Penyebaran agama Islam juga masuk melalui pantai utara Bayan dan dari
arah baratsekitar Tanjung. Pembawanya adalah seorang yeikh dari Arab Saudi
bernama Nurul Rasyid dengan gelar sufinya Gaoz Abdul Razak. Makamnya
torletak di kampung Kuranji, sebuah desa pantai di barat daya Lombok. Gaoz
Abdul Razak mendarat di Lombok bagian utara, di daerah Bayan. la pun menetap
dan berdakwah Kompleks Masjid Bayan Bleq disana. Beliau mengawini Denda
Wulan yang melahirkan seorang anak bernama Zulkarnaen. Keturunan inilah yang
menjadi cikal bakal raja-raja Selaparang. Kemudian Gaoz Abdul Razak mengawini
lagi Denda Islamiyah yang melahirkan Denda Qomariah yang populer dengan
sebutan Dewi Anjani.
Sunan Pengging, pengikut Sunan Kalijaga datang ke Lombok pada tahun
1640 M untuk menyiarkan agama Islam (sufi). Ia kawin dengan putri dari kerajaan
Parwa sehinggga menimbulkan kekecewaan raja Goa. Selanjutnya, raja Goa
menduduki Lombok pada tahun 1640 M. Sunan Pengging yang dikenal sebagai
Pangeran Mangkubumi lari ke Bayan. Salah satu bukti yang dapat dijadikan
sebagai kajian tentang awal penyebaran agama Islam adalah masjid kuno Bayan
Beleq.
Dari ketiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam masuk di Pulau
Lombok pada abad ke-16 dan berkembang pesat sampai abad ke- 17,dua di antara
ketiga teori masuknya Islam di Pulau Lombok menegaskan hal tersebut, yakni dari
dua jalur (arah) yang berbeda yaitu dari arah Barat yaitu Jawa dan dari arah Timur
yaitu dari Makasar melewati Bima dan Sumbawa baru kemudian ke Pulau
Lombok, walaupun tidak dapet menutup mata juga dari teori yang pertama
(Syakur, 2013).
Raden Paku belajar di Ampel bersama dengan Sunan Bonang. Ketika
keduanya berniat akan pergi haji maka terlebih dahulu keduanya berhenti di
Malaka dan bertemu dengan Wali Lanang. Jadilah keduanya santri Wali Lanang
selama setahun. Dalam pertemuan dengan Wali Lanang inilah keduanya diberi
julukan. Raden Paku dengan julukan Prabu Satmata dan Sunan Bonang dengan
julukan Prabu Nyakrakusumadi. Keduanya diperintahkan untuk pulang ke Ampel
Denta. Keduanya berperan dalam Proses Islamisai di Tuban dan Gresik. Daerah
dakwah Sunan Giri bahkan sampai ke Pulau Lombok, Makasar, Maluku,
Halmahera, dan Tarnate. Sunan Giri menurunkan sejumlah auliya dan raja-raja
local yang kelak baru dapat ditundukkan oleh kerajaan Mataram semasa
Amangkurat. Bahkan menurut cerita terdapat 6000 santri dari Giri yang dibunuh
di alun-alun Plered semasa pemerintahan Amangkurat I, Raja Mataram (Syam,
2013).
Pada abad ke-16 hingga abad ke-17, kontak antara para pedagang
dengan masyarakat Sasak berubah menjadi media para muballig atau dari Tuan
Guru, dalam menyebarkan Islam ke masyarakat Sasak. Melalui ajaran-ajaran
Islam yang bernuansa sufistik mengakulturasikan semangat spiritual
keagamaan masyarakat Sasak yang ada dalam filosofi Sasak Lombok’ dengan
spiritual keagamaan yang ada dalam Rukun Islam, terutama ibadah Haji.
Muncul dan berkembangnya Islam pada masyarakat Sasak terkait dengan dua
hal, yaitu pengaruh kedatangan Islam dengan ajaran-ajaran sufistiknya, dan
akulturasi semangat spiritual agama-agama lokal di masyarakat pulau Lombok
dengan spiritual yang ada dalam ibadah haji yang di lakukan oleh orang Lombok.
Masyarakat Sasak mengenal sosok seorang tokoh Islam yang bernama Habib
Husein bin ‘Umar al-Masyhur Marzaq, atau yang lebih dikenal dengan nama
Habib Husein. Seorang ulama Arab yang berasal dari Tarim, Hadralmaut.
Bersama Habib Abdullah Shahab, Tuan Guru menyebarkan Islam di Lombok
pada abad ke-17. Melakukan perjalanan dakwahnya dari Hadralmaut ke Kalikut,
India, lalu ke Aceh, dan ke Pulau Lombok. Saat melakukan dakwah Islam di
Lombok, Habib Husein diminta oleh Raja Lombok untuk mengobati Tuan Putri
yang sedang sakit. Setelah Ia menyembuhkan Tuan Putri, Habib Husein meminta
dihadiahkan tanah di Bintaro. Oleh Habib Husein, tanah ini dihibahkan untuk tanah
tempat pemakaman orang- orang Islam yang meninggal (Ariadi, 2013).
Periode Bali-Lombok dengan berbagai cara di bawah kekuasaan raja Bali
sejak tahun 1640. Pengaruh orang-orang Bali pada kepercayaan dan praktek Islam
di Lombok mungkin sangat signifikan, miskipun seberapa luasnya pengaruh itu
sulit ditentukan dengan pasti. Contohnya dari pengaruh orang-orang Bali yang
paling mungkin, dapat dilihat dalam singkretis Islam Wetu Telu yang praktek-
praktek dan sistem kulturalnya tampaknya menyerupai praktek kosmologi orang-
orang Bali dalam beberapa hal. Namun demikian, tidaklah jelas apakah ini karna
pengaruh langsung dari orang-orang Bali atau karna kenyataan bahwa keduanya
berasal dari Jawa yaitu kerajaan Majapahit. Bahwa banyak daerah dari kalangan
masyarakat Wetu Telu sebagian besar terisolasi dari kontrak orang-orang Bali yang
membawa praktek-praktek yang menyerupai praktek-praktek agama orang Bali
mengesankan kemungkinan penjelasan yang lebih lanjut (Bartholomew, 2001).
Pengaruh Penyebaran Islam Terhadap Perilaku Keberagaman Masyarakat
Sasak di Lombok. Penganut agama Boda diperkirakan telah ada di Pulau Lombok
pada sekitar abad ke-16 M. Fakta ini berdasarkan penemuan empat buah Arca
Perunggu di Batu Pandang, Desa Sapit, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten
Lombok Timur pada tahun 1634. Selain dikenal dengan nama Agama Boda, agama
ini dikenal dengan istilah yang lain, yaitu Bodha Budhi. Penganut agama Bodha di
Lombok dalam mengangkat pengikut Budha tidak membedakan pangkat dan
kedudukannya. Mereka tidak membedakan kasta dan golongan. Karna adanya
doktrin ini, agama Budha yang menyebar di Pulau Lombok lebih dikenal oleh
masyarakat Lombok, sebagai agama Bodha atau Budha Budhi (Ariadi, 2013).
dari benih) seperti buah-buahan. Ini merupakan dasar pemahaman kosmologis yang
tertanam kuat di kalangan mereka.
Sebagai simbolnya terdapat pahatan patung kayu yang disebut Paksi Bayan
yang menampilkan sosok seekor singa yang berada di puncak mimbar masjid kuno
Wetu Telu di Bayan Lombok Barat. Seorang kiai biasanya duduk di mimbar ini saat
memberikan khutbah dalam memperingati hari besar Islam seperti saat lebaran.
Pada Paksi Bayan itu juga terdapat pahatan lain yang merepresentasikan tiga sistem
reproduksi: kijang melambangkan kelahiran anak-anak, unggas merepresentasikan
burung yang bertelur sedang kelapa, padi dan kapas melambangkan aneka tumbuhan
yang berkembang-biak dari benih dan buah.
Selain itu, mereka memiliki pemahaman tentang adanya ketergantungan
antara antara jagad besar (makrokosmos) yang terdiri atas matahari, bulan, bintang,
dan planet lain, serta jagad kecil (mikrokomos) yang berisikan manusia dan mahluk
lain. Ketergantungan jagad kecil kepada jagad besar tercermin dalam kebutuhan
terhadap tanah, udara, air, dan api. Pada saat yang sama jagad besar juga tergantung
pada jagad kecil dalam hal pemeliharaan dan pelestarian. Ketergantungan semacam
itu menyatukan dua dunia tersebut dalam suatu keseimbangan, dan karena itulah
tatanan alam (kosmologis) bekerja.
Masyarakat Wetu Telu percaya pada Tuhan yang menciptakan Adam dan
Hawa sebagai manusia-manusia pertama. Dalam praktiknya keagamaan masyarakat
ini sarat diwarnai dengan bermacam-macam kepercayaan tentang roh, sebagai
mediator mereka sewaktu berkontemplasi dengan Tuhan. Mereka juga percaya
dan sangat menghargai ritual siklus kehidupan. Bagi mereka, setiap siklus diawali
maupun diakhiri harus diawali dengan suatu ritual khusus sebagai pertanda
mengarah pada status yang lebih tinggi. Tidak heran jika banyak ritual yang tetap
lestari, seperti ritus buang au (upacara kelahiran), ngurisang (upacara pemotongan
rambut), ngitanan (khitanan), merosok atau bekikir (meratakan gigi),
merariq (melarikan perempuan untuk dinikahi), metikah (perkawinan) begawe
pati (ritual kematian dan pasca kematian), dan sebagainya.
Masih banyak kepercayaan yang diyakini komunitas ini. Namun pada intinya
bertumpu pada pengetahuan tentang tradisi yang dipelihara secara turun temurun, bukan
tentang agama (Islam) dalam makna legal-normatifnya. Dengan demikian, adat menjadi
referensi sentral dalam peribadatan Wetu Telu. Inilah pengertian dan kedudukan
kelompok Wetu Telu sebagai komunitas tradisional masyarakat Sasak.
Namun demikian, seiring berkembangnya Islam di Lombok sebagai agama
mayoritas membuat komunitas adat ini memilih Islam sebagai identitas
keagamaannya, meskipun praktik adat tetap mereka pegang. Kenyataan inilah yang
memunculkan pengertian baru dari Wetu Telu menjadi Islam Wetu Telu.
Menurut kalangan yang mengidentifikasi mereka sebagai Islam Wetu Telu, mereka ini
hanya mengenal tiga rukun Islam, yaitu dua kalimat syahadat, shalat, dan puasa. Shalat yang
dilaksanakan adalah shalat Jumat, shalat Idul Fitri dan Idul Adha serta shalat jenazah. Puasa
Ramadhan dilakukan hanya tiga hari yaitu awal, tengah dan akhir bulan. Munculnya
pemahaman keagamaan dan pelaksanaan ritual Islam secara minimal ini jika
ditelusuri ternyata berkaitkan dengan proses dakwah Islam yang belum tuntas
dilakukan para penyebar Islam awal. Kepercayaan Wetu Telu bersumber dari
campuran banyak unsur: Hindu-Majapahit, tradisi lokal setempat, dan pengaruh orang-
orang Bali karena orang Lombok sejak tahun 1740 hingga 1894 berada di bawah control
raja-raja Bali.
Dalam proses penyebarannya, ternyata ajaran-ajaran Islam masih sulit diterima
secara bulat oleh orang-orang Sasak. Kepercayaan animisme dan dinamisme, yang
merupakan warisan nenek moyang masih belum bisa mereka tinggalkan. Di
samping itu, karena daya lentur ajaran Islam dan tata nilai yang telah berkembang
dalam kehidupan masyarakat sebelum datangnya Islam, tidak serta merta diganti.
Akibatnya masih ada budaya lama yang masih diterapkan bersamaan dengan ajaran
Islam yang baru mereka terima. Suburnya perkembangan Wetu Telu didukung oleh
kondisi penguasa Hindu yang melakukan tindakan hingga mengakibatkan
terhambatnya pembinaan kehidupan agama Islam dan menyebabkan timbulnya
penyimpangan-penyim- pangan dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
Hadits. Penguasa menekan orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji sehingga
orang-orang yang naik haji menjadi sangat sedikit jumlahnya.
Belanda semakin memperjelas demarkasi antara Hindu dan Islam, Adat dan
Islam dan seterusnya sehingga sebagai realitas akhir dari pola keagamaan masyarakat
Sasak adalah: (1) Islam Sunni (ortodoks) yang pada akhirnya populer dengan Waktu
Lima, (2) Hindu-Bali, (3) Boda yang merupakan pola keagamaan primordial dan
pengejewantahan adat dan tradisi yang kuat, dan (4) Kolaborasi beragam agama
mulai dari Boda, Hindu, dan Islam yang akhirnya di sebut dengan Wetu Telu.
Pada perkembangannya, komunitas Wetu Telu sudah banyak yang
melaksanakan ajaran Islam dengan sempurna berkat kegigihan para Tuan Guru
yang sudah menimba ilmu pengetahuan di Mekkah sejak abad ke-19. Mereka
berdakwah dan membimbing masyarakat kepada cara-cara ritual Islam Waktu Lima
seperti, TGH. Ali Batu, Guru Bangkol, TGH. Muhammad Siddiq, TGH. Zainuddin
Abdul Madjid, TGH. Saleh Hanbali, TGH. Makmun, dan masih banyak lagi. Mereka
merupakan penyiar Islam yang menekankan aspek fiqh berupa kewajiban pokok
seperti shalat, puasa, zakat dan haji, dan bahkan kadang ditambah dengan wirid
thariqat bagi mereka yang dianggap sudah layak. Tarekat ini pada akhir abad ke-19
berperan besar dalam pemberontakan melawan Belanda.
Para Tuan Guru pimpinan Islam Waktu Lima ini tidak memberangus budaya-
budaya dan tradisi lokal masyarakat setempat. TGH. Mutawalli misalnya, adalah
seorang tokoh yang mendakwahkan Islam dengan pendekatan kultural. Keyakinan
lokal masyarakat dibiarkan saja hidup. Dia mempelajari mitologi pada komunitas
Wetu Telu, mula-mula dengan cara mengutus murid-murid kepercayaannya untuk
menghimpun legenda dan mitos setempat dari para tetua desa. la memahami bahwa
komunitas Wetu Telu sangat suka memuja masa lalu, dan karena itu ia menampilkan
diri berminat mempelajari silsilah penduduk. Dengan modal itu dia dapat secara
leluasa mengenal kharakter, budaya, dan kepercayaan masyarakat setempat yang
membuatnya dapat begitu merakyat.
Dakwah kultural semacam itu ternyata berhasil menampilkan wajah Islam yang
membumi. Dalam pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang
normatif dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia
tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Pandangan semacam ini muncul
sebagai respons atas proses Arabisasi yang dilakukan oleh sebagian kalangan Islam
radikal yang mempunyai keinginan mengidentifikasi Islam dengan budaya Arab.
Pribumisasi Islam bermaksud menghindari terjadinya polarisasi antara agama dengan
budaya setempat. Artinya, menjadikan agama dan budaya agar tidak saling mengalah,
melainkan membuat pola hubungan dalam nalar keagamaan dengan berusaha
menemukan jembatan antara agama dan budaya.
mursyid Syaikh Ahmad Khatib Sambas di Makkah dan Syaikh Abdul Karim Banten
yang mengembangkan tarekat Qâdiriyah dan Naqsyabandiyah. Mereka merupakan
tokoh-tokoh kuat yang mengobarkan semangat anti penjajahan dan penindasan dari
pihak manapun,36 sehingga gerakan anti kolonial dan anti penindasan menjadi
suatu gerakan yang membangkitkan semangat berperang melawan penjajah dan
penindasan.
Mengenai perlawanan melawan penjajahan dan penindasan ini, Martin Van
Bruinessen menjelaskan bahwa pada tahun 1891 terjadi pemberontakan dari kaum
Muslimin suku Sasak melawan orang-orang Bali yang menguasai sebagian besar
pulau itu. Berbeda dengan pemberontakan-pemberontakan sebelumnya,
pemberontakan kali ini tidak mudah dipadamkan dan berlangsung terus sampai
1894. Pemberontakan itu berpusat di Praya (Lombok Tengah) dan pucuk
pimpinannya adalah Guru Bangkol, seorang bangsawan setempat, yang sekaligus
salah seorang guru tarekat Naqsyabandiyah.
Gerakan yang dipimpin oleh pemimpin tarekat cukup mengkhawatirkan pihak
penjajah Belanda, ketika terjadi pemberontakan di Banten tahun 1888 M. Pada waktu
itu, Engelenberg seorang Kontrolir Belanda, sedang berada di Banten. Dari peristiwa
itu tumbuh kecurigaan yang kuat dalam dirinya terhadap gerakan tarekat. Ia
memperhatikan bahwa para pemimpin pemberontakan Sasak, ternyata ada kaitannya
Selama masa penjajahan Belanda, gerakan dakwah yang dipimpin Tuan Guru
makin meningkatkan polarisasi antara Wetu Telu dan Waktu Lima. Jika kelompok
pertama, memberikan loyalitas mereka kepada para bangsawan Sasak sebagai
pemimpin tradisional dan kuat mempertahankan adat lokal, maka kelompok kedua
mengikuti para Tuan Guru sebagai pemimpin keagamaan kharismatik mereka.
Dalam babak sejarah berikutnya, Jepang menggantikan Belanda di Lombok
untuk suatu periode yang singkat antara 1942 dan 1945. Sesudah itu, selama
perang kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha untuk menguasai kembali
Lombok dan pulau-pulau Indonesia lainnya, tetapi tidak berhasil. Lombok merdeka
pada tahun 1946 sebagai bagian dari wilayah Indonesia.
TGH. Mutawalli seorang Tuan Guru yang dapat digolongkan generasi
berikut dari tokoh-tokoh agama etnis Sasak, mendakwahkan ajaran Islam secara
intensif kepada masyarakat penganut Wetu Telu, disamping juga menyebarkan
dakwah Islam di pondok pesantrennya Dâr al-Yatâmâ wa al- Masâkîn yang didirikan
dan mitos setempat dari para tetua desa.43 la memahami bahwa komunitas Wetu
Telu sangat menggemari pemujaan terhadap masa lalu, dan karena itu ia
menampilkan diri berminat mempelajari silsilah penduduk setempat untuk
mengetahui apakah ada hubungan antara keturunannya sendiri dengan
keturunan masyarakat setempat. Pendekatan ini membuat para tokoh adat setempat
tidak segan-segan membuka lontar yang memuat silsilah mereka. TGH. Mutawalli
termasuk yang bisa membaca lontar yang ditulis dalam bahasa Sasak maupun bahasa
Jawa.
Setelah mempelajari dan memahami mitos setempat, ia merepresentasikan
diri sebagai salah seorang figur yang dimaksud dalam legenda itu dan melakoni
perannya. Ada suatu penuturan yang disampaikan oleh salah seorang tokoh di
kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah. Tokoh tersebut menyatakan bahwa
warga Wetu Telu di desa Sengkol Kecamatan Pujut Lombok Tengah, mempunyai
mitos bahwa suatu saat nanti akan datang seorang penguasa yang bijak dan adil
tempat mereka menyandarkan diri dan sekaligus sebagai panutan. Akan ada tanda-
tanda yang menyertai kedatangannya. Kedatangannya tidak bisa dipastikan dan
mendadak, seperti burung nuri yang sedang terbang. Bumi akan goncang ketika ia
mendarat.
Setelah mempelajari kisah itu, TGH. Mutawalli mengenakan jubah hijau ketika
ia mendatangi sebuah masjid tua yang terletak di puncak gunung Pujut di Sengkol.
Dengan kekuatan mistiknya, terjadilah gempa kecil di sekeliling masjid tua itu
dengan mempergunakan bantuan jin. Kedatangan TGH. Mutawalli secara
mendadak dan diiringi gempa kecil itu, mengakibatkan komunitas masyarakat di
tempat itu menjadikan TGH. Mutawalli sebagai figur yang mereka nantikan.
Oleh karena itu, secara perlahan namun pasti, pengaruh TGH. Mutawalli
semakin kuat di masyarakat Wetu Telu Sengkol Lombok Tengah dan sekitarnya
dan kini menjadi Islam Waktu Lima.46 Ustadz Najam, seorang da'i di Bayan Belek
(Kecamatan Bayan), meyakini kekuatan gaib yang dimiliki TGH. Mutawalli yang
diperoleh karena kemampuannya menaklukkan jin.
Dalam periode yang relatif bersamaan, upaya menyempurnakan penge- tahuan
keagamaan masyarakat Wetu Telu tidak hanya dilakukan oleh TGH. Mutawalli, akan
tetapi upaya suci itu dilakukan oleh beberapa Tuan Guru dengan muridnya yang
setia seperti di Lombok bagian utara melalui pengajian yang rutin dilaksanakan oleh
TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid dengan organisasi Nahdlatul Wathan
1. Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan Sasak; Studi tentang Akulturasi Nilai-Nilai
Islam ke dalam Kebudayaan Sasak, (Yogyakarta: Pascasarjanan IAIN Sunan Kalijaga,
2002).
2. Ariadi, L. M. 2013. Haji Sasak: Sebuah Potret Dialektika Haji dan
KebudayaanLokal. Ciputat: IMPRESSA Publishing.
3. Asnawi, Respons Kultural Masyarakat Sasak Terhadap Islam, Ulumuna, Volume IX
Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
4. Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu versus Waktu Lima, alih bahasa Noor Cholis
dan Hairus Salim HS, (Yogyakarta: LKiS, 2000)
5. Fathurrahman Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram, (Mataram: Yayasan
Sumurmas Al- Hamidy, 1998)
6. Geertz, C. 1983. Abangan, Santri, Priyayi: Dalam Masyarakat Jawa
Jakarta: Pustaka Jaya.
7. Geertz, C. 1999. After The Fack: Dua Negeri Empat Dasawarsa Satu Antropolog.
Yogyakarta: LKiS.
8. Kamarudin Zaelani, “Dialektika Islam dengan Varian Kultur Lokal dalam Pola
Keberagamaan Muslim Sasak”, Jurnal Ulumuna IAIN Mataram, Vol. IX Edisi 15 No.1
(Januari-Juni 2005)
9. Jamaluddin, 2004. Islam Sasak: Sejarah Sosial Keagamaan di Lombok
10. (abad XVI-XIX) (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. John Ryan Bartholomew , Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, alih bahasa
Imron Rosyidi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001)
12. Madjid, Z. A. 2004. Visi Kebangsaan Religius Refleksi Pemikiran dan
Perjuangan. Cakung: Jakarta.
13. Majid, D. 2000. Berhaji di Masa Kolonial. Jakarta: CV Sejahtra, 2008.
14. Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan,
1992)
15. Suprapto, Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat : Menimbang Aktifitas
Dakwah bi al-Hal Pesantren di Lombok, dalam Jurnal Tasamuh, Fakultas Dakwah
IAIN Mataram, Vol. 4, Nomor 1, Desember 2006.
16. Thoha, Zainal Arifin, Runtuhnya Singgasana Kyai: NU Pesantren Dan Kekuasaan,
Pencarian Tak Kunjung Usai, (Yogyakarta: Kutub, 2007)
17. Soenyata Kartadarmadja dan Sutrisno Kutoyo, ed., Sejarah Kebangkitan Nasional
Daerah NTB, (Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Depdikbud, 1978)
18. Team Penyusun, Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1977)
19. Yayasan Bahkti Wawasan Nusantara 1992). Profil Propinsi Nusa Tenggara Barat,
(Jakarta: Pemrakarsa)
20. Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, Profil Propinsi NTB, (Jakarta: Yayasan Bhakti
Wawasan Nusantara, 1992)