawa di bawah kekuasaan beliau.

Pada masa pemerintahan beliau, usaha-usahanya antara lain:


Mempersatukan Jawa di bawah satu pemerintahan di Mataram

Perayaan Grebeg yang telah menjadi tradisi nenek moyang sejak sebelum Islam, disesuaikan dengan
perayaan hari raya Idul Fitri dan Maulid Nabi Muhammad, Saw.

Sejak Tahun 1633, ia mengadakan tareh baru. Tahun 1633 itu adalah tahun caka 1555. Perhitungan
tahun baru ini kemudian disebut tahun Jawa Islam.

Gamelan Sekaten yang semula hanya dibunyikan pada Grebeg Maulid itu, atas kehendak beliau dipukul
di halaman masjid besar.

Memperluas daerah pertanian dengan memindahkan penduduk dari Jawa Tengah ke daerah lainnya.

Perdagangan dengan luar negeri tetap dijalankan melalui pelabuhan-pelabuhan besar seperti Cirebon
(Jawa Barat), Pekalongan dan Gresik.

Tahun 1645, beliau wafat di gantikan anaknya, Amangkurat I atau Sunan Tegalwangi yang memerintah
selama 32 tahun (1645-1677). Amangkurat I terkenal sebagai raja yang lalim dan curiga terhadap siapa
saja. Sementara itu terjadi juga pemberontakan Trunojoyo yang mendapat bantuan dari beberapa
daerah seperti Banten. Pada tanggal 2 Juli 1677 Mataram jatuh ke tangan Trunojoyo. Namun
Amangkurat II pada tahun 1677-1679 yang memerintah. Dia hendak merebut Mataram dengan meminta
bantuan Belanda, maka orang-orang Jawa yang kuat Islamnya tidak mau mengakui Amangkurat II
sebagai rajanya. Sebaliknya mereka memandang Trunojoyo sebagai pelindung agama Islam.

Amangkurat II tetap bertekad untuk merebut kembali Mataram, akhirnya cita-citanya terkabul. Adapun
Trunojoyo dengan pengiringnya melarikan diri dan pada tahun 1679 mereka menyerah kepada Belanda.
Kejayaan Mataram semakin menurun semasa pemerintahan Amangkurat II. Satu demi satu wilayah
kekuasaan Mataram dikuasai oleh VOC (Belanda). Kemudian raja memindahkan pusat pemerintahan
dari Mataram ke Kartasura. Di tempat baru itu ia menjalankan pemerintahan terhadap sisa-sisa wilayah
Mataram, sampai ia wafat 1702. Keruntuhan Mataram sudah diambang pintu. Tahun 1755, dengan
campur tangan VOC, kerajaan Mataram dibagi menjadi dua wilayah melalui perjanjian Giyanti, yaitu
sebagai berikut;

Kesultanan Yogyakarta atau Ngayogyakarta Hadiningrat diperintah oleh Mangkubumi dengan gelar Sri
Sultan Hamengkubuwono I.

Kesultanan Surakarta atau Kasunanan Surakarta diperintah oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III.

Pada tahun 1757, kembali dengan campur tangan VOC, Mataram terpecah belah lagi melalui perjanjian
Salatiga. Mataram menjadi kerajaan kecil sebagai berikut:

Kesultanan Yoyakarta

Kesultanan Surakarta
Kadipaten Pakualaman

Kadipaten Mangkunegaran.

Sehingga Kerajaan Mataram Islam akhirnya tinggal nama saja sedangkan kekuasaan mutlak tetap di
tangan Belanda.

D.Kerajaan Banten

Kedatangan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah ke Banten dari Demak adalah untuk meletakkan
dasar bagi pengembangan agama Islam dan perdagangan orang-orang Islam. Setelah itu, beliau kembali
dan menetap di Cirebon kemudian Banten diserahkan kepada putranya, yaitu Hasanuddin. Sejak saat
itu, Hasanuddin resmi menjadi sultan pertama di Banten tahun 1552-1570 dan Banten diumumkan
sebagai kerajaan Islam (kesultanan) di Jawa.

Sumber lain menyebutkan bahwa Hasanuddin menikah dengan putri raja Demak dan kemudian
dinobatkan sebagai penguasa Banten pada tahun 1552. Pada tahun 1568, saat terjadi
perebutan/peralihan kekuasaan ke Pajang, Hasanuddin melepaskan diri dari kekuasaan Demak. Dengan
demikian, Hasanuddin merupakan pendiri dan sekaligus sebagai raja pertama Kerajaan Banten.

Di bawah pemerintahannya, agama Islam serta pemerintahan Banten makin lama makin kuat.
Pelabuhan Banten menjadi Bandar dan pusat perdagangan yang ramai dikunjungi saudagar-saudagar
dari luar negeri seperti dari Gujarat, Persia, Tiongkok, Turki, Pegu(Selatan Myanmar), Keling, dan
Portugis. Orang-orang Tiongkok ke Banten dengan membawa porselin, sutra, beledru, benang mas,
jarum, sisir, paying, slop, kipas, kertas dan lain-lain. Sedangkan dari Banten mereka membeli lada, nila,
cendana, cengkeh, buah pala, penyu, dan gading. Orang-orang Persia membawa permata dan obat-
obatan. Orang Gujarat menjual kain-kain kapas, sutra, batik koromandel, kain putih, kain mona
kemudian dibatik atau disulam oleh wanita-wanita Banten. Di Banten merekapun membeli rempah-
rempah dan lain-lain.

Sultan Hasanuddin menanamkan pengaruhnya di Daerah Lampung. Pada tahun 1570 Sultan Hasanuddin
wafat. Penggantinya Pangeran Yusuf (1570-1580) anak beliau sendiri. Beliau menaklukan Pajajaran yang
masih belum Islam tahun 1579. Memajukan pertanian dan pengairan. Mendirikan masjid Agung Banten
dan membuat benteng dari batu bata. Tahun 1580, beliau wafat, meninggalkan kerajaan yang sudah
kuat dan luas.
Maulana Muhammad (1580-1596) yang baru berumur 9 tahun menggantikan ayahnya, didampingi oleh
mangkubumi sebagai walinya. Dalam tahun1596, beliau melancarkan serangan terhadap Palembang,
dengan maksud agar hasil bumi berada dalam kekuasaannya. Tetapi, beliau tertembak mati, sehingga
mengalami kegagalan.

Pada tanggal 22 juni 1596, mendaratlah orang Belanda di pelabuhan Banten di Bawah Pimpinan Cornelis
de Houtman. Kedatangan Bangsa Belanda ini merupakan titik awal dari hari depan Indonesia yang gelap.
Yang memerintah pada waktu itu adalah anak Sultan Muhammad yang baru berumur 5 bulan yang
bernama Abu Mufakhir Mahmud Abdul Kadir dengan didampingi oleh walinya/mangkubumi yang
bernama Jayanegara. Kemudian diganti oleh Abu Ma’ali. Abu Ma’ali digantikan oleh Sultan Agung
Tirtayasa. Di bawah pemerintahannya, kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya. Dalam upaya
mempertahankan Banten sebagai salah satu pusat perdagangan di Nusantara, Sultan Agung Tirtayasa
berani bersikap tegas terhadap persekutuan dagang Belanda, Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
yang berkedudukan di Batavia. Sultan Agung Tirtayasa menolak kemauan VOC untuk menerapkan
monopoli perdagangan rempah-rempah.

Jarak antara Banten dan Batavia yang dekat membuka peluang meletusnya konflik sewaktu-waktu.
Konflik itu dapat berupa perampokan, perusakan, bahkan pertempuran. Misalnya, rakyat Banten
membuat kewalahan Belanda dengan mengadakan perusakan terhadap aset-aset milik VOC.

Ternyata sikap tegas Sultan Agung Tirtayasa terhadap VOC tidak diteruskan oleh putranya, Sultan Haji, ia
cenderung berkompromi dengan VOC. Perbedaan sikap itu memuncak terjadi perang saudara. Dalam
perang tersebut Sultan Haji dibantu oleh VOC, akibatnya Sultan Agung Tirtayasa terdesak dan kemudian
tertangkap. Peristiwa kemenangan Sultan Haji menandai berakhirnya kejayaan Kerajaan Banten. Setelah
itu, Banten berada di bawah pengaruh VOC.

#Islam di Kalimantan

Islam mengakar kuat di Pulau Kalimantan, seiring dengan perkembangan Islam di bumi nusantara. Ada
banyak teori tentang kapan Islam masuk di Kalimantan.
Marzuki dalam Tarikh dan Kebudayaan Islam menjelaskan, di Pulau Kalimantan, Islam masuk melalui
pintu timur. Kalimantan Timur pertama kali diislamkan oleh Datuk Ri Bandang dan Tunggang Parangan.

Kedua mubalig ini datang ke Kutai (Kalimantan Timur) setelah orang-orang Makassar masuk Islam.
Islamisasi di sini dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi sekitar 1575 M.

Teori lain menyatakan, Islamisasi Kalimantan mungkin berlangsung atau dimulai dari Kerajaan Brunei.
Pada masa itu, Brunei merupakan pelabuhan dagang yang paling terkenal di Kalimantan.

Menurut Didik Pradjoko dkk, dalam Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia, sebelum
muncul Kerajaan Banjarmasin, di sebelah barat laut pulau ini terdapat kota pelabuhan terkenal, yaitu
Lawe dan Tanjungpura.

Kedua tempat ini berseberangan dengan pantai Utara Jawa. Karena itu, hubungan perdagangan banyak
dilakukan dengan kota pelabuhan yang ada di pantai utara Jawa.

Tanjungpura dan Lawe di Kalimantan Barat melakukan hubungan pelayaran dan perdagangan dengan
Malaka dan Jawa. Menurut pengembara Portugis Tome Pires, raja dan masyarakat kedua tempat ini
masih menyembah berhala, tetapi Tanjungpura tunduk kepada Pati Unus, raja di Jepara.

Pati Unus, yang menyerang Portugis di Malaka dan diidentifikasi dengan nama Pangeran Sabrang Lor
dalam berbagai babad, jelas berasal dari Kerajaan Demak. Karena itu, dengan adanya hubungan antara
Tanjungpura dan para pedagang dari Jawa dan Malaka, mungkin di kalangan penduduk Tanjungpura
sudah ada yang memeluk agama Islam.

Teori ini tentu sejalan dengan pendapat yang mengatakan, Islam masuk di Kalimantan dibawa oleh
Sunan Bonang dan Sunan Giri pada abad ke-15 M, juga Sayid Ngabdul Rahman atau Khatib Baiyan.

Para penyiar Islam datang ke Kali mantan sambil berdagang, menyusuri su ngaisungai besar di
Kalimantan. Secara berangsur- angsur, pengaruh Islam masuk ke seluruh wilayah Kalimantan.
Di kalimantan Timur, misalnya, masuknya Islam di daerah ini ternyata tidak hanya dibawa oleh penyiar
dari Gresik, tetapi juga dari Bugis. Demikian pula, di Kalimantan Barat, datangnya pengaruh Islam
berasal dari Palembang dan Semenanjung Malaka.

Di Kalimantan Tengah, Islam masuk melalui para pedagang melayu. Mereka sambil berdagang sekaligus
menyiarkan Islam. Hal tersebut terjadi sekitar abad ke-16.

Doktor Sejarah Indonesia, Fakultas Adab, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Uka Tjandrasasmita dalam
Kedatangan dan Penyebaran Islam menjelaskan, kedatangan Islam di daerah Kalimantan Selatan, di
kalangan keluarga raja Negara Dipa (dan kemudian Negara Daha) terjadi perebutan kekuasaan antara
Pangeran Tumenggung dan Raden Samudra, cucu Maharaja Sukarama dari Nagara Daha.

Menurut Hikayat Banjar, Raden Samudra mendirikan Kerajaan Banjar dengan dukungan Pati Masih,
Balit, Muhur, Kuwin, dan Balitung. Konon untuk mengalahkan kekuasaan Pangeran Tumenggung, Raden
Samudra meminta bantuan tentara kepada Kerajaan Demak. Namun, di antara bantuan itu juga
terdapat seorang mubalig, yang disebut penghulu Demak.

Setelah Pangeran Tumenggung tunduk kepada Raden Samudra, Raden Samudra menjadi Muslim dengan
gelar Sultan Suryanullah. Sejak sekitar 1550-an, Kalimantan Selatan mulai diislamkan.

Kedatangan Islam di Kalimantan Timur dapat kita ketahui dari Hikayat Kutai, yang menyatakan bahwa
pada masa pemerintahan Raja Mahkota, datang dua orang mubalig yang bernama Tuan ri Bandang dan
Tuan Tunggang Parangan.

Mereka datang di daerah Kutai setelah mengislamkan masyarakat di Sulawesi Selatan. Setelah raja
mahkota memeluk Islam, Tuan ri Bandang (Dato ri Bandang) kem bali ke Sulawesi Selatan, sedangkan
Tuan Tunggang Parangan menetap di Kutai.

Raja mahkota masuk Islam setelah kalah dalam pertarungan kesaktian dengan mubalig tersebut.
Peristiwa masuk Islamnya Raja Kutai dan mulai menyebarnya Islam di daerah sekitarnya, diperkirakan
terjadi sekitar 1575.

#kerajaan Kalimantan
Menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional III, di
seluruh Kalimantan terdapat kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam, baik yang besar maupun yang kecil.
Berikut ini tiga kerajaan Islam yang pernah eksis di Kalimantan.

Kerajaan Banjar

Kerajaan Banjar (Banjarmasin) terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak kerajaan-
kerajaan bercorak Hindu, yaitu Nagara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang berpusat di daerah hulu Sungai
Nagara di Amuntai kini.

Raden Samudra dinobatkan sebagai raja Banjar oleh Patih Masiri, Muhur, Balit, dan Kuwin. Pada waktu
menghadapi peperangan dengan Daha, Raden Samudra minta bantuan Demak sehingga mendapat
kemenangan.

Sejak itulah penguasa Kerajaan Samudra menjadi pemeluk agama Islam dengan gelar Sultan
Suryanullah. Islamisasi di daerah ini terjadi sekitar 1550 M. Sejak pemerintahan Sultan Suryanullah
Kerajaan Banjar meluaskan kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit,
Madawi, dan Sambangan.

Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai terletak di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, yaitu di sekitar pertemuan Sungai
Mahakam dengan anak sungainya. Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Dulunya
kerajaan ini bercorak Hindu.

Karena letak kerajaan yang strategis, yakni berada di jalur perdagangan antara Cina dan India sehingga
menunjang ekonomi kerajaan dan menjadi pintu masuknya bagi agama Islam.
Kedatangan Islam di Kalimantan Timur dapat diketahui dari Hikayat Kutai, yang menyatakan bahwa pada
masa pemerintahan Raja Mahkota, datang dua orang mubalig yang bernama Tuan ri Bandang dan Tuan
Tunggang Parangan. Mereka datang di daerah Kutai setelah mengislamkan masyarakat Sulawesi Selatan.

Peristiwa ini terjadi pada akhir abad ke-16. Pada abad ke-17, aga ma Islam mulai diterima dengan baik
oleh Ke rajaan Kutai Kertanegara dan rakyat-rakyatnya.

Kerajaan Pontianak

Kesultanan Pontianak didirikan pada akhir abad ke-18 M, sekaligus merupakan kesultanan termuda yang
lahir di wilayah Kalimantan Barat. Sebelumnya, telah banyak terdapat kesultanan atau kerajaan lainnya
yang telah lebih dulu berdiri di wilayah ini. Seperti Kerajaan Landak (1472M), Matan (16M), Mempawah
(16M), Sambas (17M), dan lainnya.

Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak Pertama. Letak pusat pemerintahan
ditandai dengan berdirinya Masjid Ra ya Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana Ka dariah, yang
sekarang terletak di Kelurahan Da lam Bugis Kecamatan Pontianak Timur. Ia me merintah dari tahun
1771-1808.

Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Pontianak terus mengalami kemajuan hingga menjadi
kekuatan baru di wi la yah Kalimantan Barat dalam aktvitas perda gang an nya. Hal ini karena posisi
kerajaan yang strate gis sehingga banyak pedagang asing yang singgah.

#adat Kalimantan

Islam dan Budaya Banjar

Banyak sekali budaya lokal yang masih sampai sekarang dilakukan di daerah Banjarmasin dan sekitarnya.
Baik budaya tersebut dilakukan secara periodik dan bersifat sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Diantaranya adalah hari al- Syura dan bubur al-Syura, maulitan, baayun maulid, batapung tawar,
bapalas bidan
Hari al-Syura (10 Muharam) dan Bubur al-Syura

Muharam adalah bulan pertama dalam tahun Islam (Hijrah). Sebelum Rasulullah berhijrah dari Makkah
ke Madinah, penamaan bulan dibuat mengikut tahun Masehi. Hijrah Rasulullah memberi kesan besar
kepada Islam sama ada dari sudut dakwah Rasulullah, ukhuwah dan syiar Islam itu sendiri.

Karena banyaknya peristiwa-peristiwa yang menakjubkan di hari tersebut, maka agama menyuruh
(hukumnya sunah muakkadah) untuk melaksanakan puasa di hari tersebut. Selain disunahkan puasa,
kita juga disunahkan untuk berbagi dengan anak yatim dan orang yang membutuhkan lainnya.

Dalam masyarakat Banjar, masih banyak ditemukan pembuatan bubur al- Syura yang dibuat bertepatan
dengan tanggal 10 Muharam tiap tahunnya. Kenapa dinamakan dengan bubur al- Syura, karena di hari
itulah masyarakat Banjar bergotong-royong membuatnya. Keistimewaan bubur al- Syura masyarakat
Banjar adalah bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatannya. Konon katanya, bahan-bahan yang
digunakan berjumlah lebih dari 40 buah macam bahan. Biasanya bubur al- Syura terbuat dari beras yang
dimasak dengan santan dan dicampur dengan segala sayur-sayuran. Menurut Daud, pembuatan bubur
ini merupakan kenangan terhadap suatu peristiwa pada zaman dulu yang ketika itu selalu dalam
kekurangan makanan, dikumpulkanlah segala macam tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar dan
dicampur dengan segala persediaan bahan makanan yang ada menjadi bubur (Alfani Daud, 1997:330-
331). Tidaklah heran bahan bubur tersebut hampir 40 buah bahan.

Biasanya masyarakat Banjar mulai memasak bubur tersebut ketika siang hari dan mulai dibagi-bagikan
ke masyarakat ketika sore hari (sekitar jam 4-5 sore) untuk dijadikan makanan berbuka puasa.

Hikmah yang dapat diambil dalam pembuatan bubur ini adalah dapat dijadikan syiar Islam dan juga
dapat mempererat tali silaturahim antar masyarakat Banjar pada khususnya.

Maulitan

Maulitan dan ada juga orang mengatakan mulud. Kata tersebut berasal dari bahasa Arab maulid yang
telah dibanjarkan untuk menunjukkan pada sebuah acara perayaan yang dikenal sebagai maulid Nabi
yang berarti pada hari kelahiran Nabi Muhammad yang jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Umat Islam
banyak banyak yang merayakannya dengan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan pola kebudayaan
masing-masing. Seperti yang ada di daerah Jawa misalnya di keraton Yogyakarta, diadakan acara grebek
dengan dilengkapi acara ritual-ritual Jawa seperti mengarak benda-benda bersejarah milik sultan,
mengarak makanan (sayur mayur dan buah-buahan) sampai ke masjid Agung dan selanjutnya makanan
tersebut diperebutkan masyarakat. Bulan Rabi’ul Awal yang merupakan bulan kelahiran nabi
Muhammad tersebut oleh orang banjar disebut bulan maulid Kegiatan ini, meskipun tidak masuk dalam
doktrin agama, sifatnya kultural tetapi merupakan fenomena universal di kalangan umat Islam di
Kalimantan Selatan, malahan jika terdapat orang yang dalam ekonomi berkucupan tidak melaksanakan
maulitan di rumahnya, maka dianggap tidak baik oleh orang sekitarnya.

Di Banjarmasin, perayaan maulid diperingati dengan serangkaian acara-acara, yang biasanya terdiri dari
pembacaan sya’ir-sya’ir maulid, seperti: al-Barzanji, al-Diba’i, Asyaraf al-Anam, atau maulid al-Habsyi.
Dilanjutkan dengan ceramah agama. Peringatan maulid ini dilakukan di berbagai tempat, seperti:
tempat-tempat ibadah; mesjid dan langgar (mushalla), sekolah-sekolah dan perkantoran, rumah-rumah
penduduk, tempat-tempat keramat dan lain sebagainya. Masyarakat rela bergotong-royong untuk
mempersiapkan segala sesuatu demi suksesnya perayaan ini (Maimanah dan Norhidayat, 2011: 52).

Di daerah Kalimantan Selatan khususnya daerah Hulu Sungai (dari Kab. Tapin sampai Kab. Tabalong) ada
kegiatan yang sangat mengagumkan. Yaitu melaksanakan perayaan tahunan ini satu bulan penuh yang
dibagi per kampung, supaya tidak terjadi dalam satu hari bentrokan perayaan maulid dalam satu
kampung. Yang menjadi keunikan tersendiri ialah perayaan maulid dalam satu kampung dipusatkan di
masjid Jami’/Agung. Salah satu masjid yang digunakan sebagai tempat maulid akbar adalah masjid
keramat al-Mukarramah yang berada di desa Banua Halat, Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin.

Sebelum dilaksanakan maulid di masjid tersebut, orang kaya yang ada dalam kampung tersebut
mengadakan perayaan maulid sendiri-sendiri dengan mengundang orang kampung sebelah mereka dan
kerabat serta keluarga mereka di rumah. Dalam rumah itu dibacakan ayat-ayat suci Al-Quran dan
setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan Maulid Habsyi atau sering disebut dengan rawi (pembacaan
biografi dengan bahasa Arab) yang diselingi dengan qasidah-qasidah yang menggunakan terbang sejenis
marawis. Setelah selesai semua itu, ahlu bait menyuguhkan makanan bagi yang hadir dalam rumah
tersebut. Setelah mereka selesai makan bersama-sama, mereka langsung menuju ke masjid Jami’/Agung
untuk mengikuti maulid akbar yang juga dibacakan ayat-ayat Al Quran, maulid Habsyi serta diadakan
ceramah agama oleh kiai setempat atau dengan mendatangkan penceramah dari luar kota.

Dana yang digunakan untuk acara maulid ini biasanya berasal dari swadana masyarakat setempat yang
dikumpulkan jauh-jauh hari sebelum acara tersebut dilaksanakan. Biasanya dibentuk kepengurusan
untuk pencarian dana yang akan digunakan dalam acara tersebut. Selain dalam pencarian dana, mereka
juga saling membantu dan berbagi tugas, ada yang membersihkan masjid, ada yang menjadi tukang
masak, tukang parkir dan lain sebagainya demi kelancaran acara maulid. Masjid Agung dijadikan sebagai
tempat maulid karena masjid mempunyai makna sebagai penyatu masyarakat, serta alasan undangan
yang berasal dari luar kota dengan mudah menujunya.

Sebagaimana biasanya, dalam maulid yang di masjid Agung itu diadakan acara tahlilan dan ceramah
agama yang berkaitan dengan maulid Nabi dengan tema keselamatan dunia dan akhirat. Dijelaskan
penceramah bahwa keselamatan dunia dan akhirat dapat dicapai dengan apabila kita mencintai Nabi
dengan mengikuti perintah dan menjauhi larangan dari Allah dan Nabi.

Baayun Maulid

Baayun (mengayun anak) maulid dilaksanakan ketika pembacaan maulid nabi saat bacaan yang harus
dibaca dalam keadaan berdiri. Saat itulah anak diayun-ayun untuk mengharapkan berkah dari nabi.

Berdasarkan tradisi asalnya, tata cara maayun anak dalam upacara baayun maulid sebenarnya berasal
tradisi bapalas bidan sebagai sebuah tradisi yang berlandaskan kepada kepercayaan Kaharingan. Dan
ketika agama Hindu berkembang di daerah ini maka berkembang pula budaya yang serupa dengan
baayun anak yakni baayun wayang (didahului oleh pertunjukan wayang), baayun topeng (didahului oleh
pertujukan topeng) dan baayun madihin (mengayun bayi sambil melagukan syair madihin). Ketika Islam
masuk dan berkembang, upacara bapalas bidan tidak lantas hilang, meski dalam pelaksanaannya
mendapat pengaruh unsur Islam. Islam datang tidak langsung menghilangkan tradisi Kaharingan dan
Hindu sebelumnya tetapi tradisi yang dahulu itu disesuaikan dengan ajaran Islam dengan tujuan untuk
mempermudah Islam masuk dan berkembang.

Keistemewaan dari ayunan yang digunakan ketika acara baayun maulid adalah tali ayunan dipenuhi
hiasan dari janur/daun kelapa muda berbentuk burung-burungan, ular-ularan, ketupat bangsur,
halilipan, kambang sarai/hiasan dari kertas yang dipintal, hiasan dari wadai/kue 41 seperti cucur, cincin,
pisang, nyiur dan lain-lain. Untuk tempat mengaitkan ayunan tersebut, panitia menyiapkan bambu yang
panjang, di satu bambu ada terdapat sampai puluhan ayunan yang dikhususkan tempatnya untuk orang
dewasa dan anak-anak.

Adapun dengan ayunannya dibuat tiga lapis, dengan kain sarigading (sasirangan) pada lapisan pertama,
kain kuning pada lapisan kedua dan kain bahalai (sarung panjang tanpa sambungan) pada lapisan ketiga.
Orang tua yang melaksanakan baayun diharuskan menyiapkan piduduk (makanan) berupa beras, gula
habang (gula merah), nyiur (kelapa), hintalu hayam (telur ayam kampung), banang (benang), jarum,
uyah (garam) dan binggul (uang receh). Makanan ini menjadi lambang filosofis, seperti gula habang
diharapkan anak yang diayun itu perkataan-perkataannya selalu memberikan kedamaian bagi orang
yang di sekitarnya.

Pusat tempat dilaksanakan acaran baayun maulid ini adalah di Masjid al-Karamah desa Banua Halat
Kabupaten Tapin. Peserta dalam acara ini tidak hanya dari anak-anak balita, tapi juga pemuda, orang
dewasa, dan bahkan ada juga yang berusia sampai 100 tahun. Maksud mereka untuk mengikuti acara
baayun maulid ini juga bermacam-macam. Ada yang mengaku untuk mencari berkah maulid nabi agar
anaknya pandai dan berbakti kepada orang tuanya dan ada juga yang melengkapi nazar mereka.
Terlepas dari motif masing-masing peserta baayun yang notabene diikuti oleh orang-orang tua, maka
maksud maayun anak bersamaan dengan peringatan maulid nabi adalah untuk membesarkan nabi
sekaligus berharap berkah atas kemuliaan nabi Muhammad Saw, disertai doa agar sang anak yang
diayun menjadi umat yang taat, bertakwa kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, serta kehidupannya sejak
kecil maupun dewasa hatinya selalu terpaut untuk selalu sholat berjamaah di mesjid. Total jumlah
peserta yang mengikuti mencapai ribuan orang, terdiri dari golongan anak-anak (balita) dan orang
dewasa bahkan ada berusia 60 tahunan. Bahkan tahun demi tahun peserta tersebut semakin bertambah
bahkan ada dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei.

Untuk di kota Banjarmasinnya sendiri acara baayun maulid dilaksanakan di di komplek Makam Sultan
Suriansyah, walaupun tidak sebesar yang ada di masjid al-Karamah desa Banua Halat Kabupaten Tapin.
Walaupun ada yang tidak sepaham dengan komplek Makam Sultan Suriansyah tapi acara itu sudah ke
tujuh kalinya (mulai awal tahun 2004) dilaksanakan di sana.

Ada berbagai motivasi dan tujuan dari peserta dalam mengikuti acara baayun mulud ini, di antaranya
adalah adanya kepercayaan akan terkabulnya segala hajat; mendapatkan berkah, kesehatan,
keselamatan, sembuh dari sakit, anak tidak nakal/rewel dan karena menunaikan nazar yang sebelumnya
telah dikabulkan Allah swt (Maimanah dan Norhidayat, 2012: 74).

Batapung Tawar

Batapung tawar adalah acara semacam selamatan untuk menyambut kelahiran seorang anak. Sama
halnya dengan acara baayun maulid, ayunan yang digunakan juga digantungi macam-macam benda.
Nantinya gantungan yang ada akan diperebutkan oleh orang-orang yang hadir.

Upacara tapung tawar sebagaimana dikenal masyarakat Indonesia dan Malaysia diadopsi dari ritual
agama Hindu yang sudah lebih dulu dianut masyarakatnya. Ketika para pedagang dari Gujarat dan
Hadramaut membawa ajaran Islam ke kawasan ini sejak abad ke-7 Masehi, mereka berhadapan dengan
kebiasaan animisme (kepercayaan pada kehidupan roh) dan dinamisme (kepercayaan pada kekuatan
gaib benda-benda) yang direstui agama Hindu yang sangat kuat di setiap lapisan masyarakat. Salah
satunya adalah upacara Tapung Tawar (disebut juga Tepuk Tepung Tawar). Upacara ini menyertai
berbagai peristiwa penting dalam masyarakat, seperti kelahiran, perkawinan, pindah rumah, pembukaan
lahan baru, jemput semangat bagi orang yang baru luput dari mara bahaya dan sebagainya. Dalam
perkawinan, misalnya, tapung tawar adalah simbol pemberian doa dan restu bagi kesejahteraan kedua
pengantin, di samping sebagai penolakan terhadap bala dan gangguan.

Dalam upacara ini, penepung tawar menggunakan seikat dedaunan tertentu (biasanya menggunakan
daun pandan atau daun pisang) untuk memercikkan air terhadap orang yang ditepungtawari. Air
tersebut terlebih dahulu diberikan wewangian seperti jeruk purut, dicelupkan emas ke dalamnya, dan
sebagainya. Selanjutnya, mereka menaburkan beras dan padi yang sudah dicampuri garam dan kunyit ke
atas orang yang ditepungtawari. Akhirnya, mereka menyuapkan santapan pulut (atau lainnya) ke
mulutnya. Ada anggapan bahwa setiap jenis daun dan benda-benda yang digunakan mempunyai atau
merepresentasi kekuatan gaib tertentu yang berfungsi menyelamatkan, menyejukkan, menjaga, dan
sebagainya. Terdapat beberapa varian upacara ini untuk daerah yang berbeda (seperti Aceh, Melayu,
Sambas dan lain-lain) tetapi sumber dan tujuannya sama.

Demikianlah yang dilakukan masyarakat sebelum Islam datang di Nusantara dan demikian pulalah ritual
yang sampai sekarang masih berlangsung dalam agama Hindu. Lihat saja baik secara langsung atau lewat
televisi ritual orang-orang Hindu India atau Hindu Indonesia saat upacara keagamaan mereka.

Karena tidak mampu menghapuskan kebiasaan tersebut, para pembawa Islam yang terdahulu berusaha
memasukkan nilai-nilai Islami ke dalamnya. Misalnya, acara tapung tawar diisi dengan pembacaan doa
kepada Allah Swt. Mereka menggiring masyarakat untuk menganggap bahwa Tepung Tawar itu hanya
sebatas adat istiadat, pelengkap setiap acara, bukan lagi ritual. Tetapi yang terjadi jauh panggang dari
api. Upacara tapung tawar terus berlanjut dalam masyarakat yang takut untuk meninggalkannya.
Berhubung para ulama kalah oleh tradisi (tidak berhasil menghilangkan kebiasaan tersebut), akhirnya
masyarakat menganggap bahwa para ulama pun telah membenarkan mereka.

Sebagian kalangan bahkan beranggapan bahwa praktik tapung tawar memiliki sandaran agama. Beredar
anggapan di tengah masyarakat bahwa praktik semacam ini dijalankan juga oleh para nabi dan
keluarganya, termasuk istri Nabi Imran a.s. yang menggunakan atau melemparkan suatu benda saat
menazarkan kelahiran anaknya Maryam dan Nabi Muhammad SAW yang “menepungtawari”
perkawinan Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib.
Sebagian orang (termasuk guru agama di kampung-kampung) mengatakan upacara tapung tawar adalah
sunat berdasarkan riwayat di atas. Tetapi setahu saya, tidak ada ayat atau Hadis yang shahih tentang
riwayat-riwayat semacam itu. Bahkan, cerita-cerita tersebut kalau kurang hati-hati cenderung kepada
dosa besar karena mendustakan para nabi yang mulia. Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis
shahih bahwa barang siapa sengaja meriwayatkan darinya sesuatu yang tidak pernah beliau lakukan
atau katakan maka orang itu tempatnya di dalam neraka.

Bapalas bidan

Kelahiran dan kematian adalah siklus kehidupan manusia. Dalam masyarakat Banjar dalam kelahiran
seorang anak akan dimulai dengan beberapa tradisi salah satunya bapalas bidan. Segera setelah lahir,
tangkai pusat bayi langsung dipotong dan kemudian dibungkus dengan kunyit bercampur kapur, bayi
dimandikan, diwudhui, perutnya diolesi dengan bedak beras (Alfani Daud, 1997: 230), ubun-ubunnya
dikasai (diolesi) dengan ramuan beras dan garam lalu seluruh tubuhnya dibalut dengan kain bersih
termasuk kedua tangannya (dibedong). Tembuni bayi dibersihkan dan dicampurkan dengan garam, ada
kepercayaan masyarakat Banjar apabila tembuni seorang bayi dicampur dengan garam, maka perkatan-
perkataan bayi kelak akan masin (berpengaruh/penuh dengan hikmah) (Alfani Daud, 1997: 232).

Masyarakat Banjar terkenal dengan agamis, terbukti ketika bayi baru lahir diazankan di telinga sebelah
kanan dan diiqamatkan di telinga sebelah kiri. Masyarakat Banjar biasanya menambahkan surah al-
Inshirah dan surah al-Qadr kemudian ditiupkan dengan pelan ke telinga bayi. Hal demikian pun mereka
lakukan ketika sedang memandikan bayi sampai bayi berumur 40 hari. Apabila azan magrib
berkumandang bayi yang sedang berbaring segera diangkat dan diayun-ayun seraya membacakan surah
al-Qadr sebanyak 3 kali dan kemudian ditiupkan ke telinga bayi dengan niatan bayi tidak diganggu
makhluk gaib.

Masyarakat Banjar juga masih percaya dengan hal yang berbau mistis seperti terlebih bayi masih
berumur di bawah 40 hari maka diletakkan di samping/dekat kepala bayi cermin, surah Yasin, bawang
merah tunggal, daun jariangau (jeringau) dan jeruk nipis. Hal itu dimaksudkan agar bayi tersebut tidak
diganggu kuyang (semacam makhluk pengisap darah) dan hantu beranak serta saudara-saudara gaibnya
yang lain.

Menurut Daud seorang bayi yang baru lahir dinyatakan sebagai anak bidan sampai dilaksanakannya
upacara bapalas bidan, yakni suatu upacara pemberkatan yang dilakukan oleh bidan terhadap si bayi
dan ibunya. Selain dilaksanakan oleh masyarakat Banjar yang tinggal di perdesaan, upacara bapalas
bidan juga dilaksanakan oleh orang Dayak Meratus. Setelah bayi lahir, orang Dayak Meratus kemudian
melaksanakan upacara bapalas bidan, yakni memberi hadiah (piduduk) berupa lamang ketan, sumur-
sumuran (aing terak), beras, gula dan sedikit uang kepada bidan atau balian yang menolong. Biasanya
sekaligus pemberian nama kepada sang bayi. Termasuk nantinya saat anak sudah mulai berjalan (turun)
ke tanah dari rumah (umbun) juga dengan upacara mainjak tanah, tetap dipimpin oleh
balian.Pelaksanaan bapalas bidan, biasanya dilakukan ketika bayi berumur 40 hari.

Bapalas bidan selain dimaksudkan sebagai balas jasa terhadap bidan, juga merupakan penebus atas
darah yang telah tumpah ketika melahirkan. Dengan pelaksanaan palas bidan ini diharapkan tidak terjadi
pertumpahan darah yang diakibatkan oleh kecelakaan atau perkelahian di lingkungan tetangga maupun
atas keluarga sendiri. Karena menurut kepercayaan darah yang tumpah telah ditebus oleh si anak pada
upacara bapalas bidan tersebut. Pada upacara bapalas bidan ini si anak dibuatkan buaian (ayunan) yang
diberi hiasan yang menarik, seperti udang-udangan, belalang dan urung ketupat berbagai bentuk, serta
digantungkan bermacam kue seperti cucur, cincin, apam, pisang dan lain-lain. Kepada bidan yang telah
berjasa menolong persalinan itu diberikan hadiah segantang beras, jarum, benang, seekor ayam (jika
bayi lahir laki-laki, maka diserahkan ayam jantan dan jika perempuan diberikan ayam betina), sebiji
kelapa, rempah-rempah dan bahan untuk menginang seperti sirih, kapur, pinang, gambir, tembakau dan
berupa uang. Karena memang berasal dari tradisi pra-Islam, maka di antara perlengkapan baayun
maulid seperti ayunan dan piduduk mempunyai persamaan dengan perlengkapan langgatan pada acara
tradisional aruh ganal yang yang dilaksanakan orang Dayak Meratus.

Ketika Islam datang ke daerah ini, acara bapalas bidan dan maayun anak tidak dilarang, hanya kebiasaan
yang tidak sesuai sedikit demi sedikit ditinggalkan. Begitu pula berbagai perlengkapan, maksud dan
tujuan, dan perlambang (simbolika) juga disesuaikan atau diisi dengan nilai-nilai Islam. Perbedaan yang
ada antara ritual Hindu dan Islam ketika melakukan ritual adalah dalam Hindu selalu menggunakan
mantera-mantera sedangkan dalam Islam selalu disisipkan bacaan al-Quran dan shalawat kepada nabi
Muhammad Saw.

Tradisi bapalas bidan sendiri adalah sebuah upacara pemberkatan yang dilakukan oleh seorang bidan
kampung/tradisional kepada sang jabang bayi dan ibunya. Mereka yang melaksanakan tradisi ini
berpandangan bahwa jika sebuah keluarga yang baru saja menerima kehadiran seorang bayi tidak
melaksanakan upacara bapalas bidan, maka seakan-akan bayi yang baru lahir tersebut dianggap sebagai
anak dari bidan yang menolong prosesi persalinannya. Begitu kuatnya sebagian masyarakat Banjar
mempercayai anggapan ini, sampai-sampai mereka tetap mengadakan acara bapalas bidan, meskipun
yang membantu prosesi melahirkannya bukan lagi bidan tradisional atau bidan kampung, melainkan
bidan yang berpendidikan modern atau dokter di rumah sakit. Mereka juga percaya, bahwa jika acara
bapalas bidan ini tidak dilakukan, maka konon bayinya akan sering sakit-sakitan karena diganggu
makhluk gaib. Dalam pelaksanaan upacara bapalas bidan, disediakan ayunan (buaian) yang terdiri tiga
lapis kain panjang, lapis yang paling atas biasanya berwarna kuning. Juga disediakan berbagai kue-kue
dan piduduk (sesajian), baik piduduk kering maupun piduduk basah, dan berbagai perlengkapan lainnya.
Pada prosesinya, bayi yang baru dilahirkan pertama-tama diayun atau dibuai oleh sang bidan, kemudian
diserahkan kepada ibunya atau keluarganya. Selanjutnya, dibacakan do’a keselamatan dan keberkahan
untuk sang bayi, juga ibu dan keluarga besarnya. Terakhir, kue-kue dan sesajian lainnya dinikmati
bersama-sama.

Tampaknya, acara bapalas bidan ini pada awalnya, lebih dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih dari
pihak keluarga yang baru saja menerima kelahiran seorang bayi kepada sang bidan yang telah
membantu prosesi kelahirannya. Jika bidan zaman sekarang pada umumnya mendapat imbalan upah
berupa bayaran sejumlah uang, maka dalam tradisi masyarakat Banjar tempoe dulu, tampaknya
seserahan dan piduduk (sesajian) yang disediakan pihak keluarga dalam upacara bapalas bidan inilah
yang menjadi tanda terima kasih pihak keluarga terhadap bidan yang telah membantu prosesi
persalinan. Pada perkembangan berikutnya, acara bapalas bidan dilakukan bersamaan waktunya dengan
acara peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada bulan maulid atau Rabi’ul Awwal. Dari sinilah
kemudian muncul istilah baayun mulud. Karena sebagaimana telah dikemukakan, bahwa salah satu
prosesi dalam acara bapalas bidan, adalah membuai atau mengayun bayi yang baru saja dilahirkan di
dalam buaian atau ayunan. Seiring dengan perkembangan zaman, sejumlah peralatan dan sesajian pada
acara bapalas bidan tetap dipertahankan dalam pelaksanaan upacara baayun mulud hingga sekarang.
(Maimanah dan Norhidayat, 2012: 53-54).

Anda mungkin juga menyukai